Kamis, 15 November 2018

SEJAGO-JAGONYA AYAM, HATINYA BELUM TENTU JAGO


souce pict.: Tribunnews.com

Apa itu perpisahan?
Hidup ini terkadang tidak pernah bisa sepenuhnya menjauh dari konsep itu. Pisah. Berpisah. Menjauh. Kadang ada duka di antaranya. Tapi katanya, belum tentu tak ada suka juga saat mengalaminya. Benarkah?
Entahlah. Karena bagiku perpisahan itu teramat berat. Mungkin hal ini yang mendorongku tak ingin sedetik pun menjauh dari sosok gadis yang saat ini duduk di sampingku. Meski mungkin, kami lebih banyak terdiam daripada mengobrol intens bersama.
Larasati namanya, orang lain biasa memanggilnya Laras. Tapi aku lebih suka memanggilnya Ati. Ati-ku, penghuni hatiku. Kurang-lebih seperti itu.
 Aku lebih suka mendengar Ati berbicara. Melihat bibirnya dengan ringan terbuka, menyuarakan repetisi kegundahannya dari sosok pria lain. Pendengar ulung, mungkin begitu posisiku di matanya.
Sayangnya, senja ini berbeda. Ati lebih banyak membisu sejak 3 x 24 jam yang lalu. Muram menghiasi wajah ayunya, dengan tatapan kosong entah diarahkan ke mana. Dan sialnya, aku hanya bisa membalas dengan kebisuan yang sama. Tidak berani bertanya. Akh… andaikan aku memiliki lelucon yang mampu menghiburnya.
“Huuh….” Ati tiba-tiba menghela napas, terasa berat. Entah lega, entah takut. Atau, mungkin dia mulai bosan dengan kebisuanku.
Aku sendiri tak meyakini keputusan ini benar sekarang, duduk berdekatan dengan Ati di kursi taman kota seperti ini. Tapi, aku tak punya pilihan lain. Rasanya aku tak akan pernah tega menolak permintaannya. Hampir selalu Ati yang memintaku lebih dulu untuk menemaninya.
 “Sudah lama?” Sebuah kata tanya menghentikan pengembaraan pikiranku. Kuputar leherku spontan, mencari arah suara. Dan, sosok Ego kini menjulang di hadapanku. “Maaf, Laras,” ucap Ego lagi, tapi jelas tak ditujukan padaku. Aku sadar diri kok, karena Ego memang tak pernah benar-benar menganggapku ada. Semacam antipati padaku.
“Nggak apa-apa,” balas Ati datar. Tanpa pemberontakan.
“Aku telat tadi soalnya masih nganter istrinya bos ke….,” ucap Ego terputus, matanya mendadak terpicing saat menemukanku duduk manis di samping Ati. “Kamu kenapa bawa dia, Laras?”
Nah, kubilang juga apa. Ego selalu antipati akan keberadaanku. Meski begitu, aku mencoba tersenyum. Walau tidak tahu tampak seperti apa bentuk mulutku di matanya kini. Terkesan takut? Atau, marah?
“Aku sengaja mengajaknya,” balas Ati santai.
“Iya, tapi kenapa, Ras? Katanya kamu ingin bertemu karena mau menyelesaikan masalah kita. Dan, sumber masalah kita itu dia, Ras!” berondong Ego, sambil menunjuk tajam ke arahku saat mengucapkan kata ‘dia’.
Akh.. ini orang. Ingin kubantah mati-matian dia, kalau bisa.
“Duduklah dulu, Go. Aku akan menjelaskan semuanya,” pinta Ati lembut.
Mau tidak mau Ego menurutinya. Dia mengambil posisi duduk sejauh mungkin dariku. Mungkin aku terlalu menjijikkan di matanya.
“Sudah berapa ratus kali aku bilang, aku nggak suka kebiasaanmu yang selalu membawa dia kemana-mana,” terang Ego jutek. “Kamu itu cewek, Ras. Anggun, cantik. Tapi kalau kamu sudah ada di sampingnya, derajat kecantikanmu itu bisa berkurang 360, Ras. Heran, nggak sadar-sadar jadi cewek,” gerutu Ego tanpa filter. Tidak memperhatikan perubahan raut muka Ati saat menyuarakan protes itu.
“Tapi, dia amanat, Go. Sebelum pergi, Bapak menitipkan dia padaku. Kamu tahu, kan? Kamu ada di sana kan, waktu Bapak bilang begitu?”
“Cuma, nggak perlu dibawa kemana-mana kan, Ras? Tinggal saja dia di rumah, sudah beres,” protes Ego lagi.
“Aku nggak tega. Bagiku, dia sama berharganya dengan Almarhum Bapak. Banyak kenangan kami bersama. Aku, Bapak, dan dia.”
Ego menggeleng-gelengkan kepalanya, “ini nggak bener, sumpah.” Ego pun beranjak dari duduknya. “Kamu sakit ya, Ras. Dia itu ayam. Cuma AYAM JAGOOO!” pekik Ego lantang. Beberapa pasang mata di taman mulai memperhatikan kami, mendorong Ego mengurangi volume suaranya. “Oke, aku nyerah. Mulai sekarang, kamu jalani saja hidupmu dan ayammu itu.”
Ati mendongakkan kepala, menatap Ego sejurus. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak.
“Bagiku, urusan antara kita sudah selesai, Ras. Selesai semuanya!” Ego melangkah menjauh dengan cepat.
Perpisahan macam apa itu? Batinku berontak.
Aku sendiri tak tahu harus bereaksi apa. Dan, hanya menurut saat tangan rapuh Ati meraih tubuhku, mendudukkanku di atas pangkuannya. Tidak ada isak. Hanya saja, tatapan kosong itu lagi-lagi kutemui di antara pendar bola matanya. Atiku, pemilik hatiku yang malang. Maafkanku yang tidak bisa memberikan bantuan apa-apa untukmu saat ini.
Karena ternyata, aku Si Ayam Jago terbukti tidak terlalu jago urusan hati. [*END]


*Dedicated to: #OneWeekOnePost_Challenge (Theme: “Ayam Jago”)

Senin, 22 Oktober 2018

KETIKA ALIBI TAK LAGI BERARTI


Tiara terbangun paksa dari mimpinya. Napasnya tersengal, satu-satu. Mimpi apa itu tadi? gumamnya tanpa henti.
Mimpi ini sudah berulang kali terjadi. Semenjak... semenjak apa ya? Tiara mencoba mengingat-ingat kali pertama mimpi itu datang. Tiba-tiba matanya melirik tajam ke arah ponsel hitam yang masih membatu di pinggiran kasurnya.
Apa semenjak ada ponsel itu? tanya batinnya penasaran.
***
“Hoamm.” Tiara menguap, kesekian kalinya. Mimpi aneh semalam benar-benar menguras jam tidurnya. Padahal hari ini awal dimulainya kelas untuk tahun ajaran baru. Tapi, rasa kantuk ini membuat matanya tak bisa terbuka sempurna.
Semua ini karena ponsel baru sialan itu. Sehabis mimpi buruk semalam. Tiara benar-benar tidak bisa memejamkan matanya kembali. Bahkan kini, suara Ibu Else yang menjelaskan skema Teori Evolusi Darwin di depan kelas serasa dongeng pengantar tidur. Berulang kali kepala Tiara hampir terjatuh, kemudian dipaksa tegak kembali. Terjaga lagi. Hingga suara bel istirahat yang meraung-raung menjadi penyelamatnya.
“Kamu kenapa? Aneh gitu?” Sebuah suara memaksa Tiara menegakkan tubuhnya yang hampir roboh di atas meja.
“Aneh apanya?” sahut Tiara ogah-ogahan, balas bertanya.
“Kamu habis ngapain, sih?”
“Apaan, sih? Aku ini nggak ngapa-ngapain. Cuma ngantuk,” balas Tiara galak, merasa kenyamanannya terusik.
“Bukan begitu maksudku. Ada sesuatu sama kamu.”
“Sesuatu apa? Sok tau.”
Alto mengela napas berat. Memang cewek itu makhluk paling ribet, susah dihadapi, batinnya.
“Aku mau jelasin sesuatu. Tapi... kamu janji, jangan kaget ya!”
Tiara mengernyitkan dahinya. Permintaan yang aneh. Tapi, toh dia mengangguk juga. Sedikit penasaran, bela batinnya.
“Kamu diikuti bangsa Astral sekarang,” ucap Alto tegas.
“Astral? Merek onderdil motor?” tanya Tiara. Cuek.
Pletak!! Alto menjitak pelan kepala cewek di hadapannya itu. “Beda tahu. Astral itu bangsa... Halah, paling juga kamu nggak percaya.”
“Bangsa apa?” tanya Tiara penasaran. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak.
“Begini saja... terserah sih kamu mau percaya atau nggak. Tapi, ada sosok makhluk gelap yang besar, tinggi, mukanya rata. Dan, makhluk ini... ada di sampingmu sekarang!” ucap Alto, sambil memberi penakan intonasi saat mengucapkan kata ‘di sampingmu’.
Tiara membisu. Melotot. Terkejut mendengarnya.
“Makanya, tadi aku tanya... kamu habis ngapain?”
“Kamu... kok, bisa... ngeliatnya?” terbata-bata Tiara menyelesaikan kalimat tanyanya. Ketakutan. Bahkan sekedar melirik ke kanan-kiri pun tak berani.
“Bawaan dari lahir kali. Sudah biasa,” sahut Alto santai.
“Terus, aku harus gimana, Al?”
“Kamu percaya?”
“Kayaknya makhluk yang kamu maksud itu sama dengan makhluk yang sering datang ke mimpi aku,” terang Tiara, lemas.
“Ooh.. jadi dia menyerangmu lewat mimpi. Pantas, cuma ngikutin doang.”
Refleks Tiara mengangguk-anggukan kepalanya. Padahal hatinya makin keruh dengan tanda tanya.
“Kira-kira, kenapa dia mengikutimu, ya?” tanya Alto penasaran.
“Kenapa nggak kamu sendiri aja yang tanya? Kan kamu bisa liat dia juga.”
“Nggak bisa. Soalnya, kamu yang punya perantara itu.”
“Perantara apa?”
“Sesuatu. Aku sendiri juga nggak tahu apa itu. Yang jelas, sesuatu itu yang menghubungkanmu dengan dia,” jawab Alto. Dia pun tampak berpikir keras.  
“Mungkin aku tahu, Al. Sesuatu itu... mungkin berasal dari sini.” Perlahan Tiara mengangsurkan ponsel hitam hasil temuannya minggu lalu itu.
Alto tak membalas. Dia terdiam, hanya mengamati ponsel itu sejenak, lalu bertanya, “Kenapa kamu ngerasa sesuatu itu berasal dari ponsel ini?”
“Seinget aku, semenjak punya ponsel ini aku selalu mimpi buruk melulu.”
“Alibi kamu sesederhana itu tapi kenapa pemikiranmu jauh nyambungnya, ya?”
“Eh, maksud kamu?” Tiara balik bertanya.
“Iya, kamu tahu, sadar, punya alasan kuat kalau ponsel ini sumber perubahan kamu. Tapi kenapa kamu justru acuh, nggak bertindak apa-apa.”
“Ya, karena aku punya alasan.”
“Alasan?”
“Iya, alasan. Alibi lain yang membuat aku jadi sayang buat melepas ponsel ini.”
“Kenapa?”
“Karena aku butuh, Al. Jujur, sayang banget. Aku butuh ponsel supaya bisa mudah berkomunikasi dengan teman-temannya. Masa iya di saat dunia sekelilingku dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk meraba-raba layar ponselnya, tapi aku… cuma bisa meraba udara kosong.”
Alto menghela napas mendengarkan penjelasan sahabat baiknya. Sekaligu sosok wanita yang diam-diam dikagumi.
“Terus, kalau ponsel itu dikembalikan... jadinya gimana? Aku harus berkomunikasi pakai apa? Karena aku butuh, makanya aku bertahan, Al.”
Lagi-lagi Alto tetap membisu, tidak menganggapi penjelasan Tiara. Dia pun kemudian meraih ponsel di hadapannya dengan sangat hati-hati. Namun, saat tangan itu bersentuhan, tubuh Alto gemetar. Berguncangan hebat. Layaknya bertemu sumber energi listrik bertegangan tinggi. Telapak tangannya terasa terbakar, panas. Seperti ada titik api yang mengalir melalui celah nadi dan darahnya.
Pekik Tiara tertahan. Wajah cowok berseragam abu-abu di hadapannya kini tampak memucat biru. Ada apa? Kenapa? Kata tanya itu bergantian menghampiri benaknya.
Kletak!! Ponsel itu pun terjatuh di atas meja. Telepas dari genggaman Alto. Gumpalan darah segar tampak mengalir keluar dari lubang hidungnya.
“Al, kamu mimisan.” Buru-buru Tiara mencari tissue dari dalam tas dan mengusapkannya di atas bibir Alto. Menahan laju darah kental itu.“Kenapa?”
“Kamu harus mengembalikan ponsel itu kalau mau selamat. Di mana kamu menemukannya?”
“Aku... Eh, kamu kok bisa tau kalau aku nemu ponsel ini? Perasaan aku belum cerita apa-apa.”
“Di mana kamu menemukannya?” tanya Alto mengulangi pertanyaannya.
“Di jalan, mau ke taman belakang sekolah kita.”
“Nanti siang sepulang sekolah kita kembalikan ponsel itu ke tempat semula. Harus segera dikembalikan!” putus Alto, tanpa menunggu persetujuan Tiara.
“Tapi Al….”
“Nggak bisa, Ra. Aku nggak mau mendengar alibi apapun darimu. Must it! Kecuali kalau kamu mau nyawamu terancam someday,” tegas Alto.
“Sebenarnya ada apa, sih, dengan ponsel ini, Al?”
“Kamu yakin mau mendengarkan alasannya? Nggak takut?”
“Ya takut, sih. Tapi kan penasaran, Al,” bela Tiara sambil memasang senyum termanisnya.
“Ra, nggak semua masalah di dunia ini bisa disampaikan dengan bebas ke permukaan umum. Begitu juga, nggak semua tindakan dilakukan harus karena ada alasan. Seperti halnya, aku menyayangimu selama ini. Tanpa alasan, tanpa alibi, tanpa karena.”
Mata Tiara terbelalak. Kenapa topik pembicaraannya jadi berubah?
Alto menyentuh jemari Tiara, tiba-tiba. Lalu menangkupkannya di balik kedua telapak tangan. “Aku sayang sama kamu, Ra. Karena itu, aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa. Atau… kalau kamu memaksa penasaran, biar nanti malam penghuni asli ponsel ini menjelaskan alibinya langsung ke kamu. Siap-siap saja, kurang lebih penampakannya sama dengan sosok yang sering datang berkunjung ke mimpimu.”
“Alto nakutin, iiih….” Reflek Tiara melepaskan genggaman tangan Alto.
“Jujur ini, Ra. Sudah, deh, tahu alasan dari makhluk itu pun nggak akan menyelesaikan masalahmu. Dia akan tetep mengikutimu selama  ponsel ini ada sama kamu, Ra."
 Tiara hanya terdiam. Mencoba mencerna penjelasan Alto. “Ra, lain kali... hati-hati sama barang yang ketemu di jalan. Kalau itu bukan punya kamu, jangan diambil, ya. Bahaya,” tambah Alto lagi. "Cukup ambil hatiku saja. Selalu siap untukmu, kok." Kali ini ada senyum yang menghiasi wajahnya. "Nanti kuantar mengembalikan ponsel ini, ya. Sekalian, kutunggu jawabanmu dari pengakuanku tadi."
Suara bel masuk telah bergema. Memaksa mereka untuk menghentikan perbincangan itu. Tiara pun hanya menjawab permintaan Alto dengan anggukan pelan. Pasrah. Entah anggukan untuk permintaan yang mana. Dia tak peduli. Karena alibi kini sudah tak berarti lagi. [END_#OWOP]


Senin, 15 Oktober 2018

JENDELA: PEMBATAS MENUJU MASA DEPAN


 
souce: wallhere.com

Tak mau berhenti. Aku benar-benar tak bisa mengabaikannya. Selayaknya anak kecil yang menemukan permainan baru. Menarik. Menantang. Dan ingin terulang, tanpa keraguan. 
Srekk.. srekk!!
"Hei, lihat orang itu!"
"Hei... kau gila, ya?"
Suara bernada-nada protes itu masih saja berdengung di telingaku. Tapi, tak ada yang perlu kuperdulikan. Biarkan saja, toh mereka tidak akan pernah mengerti. Karena, inilah kehendakku.
Srekk.. srekk!!
Masih dengan gerakan yang sama. Perlahan tapi pasti, kugoreskan mata belati pada tiap sudut jendela kayu yang catnya mulai mengelupas. Aku hanya ingin membuat jendela ini sedikit berlubang. Menciptakan secuil celah di badannya, membiarkan kilau cahaya Mentari yang menyapa ruang pengap ini. Entah sudah pagi keberapa ruangan ini masih bertahan dalam kepengapan. Suram. Tanpa cahaya. Terhalang oleh jendela kayu yang tak berkaca. 
Aku tahu pekerjaan ini akan memakan waktu lama. Dan, akan ada banyak orang di lantai bawah sana yang mulai menyadari keberadaanku. Karenanya, wajar suara bernada protes serupa semakin mengudara. Tapi ini perlu, sungguh. 
Lihatlah! Jauh di sudut ruangan sana, ribuan wajah anak balita mulai memucat. Mereka butuh kilau Mentari, sumber vitamin untuk tumbuh dan membesar. Para pekerja pun mulai mengeluh. Mereka rindu sinar Mentari, berperang dengan terik dan menikmati peluh yang jatuh satu per satu. Begitulah kiranya penghargaan dari sebuah kerja keras. Dan, lihatlah... semakin dalam basah yang tergenang tanpa ada harapan bantuan untuk cepat mengering. Basah yang bisa berubah menjadi banjir sewaktu-waktu.
Karena itu, aku ada di sini. Sepagian tadi. Berdiri di atas tangga penyangga, menghadap jendela teratas yang menempel erat di langit-langit ruangan. Menyentuh lalu melubanginya. Sampai detik ini.
Kuintip sedikit celah di tepi sudut jendela yang telah lahir tercipta. Kupicingkan mata kananku, agar fokus bayangan itu dapat tertangkap. Ya, ada segurat senyum di luar sana. Senyum Mentari yang menyapa hangat. Aku tidak salah lihat, kan? Dia benar-benar tersenyum, Mentari itu, kepadaku.
“Buatlah lubang yang lebih besar, Kawan!” Tiba-tiba Mentari itu pun bersuara. “Kalau hanya sekecil itu lubangmu, sinar tubuhku tidak bisa menyebar ke tiap sudut ruangan,” tambahnya lagi.
“Tapi... bisa kau lihat, orang-orang di bawah sana. Mereka membuat gerakku tak bebas,” sahutku.
“Mereka tidak menahanmu, mereka hanya meneriakimu. Kau tetap bisa bebas bergerak!”
“Tapi, waktuku tak banyak. Kakiku rasanya hampir keram berdiri di tangga ini. Bagaimana?” tanyaku gusar.
Kulihat Mentari itu justru tersenyum. Bukan senyum, tapi tertawa sinis. Mengejekku.
“Beginilah. Banyak orang berimpian besar. Tapi tidak banyak orang yang mau benar-benar memperjuangkan impiannya itu menjadi benar-benar besar.”
Aku tergugu. Kata-kata yang membuatku membisu.
“Terserah kau, Kawan! Tapi... jika memang kau ingin menjadi orang besar, kau juga harus berani melawan hambatan besar. Berani belajar mengatasi masalah besar. Bukan terdiam, menyerah, dan merasa cukup begitu saja,” tambah Mentari lagi.
“Apa aku bisa?” tanyaku mencari dukungan. Seolah tak yakin dengan apa yang kupunya.
Tapi Mentari tak menjawab. Dia hanya memamerkan kembali senyuman sinisnya.
“Apa aku bisa?” tanyaku kesal, mengulang kata tanya yang sama.
Mentari itu balik bertanya, “Masih ingat kisah seekor sapi yang iri pada burung layang-layang?” 
“Kisah apa itu?”
“Dengarkan ini! Biar lagu ‘Donna-donna’ ini yang akan berbagi kisahnya padamu,” sahut Mentari, menumbuhkan rasa ingin tahuku.
***
On a weagon bound the market
There’s a calf with a mournful eye
High above him there’s a swallow
Winging swiftly through the sky

How the winds are laughing
They laugh with all they might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summers night

Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don

“Stop complaining!” Said the farmer
Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free?

Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow has learned to fly
***
“Jadi?” tanyaku menggantung. Tetap tak tahu kemana arah pembicaraan ini. Apa kaitannya dengan lagu itu?
“Jadi, stop complaining! Berhentilah mengeluh. Jika kau ingin seperti burung layang-layang yang bebas, kenapa harus suka menjadi seekor sapi. Kenapa tidak kau cari sayap itu?”
“Aku? Aku sendiri yang harus mencari?” sahutku balik bertanya.
“Iya. Karena kau yang punya mimpi itu. Karena... siapapun yang menginginkan kebebasan, seperti burung layang-layang, mereka harus mau belajar terbang!”
Sudut bibirku menarik garis lengkung. Kata-kata itu, ternyata tidak menyudutkanku. Tetapi justru menguatkanku.
‘Who told you a calf to be?’ ...
‘Siapa yang menentukan kamu 'tuk jadi anak sapi?’
Kupikir, tidak ada yang menentukan kita ini siapa, kita akan menjadi apa. Hidup bukan sebuah ketentuan. Melainkan hidup ini sebuah pencarian, perubahan, menuju ke arah yang jauh lebih baik tentunya. 
Walau kenyataan hidup tak selamanya terasa berpihak pada setiap pinta yang kita gariskan, tapi bukan berarti usaha untuk mencapai impian itu terhenti begitu saja.
Karena, hidup ini bukan cuma sekedar menjalani apa yang ditentukan. Hidup ini juga butuh keputusan, butuh pilihan, dan mau jadi orang yang seperti apakah kita kelak?
“Baiklah.. akan kubuat lubang yang lebih besar lagi, amat besar lagi. Supaya kilau tubuhmu benar-benar menerangi ruangan ini, Mentari,” janjiku akhirnya, dengan mantap dan penuh kepercayaan.
Mentari hanya tersenyum. Tapi kali ini, tidak ada nada ejekan yang terasa dari garis senyumnya. Senyum penyemangat untuk pagi hari penuh semangat ini. Terima kasih!!
***
“Calves are easily bound and slaughtered. Never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom. Like the swallow has learned to fly. (Quotes: SoeHokGie)" 
Kita tidak boleh menerima nasib buruk. Kemudian, menganggapnya sebagai jalan hidup yang telah ditentukan bagi kita. Pasrah, bahkan menerimanya sebagai sebuah kutukan. Dan, masa depan kita tetap pantas berdiri.
Karena... kalau kita ingin hidup bebas, kita harus belajar terbang.
Bukan begitu, Kawan?
Selamat berjuang membuka jendela hidup kalian, Kawan… pembatas menuju masa depan!

#OneWeekOnePost(OWOP)