Selasa, 28 Oktober 2014

Resensi Novel Rindu - Tere Liye: Peperangan Jiwa-Jiwa yang Merindukan Kelegaan

Quotes: Rindu - Tere Liye

"Kamu tidak pernah benar-benar merasa kalah, sampai kamu benar-benar berhenti mencoba."
Sepertinya kalimat jargon ini pantas untuk menggambarkan gumuruh kisah yang disajikan oleh Tere Liye dalam novel karya fiksi terbarunya. Rindu. Singkat judulnya. Tapi menarik rasa ingin tahu.
Membaca novel-novel karya Tere Liye cenderung mendidik kita menjadi seorang pribadi yang lebih realistisberpikir mengedepankan logika. Selalu terkandung pesan-pesan moral yang dirangkum dengan barisan kata manis. Mungkin, memang begini peraturan hukum ‘spontanitas’…. segala sesuatu yang ditulis dengan hati, secara spontan akan menumbuhkan sensitifitas di hati pula. Seperti novel Rindu iniyang lagi-lagi ditulis dengan ‘hati’.
Novel ini ditulis dengan setting Indonesia di tahun 1938, saat bagde Negara Hindia Belanda masih melekat. Saat itu memang Indonesia belum merdeka, tapi kalian salah besar kalau berpikir kisah di dalam novel ini sepenuhnya menceritakan keadaan peperangan di medan pertempuran. Justru kisah yang terangkum di dalamnya menggambarkan sosok-sosok yang belajar berdamai dengan status negeri jajahan. Tepatnya, kisah ini menggambarkan tentang perjalanan panjang para calon jamaah haji selama sembilan bulan dari Pelabuhan Makasar hingga ke Jazirah Arab di balik kegagahan BLITAR HOLLANDkapal uap terbesar milik pemerintahan Belanda di zaman itu.
Membaca buku ini membawa kita pada perspektif yang berbeda terhadap pemerintahan kolonial Belanda,  seperti kutipan salah satu kalimat dialog di bawah ini.
Dan larang bicara tentang kemerdekaan. Omong kosong. Sergeant itu sendiri tahu persis ada banyak orang Belanda yang tidak setuju dengan penjajahan oleh kerajaan kami. Ada banyak bangsawan dan kelompok terdidik yang mengirimkan petisi untuk mengakhiri kolonisasi. Penjajahan tidak pernah jadi kepentingan rakyat Belanda, melainkan kedok bagi kelompok elit memperkaya hidup mereka.” (Rindu, hal. 98)
Jadi, wajar saja jika di dalam novel ini kalian akan bertemu dengan kosakata-kosakata berbau Belanda. Bahasa Asing. Akan sangat mengganggu pemahaman terhadap jalannya isi cerita jika kita tak mengerti apa maknanya. Apalagi sama sekali tidak ditemukan footnote di novel ini. Kok bisa? Tenang, kalian tak perlu khawatir. Sekalipun Tere Liye tidak menyuguhkan terjemahan bahasa-bahasa asingnya ke dalam footnote ataupun glosarium, tapi Tere Liye berhasil menggiring pembaca untuk berpikir cerdas. Mengajak pembaca pada penafsiran mandiri dengan kalimat deskriptif dalam narasi maupun dialog yang ditulisnya. Manis. Dan, tidak menggurui.
Sebelum mengulik lebih dalam isi dari novel ini, ada dua hal kebetulan yang menumbuhkan tanda tanya. Entah kebetulan belaka, entah disengaja. Hal pertama, nama tokoh anak-anak yang berperan menghangatkan suasana selama perjalanan dengan sekeranjang kelucuan dan keluguan keduanya yang menggemaskan. Tokoh kakak-beradik ini memiliki nama yang sama dengan tokoh utama di kisah Frozen Movie… Anna dan Elsa.  Kebetulan, kan? Atau, memang terinspirasi dengan Frozen? Entahlah (senyum dikulum). Selanjutnya hal kedua yang cukup menarik, menurut kacamata ini ada kesamaan antara tokoh Ambo Uleng dengan tokoh di kisah lama yang pernah ditulis dalam novel Tere Liye sebelumnya. Tokoh yang menyerupai ‘bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas’. Membaca kisah Ambo Uleng seperti menarik kenangan akan sosok Abang Borno. Misterius dan penuh kejutan. Kebetulan juga, kah? Bisa jadi, kacamata pembaca ini yang keliru.
Tapi terlepas dari itu semua, seorang pemuda memang harus seperti itu. Penuh semangat dan selalu berpikir ke depan. Untuk maju dan terus maju. Bandingkan dengan zaman sekarang, miris sekali membayangkan jika semakin menjamur pemuda-pemudi yang justru merasa tenang menghabiskan hari-hari mereka dalam kegalauan. Kosong. Teramat sayang, masa muda tak akan terulang lagi. Dan waktu terlalu berharga dihabiskan dalam masa-masa tak berguna.
Baiklah, kembali ke dalam kisah dalam novel Rindu ini.
Ada lima tokoh yang memiliki peran sentral dalam kisah ini. Mereka adalah Daeng Andipati, Gurutta Ahmad Karaeng, Bonda Upe, Ambo Uleng, dan pasangan sepuh Mbah Kakung atau Mbah Putri dari Semarang. Bisa dibilang, kisah ini hasil rangkuman dari jawaban-jawaban atas pertanyaan kelima tokoh tersebut. Pertanyaan tentang penilaian masa lalu, tentang batas antara kebencian dan kebahagiaan, tentang kehilangan cinta sejati, tentang takdir dan jodoh, dan terakhir tentang kemunafikan hati. Deretan pertanyaan yang akan dijawab demi menumbuhkan kelegaan, tentu saja dengan mengedepankan logika khas Tere Liye.
Dari kelima tokoh di atas, kisah Ambo UlengPemuda yang bersinar bagai rembulanmenurut kacamata pembaca ini terasa paling menarik untuk dikulik mendalam. Seorang pesakitan hati yang berusaha mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Dengan melepaskan, sekaligus mengikhlaskan apa-apa yang telah berada di garis ketentuanNya. Sesuatu yang tidak pantas dilawan kan? Karena, begitulah misteri dari takdir.
“Apakah cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan suka-cita. ……… Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.” (Rindu, hal. 492)
Terkadang kita berpikir indah sekali kisah-kisah yang disajikan oleh para penulistermasuk Tere Liye dengan ‘Rindu’-nya ini. Seperti kisah negeri dongeng yang happy ending. Tiba-tiba terjadi secara kebetulan, seperti bermimipi, seperti tidak mungkin. Tapi sebagai pembaca yang cerdas ada baiknya janganlah buru-buru mengkritik. Protes, atau mencela dengan bentuk apapun. Tetap ada poin penting yang harus digali. Kun faya kun. Selama Allah berkehendak pasti akan terjadi. Dan selama ada usaha, bukan berarti tidak mungkin terjadi. Semangat optimisme (mungkin) itu yang perlu digali.
Layaknya semangat optimisme untuk bangsa ini. Bangsa yang sudah terlalu lama terlena dalam posisi kemerdekaan. Bangsa yang baru saja memiliki figur pemimpin negeri baru. Fresh from the oven. Setidaknya, poin kemerdekaan yang berusaha untuk diangkat ke permukaan dalam buku ini, semoga dapat menginspirasi kita semua. Sebagai warga bangsa yang berbudaya, sebagai generasi yang bertanggung jawab akan masa depan bangsanya, dan sebagai pemimpi yang konsisten antara impian dan usahanya. Cenderung lebih banyak berpikir, daripada berbangga meratapi ketidakmungkinan.
Akh… sudahlah. Cuap-cuap panjang lebar ini sepertinya harus diakhiri. Kalau kalian penasaran kisah pastinya, silahkan saja membaca sendiri. Begitulah. Dan, tak akan pernah rugi.

IDENTITAS BUKU
Judul buku  : Rindu
Penulis  : Tere Liye
Editor  :  Andriyati
Penerbit  : Republika Penerbit
Cetakan dan tahun terbit  : Cetakan kesatu, Oktober 2014
ISBN  :  978-602-8997-90-4

Tebal buku  : ii dan 544 halaman

Cover Rindu - Tere Liye

>>END<< By, Andari Hersoe

5 komentar:

  1. Settingan ceritanya jadul donk ?
    Jaman penjajahan githu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya.. ceritanya di tahun 1938. Indonesia aja belum merdeka tahun itu. Tapi...asyik kok ceritanya ^^

      Hapus
  2. kmren sempet baca sinopsisnya di gramed, cerita tentang kehilangan juga ya..?!

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebagian memang ada yang kisahnya tentang 'kehilangan' dan 'melepaskan'... biar bisa #moveon =D
      tapi.... selaen kisah cinta macem gini juga ada kisah laennya juga. liat aja sinopsisnya, udah kerasa menarik kan? ^^

      Hapus
  3. weh aq kirain isix crita org yg lg kangen ama sapa gt ,macem lg ldr-an gt , , ,

    BalasHapus