souce pict.: Tribunnews.com
Apa itu perpisahan?
Hidup ini terkadang tidak pernah bisa
sepenuhnya menjauh dari konsep itu. Pisah. Berpisah. Menjauh. Kadang ada duka
di antaranya. Tapi katanya, belum tentu tak ada suka juga saat mengalaminya.
Benarkah?
Entahlah. Karena bagiku perpisahan itu
teramat berat. Mungkin hal ini yang mendorongku tak ingin sedetik pun menjauh
dari sosok gadis yang saat ini duduk di sampingku. Meski mungkin, kami lebih
banyak terdiam daripada mengobrol intens bersama.
Larasati namanya, orang lain biasa
memanggilnya Laras. Tapi aku lebih suka memanggilnya Ati. Ati-ku, penghuni
hatiku. Kurang-lebih seperti itu.
Aku lebih suka mendengar Ati berbicara. Melihat
bibirnya dengan ringan terbuka, menyuarakan repetisi kegundahannya dari sosok
pria lain. Pendengar ulung, mungkin begitu posisiku di matanya.
Sayangnya, senja ini berbeda. Ati
lebih banyak membisu sejak 3 x 24 jam yang lalu. Muram menghiasi wajah ayunya, dengan
tatapan kosong entah diarahkan ke mana. Dan sialnya, aku hanya bisa membalas
dengan kebisuan yang sama. Tidak berani bertanya. Akh… andaikan aku memiliki
lelucon yang mampu menghiburnya.
“Huuh….” Ati tiba-tiba menghela napas,
terasa berat. Entah lega, entah takut. Atau, mungkin dia mulai bosan dengan
kebisuanku.
Aku sendiri tak meyakini keputusan ini
benar sekarang, duduk berdekatan dengan Ati di kursi taman kota seperti ini.
Tapi, aku tak punya pilihan lain. Rasanya aku tak akan pernah tega menolak
permintaannya. Hampir selalu Ati yang memintaku lebih dulu untuk menemaninya.
“Sudah lama?” Sebuah kata tanya menghentikan
pengembaraan pikiranku. Kuputar leherku spontan, mencari arah suara. Dan, sosok
Ego kini menjulang di hadapanku. “Maaf, Laras,” ucap Ego lagi, tapi jelas tak ditujukan
padaku. Aku sadar diri kok, karena Ego memang tak pernah benar-benar
menganggapku ada. Semacam antipati padaku.
“Nggak apa-apa,” balas Ati datar.
Tanpa pemberontakan.
“Aku telat tadi soalnya masih nganter
istrinya bos ke….,” ucap Ego terputus, matanya mendadak terpicing saat
menemukanku duduk manis di samping Ati. “Kamu kenapa bawa dia, Laras?”
Nah, kubilang juga apa. Ego selalu
antipati akan keberadaanku. Meski begitu, aku mencoba tersenyum. Walau tidak
tahu tampak seperti apa bentuk mulutku di matanya kini. Terkesan takut? Atau,
marah?
“Aku sengaja mengajaknya,” balas Ati
santai.
“Iya, tapi kenapa, Ras? Katanya kamu
ingin bertemu karena mau menyelesaikan masalah kita. Dan, sumber masalah kita
itu dia, Ras!” berondong Ego, sambil menunjuk tajam ke arahku saat mengucapkan
kata ‘dia’.
Akh..
ini orang. Ingin kubantah mati-matian dia, kalau bisa.
“Duduklah dulu, Go. Aku akan
menjelaskan semuanya,” pinta Ati lembut.
Mau tidak mau Ego menurutinya. Dia
mengambil posisi duduk sejauh mungkin dariku. Mungkin aku terlalu menjijikkan di matanya.
“Sudah berapa ratus kali aku bilang,
aku nggak suka kebiasaanmu yang selalu membawa dia kemana-mana,” terang Ego
jutek. “Kamu itu cewek, Ras. Anggun, cantik. Tapi kalau kamu sudah ada di
sampingnya, derajat kecantikanmu itu bisa berkurang 360, Ras. Heran, nggak
sadar-sadar jadi cewek,” gerutu Ego tanpa filter. Tidak memperhatikan perubahan
raut muka Ati saat menyuarakan protes itu.
“Tapi, dia amanat, Go. Sebelum pergi, Bapak
menitipkan dia padaku. Kamu tahu, kan? Kamu ada di sana kan, waktu Bapak
bilang begitu?”
“Cuma, nggak perlu dibawa kemana-mana
kan, Ras? Tinggal saja dia di rumah, sudah beres,” protes Ego lagi.
“Aku nggak tega. Bagiku, dia sama
berharganya dengan Almarhum Bapak. Banyak kenangan kami bersama. Aku, Bapak,
dan dia.”
Ego menggeleng-gelengkan kepalanya, “ini
nggak bener, sumpah.” Ego pun beranjak dari duduknya. “Kamu sakit ya, Ras. Dia
itu ayam. Cuma AYAM JAGOOO!” pekik Ego lantang. Beberapa pasang mata di taman
mulai memperhatikan kami, mendorong Ego mengurangi volume suaranya. “Oke, aku
nyerah. Mulai sekarang, kamu jalani saja hidupmu dan ayammu itu.”
Ati mendongakkan kepala, menatap Ego
sejurus. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak.
“Bagiku, urusan antara kita sudah
selesai, Ras. Selesai semuanya!” Ego melangkah menjauh dengan cepat.
Perpisahan macam apa itu? Batinku berontak.
Aku sendiri tak tahu harus bereaksi
apa. Dan, hanya menurut saat tangan rapuh Ati meraih tubuhku, mendudukkanku di
atas pangkuannya. Tidak ada isak. Hanya saja, tatapan kosong itu
lagi-lagi kutemui di antara pendar bola matanya. Atiku, pemilik hatiku yang
malang. Maafkanku yang tidak bisa memberikan bantuan apa-apa untukmu saat ini.
Karena ternyata, aku Si Ayam Jago terbukti
tidak terlalu jago urusan hati. [*END]
*Dedicated
to: #OneWeekOnePost_Challenge (Theme: “Ayam Jago”)