Selasa, 25 Februari 2014

Saat Hilang & Saat Melepaskan


"Tak mampu melepasnya, walau sudah tak ada
Hatimu tetap merasa masih memilikinya..
Rasa kehilangan hanya akan ada, 
jika kau pernah merasa memilikinya.
Pernahkah kau mengira kalau dia 'kan sirna,
walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa..
Rasa kehilangan hanya akan ada,
jika kau pernah merasa memilikinya."
*LETTO - MEMILIKI KEHILANGAN*


Nggak tau kenapa, akhir-akhir ini lagi suka banget dengerin lagu yang satu ini. Lagu yang mengingatkan antara posisi 'ada dan tiada'... saat dimana merasa memiliki dan merasa kehilangan. Kehilangan? Yah, tepat seperti yang kurasakan saat ini kurang-lebih.

Tulisan ini kubuat untuk mereka... tentang sederet sosok yang sempat singgah dan pergi dalam hidupku. Datang sekejap mata lalu berlalu begitu saja. Dimulai dari sosok terdekat yang mampu terjamah, hingga sosok yang begitu jauh dan tak pernah tersentuh sedetik pun. Hanya abadi dalam dunia tak kasat mataku. Tidak peduli jauh-dekat intensitas kedekatan ini, tapi yang pasti... perjumpaan dengan mereka membuatku menyadari satu hal yang tak akan pernah dapat dihindari. Hal itu adalah keberadaan dari konsep 'ketidakabadian'. 

Sekalipun begitu... rasanya tetap tak pantas jika ketidakabadian yang nyata adanya harus dipermasalahkan. Karena, pada dasarnya memang tak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Baik itu sesuatu yang sudah menjadi milik kita, pernah menjadi milik kita, atau sesuatu yang belum atau tak akan menjadi milik kita. Apapun itu.. entahlah.

*  *  *

Dear: Angin Musim Kemarau, Bulan September.

Ada rasa yang tidak mengenakkan di sini. Adonan kecemasan yang membuat perutku terasa diaduk-aduk tak beraturan. Semacam menuntut keberanian untuk memperjuangkan apa yang pernah kita percayai.
Satu yang pasti, aku tidak mau kehilanganmu.
“Ahh....” Aku mendesah untuk kesekian kalinya.
“Aku punya cerita. Mau denger?” tanyamu lirih. Aku menyambutnya dengan seringai aneh. Senyum yang dipaksakan. Dan tak ada anggukan.
Kau tak peduli. Tetap bersuara, “Di Tokyo sana, ada seorang detektif remaja. Dia terkenal banget. Hebatnya, dia bisa mecahin segala macem kasus kriminal. Tapi suatu saat, dia terpaksa ngilang. Dia rela berubah jadi anak kecil, nyembunyiin indentitas aslinya, sampai orang-orang terdekatnya aja nggak ada yang tau. Buat jaga keselamatannya, juga keselamatan cewek yang disayangi.”
“Sinichi Kudo?” tebakku.
Kamu tertawa pelan. Suara tawa yang kelak akan kurindukan.
“Yah, ketauan. Aku memang nggak pinter cerita, ya?”
Bagaimana mungkin aku tidak tahu. Kisah anime yang sangat kusuka. Detektif Conan. Dan, kamu tahu pasti itu. Setidaknya aku tahu, kamu berusaha menghiburku saat ini.
Kamu mendesah pelan. Tertular olehku. “Aku cuma mau, kamu bisa seperti Ran Mori.Always believe, although we are far from each other. Walau kita nggak selalu ada bersama.”
Termasuk menyimpan kenangan kita, kan? Ritual menikmati sepotong senja seperti saat ini. Diam-diam. Di atas balkon studio radio, setiap aku selesai siaran. Kapan lagi kita bisa menikmatinya?
Kamu tahu, Ang? Aku hanya berpura-pura kuat di sini.
“Bisa, kan, Ri?” tanyamu lagi, sekedar memastikan. Karena sedari tadi aku hanya membisu.
“Tapi Ran lebih beruntung, Ang. Dia cuma nggak tahu, kalau orang yang dicari-cari itu selalu ada di sampingnya. Walau ada di tubuh yang berbeda.”
Yeah,” balasmu. “Tapi, kita bisa kok belajar dari mereka.”
“Mungkin, tapi... butuh waktu. Aku ngerasa, pastinya nggak biasa kalau nggak ada kamu.”
Kamu menggangguk. “Aku juga.”
“Besok berangkat jam berapa?” tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jam sembilan. Pagi. Aku naik kereta aja ke Juanda-nya, Ri.”
“Aku antar, ya, ke stasiunnya. Boleh?” pintaku. Rasanya lebih melegakan jika bisa menatap wajahmu, sebelum kau benar-benar menghilang jauh.
“Boleh, tapi ada syaratnya,” balasmu dengan nada menggoda. Sama seperti perlakuan angin senja saat ini, menggoda nakal anak-anak rambut ikalmu. Membuatnya semakin terkesan berantakan.
Aku ragu sejenak. Lalu bersuara, “Apa?”
“Nggak boleh telat lagi,” jawabmu cepat.
“Telat lagi? Sembarangan! Sejak kapan aku jadi manusia telatan?” protesku. Terdengar melengking di telingaku sendiri.
Kau hanya memejamkan mata. Cuek. “Nggak nyadar. Dari dulu, tau!” godamu.
Aku menarik napas panjang. Menyebalkan sekali. Di saat seperti ini, masih saja ngajak bercanda nggak jelas. Dasar! Aku pun berdiri dan berjalan tegak meninggalkanmu yang masih terduduk. Bukan. Tapi, meninggalkanmu yang masih tertawa bangga.
“Hei, tunggu!” katamu di sela-sela tawa itu, dan berlari kecil menyusulku. “Mau kemana?” tanyamu sambil menangkap gerak lenganku.
Aku mematung. Mulutku mengerucut, sebal. “Menurutmu lucu?”
“Nggak,” sahutmu tegas. “Tapi, aku lebih suka lihat kamu cemberut... daripada lihat kamu nangis.”
Semilir angin pun membenarkan ucapanmu. Mereka berdesir lembut, menjatuhkan anak poni yang semula tertata rapi di balik daun telingaku.
Sejenak, nada suara kita mereda. Aku tahu, mungkin hanya ini yang bisa kita lakukan dalam sisa hari-hari terakhir sebelum keberangkatanmu ke Queensland. Negeri Kangguru itu hampir mencapai setengah lingkar bumi. Jarak yang membuatku mulai merasa cemas. Mungkinkah aku mampu menyerahkan hubungan ini di antara rentangan kilometer-kilometernya? 
  
* * *

Kutarik napas sedalam-dalamnya. Hingga memenuhi rongga paru-paruku. Habis, tak akan kubiarkan ada ruang hampa udara di dalamnya. Karena.. aku sudah ikhlas akan rasa kehilangan ini, Ang. Kehilangan akan sosokmu, saat Airbus A380 mulai memutuskan lepas landas. 
Tidak ada yang kusesali. Tidak ada yang kusalahkan. Sungguh, takdir bukan lah letak kambing hitam dari segala ketiadaan ini. Akan kuterima kepergianmu, sama halnya saat aku menerima kedatanganmu dulu dengan sebaris senyuman..
Selamat jalan, Ang! Tetaplah menjadi Angin yang bergerak bebas di udara sana. Udara.. singgasana kebebasan tanpa tapal batas, untukmu. Saat waktu itu telah berhenti berdetak.

Quotes From: #Believe_In_Distance by. AH'03


"Baiknya semua kenangan yang terindah tak kubalut dengan tangis.
Baiknya kulepaskan segala kepedihan 'tuk merelakanmu.."
*ADABAND - BAIKNYA*