HARI KE #5: THIRD MEMORABLE MOVIE
“Kita
nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup ini.
Kadang
hidup memang aneh. Seseorang yang meninggal
ternyata
malah bisa membuat orang yang
ditinggalkannya
jadi lebih
hidup.”
~Indi
from MIKA Movie
Ada
artikel lama yang rasanya memiliki ilustrasi cukup pas untuk menggambarkan
topik Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari kelima
ini. Tipikal pertanyaan yang pastinya bisa menumbuhkan jawaban beragam,
tergantung selera, tergantung rasa, dan tergantung prefer individu. Tentang tontonan film yang dominan terasa berkesan.
Tiap orang pasti punya deretan koleksi judul film berkesan yang berbeda-beda.
Tapi, kurang-lebih secara keseluruhan tiap judul film tersebut tentu telah
diakui mampu mempengaruhi garis kehidupan si penontonnya masing-masing.
Walaupun tanpa disadari secara langsung.
Artikel
lama yang dimaksud di atas berjudul “American
Military Tactics: How to Do Better” dari Majalah The Economist edisi tanggal 17 – 23 Desember 2005. Di artikel itu
tertulis kalau Negara Amrik lagi gencar-gencarnya membuat tempat pelatihan
khusus untuk simulasi pertempuran. Tempat yang nantinya digunakan untuk melatih
tentaranya, lengkap dengan desa-desa dan kota buatan.
Supaya
simulasinya kelihatan lebih realistis, disiapkan juga ratusan pemain pelengkap
yang punya peran beda-beda. Pemain pelengkap itu juga dituntut untuk ikut
beraksi dalam setiap kegiatan simulasi, berikut lengkap dengan meggunakan nama
palsu, sejarah dan karakter. Mulai dari pemain yang berkarakter jadi dokter,
guru, jurnalis, pasukan perdamaian, dan lain-lain.
Demi
suksesnya proses simulasi di tempat itu, pihak militer sengaja merekrut dua
perusahaan film Hollywood untuk ikut menciptakan efek tambahan yang bisa
mendramatisir latihan mereka. Efek tembakan dan ledakan dibuat senyata mungkin.
Perusahaan Hollywood itu pun diminta untuk bisa melatih akting para pemain pendukung
yang terlibat.
Super
sekali! Seperti peran dunia yang mulai terbalik. Kalau di masa silam, Hollywood
yang gila-gilaan merekrut tenaga atau mantan militer sebagai informan dalam penggarapan
film perang supaya bisa mendekati keadaan nyata dan masuk logika, tapi sekarang
justru kebalikannya. Justru pihak militer yang mulai mempekerjakan Hollywood.
Melihat
fenomena ini, masih mengelak kalau tontonan sesederhana film yang pernah kita
lihat saja bisa mempengaruhi kehidupan kita kelak? Kemungkinan bisa juga mengubah
cara kita berpikir ataupun bertindak, kan? Karenanya, kadang kita memang perlu
lebih selektif untuk memilah mana yang pantas ditonton dan mana yang tidak.
Kurang-lebih begitulah, Kawan.
So,
tiga judul film yang paling berkesan bagi saya pribadi……
#1: MIKA
Sering
kali tolak ukur keindahan hidup itu dinilai dari tingkat kebahagiaan kita. Seberapa
bahagia kita dalam menerima setiap ketentuan dariNya. Baik itu sakit, maupun
sehat. Hal yang kadang membuat kita menjadi terlalu sibuk untuk bersyukur saat diberi
nikmat sehat, dan menjadi begitu terpuruk lalu merasa makhluk paling sial
sedunia saat mendapat nikmat sakit.
Dua
hal berlawan yang kemudian mempertemukan Mika (Vino G. Bastian) dan Indi
(Velove Vexia). Kisah film ini berawal dari seorang gadis belia yang semula ceria
bernama Indi mulai mengalami perubahan total dalam kehidupannya setelah dia divonis oleh
dokter mengidap penyakit skoliosis pada waktu duduk di bangku SMP. Karena
kondisi kesehatannya yang semakin menurun, Indi diharuskan memakai besi
penyangga tubuh oleh dokter selama 23 jam dalam sehari.
Beberapa
hari kemudian, Indi diajak berlibur oleh orang tuanya sebelum masuk ke SMA.
Saat liburan itulah pertama kalinya Indi bertemu dengan Mika melalui
sebuah pertemuan yang tak terduga. Mika tipikal cowok yang cuek, berani, urakan
dan bertato yang selalu memandang kehidupan dengan santai dan full positive thinking. Dari
perkenalan pertama itu Mika mulai menulari semangat positifnya dengan kata
penyemangat yang pertama darinya untuk Indi, "Siapa bilang kamu cacat?
Kamu itu nggak cacat lagi. Kamu beda. Kamu spesial."
Ada
pelajaran berharga dari film ini. Mika ternyata pengidap HIV-AIDS. Positif.
Tapi, dia tidak malu mengakuinya. Bahkan di pertemuan pertamanya dengan Indi,
Mika mengatakan kondisi kesehatannya dengan jujur. Bukan demi mendapatkan
simpati atau meminta belas kasihan. Tapi karena dia merasa tidak perlu
berpura-pura. Sakit apapun itu bukanlah aib yang harus ditutupi. Tidak ada
orang yang minta untuk diberi sakit. “Karena selalu ada yang pertama dalam
segala hal.” Persis seperti kata Mika saat Indi sedikit syok mendengar
pengakuan akan kondisi sakitnya.
Mereka
berdua akhirnya menjadi sahabat dekat. Hubungan persahabatan yang
perlahan-lahan membuat Indi kembali menjadi gadis ceria dan berani melawan
penyakit yang menggerogotinya. Sayangnya, takdir berkata lain. Kondisi
kesehatan Mika kian memburuk hingga akhirnya dia meninggal dunia, tepat di
sebelah Indi. Setelah kepergian Mika,
Indi sadar bahwa Mika lah yang justru membuatnya semakin hidup dan termotivasi
untuk melawan penyakitnya. Bahkan setelah Indi masuk kuliah, dia tetap merasa
seolah Mika selalu ada di sampingnya. Hingga akhirnya dokter menyatakan bahwa Indi
telah sembuh dan kini dia berhasil menjadi designer yang cukup terkenal.
Kenapa
film ini berkesan? Selain karena film ini based
on true story, tapi karena kisah ini mengena banget dengan kondisiku.
Tentang seorang pesakitan yang berusaha mengais semangat untuk bertahan, untuk
bernapas, untuk tetap tersenyum, dan untuk tetap berjuang dari segala rasa
sakit yang tidak mengenakkan. Sakit itu memang tidak enak. Tapi, bukan berarti
sakit harus dijadikan kambing hitam dari segala hal yang kadang membuat
kualitas hidup kita menjadi terasa berkurang. Dan, film ini menumbuhkan
harapanku untuk bisa sedikit saja kembali merasa ‘normal’. Sekaligus meyakini bahwa
hari-hari dimana kata ‘sembuh’ itu akan kembali mengudara. Semoga saja. Setiap
orang berhak berharap, bukan?
#2: IL MARE
Kalian
pernah menonton film The Lake House
yang dibintangi Sandra Bullock dan Keanu Reeves? Kalau iya, berarti
sedikit-banyak kalian sudah tahu isi kisah dari film Il Mare. The Lake House (2006)
merupakan film adaptasi dari Il Mare
(2000) dalam versi barat. Tapi saya di sini hanya membahas film versi Koreanya saja,
Il Mare. Pertama kali menonton film
ini, saya selalu merasa iri. Iri dengan kehebatan imajinasi dari penulis kisah
ini.
Film
ini menjadi begitu berkesan karena mampu menyuguhkan cerita romance ala Korea yang unik dengan
sedikit bumbu fantasy, hingga kenikmatan
dari racikan keduanya terasa benar-benar mengena. Kisah tentang penantian.
Tentang kesetiaan. Tentang pengorbanan. Tentang kepercayaan. Tentang takdir.
Tentang menegakkan cinta yang diyakini tanpa harus selalu mengedepankan logika.
Karena terkadang sesuatu yang berasal dari hati lebih mudah dimengerti daripada
segala yang berasal dari pikiran.
Il
Mare
merupakan nama dari sebuah rumah indah yang terletak di pinggir pantai. Rumah
itu dinamakan Il Mare yang berarti laut
(dalam bahasa Itali). Kisah ini berawal saat Eun Joo (Jun Ji-hyun) akan meninggalkan
rumah Il Mare beberapa hari sebelum
pergantian tahun baru milenium 1999-2000. Sebelum pergi, Eun Joo meninggalkan sebuah
pesan dalam kartu natal yang dimasukkan ke dalam kota surat Il Mare.
Isi pesan itu memberitahukan kalau
dia sudah tidak tinggal di Il Mare
lagi. Dia pindah ke sebuah apartemen dan Eun Joo juga meninggalkan alamat
barunya di surat itu. Surat tersebut ditujukan untuk penghuni baru di Il Mare karena Eun Joo sedang menunggu
kiriman surat dari seseorang, dan dia minta tolong kepada penghuni baru Il Mare jika surat itu datang agar bisa
dikirimkan ke alamat baru Eun Joo.
Han
Sung-hyun (Lee Jung-jae), seorang mahasiswa arsitektur yang baru datang pindah
ke Il Mare. Dia menemukan kartu natal
milik Eun-joo di kotak surat rumahnya. Awalnya Sung-hyun hanya menganggap surat
itu sebagai lelucon, walau sedikit bingung saat membacanya. Menurut Sung-hyun, dialah
penghuni pertama Il Mare dan rumah
itu baru saja dibangun oleh bibinya. Lalu siapa Eun-joo? Rasa penasaran itu
yang membuat hubungan mereka berlanjut, walaupun hanya bisa berkomunikasi lewat
surat-menyurat.
Lambat-laun
keduanya pun sadar bahwa mereka hidup di dua waktu yang berbeda. Sung-hyun
hidup ditahun 1998 dan Eun-joo hidup di tahun 2000. Mereka percaya bahwa
mesin waktu yang membuat mereka bisa berkomunikasi adalah kotak surat Il Mare.
Setelah
sekian lama berkomunikasi hanya melalui lembaran surat, Eun Joo akhirnya mengajak
Sung Hyun ketemuan pada tanggal 11 Maret 2000. Bagi Eun Joo, dia hanya
membutuhkan waktu seminggu lagi menuju tanggal tersebut. Sementara Sung Hyun
masih harus menunggu dua tahun lagi sampai di tanggal yang ditentukan. Eun Joo pun
mengirimkan foto pantai tempat mereka akan bertemu, lokasi yang sangat ingin ditinggali Eun Joo suatu saat
nanti. Sayangnya, saat tiba di waktu pertemuan yang ditentukan justru Sung
Hyun tidak ada. Kenapa dia tidak datang? Jawabannya bisa dicari sendiri.
Akh…
kalian akan lebih tercengang jika menonton sendiri ending manis yang penuh kejutan dari film ini. Karenanya, jika film
ini diputar berulang kali, saya tidak akan pernah bosan menontonnya kembali. Alur
yang manis. Ending yang meletupkan
emosi dan tidak mudah ditebak. Hingga akhirnya, sukses menguras air mata. Jadi,
dicoba saja jika tidak percaya!
#3: LIFE IS BEAUTIFUL
(La
Vita è Bella)
Adalah
tontonan lainnya yang tak kalah sukses menguras air mata. Menonton film ini
ibarat kita sedang membaca buku karangan Tere Liye yang berjudul Ayahku (Bukan)
Pembohong. Suguhan film keluarga yang menceritakan kisah epik seorang ayah yang
berusaha melindungi anaknya di tengah camp
tawanan Nazi. Film dari Itali ini tak segan-segan mengajak penontonnya untuk terbiasa
berprasangka baik dan positive thinking terhadap apapun dalam hidup
agar segalanya dapat dijalani dengan sebaik mungkin, seringan mungkin, tanpa
beban, dan meminimalkan keluhan. Pesan yang sesuai dengan tagline: An Unforgettable fable that proves love, family, and
imagination conquer all. Deretan obat ampuh untuk bertahan di atas segala
kesusahan.
Satu
hal lagi, film ini membuat kerinduan saya akan sosok Bapak. Figur yang ketika
jauh begitu saya butuhkan, namun saat dekat sulit sekali mencari kenyamanan.
Bapak yang akan selalu saya hormati, sekalipun kenangan-kenangan buruk di masa
lampau akan proses didikan yang Beliau tanamkan terkadang masih menyisakan
getir. Bapak saya bukanlah orang militer, tapi didikan Beliau hampir tak bisa
jauh dari gaya militer. Rentan kekerasan. Tindakan menuju kasar. Bapak saya
bukan sosok yang terbiasa mengungkapkan kekhawatiran dan kepeduliannya dengan
cara halus, tapi lebih seperti omelan panjang yang membuat panas telinga. Tapi
justru, buah dari didikan Beliau membuat saya bisa melangkah jauh seperti
sekarang ini. Meminimalkan keluhan, memasang tarif mahal untuk air mata, dan
begitu menghargai ketepatan waktu. Ajaran Bapak yang membuat kami terbiasa
disiplin dan lebih mawas diri karena takut hal yang salah akan kami lakukan.
Karena kami terbiasa menerima amarah jika salah dan menerima diam jika benar.
Lalu,
apa hubungannya dengan film Life is
Beautiful?
Jelas
ada. Film ini membuat kerinduan saya akan sosok Bapak yang ideal mengapung
kembali ke permukaan. Akh…sebenarnya saya tidak ingin membanding-bandingkan. Juga
tidak ingin dicap menjadi anak yang tak tahu diuntung, anak yang tak pandai
berterima kasih. Saya hanya ingin berusaha menerima apa yang saya terima, apa
yang saya miliki, dan apa yang saya punya. Tapi, saya tidak ingin munafik di
sini…. karena dari film ini saya mendapatkan figur keteladanan seorang Ayah
yang sesungguhnya. Andaikan tiap Ayah mau sedikit saja belajar dari tokoh Guido
dalam film ini. Tidak perlu banyak. Hanya sedikit saja sudah cukup.
Sedikit
cerita, film ini berkisah tentang Guido (Roberto Benigni) dan Dora (Nicoletta
Braschi) bersama seorang anak lelakinya yang bernama Joshua (Giorgio Cantarini). Mereka hidup dengan tenang dan bahagia, meskipun kemana-mana mereka hanya mengendarai sepeda butut. Guido yang seorang Yahudi, selalu mengajarkan kebaikan dan berprasangka baik pada Joshua. Dia tidak pernah memarahinya, justru sering kali memberikan lelucon maupun cerita imajinasi. Namun, kebahagiaan mereka memudar ketika tentara Nazi datang membawa Guido dan Joshua ke camp konsentrasi. Dora yang awalnya tidak tahu mereka dibawa, segera menyusul ke stasiun kemudian memaksakan diri untuk ikut bersama rombongan.
Suatu
hari, tiba-tiba pasukan Jerman melakukan pembunuhan massal di camp konsentrasi tersebut. Guido pun
berpikir harus menyelamatkan anak dan istrinya. Maka mereka berdua melarikan
diri dari kamar untuk mencari tempat persembunyian. Guido menyembunyikan sang
anak di dalam sebuah kotak kecil sambil berkata: "Nak, hari ini adalah
puncak permainan. Kita harus menang. Kamu harus bersembunyi di dalam kotak ini
dan jangan sampai terlihat oleh siapa pun karena semua orang akan mencarimu,
kamu harus mendapatkan hadiah tank." Setelah Guido memasukkan sang anak ke
dalam kotak tersebut, dia lalu mencari Dora untuk menyelamatkannya pula.
Sementara
itu proses eksekusi atau pembantaian sedang berlangsung dengan keji. Pembunuhan
massal dilakukan dengan cara memasukkan para tawanan ke kamar gas dan kemudian
membakar mayatnya.

Salut
banget. Adegan ini yang bikin hatiku kembang-kempis. Bisa-bisanya bersikap
sesantai itu, padahal maut siap menjemput. Ayah yang selalu membesarkan hati
anaknya. Four tumbs pokoknya!
Karenanya,
pantas kan jika film ini termasuk dalam daftar film yang berkesan dan patut
diperhitungkan? Terlebih lagi, sosok Guido yang cenderung ‘antik’. Dia tidak
hanya pandai membuat lelucon, tapi juga orang yang sangat romantis, ayah yang
baik, dan selalu berpandangan positif dalam setiap hal. Dia juga mengajarkan pada
Joshua untuk selalu berprasangka baik pada siapapun dan dalam berbagai hal
apapun. Wajar jika sosok Guido yang digambarkan pada film ini tidak pernah dalam
keadaan susah, sedih, ataupun marah. Pribadi yang terlalu positif sepertinya.
Kira-kira,
adakah manusia yang benar-benar tidak memiliki sisi negatif seperti Guido? Di
belahan bumi mana mereka berada? Jika ada, saya pun ingin ikut tertular di
antara mereka. [END. #10DaysKF
@KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar