Pernah dengar Japanese Wisdom: "SEIKO UDOKU"??Kurang lebih artinya begini, "Farm when it's sunny, read when it rain" (@tentenjakarta). Kalau boleh asal mengartikan, sih, seiko udoku itu semacam menggambarkan bahwa ada waktu-waktu tertentu dimana kita bisa menentukan hal terbaik apa yang seharusnya dilakukan. Semacam, boleh terpuruk... tapi harus ingat untuk segera bangkit dan bersemangat. Boleh tidur... tapi harus ingat untuk terjaga tepat waktu. Boleh bersantai... tapi harus ingat deretan tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Boleh bermimpi... tapi harus ingat kapan saat terbaik untuk berusaha mewujudkannya.
Dan sepertinya, memang benar, waktu terbaik untuk membaca itu saat hujan turun. (Aish...nggak nyambung!!)Dan yang pasti... kali ini saya hanya ingin menggoreskan kisah lama yang hampir membusuk di notes fesbuk. Mencoba mengenalkan kepada kalian, dengan setting seiko udoku... saat clear sky and rainy. Akh...semoga suka ^.^
Tak mau
berhenti. Aku benar-benar tak bisa mengabaikannya. Selayaknya anak kecil yang
menemukan permainan baru. Menarik. Menantang. Dan ingin terulang, tanpa
keraguan.
Srekk..
srekk!!
"Hei,
lihat orang itu!"
"Hei...
kau gila, ya?"
Suara
bernada-nada protes itu masih saja berdengung di telingaku. Tapi, tak ada yang
perlu kuperdulikan. Biarkan saja, toh mereka tidak akan pernah mengerti.
Karena, inilah kehendakku.
Srekk..
srekk!!
Masih
dengan gerakan yang sama. Perlahan tapi pasti, kugoreskan mata belati pada
ruas-ruas tubuh angkasa. Aku hanya ingin membuat langit sedikit berlubang.
Membiarkan secuil celah di badannya agar tampak gurat-gurat cahaya mentari yang
menyapa bumi di pagi ini.
Aku tahu
pekerjaan ini akan memakan waktu lama. Dan, akan ada banyak orang di bawah sana
yang mulai menyadari keberadaanku. Tapi ini perlu, sungguh.
Lihatlah!
Jauh di sana, ribuan wajah petani bermuram. Sawah mereka terlalu basah untuk
ditanami, terlalu tergenang untuk menyemai benih. Lihatlah, sekumpulan anak
berseragam sekolah berjuang melawan basah. Tertatih-tatih berlari menghindari
hujaman rintik air langit, melindungi buku-buku tugas yang telah dilahap habis
di malam buta. Dan, lihatlah... semakin banyak yang memilih untuk tenggelam di
balik selimutnya. Menyerah dengan dingin yang bermuara.
Karena itu, aku ada di sini. Sepagian tadi. Berdiri di atas tangga
penyangga, di atap gedung tertinggi dunia, demi menggapai atap-atap langit.
Menyentuh dan melubanginya. Sampai detik ini.
Kuintip sedikit celah yang telah lahir tercipta. Kupicingkan mata kananku,
agar fokus bayangan itu dapat tertangkap. Ya, ada segurat senyum di sana.
Senyum mentari yang menyapa hangat. Aku tidak salah lihat kan? Dia benar-benar
tersenyum, mentari itu, kepadaku.
“Buatlah lubang yang lebih besar, Kawan!” Tiba-tiba mentari itu pun
bersuara. “Kalau hanya sekecil itu lubangmu, sinar tubuhku tidak bisa menyebar
ke semua bumi,” tambahnya lagi.
“Tapi... bisa kau lihat, orang-orang di bawah sana. Mereka membuat gerakku
tak bebas,” sahutku.
“Mereka tidak menahanmu, mereka hanya meneriakimu. Kau tetap bisa bebas
bergerak!”
“Tapi, waktuku tak banyak. Langit mendung semakin berdatangan. Bagaimana?”
tanyaku gusar.
Kulihat mentari itu justru tersenyum. Bukan senyum, tapi tertawa sinis.
Mengejekku.
“Beginilah. Banyak orang berimpian besar. Tapi tidak banyak orang yang mau
benar-benar memperjuangkan impiannya itu menjadi benar-benar besar.”
Aku tergugu. Kata-kata yang membuatku membisu.
“Terserah kau, Kawan! Tapi... jika memang kau ingin menjadi orang besar,
kau juga harus berani melawan hambatan besar. Berani belajar mengatasi masalah
besar. Bukan terdiam, menyerah, dan merasa cukup begitu saja,” tambah mentari
lagi.
“Apa aku bisa?” tanyaku mencari dukungan. Seolah tak yakin dengan apa yang
kupunya.
Tapi mentari tak menjawab. Dia hanya memamerkan kembali senyuman sinisnya.
“Apa aku bisa?” tanyaku kesal, mengulang kata tanya yang sama.
“Masih ingat kisah seekor sapi yang iri pada burung layang-layang?” Mentari
itu balik bertanya.
“Kisah apa itu?”
“Dengarkan ini! Biar lagu ‘Donna-donna’ ini yang akan berbagi kisahnya
padamu,” sahut mentari, menumbuhkan rasa ingin tahuku.
***
On a weagon bound the market
There’s a calf with a
mournful eye
High above him there’s a
swallow
Winging swiftly through
the sky
How the winds are
laughing
They laugh with all they
might
Laugh and laugh the
whole day through
And half the summers
night
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don
“Stop complaining!” Said
the farmer
Who told you a calf to
be?
Why don’t you have wings
to fly with
Like the swallow so
proud and free?
Calves are easily bound
and slaughtered
Never knowing the reason
why
But whoever treasures
freedom
Like the swallow has
learned to fly
***
“Jadi?” tanyaku menggantung. Tetap tak tahu kemana arah pembicaraan ini.
Apa kaitannya dengan lagu itu?
“Jadi, stop complaining!
Berhentilah mengeluh. Jika kau ingin seperti burung layang-layang yang bebas,
kenapa harus suka menjadi seekor sapi. Kenapa tidak kau cari sayap itu?”
“Aku? Aku sendiri yang harus mencari?” sahutku balik bertanya.
“Iya. Karena kau yang punya mimpi itu. Karena... siapapun yang menginginkan
kebebasan, seperti burung layang-layang, mereka harus mau belajar terbang!”
Sudut bibirku menarik garis lengkung. Kata-kata itu, ternyata tidak
menyudutkanku. Tetapi justru menguatkanku.
‘Who told you a calf to
be?’ ... ‘Siapa yang menentukan kamu itu jadi anak sapi?’. Kupikir, tidak ada
yang menentukan kita ini siapa, kita akan menjadi apa. Hidup bukan sebuah
ketentuan. Melainkan hidup ini sebuah pencarian, perubahan, menuju ke arah yang
jauh lebih baik tentunya.
Walau kenyataan hidup tak selamanya terasa berpihak pada setiap pinta yang
kita gariskan, tapi bukan berarti usaha untuk mencapai impian itu terhenti
begitu saja. Karena, hidup ini bukan cuma sekedar menjalani apa yang
ditentukan. Hidup ini juga butuh keputusan, butuh pilihan, dan mau jadi orang
yang seperti apakah kita kelak?
“Baiklah.. akan kubuat lubang yang lebih besar lagi, amat besar lagi.
Supaya kilau tubuhmu benar-benar menyentuh bumi, Mentari,” janjiku akhirnya,
dengan mantap dan penuh kepercayaan.
Mentari hanya tersenyum. Tapi kali ini, tidak ada nada ejekan yang terasa
dari garis senyumnya. Senyum penyemangat untuk pagi hari penuh semangat ini.
Terima kasih!!
-.ooOoo.-
“Calves are easily bound and slaughtered. Never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom. Like the swallow has learned to fly.”
Kita tidak boleh menerima nasib buruk.
Kemudian, menganggapnya sebagai jalan hidup yang telah ditentukan bagi kita. Pasrah,
bahkan menerimanya sebagai sebuah kutukan. Dan, masa depan kita tetap pantas
berdiri.
Karena... kalau kita ingin hidup bebas,
kita harus belajar terbang.
Bukan begitu, Kawan?
#semoga_kalian_tetap_berSEMANGAT_hari_ini^^
By. Andari Hersoe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar