Langit gelap. Aku menyilangkan tangan di dada. Menahan rasa dingin yang
menyapa tanpa tata krama. Beberapa orang mengembangkan payungnya, berlindung
dari derasnya air hujan. Sementara yang lain, rela membasahi pakaiannya. Berlari-lari
kecil melawan rintik air langit yang lebih dari sekedar gerimis. Mungkin, waktu
mereka terlalu berharga jika dihabiskan hanya terdiam dan menunggu reda itu
tiba.
Tapi, itu tak berlaku bagiku. Aku masih di sini. Berdiri mematung. Gamang
antara iya dan tidak. Hanya berani menatapnya, sepasang daun pintu yang
mengatup rapat di seberang jalan sana. Takut untuk mendekatinya. Bukan karena
ukuran pintu itu. Melainkan, karena seraut wajah yang berada di baliknya. Dan,
aku tak yakin jika wajah itu sudi melengkungkan bibirnya saat menyambutku. Mamak,
boleh aku kembali ke pangkuanmu lagi?
Anak durhaka. Sebutan itu kembali memekik kasar di genderang telingaku. Pikiranku
melayang pada sebaris kenangan dua tahun silam. Di malam terakhir sebelum hari
keberangkatanku ke Negeri Jiran.
“Buat apa, tho, Le? Jauh-jauh ke negeri orang cuma buat jadi buruh,” ucap
Mamak kala itu, menentang niatku menjadi seorang TKI. “Sawah tinggalannya Bapak
sudah cukup buat makan kita sehari-hari.”
“Wawan mau coba cari penghasilan sendiri, Mak. Siapa tau Mak, rejekinya Wan
ada di sana.”
“Terus, siapa yang jaga Mak, Le?” ratap Mamak.
“Nanti Wan minta tolong Budhe Arti buat jaga Mak, ya.” Kusentuh pundak
Mamak, mencoba meyakinkannya.
“Pokoknya Mak ndak ikhlas. Jangan pergi, Le!”
“Mak, desa ini ada apanya, sih? Apa yang bisa dibanggakan?” tanyaku dengan
nada suara yang mulai meninggi. “Wan mau belajar mandiri. Kalau Wan sukses, Mak
juga yang bangga.”
“Kamu ndak mau jadi anak durhaka, kan, Le?”
Aku menatap Mamak dengan pandangan tak percaya. Pertanyaan itu? Benarkah
Mamak yang bersuara.
Mamak justru membenamkan kepalanya semakin dalam, lalu berucap, “Kamu anak
satu-satunya yang Mak punya. Kalau kamu pergi, Mak anggap... Mak ndak pernah
punya satupun anak.”
Aku menarik napas dalam. Perihnya masih
terasa. Waktu terasa menyakitkan jika mengingatnya.
Deretan kata itu terlalu kuat membekas. Tidak mampu kututupi sekalipun
dengan berlembar-lembar uang yang kudapatkan. Aku tahu, aku salah. Mengindahkan
pintanya demi membesarkan nafsu serakahku. Nyatanya, apa yang kudapatkan? Tidak
ada. Dua tahun menjadi TKI, tapi sukses yang kuharapkan belum juga dapat
kunikmati dengan bebas. Barisan waktu
mengajarkanku, ternyata hidup di negeri orang tak
seindah kisah dongeng pengantar tidur. Tetap ada susah yang perlu diperjuangkan
dengan penutup kisah yang tak selamanya berakhir indah.
Tetesan anak hujan mulai mereda. Perlahan kulangkahkan kaki menuju sepasang
pintu coklat itu. Baru kusadari, beberapa bagiannya tampak renta. Keropos
dimakan rayap. Ah, Mak, semoga tidak begitu dengan cintamu.
Sepertinya aku memilih belajar untuk tak
peduli, Mak. Tak peduli sebesar apa penolakanmu nantinya, tak peduli sumpah
serapah yang akan terlontar dari mulutmu. Tak apa, Mak. Aku rela mendengarnya. Aku hanya ingin menatap kembali gurat menenangkan
dari raut rentamu.
Setidaknya, biarkan pintu maaf itu terbuka sedikit saja. Demi anak durhakamu,
Mak. Sebelum jeda waktu itu bersuara.