source pict." www.pinterest.com
Tidak
ada satu pun yang menyanggupi untuk berkata bahwa ‘melepaskan’ itu indah. Tak akan
ada. Seseorang. Satu pun. Dan, siapa pun itu.
Melepaskan
terkadang terjadi saat kita berada di ambang ketidakmampuan untuk membuat
sesuatu itu tetap ada. Atau, kita telah merasa kalah hingga tak tahu bagaimana
lagi cara untuk tetap mempertahankannya. Ketidakmampuan dari diri kita sendiri,
juga dari pihak lain. Orang lain. Sesuatu yang lain, dari ribuan alasan terpantas
untuk dilepas.
Karenanya,
aku hanya ingin mencoba. Mencoba untuk melepaskanmu… sekalipun berat. Tapi, aku
hanya akan mencoba untuk membuat diriku terbiasa.
Terbiasa
tanpamu.
Dan,
kilasan-kilasan perih mulai menyapa nakal kotak memoriku. Kenangan itu, saat
terakhir mataku menangkap garis sudut senyumanmu. Sosok yang hingga saat ini
terasa jauh untuk tersentuh. Terlalu jauh jarak perbedaan antara aku dengannya.
“Ada
di mana, sih? Aku nggak tahan. Panas tahu!” tanyaku kala itu, setengah protes tepatnya. Efek
panasnya Terminal Bungurasih sudah tidak bisa kusembunyikan lagi.
“Kamu
jangan di tempat panasan,
Ri. Cari tempat teduh dulu,” balas suara seberang, suara Bara yang kurindu. Ada
nada khawatir yang kutangkap dalam suaranya.
“Terus..
aku nunggu di mana, Bar?” tanyaku gusar. Handphone
di tanganku terasa licin, sudah
basah
kuyup oleh keringat.
“Kamu
di mana? Biar aku yang ke situ, ya.”
“Lama
nggak? Kalau lama, mending aku yang ke tempat kamu sekarang.”
“Katanya
tadi nggak tahan panas?” sahut Bara, balik bertanya. “Kamu tunggu saja di
situ.”
Aku
tersenyum. Ternyata, kamu belum berubah, Bar. Masih tetap perhatian. Rasa
perhatian yang mematikan, bahkan melenakan. Hingga aku terlupa sejenak,
bagaimana memposisikan diri sepantasnya di hadapanmu.
“Ya…,”
jawabku kemudian. “Eh… tapi aman nggak?”
“Aman.
Nggak ada yang bakal ngenalin aku, kok.”
“Oke,
deh. Aku nunggu di depan Dunkin’ Donuts saja, ya?”
“Oke,”
jawabnya tertular. “Kututup, ya, Ri,” tambah Bara lagi.
Aku
mengangguk, kemudian bersuara setelah menyadari tak mungkin Bara bisa melihat
anggukanku. “Iya, Bar. Hati-hati.”
Bara
terkekeh pelan mendengar pintaku. Aneh, dan mendorongku untuk bersuara, “Kenapa?
Lucu, ya?”
“Kamu
itu...,” jawab Bara di antara tawanya. Dan, klik!
Dia memutuskan sambungan telepon begitu saja.
“Ishh...
nggak sopan,” protesku. Memaki-maki handphone
yang mematikan lampu kelip-kelipnya.
Padahal aku tahu handphone itu tidak
salah apa-apa.
Tidak
perlu kujelaskan siapa Bara Beraja Langit. Kurasa semua orang sudah tak asing
mendengar namanya, semenjak dia berhasil menjadi runner up ajang pencarian penyanyi muda berbakat. Walaupun bukan menjadi juara utama, tapi
berani bertaruh fans ceweknya sudah menyebar cepat seperti jamur di musim
hujan. Setiap kali Bara perform,
tiket pre sale hingga VIP selalu sold out. Dan bisa dipastikan, kaum hawa
yang paling dominan menjadi pembelinya.
Aku
sendiri mengenal Bara jauh sebelum dia menjadi seterkenal sekarang. Teman masa
kecil yang beranjak menjadi teman mendewasa bersama. Terbiasa berangkat dan
pergi ke sekolah bersama, membuatku diam-diam terbiasa nyaman akan keberadaan
Bara.
Sayangnya,
Bara sepertinya berbakat menjadi terkenal sejak dari kecil. Penampilan fisik
yang mendukung, berasal dari keluarga berada, ditunjang dengan sikapnya yang
super supel, berbakat menyanyi pula, semua itu seolah menjadikan dia sepaket terlihat
paling menonjol di antara lautan ‘manusia biasa’ pada umumnya. Ha ha… manusia
biasa, termasuk aku salah satunya.
Kalau
boleh jujur, selalu berada di samping Bara seperti waktu sekolah dulu membuatku
sedikit tersiksa. Siapa aku? Gelar paling tinggi yang kudapat hanya ‘si kutu
buku’. Selebihnya… biasa. Seperti yang tadi sudah kusebutkan. Tapi Bara, dia
seperti tak ambil pusing. Walau aku hanya sekedar menjadi bayang-bayang yang
selalu mengikutinya tapi tak tampak apa-apa bagi orang lain. Begitulah Bara,
sosok idola baru semua orang yang diam-diam sudah kuidolakan sejak lama.
Karena
itulah, aku memutuskan untuk melanjutkan study berjauhan dengannya. Menciptakan
jarak. Meninggalkan dinginnya Bogor, menikmati panasnya Surabaya. Sengaja? Iya,
pasti. Terkadang kita memerlukan jarak untuk menciptakan kelegaan, bukan?
Karena jarak selalu mempunyai cara hebat untuk membuat kita bernapas.
“Ri...,” sebuah suara yang amat kukenal memaksaku buru-buru
menoleh ke arahnya, si pemilik suara yang bersembunyi di
balik kacamata hitam lengkap dengan topi. Penyamaran sempurna.
“Bara... lama banget. Sampai garing gini aku,” berondongku begitu saja. Tanpa
menanyakan kabarnya dahulu. Aku hampir terlupa kalau sosok yang
ada di hadapanku kini adalah artis.
Bara hanya terkekeh pelan. Jemari kukuhnya meraih anak
poniku yang sedikit nakal menutupi dahi. Menghalangi penglihatanku
di balik sepasang lensa kacamata.
“Capek, ya. Maaf, ya,” balasnya santai. Tapi hatiku berdesir tak
karuan jadinya. Selalu begini.
“Bara tambah endutan, ya,” suaraku setengah berteriak,
berusaha menyembunyikan genderang tak karuan di hati. “Pipinya saingan ama bulat-bulatnya donat, tuh.” Tawaku pun pecah setelah mengucapkan seloroh
ringan itu.
Bara menoleh sejenak ke arah etalase Dunkin’ Donuts yang
kutunjuk barusan. Lalu, tertular dengan senyumanku. “Iya lah, Ri. Kaya kamu nggak tahu saja, Bogor kan hawanya dingin. Bawaannya bikin lapar melulu,” belanya tanpa basa-basi. “Kamu
sendiri, kenapa kurusan? Telat makan terus
pasti,” tuduh Bara. Tanpa basa-basi
pula.
“Aku sudah dari sananya seperti
ini, Bar. Mau makan banyak atau sedikit nggak ada pengaruh apa-apa. Masa sudah lupa sama kebiasaan sahabatnya sendiri, sih,” balasku. Pura-pura merajuk. Padahal sekedar
ingin mendapatkan perhatiannya saja. Kan, lagi-lagi aku lupa
memposisikan diri.
Bara terkekeh lagi. Gaya tawanya yang khas, yang selalu
kurindu. “Bukan lupa, Ririana... tapi ini perhatian. Kan nggak lucu kalau aku tambah endut, tapi kamu tambah kurus. Kalo kita jalan nanti
dikira....”
“Angka sepuluh lewat.... ha ha ha,” ucapku begitu saja, memotong pembicaraannya.
“Terus saja ngeledek. Hobi banget ya sekarang,” sahut Bara gemas sambil
menjepit hidungku dengan jari-jarinya.
Spontan aku menjerit, “Aduuh... sakit, tahu!” Aku memasang tampang geram.
“Habisnya, baru saja ketemu jadi tambah parah penyakit jahilnya gini. Bikin orang gemas.”
Kamu gemas, akunya cemas, Bar. Berontak
batinku diam-diam.
“Eh, mau ke mana?”
“Pulang lah... masa mau menginap di terminal gini,” balasku cuek.
Kudengar Bara menghela napasnya pelan, kemudian berlari
kecil menjajari langkahku. Lalu
bersuara, “motormu di mana?”
“Seriusan kamu mau naik motorku, Bar?
Nggak takut ketahuan wartawan, terus diliput media semuanya. Terus banyak fansmu yang
protes, gitu?”
“Peduli amat, lah. Kan mumpung aku
bisa ketemu kamu, Ri,” balas Bara cuek.
“Nyinyiran netizen itu lebih perih
daripada patah hati lho, Bar, katanya.”
“Bukan karena aku, Bar.
Tapi demi kamu, sekarang kan kamu sudah beda. Sudah banyak yang kenal, jadi ya
harus hati-hati lah.”
“Terus?”
“Iya,
kaya gini ini. Sebenarnya aku was-was ketemu kamu di tempat umum kaya gini,
Bar. Takut nanti ada yang bisa kenalin wajahmu, terus bikin gosip yang
aneh-aneh lagi,” cerocosku. “Memangnya kamu nggak takut, Bar?”
“Takut.
Tapi aku takutnya sama Allah, Ri,” jawab Bara lagi-lagi cuek, lalu senyumnya
pun terkembang.
“Bara,
aku serius.”
“Ri,
aku cuma nggak ingin keadaan kita jadi berubah gara-gara aku jadi dikenal
banyak orang. Nggak ada yang bakalan berubah. Ingat itu, ya!” pinta Bara tegas.
Aku
tersenyum, lalu mengangguk cepat. Termasuk
perasaanku terhadapmu, Bar. Nggak akan berubah.
“Acaramu
di Surabaya sampai hari apa, Bar?” tanyaku kemudian, melanjutkan langkah ke
area parkiran sepeda motor.
“Sampai
kangenku ke Ririana hilang.”
Aku
menoleh cepat ke arahnya. Membatu. Bisu seketika. Bara selalu hebat menyihir
hatiku. Tapi ketika tersadar, mulutku pun akhirnya bersuara, “bercandanya nggak
lucu, ya, Bapak Bara.”
Sementara
yang diprotes hanya memamerkan senyum lebarnya.
Begitulah
Bara, apa adanya. Dan bagiku, bayangan
masa-masa kebersamaan se-simple itulah yang membuat sosoknya terasa berharga untuk dilupakan. Karena, tak sedikitpun aku merasa tak
dihargai olehnya sekalipun badge
artis
ibu kota itu sudah tersemat manis di dada Bara hingga kini.
Karena,
dia lah Baraku. Udara terhangat untukku bernapas. Api penyemangatku. Idola yang kuidolakan
diam-diam. Dan, aku merasa
beruntung dapat berbagi oksigen di sekitar ruang hampa ini dengannya.
Walaupun hanya sebagai sahabat terbaiknya.
Tapi, sekarang... dengan siapa lagi
aku harus membagi oksigen ini?
Bara... bahkan aku tak berani membayangkan kemungkinan keadaan
yang akan kujalani sekarang. Mulai detik ini. Maupun di ribuan detik berikutnya
jika semua itu tanpa aroma napasmu.
Keberadaanmu
sudah teramat jauh untuk tergengam saat ini, Bar.
“Akh...,” aku menghela napas berat. Membuangnya begitu saja ke udara. Rasanya sesak
sekali, seperti kehilangan cadangan bulir-bulir oksigennya.
Mungkin. Hanya satu yang bisa kuharapkan kelak. Semoga
waktu dapat segera menenggelamkan rasa kehilangan ini. Dengan cara apapun itu.
“Ri…,“
suara panggilan yang menggantung, memaksaku menatap ke arah suara itu berasal.
“Mau sampai kapan di sini?” tanya Tika kemudian.
Aku
merunduk. Kembali menekuk wajahku semakin dalam. Menyembunyikannya di antara
kedua siku lutut kaki yang kutekuk. Tidak ada keberanian untuk menjawab sorot
kekhawatiran itu.
Tika
menghela napas berat, lalu bersuara, “dia nggak akan kembali. Setinggi apapun
pengharapanmu.”
“Aku
tahu,“ balasku lirih. “Tapi aku butuh waktu.”
“Sampai
kapan? Nunggu semua bunga kamboja itu berguguran?” tanya Tika sinis.
“Duluan
lah! Nanti aku nyusul.”
Tika
kembali menghela napas. Semakin berat kudengar. Kebiasaan yang selalu kuingat
setiap kali dia merasa gelisah.
“Keep holdin’ on, Ri. Dia juga nggak
pengen kamu jadi kayak gini.”
Aku
mengangguk pelan. Sangat lemah.
“Ada
yang bilang… hidup ini nggak bener-bener indah. Tapi berharga,” ucap Tika,
sambil menepuk pundakku pelan. Sebelum berlalu dan menjauh.
Aku
tahu. Aku sadar. Tapi, aku belum bisa menerima semuanya. Maaf.
Sebut
saja aku pencundang yang tak mampu menerima keputusan buruk dari tindakan bodoh
yang pernah kulakukan. Bodoh? Iya… amat bodoh.
Terserahlah jika aku dianggap putus
asa, apatis. Tak punya harapan. Biarlah. Karena bagiku perasaan bersalah
ini tak mampu menghapus bayangan gurat-gurat
ketegasan di wajah Bara. Semakin kuingat justru membuat lubang di hati ini kian menganga lebar.
Kalian tahu, apa yang terasa menyiksa tapi tetap berat
untuk melepaskannya? Hal apa itu? Tidak lain, tidak bukan hanya dia...
kenangan.
Bagiku, kenangan Bara terlalu berat untuk dilupakan. Sekalipun
kenangan tentang Bara kerap membuatku merintih dalam, meratapi keadaan hingga
tak ada secuil asa tersiksa. Setiap kali terkenang, jiwa ini dipaksa untuk
kembali mengumpulkan bulir-bulir semangat yang berserakan. Potongan kenangan
yang justru membuatku merasa kuat dan rapuh pada saat bersamaan.
Terlebih saat
teringat malam itu, ketika hujan mengguyur deras Surabaya sejak belasan jam
sebelumnya.
Sepuluh
menit lagi, batinku bersuara.
Menghitung gerak anak jarum jam yang menyapa nakal angka sembilan dan menit
ketigabelas.
Sudah kupastikan. Sepuluh menit lagi jika sosok Bara tak
kunjung datang, lebih baik nekat menerobos barisan anak hujan yang tertata
rapat berjatuhan di jalanan. Lelah sekali menunggu Bara. Padahal dia sudah
berjanji, tidak akan datang terlambat. Untuk kesekian kalinya.
Semenjak
kesibukannya sebagai penyanyi yang harus menjalani touring show ke sana-sini, bisa dibilang intensitas waktu
pertemuanku dengan Bara pun menjadi berbanding terbalik. Obrolan malam panjang
tak pernah tercipta. Dia terlalu sibuk dengan rutinitas dunianya. Dan, aku pun tak berani mengusik waktu istirahatnya. Lagi
pula, aku sadar. Toh, aku bukan siapa-siapa baginya, selain teman. Sahabat.
Tempat berkeluh kesah. Atau, tempat sampah. Sudah, tak lebih.
Jadi, jangan meminta sesuatu yang special
dari Bara, ya, Ri. Begitulah, berulang kali mantra yang kuajarkan
untuk hatiku.
Karenanya, aku memang sudah hapal benar bagaimana kebiasaan buruk
Bara untuk hal yang satu ini. Jam karet. Paling susah ontime.
Tapi aku masih berharap, setidaknya dia mau berusaha untuk malam ini saja. Iya,
hanya malam ini. Malam dimana dia seharusnya sudah duduk di sini,
di hadapanku. Lalu menyalamiku,
setelah mendengar berita diangkatnya aku menjadi karyawan tetap di kantor
penerbitan tempatku bekerja dengan posisi yang selama ini aku impikan. Desainer layout. Dan, aku bangga dengan
profesi ini.
Lagi
pula, dia sudah berjanji bersedia meluangkan waktu untukku di akhir pekan ini.
Tentu saja, atas nama persahabatan.
Tapi
nyatanya… akh, begini-begini saja.
Bara,
lihatlah! Badge karyawan training itu sudah kubuang jauh-jauh. Sesuai keyakinan
yang sempat kau tanamkan dulu. Dan aku ingin membagi kebahagian ini denganmu.
Tapi rasanya, pintaku tak akan terkabul sempurna. Barisan
anak hujan ini seolah menjadi penandanya. Dan ribuan kata maaf yang terucap dari
bibir Bara melalui lubang-lubang tipis horn
handphone tadi.
“Penerbanganku ditunda, Ri. Maaf.”
“Jadi, kira-kira sampai Surabaya jam berapa? Jangan lama-lama, ya...” pintaku,
manja.
“Aku usahain secepatnya, ya, Ri. Habisnya kamu kasih kabarnya juga mendadak banget tadi. Jadi nggak sempet booking tiket sebelumnya, kan.”
“Tapi
kan kamu sudah janji, Bar. Kalau mau meluangkan waktu minggu ini.”
“Iya,
Ri. Aku ingat, kok. Toh aku juga memang lagi nggak ada jadwal manggung juga,
kok. Tapi ini kamu kasih kepastian acaranya mendadak bener.”
“Iya,
maaf,” balasku pelan.
“Dari
kemarin kan aku udah tanya, ‘Jadi nggak Ri acaranya. Kalau pasti jadi, aku bisa
prepare dari sekarang’. Tapi kamu
malah bilang belum pasti,” protes Bara beruntun. “Jadinya kaya gini, kan.”
“Iya... maaf. Aku ngerepotin, ya,” sahutku lirih.
“Iya, ngerepotin banget.”
“Baraaaa...,” balasku, sedikit protes, sedikit gemas mendengar
responnya.
Terdengar suara tawa renyah dari seberang. “Becanda, Ri. Lagian, kan aku jadi ada alasan juga buat ketemu
kamu. Biar nggak dikira
cuma
aku yang lagi kangen berat
sama kamu.”
Jleb! Tuh, kan. Kambuh lagi. Romantis sih, tapi jahil habis.
Akh… sadar Ririana. Sadar.
Cuma teman!
“Sayangnya aku nggak lagi kangen, tuh.” Mulutku mencibir.
Kemudian tertawa tertahan begitu menyadari tak mungkin Bara melihat cibiranku.
“Ya udah, berdoa saja biar seluruh Indonesia hujan lebat, angin badai, jadi
semua pesawat dilarang lepas landas.”
“Baraaaa... nggak asyik, ah!” protesku lagi. Kali ini dengan nada
suara meninggi.
“Kalau gitu, bilang dong seorang Ririana juga lagi kangen sama Kakanda Bara ini.”
“Ih, maksa, deh.”
“He he... emang. Habisnya kapan lagi bisa denger suara
manjamu. Bentar lagi aku udah naik, kan.”
“Ya nanti saja, kalau kamu sudah sampai sini,” balasku, menolak pintanya.
“Ayolah, Ri. Terakhir ini saja, pengen denger suaramu. Kita sudah lama
lho nggak ngobrol manis-manisan di telepon gini.”
“Bara aneh, deh. Udah, ah. Pokoknya buruan terbang ke sini.
Aku tunggu, dan.... nggak pakai lama.”
Ada suara helaan napas berat di seberang. Pertanda dia
sudah menyerah. “Iya ya... sabar, ya.”
“Ya sudah, aku tutup, ya. Nanti kabarin lagi kalau sudah landing.”
“Iya...,” balas Bara lemah. Ogah-ogahan. “Aku tutup, ya.”
“Bar... bentar.”
“Apa lagi, Ri? Katanya suruh buruan.” Ada nada kesal yang kutangkap dalam kalimat tanyanya.
Kudekatkan bibirku di hadapan horn handphone, kemudian
bersuara lembut, “Aku kangen banget sama sumber bara semangatku. Cepet datang, ya... Bara.”
“Pasti. Secepat angin berhembus.” Aku tersenyum mendengar
sahutan Bara. “Take care, ya, Ri.”
“Kamu juga.” Dan suara klik memutus perbincanganku
sekilas dengan Bara pagi tadi. Kabar terakhir yang kudapat sebelum sosok itu
benar-benar menghilang, Hingga detik ini, ketika kebekuan menyapaku dalam aroma
basah.
Hujan masih belum reda. Beberapa teman kerjaku telah
pulang lebih dulu. Dan seharusnya sudah sejam yang lalu Bara juga ada di sini.
Aku berharap akan mendengar sedikit saja alasan dari mulutnya. Entah tentang
apapun itu. Setidaknya, aku bisa memberikan ribuan pemakluman atas kesalahannya
yang sama.
Baiklah. Waktuku tidak banyak. Rasanya sudah tak ada lagi kemungkinan akan kedatanganmu, Bar. Aku beranjak dari dudukku, menatap sejenak ke arah
sudut-sudut lobi kantor ini. Remang. Dan, sepi.
Mungkin doa Bara benar-benar dijawab. Seluruh kota
se-Indonesia benar-benar hujan lebat. Aku meringis menyadarinya. Lagi-lagi,
masih tetap ada seribu pemakluman untukmu, Bar.
Sebuah pemakluman terakhirku untuknya, Karena, tepat di
malam itulah aku mengetahui satu hal. Bahwa pemaklumanku tak akan sia-sia.
Karena hari esok, dan esoknya lagi Bara benar-benar telah menepati janjinya.
Terbang secepat angin berhembus. Menghilang. Dan benar-benar mengabur bersama
embusan bayu.
Kecelakaan pesawat. Hanya itu pemakluman terakhirku
untuknya.
Aku
mengusap batu nisan di hadapanku perlahan, mengenyahkan pengembaraan memoriku. Batu nisan itu terasa dekat, tapi batinku
tidak merasa begitu. Dia jauh, benar-benar menjauh.
Bara
Beraja Langit. Deretan nama itu, membacanya saja
masih terasa menyesakkan seperti ini. Bahkan aku tak yakin sampai kapan
perasaan sakit ini tetap menyala. Genangan bening mulai mengambang di sudut
mataku. Tanpa permisi.
“Maaf…
aku nggak bisa,” ucapku lirih, tidak ingin terdengar oleh siapapun. Bahkan
kalau boleh, cukup aku dan dia saja yang mendengarnya. “Bar, aku harus bagaimana?
Aku nggak bisa kaya gini, nggak bii...saa.”
Kutangkupkan
kedua telapak tanganku. Membekap erat mulutku. Tidak, jangan ada suara isak di
sini. Tidak di hadapannya.
Karena
aku tak ingin Bara tahu, bahwa aku selalu mengidolakannya diam-diam melebihi
dari seorang teman. Aku tak ingin Bara tahu, bahkan setelah dia tiada. Aku
takut ada penyesalan karena tak menyuarakan sebelumnya, entah dariku atau darinya. Bagiku,
cukup bayangan indah bersamanya saja yang terekam kuat hingga kini. Itu saja
sudah cukup.
Dan
semoga, kau tenang di pelukan akhirat, Bar. [END_#Nuber1.OwobJatim]