Sabtu, 17 Juni 2017

DEAR MASA DEPAN...

HARI KE #7: SURAT UNTUK 'NURUL' 2020


Dear kamu, sosok masa depanku...

Bagaimana kabarmu? Masih ada mereka, Rheumatoid Artritis vs Psoriasis yang setia menemanimu? Masihkah keseharianmu bergantung dengan obat-obatan yang memuakkan itu? Atau, apakah mungkin kau sudah sembuh total? Sungguh, aku penasaran. Tapi, jikalaupun sakit itu masih setia menemanimu... tegarlah. Nikmatilah. Karena begitulah cara Dia menyayangimu, dengan selalu mengingatkanmu akan nikmat anugerah sakit dariNya.

Oh ya, sudah berapa buah hati kita? Satu, dua, atau kembar? Seperti dua bocah berambut irit dan bersih, duo tokoh dalam tayangan serial film kartun dari negara tetangga. Jagalah buah hati kita dengan senyuman dan kesantunan. Bentuklah mereka menjadi seorang anak Jawa, tak perlu bergaya kebarat-baratan atau kearab-araban. Supaya mereka belajar cara mencintai bangsanya, cara menjaga kebudayaannya, dan cara mengembangkan identitas adat kedaerahannya. Dengan begitu, mereka bisa belajar menghargai apapun... sekalipun dimulai dengan menghargai sesuatu yang terasa sederhana.

Lalu, bagaimana kabar suamimu? Masihkah dia menjadi seorang perokok ulung? Haha... sepertinya masih, ya. Karena suami kita memang bebal dan bengal jika mendengar rentetan kata larangan tentang "jangan merokok". Saranku... biarkan saja. Karena pastinya akan percuma, laranganmu seolah perintah di matanya. Tapi yang penting... teruslah kontrol kesehatannya. Semoga efek negatif dari rokok itu bisa kita minimalisir... supaya dia tetap sehat sampai usia lanjut, sampai anak-anak kita menjadi dewasa dan membanggakan pastinya. Aamiin.

Saat menuliskan surat ini, aku merasa takut. Takut membayangkan orang-orang yang sempat kukenal, yang ada dan berada dekat di sekitarku hingga hari ini ... tapi ternyata tidak lagi berada dekat di harimu. Adakah kabar buruk tentang kehilangan itu? Jika ada, tolong diamlah. Jangan kau ceritakan. Karena kupastikan, aku tak akan berani memikirkannya. Aku hanya ingin sedikit berpesan padamu... selama kau masih bernapas, jagalah mereka, sosok-sosok yang ada di lingkaran hidupmu. Sosok yang mengajarkanmu akan suka dan sedih secara bersamaan, konsep hitam dan putih, atau bahkan tentang perasaan ditolak dan diterima. Cintai mereka tanpa terkecuali. Karena kita tak akan pernah tahu sampai selama kapankah mereka ada bersama kita. Karena terkadang mereka diharuskan untuk datang dan pergi dalam kehidupan kita, tanpa perlu kita cegah.


Jadi, jagalah kesehatanmu selalu. Jaga juga kesehatan mereka-mereka yang ada di duniamu... semampumu. Semoga di tahun 2020 kau masih belum melupakan cara untuk terus dan tetap tersenyum. 

Dan, teruslah bermimpi. Bermimpi selayaknya Dandelion... 
yang terlihat rapuh di balik tipis tangkainya, tapi sejatinya kuat
yang terlihat langka di barisan bunga penghias taman, tapi sejatinya indah meliar
yang terlihat tak berharga di antara rumput ilalang, tapi sejatinya menenangkan saat merekah dan bertebaran
yang tak pernah ragu mengikuti arah sang bayu, mengudara setinggi apapun, melayang sejauh manapun
yang tak pernah menyesal ketika bulir-bulir kelopaknya berguguran jatuh terjerembab ke dasar bumi, terbiasa menikmati sakit dan luka.
Karena Dandelion tahu...
di manapun tempat dia jatuh, kelak di sanalah napas kehidupan barunya akan kembali terembus bersama guratan emas kemilau mentari senja.

Berbahagialah selalu, masa depanku.

"Peluk Cium"
      From

  Nurul.2017 


Jumat, 16 Juni 2017

DEAR PASANGAN HIDUP..

HARI KE #6: ALASAN UNTUK PASANGAN HIDUP YANG BAIK...


Tiap-tiap orang yang bernyawa berhak untuk meminta segala sesuatu yang baik bagi kehidupannya, termasuk pasangan hidup pastinya. Saya pribadi sebenarnya tidak berharap kriteria pasangan hidup seperti apa untuk saya kelak, karena sejauh ini... selama ini, saya sudah memiliki pasangan hidup. Yeah, I'm not single.
Tapi karena tantangan hari ke enam #7DaysKF ini mengharuskan untuk menjelaskan panjang-lebar alasan demi pasangan hidup ideal... jadi rasanya saya mengajukan tiga alasan simpel ini saja.

Pertama; Karena 'hidup bahagia' hak setiap orang. Jadi saya membutuhkan partner yang dapat membuat saya bahagia dan memberikan saya kesempatan untuk membuat dia merasakan kebahagiaan yang sama.

Kedua; Karena saya orang yang sulit jatuh cinta. Jadi bisa dipastikan, jika saya sudah menyukai suatu hal yang sekiranya nyaman dan menyenangkan... saya akan sulit mengubahnya menjadi tidak suka. Karena saya tidak pernah main-main atas hal-hal yang saya suka. Seperti, saya suka membaca dan akan terus membaca... sekalipun minus di mata ini bertambah karena kesukaan itu. Atau, saya suka menulis dan akan terus menulis... sekalipun nyeri di jari tangan dan pergelangan kadang terasa kambuh jika terlalu lama saya menulis. 

Ketiga; Karena saya ingin menjadi pisang goreng yang lebih pantas disajikan di meja restoran. Bukan pisang goreng yang dijajakan secara bebas di pinggiran jalan, di pelasaran trotoar jalan, dan di deretan tangan pedangan kaki lima. Bagi saya, wanita itu ibaratnya 'pisang goreng'... sesuatu yang manis dan mengenyangkan dalam waktu sekejap. Tapi wanita itu tak perlu membandrol harganya semurah harga pisang goreng, karena wanita itu berharga. Wanita itu istimewa, ada kekayaan yang harus dijaga untuk sosok pria tertepat yang pantas dan layak menjadi pendampingnya kelak. Jadi kalian.... khususnya para JoJoBa yang masih berusaha menjemput sosok Imam idealnya, jagalah kualitas pisang goreng kalian. Harus tetap manis dan menyegarkan, karena begitulah kita adanya. [#7daysKF - @KampusFiksi - @basabasi_store]


Kamis, 15 Juni 2017

MIMPI BANGSA, MAHASISWA, DAN GIE

HARI KE #5: ANDAI PERTEMUAN ITU ADA

“Memikirkan kembali soal-soal kecil dalam hidup adalah sesuatu hal yang membuat kita menjadi manusia kembali. Karena saya yakin harus ada balance antara tantangan-tantangan intelektualisme dan kemesraan-kemesraan emosional.” – Soe Hok Gie’s quotes.


Dear Soe Hok Gie... jika pertemuan kita itu akan ada, saya ingin menyampaikan pemikiran ini padamu. Kelak. (*sekalipun 'kelak' itu tak mungkin ada.. karena kau sudah tenang dalam pelukan akhiratNya)

Ada sebentuk impian untuk kembali menjadi mahasiswa jika kesempatan itu datang. Kesempatan untuk menghadapai tantangan-tantangan intelektualisme, seperti yang diucapkan Gie (mungkin).
Saya kira menjadi mahasiswa bukan sekedar berbangga karena bisa memasuki lingkungan kampus baru, semegah apapun itu, se-prestise bagaimanapun itu, atau sejauh manapun dari tanah asal kita. Ada tanggung jawab idealisme yang harus dibangun dan terus dikembangkan. Entah dari proses-proses belajar yang harus dilalui, entah dari bentuk keteladanan seorang dosen. Atau, entah dari diskusi-diskusi panjang tentang teori tak terbantahkan, retorika kehidupan, dan budaya politik negeri.

Menjadi seorang mahasiswa bukan berarti tidak berhak galau. Saya rasa galau itu manusiawi. Kaum manusia dari berbagai spesies manapun berhak mencicipi kegalauan. Karena dari galau kita bisa belajar cara untuk menjadi dewasa. Menjadi pribadi yang lebih matang memilah apa yang benar dan mana yang salah. Terkadang kita membutuhkan kegalauan untuk bisa menciptakan suatu hal yang besar. Bukankah Aristoteles akhirnya bisa menemukan teori metafisika-nya dilatarbelakangi oleh perasaan galau?  Kegalauan itu menjadi salah saat kita justru menjadi gamang, bingung di tengah-tengah konsep benar-salah yang harus diambil. Terlebih lagi, galau akan menjadi masalah saat kita tidak berkemauan untuk segera keluar dari sudut kegamangan itu. Perlu ada manajemen galau secara tepat supaya kegalauan yang kita rasakan menjadi sesuatu pemikiran yang menuju ke arah produktif.

Menjadi seorang mahasiswa tidak harus berubah menjadi sosok radikal. Mahasiswa tidak harus melulu turun ke jalan, mengurusi hal remeh-temeh tentang kehidupan, mulai dari mengkritisi potret kemiskinan sampai kasus pencitraan petinggi-petinggi pemerintahan. Memang benar tidak harus menjadi radikal, tapi bukan berarti tidak boleh menjadi kritis. Mahasiswa berhak bersuara….dengan cara yang sehat, melalui batas kewajaran yang normal, dan memanfaatkan media yang pintar. Banyak cara untuk bersuara, begitu juga halnya, banyak media yang bisa digunakan untuk mengudarakan suara-suara itu. Terlebih lagi di jaman saat ini dimana ribuan media sosial mulai menjamur keberadaannya dan mudah diakses oleh siapapun. Tergantung kita saja, bisakah menggunakannya secara cerdas?

Menjadi seorang mahasiswa harus mau peduli. Sudah jelas. Kalau tidak ada pemuda yang peduli, lalu bagaimana nasib bangsa ini? Katanya….pemuda harapan bangsa? Atau semua itu hanya omong-kosong belaka? Seperti halnya, kubangan-kubangan memori puluhan tahun silam, tentang sederet kenangan kepedulian mahasiswa yang berani berada di garda terdepan perombakan total nasib negeri ini. Ribuan kali sejarah pun telah mencatatnya.

Tahun 1943, saat mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berontak terhadap Jepang karena tidak mau digunduli kepalanya di area yang saat ini mungkin masih menjadi gedung Fakultas Kedokteran UI. Dalam hal ini, bukan sekedar soal ‘digunduli’ semata. Melainkan, bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Jepang. Perlawanan sekelompok mahasiswa saat itu memang akhirnya kalah, tapi saya yakin semangat mereka akan terus menyala.

Tahun 1966, saat Hok Gie dan kawan-kawannya melakukan aksi demonstrasi besar-besaran. Bentuk pencerminan dari pertentangan politik dan kristalisasi dari kekuatan-kekuatan politik di Indonesia—begitu Gie menyebutnya. Aksi yang ditandai dengan long march Salemba-Rawamangun, Bundaran HI, dan jalan-jalan lainnya. Senen, Gunung Sahari, Lapangan Banteng, Pasar Baru, Sawah Besar, Harmoni, dan belasan jalan lainnya…atau mungkin puluhan. Sejarah memang mencatat, betapa chaos-nya pemerintahan Indonesia kala itu.

Tapi sejarah juga tak akan pernah melupakan betapa dasyatnya gelombang demonstran para mahasiswa, menyuarakan tiga tuntutannya (Tritura), memblokade jalan, memboikot bus, hingga mendatangi gedung-gedung pemerintahan. Terlebih lagi, sejarah pun tak mampu menutupi dampak besar yang terlahir setelahnya. “Tetapi kenangan-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran. (Jakarta, 25 Januari 1966 – Soe Hok Gie’s quotes)”

Tahun 1998, tragedi berdarah 12 Mei - 17 Desember 1998, dimulai dari Trisakti hingga ke Semanggi. Saat Indonesia mengalami pukulan terberat krisis ekonomi yang menerpa parah kawasan Asia Timur. Peningkatan inflasi dan angka pengangguran, ditambah lagi aksi kotor koruptor kian meraja-rela yang lagi-lagi menumbuhkan chaos di negeri ini. Dan, lagi-lagi suara mahasiswa dipaksa mengudara di jalanan, sekalipun mereka harus mempertaruhkan nyawa dan keselamatannya. Insiden memilukan, ketika mahasiswa Indonesia berusaha memperjuangkan aspirasi rakyat tapi justru pukulan dan tindakan kekerasan yang harus mereka terima. Karena aksi mereka dianggap menimbulkan kekacauan. Sebut saja, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, Elang Mulia Lesmana, dan Heri Hertanto merupakan secuil nama dari deretan daftar panjang korban kekerasan dalam insiden itu. Lalu, setelah korban mahasiswa berjatuhan, apakah semangat perjuangan mereka melemah. Tidak? Justru menumbuhkan semakin maraknya demonstrasi dari berbagai kampus yang turun ke jalan hingga akhirnya Orde Soeharto pun runtuh. Dan, sekali lagi, mahasiswa Indonesia menunjukkan kepedulian pada rakyat, pada nasib negerinya.

Kau tahu Gie, kenapa saya sangat ingin bertemu denganmu belakangan ini? Karena saya merasa teramat sayang sekali, potret mahasiswa masa kini sudah sedikit bergeser. Jarang sekali terdengar gaung mereka di jalanan. Fenomena ini mengingatkan saya akan penuturan seorang kenalan yang kebetulan dia berprofesi sebagai dosen dan kebetulan juga dia mantan aktivitis semasa kuliahnya dulu. Sosok liberal yang ramah dan terbuka. Katanya, “Mahasiswa jaman sekarang sudah terlalu disibukkan dengan tumpukan tugas kuliah dan mengejar sistem kredit semester dengan pembatasan masa study. Ditambah budaya feodal yang belum bisa dihapuskan dalam ruang-ruang perkuliahan, dimana dosen adalah dewa dan selalu benar. Jika memberontak, keputusan penilaian yang bersuara.” 

Apakah benar begitu? Saya sendiri belum dapat memastikannya…..karena—sekali lagi—saya belum kembali menjadi mahasiswa yang kembali merasakan rutinitas harian kampus. Tapi, jika keadaan yang diutarakan sang dosen itu benar, berarti hebat sekali pemikiran pemerintah masa sekarang. Menciptakan pengalihan perhatian yang sempurna. Jika mahasiswa terlalu sibuk dengan urusan intern kampusnya, mana mungkin sempat memikirkan masalah ekstern lainnya.

Kau pernah menerangkan, kan, Gie... tujuan kau sebenarnya menjadi ‘arsitek’ aksi bulan Januari 1966, bahwa: “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.” Tak ada yang salah dengan pendapat itu, bukan? Bukan  sesuatu hal muluk-muluk yang terasa sulit untuk diwujudkan juga, kurasa. Jadi, tidak ada salahnya juga kan jika mahasiswa-mahasiswa Indonesia sedikit menunjukkan kepeduliannya pada hal remeh-temeh negaranya. Tidak ada salahnya mahasiswa melakukan aksi damai, demonstrasi, dan protes di jalanan. Walau intensitas demonstrasi tidak selalu berbanding lurus dengan kemudahan menapak karir di masa depannya. Akh…mengenaskan, ya?

Bagi saya pribadi... menjadi bagian dalam aksi-aksi kepedulian seperti kasus demonstrasi yang dimotori para mahasiswa di atas tadi bukanlah sesuatu yang perlu disalahkan. Entah itu dalam aksi kemanusiaan, maupun aksi demonstrasi. Selama aksi itu masih mengatasnamakan kepentingan bersama dan tanpa ditunggangi oleh kebutuhan partai politik manapun, tanpa menononjolkan perbedaan agama yang meruncing perdebatan... sah-sah saja saya rasa. Bukan seperti aksi damai bela 'apalah' yang belakangan ini terjadi. Aksi mengatasnamakan nilai religius namun terkadang membuat saya miris sebagai seorang manusia yang 'kebetulan' beragama Islam.

Saya selalu bermimpi negeri ini bisa menjadi besar pada suatu saat kelak. Karena Indonesia memang harus belajar menjadi negara yang  dewasa. Terhindar dari berbagai kemunafikan dan terjauhkan dari degenerasi krisis moral, khususnya mereka-mereka yang masih berjibaku dalam dunia pemerintahan. Sebuah mimpi yang mungkin membutuhkan proses jatuh-bangun untuk mewujudkannya. 

Banyak perlawanan yang harus ditegakkan, perlu barisan strategi perjuangan yang diupayakan, dan butuh ribuan doa yang harus diudarakan. Jika ternyata hanya kegagalan yang ada, bukan berarti mimpi itu harus cepat-cepat dimatikan. Perlu intropeksi, menyusun rencana kembali, dan berjatuh-bangun lagi. Jalani prosesnya, nikmati sakitnya, suatu saat kegigihan itu pasti membuahkan hati. Dan, sudah saatnya negeri ini belajar tata krama berdemonstrasi (sekalipun terkesan anarkhi) dari seorang Soe Hok Gie.

Semoga selalu ada keajaiban bagi mereka yang berupaya mewujudkan mimpi-mimpi indahnya. Apapun dan siapapun itu. Termasuk kamu, Indonesiaku.

"Selamat bermimpi panjang, Gie. Mimpikan ketenangan untuk bangsa ini, ya."



IMPIAN SESEORANG YANG MASIH MENCINTAI INDONESIA

Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Di mana ulama – buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata – Stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apa pun.

Dan para politisi di PBB,
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras,
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.

Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun,
Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.

Tuhan – Saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.

(Salem, Selasa 29 Oktober 1968 – Soe Hok Gie’s notes)

Rabu, 14 Juni 2017

SESUATU YANG BERNAMA ‘JERA’

HARI KE #4: AIB MASA LALU

Dear Masa-Lalu-Yang-Tak-Perlu-Diingat…Ada sesuatu yang memaksa saya untuk kembali menyeret kisah usangmu ke duniaku saat ini. Padahal sebenarnya saya malas membangunkan kembali kenangan tentangmu, semacam… siapa yang ingin keburukannya diketahui oleh orang lain. Siapa yang ingin kemaluannya dibuka oleh orang lain. Ups, astagfirullah! #PikiranApaIni!! Puasa, euy!! Tapi sekali lagi, terpaksa. Yah, karena kebetulan tema #7daysKF kali ini tentang cerita memalukan di masa lampau. Kalau dalam istilahnya Upin-Ipin cs disebut dengan “tak patut” (*sambil geleng-geleng kepala).Okelah… tidak perlu berlama-lama kurasa. Karena rasa lama itu juga tak perlu oke. #halah

So, happy reading!


Matahari membara. Panas. Kilaunya terasa tertumpah. Sepertinya, ulah matahari itu menjadi alasan siswa-siswa kelas VIII-F malas beranjak dari ruangan kelas padahal jam istirahat pun masih panjang. Mereka lebih memilih bersemedi manis di meja masing-masing dengan menatap gusar buku yang tergolek lemah. Pasrah, membiarkan tubuhnya ditelanjangi oleh mata-mata yang rakus akan rasa ingin tahu itu.

Eh, tunggu dulu! Buku? Berarti mereka lagi belajar, ya? Atau, jangan-jangan sedang mempersiapkan diri untuk ujian, kah? Sepertinya begitu.

Jadi, semua ini bukan salah matahari yang memaksa mereka tetap ada di dalam kelas, kan?

“Nu, kamu udah belajar?” tanya Ek sambil menoleh sekilas pada Nu. Teman sebangku, sehati, dan seiramanya.

Remaja berkacamata–yang disebut Nu, dalam seragam biru-putih itu menggelengkan kepala dengan mantap.

“Terus, kenapa sekarang nggak buka-buka buku gitu?”

“Males, ah. Cuma pelajaran Tata Boga doang. Lagian, emang pasti nanti jadi ulangan harian?” sahut Nu balik bertanya. Acuh. Seolah menurut Nu, tidak belajar sebelum ujian bukanlah sebuah dosa besar yang harus diributkan.

“Jadi lah. Bu Sri kan sudah bilang minggu kemarin.”

Percuma. Teguran Ek itu hanya dianggap angin lalu bagi Nu. Karena di matanya, apalah arti sebuah pelajaran muatan lokal seperti Tata Boga itu. Hanya pelajaran yang sibuk mengajari cara memasak yang baik dan benar. Seperti pelajaran menjadi seorang ibu rumah tangga yang harus ahli dalam urusan perdapuran.

Tak bermutu, berontak batin Nu. Dia pun ogah-ogahan membuka buku diktat Tata Boga. Hanya membolak-balik halamannya, karena bingung harus mulai membaca dari mana. Bagian mana yang penting untuk dipelajari, dia pun tak tahu.  
Karenanya, di menit berikut saat Ibu Sri yang selalu tampil casual dengan tatanan sanggul manis itu mulai memasuki ruang kelas, Nu sama sekali merasa tak menyesal belum membaca sedikit pun materi yang akan diujikan. Bondo nekat. Menurut Nu, itu saja sudah cukup. Lagi pula… seberapa tinggi, sih, tingkat kesulitan Tata Boga? Pasti tak bisa disamakan dengan sulitnya mengerjakan persamaan aljabar matematika.

Tapi nyatanya, semua anggapan sinis Nu termuntahkan. Dari kesepuluh soal ulangan yang diberikan, tak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawab Nu. Lembar jawabannya pun masih kosong. Bersih. Perawan, belum ternoda.

Nu tidak bisa membayangkan, betapa malu dirinya jika mendapatkan nilai merah untuk mulok selevel Tata Boga. Materi yang terkesan dianaktirikan dari jajaran mata pelajaran lainnya dalam raport kelas. Pemikiran apatis itu mendorong Nu untuk menggerakkan tangannya perlahan-lahan, meraba nakal beberapa tumpukan buku di dalam laci mejanya. Entah setan generasi dari mana yang berhasil merayu Nu untuk menarik buku diktat Tata Boga hingga ke bibir laci. Mendorong Nu untuk membuka lembar demi lembarnya dengan hati-hati.

Kamu nyontek, ya, Nu?

Sudah tau, nanya, batin Nu cuek. Nu tidak peduli dengan beberapa pasang mata teman-temannya yang mulai merasa risih akan tindakan itu. Bagi Nu, mendapatkan hasil maksimal itu harus. Sekalipun perlu ditempuh dengan proses yang tidak layak dilakukan.

Hitung-hitung demi menyenangkan hati orang tua, dengan suguhan nilai-nilai bagus di raport, kan. Bela batin Nu lagi.

Pembelaan congkak yang akhirnya terbungkam dengan suara, “BRUKK!!”

Buku diktat itu jatuh ke lantai dan menimbulkan suara gaduh yang menarik beribu-ribu pasang mata ke arah Nu. Dia panik. Malu. Bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Haruskah dia pura-pura cuek lalu menyelamatkan buku itu dari bawah? Atau, sebaiknya dia meminta maaf saja, karena sudah tertangkap basah bersalah?

Nu ragu. Tapi dengan cepat diambilnya buku Tata Boga itu, lalu serampangan memasukkannya ke dalam laci meja. Tanpa suara, tanpa ungkapan penyesalan yang terlontar. Sudah kepalang, malu ya sudah malu saja. Dan, Nu lebih merasa malu lagi saat melihat ekspresi Bu Sri yang hanya menoleh sejuruh ke arasnya, lalu menggelengkan kepalanya dengan tatapan mata yang seolah-olah bersuara, “Heran! Bertambah lagi quota anak bodoh di dunia ini yang lebih percaya pada lembaran kertas tak bernyawa, daripada percaya pada kapasitas otaknya sendiri yang jauh lebih bernyawa dan luas tak terhingga”.

Setelah jam ujian berakhir, Bu Sri meminta Nu keluar kelas dan mengekor langkah Bu Sri.

Dan, tetiba di lorong sekolah, Bu Sri menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam ke mata Nu, dia bersuara, “Mencotek itu memang tak salah, Nu… selama tidak ketahuan.”

Nu hanya menekuk kepalanya dalam-dalam. Tak berani menatap sepasang mata yang tiap sudut kantung kelopaknya itu mulai dipenuhi dengan gurat keriput. Sepasang mata yang sedari tadi menatapnya tajam.

Bu Sri melanjutkan, “Tapi seseorang yang berhasil mencotek tanpa diketahui, sama saja dengan belajar menjadi koruptor hebat di masa depan. Belajarlah untuk lebih percaya dengan kemampuanmu sendiri!”

Kali ini Nu memberanikan diri mengangkat dagunya, mencari amarah dari tatapan Bu Sri. Namun, tak ada. Hanya tatapan kekhawatiran seorang ibu pada anaknya. Nu malu. Tidak ada perasaan lain yang lebih pantas menggambarkan betapa besar kadar penyesalan Nu saat itu. Rasa menyesal yang perlahan menyesap hangat janji dalam dirinya sendiri, bahwa dia berjanji… sejak hari itu, detik itu, saat itu juga, dia tidak akan melakukan hal bodoh itu untuk kedua kalinya. [#7daysKF - @KampusFiksi - @basabasi_store]

Selasa, 13 Juni 2017

ABOUT SOME HEART

HARI KE #3: MELEPASKANMU...

Aku suka hujan. Tanpa kutahu apa alasannya. Suka. Begitu saja. Terasa damai saat tetes-tetes airnya mulai berjatuhan membasahi telapak tanganku yang terbuka. Menyambutnya. Seperti saat sekarang ini.
Kurentangkan kedua tanganku sambil menengadahkan kepala ke atas langit. Membiarkan ribuan anak hujan membanjiri tubuhku. Wajahku basah, tetesan-tetesan hujan itu sukses mengkamuflase tetes air mataku. Mengijinkan mereka meninggalkan jejak dingin yang menguar. Hingga terbuai rasa dingin gigil seketika. Tapi, aku tak peduli.
Aroma hujan bagai candu. Setidaknya memang ini yang kubutuhkan. Untuk detik ini. Untuk mengubur dalam kenangan demi kenangan yang semakin hari terasa menyesakkan jika diingat.
Alex, manusia satu itu. Aku akan mengiklaskannya. Sungguh. Tak peduli seberapa beratnya, tapi aku akan menerima keputusannya. Semoga dia berbahagia dengan seseorang yang saat ini berada di hidupnya. Seseorang yang menyala terang di hatinya. Seorang gadis yang dipilihnya. Sekalipun itu bukan aku.
“Riii... masuk!” Aku tergagap. Suara ibu. Teriakan parau itu berhasil menghancurkan pengembaraan pikiranku. “Riri...!!” panggil ibu lagi dengan lengkingan yang kian meninggi. Mungkin amarahnya memuncak karena dilihatnya aku tak juga bergeming.
Kuturunkan kedua lenganku. Tanpa memberikan sahutan apa-apa, berjalan menuju arah bergaungnya suara itu. “Ibuk mesti, deh,” rajukku begitu tiba di hadapan ibu.
Wanita paruh baya yang masih menyisakan gurat-gurat kecantikan di masa muda itu justru menatapku dengan pandangan yang siap melumat habis tubuh ini.
“Kamu itu, kebiasaan buruk masih aja dipelihara. Udah gede tapi kelakuan masih kayak anak kecil.” Tuh kan, bener. Siap-siap dilumat habis, deh.
“Kan cuma ujan-ujanan. Cuma di depan rumah doang, nggak keluar gerbang. Nggak bakalan ada yang tau juga, Buk,” belaku ringan.
“Cuma? Nanti kalo udah pilek, mau bilang cuma lagi nggak?”
Aku meringis menanggapinya. “Kalau itu rejeki, Buk. Rejeki dikado pilek ma anak-anak hujan.”
“Udah, nggak usah kebanyakan semosis. Buruan mandi sekalian sana!” perintah ibu sambil berlalu menuju dapur. Meninggalkanku.
“Iya... ya,” jawabku bersungut-sungut, sambil mengekor langkah ibu. Kalau sudah seperti ini, aku benar-benar tidak berani membantah. Apalagi kata jargon ‘semosis’ ibu sudah keluar.
“Tutup pintunya, Ri!” Langkahku terhenti. Berbalik menuju depan rumah, memenuhi perintah  itu.
Niat hati ingin segera menarik handle pintu lalu menekannya ke daun pintu lain hingga meninggalkan suara ‘klik’. Tapi nyatanya, aku masih begini. Mematung menatap anak-anak hujan yang kian deras berjatuhan. Membiarkan tubuh mereka terhempas permukaan paving-paving halaman yang keras. Dengan kasar. Semacam ilustrasi bentuk ikhlas, siap dan rela untuk dihancurleburkan.
Iri dengan mereka. Ya, dengan anak-anak hujan itu. Iri dengan rasa ikhlas mereka. Semoga kelak aku bisa menjadi sosok yang ikhlas. Penuh penerimaan, tanpa rasa beban. Sebesar apapun atau sekecil sekalipun itu.
Dan Alex.  Dia akan menjadi sebuah kenangan. Hanya kenangan. Cukup disimpan rapi. Tanpa perlu diulang kembali. Semoga ikhlas itu akan menyapa. Kelak akhirnya.
“Riiii....!” suara lengkingan ibu. Lagi-lagi menghentikan lamunanku.
Cepat-cepat kutekan handle pintu dan memasukkan kunci slot tepat ke dalam lubangnya. Bahaya. Kelamaan di sini bisa-bisa perang dunia ketiga pecah. Nggak ada yang bisa menghentikan omelan ibu kalau tingkat kemarahannya sudah di level ketujuh.
“Iyaaa...” balasku dengan suara nyaring. Lega rasanya berteriak kecil begini.
Dan, selamat tinggal kenangan.
* * *
I’m going to place where love and feeling good don’t ever cost a pain.
Status baru BlackBerry Message yang kutulis begitu saja. Sebenarnya sih tidak. Aku menulisnya dengan pengharapan penuh. Benar-benar berharap kota yang kudatangi ini akan kembali menyembuhkan lukaku. Gratis, tanpa berbiaya dan pengorbanan akan sudut hati lainnya.
Bojonegoro. Hanya kota kecil memang. Tapi bisa dibilang dari sanalah segala kisah kehidupanku bermula. Dan mungkin akan berakhir pula. Entahlah... hanya Dia yang tahu pasti ke mana langkah tertepat dari kaki ini untuk dilangkahkan, kan? Dan hingga jawaban itu bersuara, ada baiknya kita tetap berusaha sebaik mungkin.
Ibaratnya mengayuh sebuah sepeda. Jika kita tak ingin terjatuh dari sepeda itu, sama artinya janganlah kita berhenti untuk mengayuhnya, bukan? Mungkin aku hanya butuh sedikit lebih cepat untuk mengayuh. Sampai bayangan kenangan silam yang menyesakkan itu terasa kian menjauh dan tertinggal di belakang sana. Tentang seseorang yang tak pantas dikenang.
Kalau boleh jujur, aku masih merasa berat untuk melepasnya. Entah kenapa. Tapi, akal sehatku selalu berontak. Logika mengajarkanku untuk menjadi sosok yang tahu diri. Bukan sosok perusak hubungan orang lain. Sekalipun aku harus menjauh darinya. Ya, menjauhi sosok... Alex. Ah, menyebut namanya seperti ini pun ternyata masih terasa nyeri. Dan aku membenci bagian dari diriku yang satu ini.
Dari seseorang aku belajar bagaimana caranya menata hati. Berperan sebagai wanita yang memiliki hati. Wanita tidak berhak untuk memilih. Itu bukan haknya. Kaum adam lah yang berhak untuk memilih ke mana hati terpantas yang menjadi tempat labuhannya kelak. Wanita hanya berhak menentukan untuk menerima atau menolak. Dan aku... bagaimana aku bisa menggunakan hakku untuk menerima atau menolak seorang Alex jika aku sendiri tidak pernah dipilih olehnya.
Bodoh. Benar-benar pemikiran bodoh yang kubenci, jika aku masih dan masih saja merasa berat menerima keputusannya.
Perkenalanku dengan Alex bisa dibilang teramat singkat. Sangat singkat. Sering kali aku merasa tak habis pikir. Kenapa dari perkenalan sesingkat ini justru menjadi kenangan yang terasa paling melekat. Tidak! Bukan ‘paling’. Bagaimanapun juga sudah kutegaskan, jangan mengingat apalagi sampai mengharapkan kembali kehadirannya.
Sudah cukup, berontak batinku. Kugelengkan kepalaku seketika. Berharap dapat mengusir cepat bayang-bayang Alex.
Kukerjapkan mataku dua kali. Saat bayangan bangunan gapura selamat datang Bojonegoro terasa kian membesar. Sebentar lagi nyampe, batinku memperingatkan dengan tajam. Artinya, tidak boleh ada lagi lelap yang tersisa. Saatnya kembali ke rutinitas harian yang menyibukkan. Kurasa ada bagusnya. Semakin sibuk sama artinya semakin cepat aku bisa melupakan segala kejenuhan di hati ini. Lebih cepat bisa melupakan…. dia. Tidak perlu disebut kembali namanya, kan?
Minal… minal... minal. Terakhir… akhir!” teriakan kondektur bus menyadarkanku. Buru-buru kupasangkan tas ransel di kedua bahuku. Lalu bergegas menuju pintu keluar yang sudah dipenuhi sesak penumpang-penumpang lainnya. Sepertinya keadaan mereka tak jauh berbeda dengan diriku. Sama-sama sudah tak sabar keluar dari bus ini.
Atau, sama-sama sudah tidak sabar memulai kehidupan baru dengan tema baru pula? Aku mengulum senyum dalam, menyadari pertanyaan-pertanyaan konyol dari dalam diriku sedari tadi.
Baiklah. Jika ingin berubah, silahkan saja diubah. Aku sudah siap menghadapinya. Dengan hati yang baru, kurasa. Karena sesuatu yang sudah mati, biarlah mati. Dan, sesuatu yang telah pergi, ikhlaskan kepergiannya. Dimana waktu kelak akan berperan di dalamnya, menciptakan segudang jawaban... sekalipun saat ini masih dalam tanda tanya. Begitulah. [END* @andari_hersoe]

Senin, 12 Juni 2017

DARI PANDA HINGGA BUAYA

HARI KE #2: LIMA BINATANG PELIHARAAN



Waktu itu cepat berlalu. Dengan tidak sopannya dia melenggang begitu saja menuju ke depan, tidak peduli nasib dan kondisi para penumpangnya. Iya, Waktu memang harus cepat berlalu. Kalau Waktu diam di tempat, pastilah itu bukan Waktu. Bisa jadi, itu deretan jones yang gagal move-on dan korban baper. Emm… kamu, termasuk yang mana? Yang terakhir, kah? ^.^

Singgung-menyinggung soal waktu, sekarang sudah waktunya setoran hari kedua. Tema #7daysKF kali ini tentang andai-berandai dengan deretan binatang dari seluruh jagad raya yang paling berhak untuk jadi peliharaan. Dan, kelima binatang itu adalah….

(*) PANDA

Kalau ada award untuk hewan menggemaskan sedunia, jelas saya vote gila-gilaan buat hewan satu ini. Walaupun panda identik dengan si badan besar, tapi ukuran tubuhnya itu memang tidak bisa menutupi betapa lucu dan menggemaskannya dia. Hewan yang dilindungi ini pastinya tidak akan diperbolehkan untuk dipelihara secara bebas oleh orang perseorangan. Karena keberadaannya yang cenderung langka dan mendekati titik kepunahan, jadi wajar saja kalau gerombolan family panda ini dijadikan sebagai hewan lindung yang perlu dijaga kelestarian habitatnya.

Selain menggemaskan, panda juga memiliki kebiasaan yang unik. Panda adalah hewan soliter dan introvert. Panda selalu terlihat bahagia dan menikmati masa-masa kesendiriannya, karena panda hanya akan bersosialisasi jika dia dalam masa kawin. Panda juga hewan yang punya tata krama. Coba kalian lihat kebiasaan saat panda sedang makan, panda selalu makan sambil duduk. Tidak berdiri, tidak berlari. Karena panda memang harus duduk untuk bisa menahan bambu dengan kakinya saat mengunyahnya dengan sopan.

(**) HACHIKO

Pernah dengar kisah Hachiko, sang anjing peliharaan yang setia? Hingga kesetiaannya pun diabadikan dalam patung monument perunggu di Shibuya, Tokyo. Kisah nyata yang akhirnya diangkat ke layar lebar Hollywood dengan judul ‘Hachi: The Dog’s Tale’ pada tahun 2009. Sekedar me-refresh ingatan saja, sedikit saya kenalkan tentang siapa itu Hachiko.

Hachiko adalah seekor anjing yang dipeliharan oleh seorang professor yang tinggal di kawasan Shibuya. Hachiko selalu mengantar dengan setia mengantar sang professor naik kereta di Stasiun Shibuya untuk berangkat mengajar ke Universitas Tokyo. Termasuk, Hachiko pun selalu menunggu di stasiun tersebut pada sore hari untuk menjemput kepulangan sang professor. Rutinitas ini selalu dijalani oleh Hachiko setiap hari, hingga bertahun-tahun. Namun suatu ketika, sang professor meninggal karena serangan jantung mendadak di kampusnya. Sayangnya, Hachiko tidak tahu kalau professor kesayangannya itu sudah meninggal. Jadi setiap hari, di tempat yang sama, di waktu yang sama, Hachiko selalu datang ke Stasiun Shibuya untuk menanti kedatangan majikannya itu dengan setia. Setiap hari. Hingga akhirnya, Hachiko mati di tengah-tengah penantiannya.

Sebenarnya binatang peliharaan yang saya inginkan bukan sekedar seekor anjing saja. Melainkan binatang yang bisa sesetia Hachiko. Karena mencari orang yang setia di penjuru bumi ini rasanya melelahkan. Mungkin, kita bisa belajar menjadi sosok yang setia dari seekor hewan peliharaan... anjing Hachiko.

(***) LEBAH

Saya suka madu. Karena, saya juga membutuhkan madu setiap harinya, besok, dan hari-hari selanjutnya. Madu itu semacam asupan nutrisi wajib setiap hari. Kondisi kesehatan yang mengharuskan saya untuk berakrab ria dengan madu. Saya rasa alasan se-simple ini sudah cukup menggambarkan bahwa lebah memang layak jadi binatang peliharaan saya. Jika saya memelihara sekawanan lebah madu, pasti kebutuhan madu setiap harinya bisa tercukupi. Bahkan, bisa berlebih-lebih dan dengan standar keaslian yang tak terbantahkan lagi. 
Dan, jika kalian melihat kepribadian di penghasil madu inipun dengan mudah kalian akan dbuat jatuh cinta olehnya. Karena lebah merupakan hewan pekerja keras yang terkadang menyembunyikan geraknya lewat kepakan cepat sayapnya. 

(****) SEA SPONGE

Dunia keterbalikan di Bikini Bottom rasanya tepat untuk mengantisipasi ke-chaos-an Negara Indonesia saat ini. Dunia yang tak perlu ada nuansa provokatif satu sama lain, tidak perlu ada pihak yang merasa paling benar, paling hebat, sampai melupakan apa itu ‘toleransi di atas perbedaan’. Bikini Bottom yang terbebas dari aroma politik yang memuakkan, hanya ada suara sumbang untuk saling menyumbangkan kelucuan satu sama lain. Akh... saya merindukan dunia seperti itu.

Karenanya, pasti menyenangkan sekali jika saya bisa memiliki hewan peliharaan sea sponge seperti Sponge Bob yang selalu menghibur dengan segala keluguannya. Dimana terkadang dia pun tak pernah malu untuk menunjukkan kebodohan dari sikap lugunya. Karena begitulah seharusnya konsep hidup yang bebas, tanpa topeng kemunafikan.

(*****) BUAYA

Nah, kalau alasan untuk memelihara hewan satu ini agak sedikit konyol memang. Semoga kalian para jomblo saat membaca bagian ini tidak sampai terbawa perasaannya, ya.

Pada dasarnya saya tidak suka buaya. Selain buas dan menakutkan, buaya itu memang hewan yang sengaja ditakdirkan untuk lebih layak dibenci daripada dicintai. Khususnya bagi golongan seperti saya, yang terlalu takut untuk bersentuhan dengannya. Takut jika alih-alih diterkam olehnya. Lalu, kalau tidak suka kenapa justru jadi hewan peliharaan, ya?

Karena menurut saya buaya itu harus dipelihara secara besar-besaran. Kunci pergerakan mereka dari alam bebas. Jangan biarkan mereka bebas mencari mangsa di alam liar. Karena, saat buaya-buaya hidup dengan liar... bisa jadi, korban keganasan mereka tidak hanya sesama hewan. Melainkan juga, hati-hati para wanita pun turut menjadi korbannya. Macam para lelaki buaya.


Nah, out-of-topic sepertinya, ya. Dan, saya sepertinya sengaja. [#7daysKF - @KampusFiksi - @basabasi_store]

Minggu, 11 Juni 2017

SATU JIWA BERLABEL ‘SAYA’

HARI KE #1: INTRODUCTION

Kadang, makhluk berlabel manusia itu seringkali lupa. Lupa bahwa tiap-tiap makhlukNya diciptakan dengan kelebihan dan keterbatasan yang berbeda-beda. Jika kita punya kelebihan atau keahlian yang sama, lalu dimana seninya hidup? Bayangkan saja, pastinya sangat membosankan. Hanya ada ego individualis. Tidak ada perasaan saling membutuhkan. Tidak ada kesempatan untuk berkerja sama, saling melengkapi dan belajar menghargai.

Saat ingatan itu datang, kau akan sadar bahwa Dia sang azza wa jalla benar-benar telah menggunakan rumus keadilan dalam menciptakan alam beserta partikel-partikel terkecil di dalamnya.

Karenanya, jika ada yang bertanya padaku, “Siapa kamu? Perkenalkan tentang dirimu!”, dengan senang hati saya akan mengenalkan sesuatu yang membuat saya ‘berbeda’ dibanding orang kebanyakan. Because here I am..

Saya seseorang yang memiliki nama dengan market share cukup tinggi di pasaran. Bukan nama unik yang langka. 
Just... N-U-R-U-L. Berani bertaruh, hampir di tiap kota seantero Nusantara pasti tidak akan sulit untuk menemukan nick name ini dengan berbagai variasi embel-embel nama lain di depan atau belakangnya. Bahkan, nick-name ini juga bisa kalian temukan sebagai salah satu akronim nama pada musholla, masjid, sekolah, atau tempat-tempat lainnya. Begitulah. Laris manis. Toh, apalah artinya sebuah nama? Salah! Sebuah nama jelas ada artinya. Setiap orang tua saat mereka memilihkan sebuah nama untuk anaknya, pasti ada deretan doa yang terselip di dalamnya. Dan, keadaan ini tidak bisa terabaikan begitu saja. Jadi, percaya diri sajalah dengan nama yang saat ini kau sandang. Sepanjang atau sependek apapun itu. Entah langka ataupun biasa saja. Yah, begitulah.

Karakter saya sebenarnya bukanlah orang yang frontal. Saya lebih suka memendam emosi dalam diam. Tapi, jika suatu saat ketenangan saya terusik... maka saya pastikan, saya tak akan tinggal diam. Dan juga, saya bukanlah sosok pendendam. Tapi, jika ada sosok lain yang sudah melukai saya terlalu dalam... saya pastikan, kata maaf itu terasa mahal saya berikan untuknya. Karena saya hanya mencoba menjadi saya apa adanya, tak perlu ada topeng untuk mendapatkan simpatik orang lain dengan berpura ‘lurus’ di hadapan mereka. Karena bagi saya... prinsip itu perlu.
Idealis itu harus. Keras itu penting. Khususnya menanamkan prinsip, idealis dan keras itu pada diri saya sendiri.

Emm... sesuatu yang ‘berbeda’ pada diri saya, yang sebelumnya sempat saya sebut di atas itu berhubungan dengan sahabat setia saya. Dia dapat menjadi ganas sewaktu-waktu jika tidak hati-hati menjaga diri. Sahabat yang setia mengekor sejak awal tahun 2016 yang lalu, dialah… AUTOIMUN. Pribadi kedua saya.

Seseorang pernah berkata, memiliki gangguan autoimun itu semacam memelihara pengkhianat dalam tubuh. Dimana sistem imun yang seharusnya berposisi sebagai garda terdepan dalam mempertahankan kekebalan tubuh seseorang, justru berkhianat menjadi pelopor serangan untuk menjadikan kita binasa. Keadaan ini mau tidak mau berpengaruh juga dalam penciptaan label ‘saya’... semacam bertambah lagi daftar kekurangan dari diri saya. Ada beberapa hal yang dilarang, ada beberapa kondisi yang harus dihindari, dan ada beberapa impian yang harus terlipat rapi dalam kotak angan-angan semata. Sadar diri, karena saya yang sekarang ini tidaklah sama seperti saya yang dulu. Mencoba berdamai setiap hari dengan deretan warning yang terkadang terasa memuakkan. Tapi... yah, begitulah.

Suatu saat, kita akan sadar bahwa menciptakan label “orang baik” dalam diri kita sangatlah sulit. Ada beribu kriteria kompleks yang harus terpenuhi untuk mendapatkannya. Dan, terasa lebih sulit jika dibandingkan sekedar menjadi orang pintar. Karena kepintaran itu sejenis bakat, sedangkan kebaikan itu adalah pilihan... choice about who want to be."

Karenanya... hingga saat ini saya masih belajar membiasakan diri dalam babak per babak kisah baru yang Dia ciptakan, dengan berbagai tokoh yang sengaja Dia hadirkan pula dalam sandiwara hidup saya.

Karena... begitulah kita adanya. Sekeras bagaimanapun kita berusaha untuk menciptakan label ‘saya’ dengan konsep yang bagus, menarik, dan matang, semua itu akan sia-sia jika Dia berkehendak berbeda. Be yourself is important. Tapi, menjadi ‘dirimu sendiri’ di mataNya itu jauh lebih penting.

Lalu kiranya, cukup deretan kata ini yang membuat kita berhati-hati saat menciptakan label ‘saya’ dalam jiwa kita masing-masing...


Mungkin bagimu akan ada hari esok.
Mungkin bagimu ada masa 1000 hari atau 10 hari.
Tapi bagi sebagian dari kita... hanya ada hari ini.
Dan, apa yang kau lakukan hari ini adalah hal yang penting...
untuk saat ini, juga hingga masa yang tak terhingga.
Aku hanya ingin mengingat masa-masa terindahku.
Aku hanya ingin melihat apa-apa yang ingin kuingat.
Dan, bagaimana kenangan itu tercipta...
like a simple things about 'become who you are'
Saat itu aku menjadi sadar, bahwa hidup memang tidak akan selamanya.
Bahkan, saat hidup harus berakhir pun tetap ada hal yang tidak perlu menjadi akhir.
There are the meaning of life...
 oO~BASED ON BEFORE I FALL MOVIE~Oo