Jumat, 27 Januari 2017

FIGHT SONG

HARI KE #10: SESUATU YANG TIDAK AKAN ADA UNTUK KEDUA KALINYA



“Like how a single word
can make a heart open.
I might only have one match
but I can make an explosion.”
~ Fight Song – Rachel Platten

Akhirnya, tiba juga di penutup rangkaian hari dari even Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi. Hari kesepuluh. Topik yang meminta konsistensi dari kata-kata. Sesuatu yang harus dilaksanakan. Sesuatu yang perlu dijaga. Sesuatu yang baiknya ada. Sesuatu itu terbalut dalam keharusan, tidak hanya sebuah ucapan kosong. Karena janji adalah janji. 
Ada banyak alasan seseorang berani memutuskan untuk merumuskan sebuah janji. Untuk menjadi sosok yang lebih baik. Untuk menjaga hati yang dicintai. Demi hasrat yang harus dijaga. Atau, demi impian yang tak hanya hilang saat terjaga. Dan di antara kesemua alasan itu, hampir tidak pernah ada nada paksaan di dalamnya. Karena janji memang sesuatu yang berasal dari hati, bukan pikiran, bukan emosi sesaat, dan bukan mengandalkan logika. Bukankah segala sesuatu yang berasal dari hati layak untuk dipercaya?
Karena itu, janji ini akan kusampaikan secara terbuka untuk hatiku. Agar dia teringat untuk selalu menjaga isi yang berada di dalamnya. Hanya untuk hal-hal yang pantas dijaga dan berarti untuk dipertahankan. Merekalah: cinta, impian, dan harapan. Semacam barisan lirik dalam lagu penguat (Fight Song.Red), untuk menguatkan si penulis lirik, sang penyanyi dan juga para pendengarnya.

C I N T A
Secara tegas, kupastikan hingga detik ini hanya ada satu nama yang akan tetap terpatri di hatiku. Pasangan simian line-ku. Sosok yang akan menjadi imam dunia dan akhiratku (semoga).
Tidak terhitung sudah berapa tahun menghabiskan berbagai bentuk cobaan dengannya. Berjuang untuk mendapatkan restu orang tua dan meyakinkan keluarga. Perlawanan melawan ego masing-masing untuk meleburnya menjadi kita. Hingga mempertahankan kepercayaan dan kesetiaan bersama. Saling meyakinkan, saling menguatkan, sekaligus saling mendukung satu sama lain. Walau aku sering kali merasa tertatih ketika melewatinya bahkan hampir menyerah, tapi simian line-ku tetap seperti tak pernah kehabisan cara untuk kembali memupuk kekuatan bersama.
Dulu… aku memang sempat begitu bodoh, mencoba pemilik hati-hati yang lain. Memanfaatkan kepercayaannya dengan salah. Membanding-bandingkan dengan rasa yang ditawarkannya. Tapi tetap saja, berulang kali mencoba dengan hati lain, tidak ada satupun yang mampu membuatku merasa jadi seorang wanita utuh. Tidak ada yang bisa memperlakukanku seindah perlakuannya. Sementara dia tetap setia menanti di ujung langkahku. Dengan keyakinannya, bahwa sejauh apapun aku melangkah menjauh, aku pasti akan kembali padanya.  
Hmm… sepertinya, tiap orang selalu dihadapkan pada beberapa pilihan. Sayangnya, tidak semua orang merasa yakin bisa membuat pilihan dengan tepat. Atau, terlambat meyakini pilihan tepatnya itu.
Tapi, tidak peduli pilihanku ini tepat atau tidak, aku akan selalu meyakininya…. bahwa, dialah satu-satunya pilihan yang paling kuinginkan di jagad semesta raya ini. Dan, keyakinan ini akan terus kujaga layaknya janji suci ikatan pernikahan yang sudah terucap.
Aku berjanji akan terus menjaga pilihan hati ini.
Dan bagi kalian, jiwa yang memiliki hati lainnya dengan pilihan masing-masing, semoga kesempatan yang sama juga diberikan kepada kalian. Kesempatan untuk menentukan pilihan dengan tepat, pada hati yang tepat, dan di waktu yang tepat. Sekalipun untuk mendapatkan kesempatan itu kalian harus melewati barisan perjuangan yang tidak akan habis dengan sekali kedipan mata saja. Berusaha keraslah! Karena sesuatu yang dilakukan dengan usaha keras tidak akan pernah terasa sia-sia.

I M P I A N
Impian itu sesuatu yang tampak berkilauan, meski berada dalam ribuan mil dari tempat kita berpijak. Hingga tak jarang melahirkan kata-kata pesimis maupun optimis. Kata mereka—kaum pesimis, sekalipun tidak bisa meraih impian itu, setidaknya bisa merasakan kilau cahayanya. Kata mereka—kaum optimis, sekalipun impian itu jauh, setidaknya jangan pernah berhenti mencoba untuk terus mengusahakannya dekat.
Kalau kalian, setuju pendapat kaum yang mana?
Bagiku, impian memang harus seperti itu. Harus sesuatu yang begitu sulit untuk didapatkan, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bukan impian namanya kalau terlalu mudah digenggam, bisa jadi itu hadiah. Atau, anugerah.
Begitu susahnya dalam mewujudkan impian, karena itu perlu ada konsistensi untuk tetap menjaga bara semangat kita. Berani bermimpi semestinya juga berani berjanji untuk mewujudkannya.Tidak peduli jika nantinya akan terdengar suara sumbang maupun cibiran dari sana-sini, semestinya semua itu tak perlu terasa menganggu. Karena kita yang paling tahu apa yang kita butuhkan. Paling mengerti seberapa besar kadar keinginan kita.
Jadi, ingatlah hatiku… untuk saat ini, esok, maupun nanti aku berjanji untuk menjaga impianku bebas bernapas di udara terbuka. Impian tentang keluarga yang sempurna. Impian tentang pemenuhan rasa ingin tahu dan menjaga tanggung jawab akademis. Impian tentang menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat bagi mereka kebanyakan. Hingga impian itu menjadi semudah menarik napas.

H A R A P A N
Manusia itu akan mati jika tidak memiliki harapan. Harapan untuk tetap mengembuskan napas dalam balutan jiwa yang sehat dan pikiran yang merdeka. Kombinasi sempurna untuk tetap menjaga harapan agar impian maupun cinta yang dipunya tetap ada bersamanya.
Bagiku, harapan adalah kesembuhan total dari RA (Rheumatoid Arthritis) yang hingga saat ini masih betah berlama-lama menyewa tubuhku. Parasit yang menjengkelkan. Sering kali membuatku terlupa, lalu dipaksa untuk menyuarakan keluhan. Semacam, kenapa begini? Kenapa harus aku? Kenapa sakit ini? Sampai kapan begini? Deretan pertanyaan yang tak ubahnya suara keputusasaan.
Tapi terkadang juga membuatku bersyukur. Karena pemberianNya yang satu ini akan selalu membuatku teringat, bahwa jiwa kerdil ini memang bukanlah makhluk tersempurnaNya. Jadi, memang harus seperti ini aturannya. Dan dalam kasusku, proses untuk selalu mengingat Dia harus dengan jalan begini. Ada batas-batas kemampuan tertentu yang memang tak pantas dilalui oleh manusia. Bukan keterbatasan yang sengaja kita ciptakan. Tapi, keterbatasan dariNya yang membuat kita harus berani berharap. Harapan untuk merindukan sembuh dan menjadi normal.
Akh… aku merindukan dunia yang seperti itu. Dimana bebas bergerak tanpa harus menikmati rasa nyeri yang menyiksa. Dan, demi kerinduan itu… aku berani menyuarakan tipe janji satu ini.
Aku berjanji akan selalu menjaga kestabilan pikiran dan kondisi fisikku. Tidak akan kembali lalai. Melupakan waktu, tanggung jawab, dan daya tahan tubuhku demi rutinitas pekerjaan yang menggila. Karena rasanya, aku tak akan sanggup untuk menatap kembali gurat-gurat kekhawatiran di wajah mereka—orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku—untuk kedua kalinya.

Dan kiranya, itulah tiga paket janji yang sedang dan akan terus kuupayakan. Setidaknya, demi menjaga apa-apa yang kubutuhkan untuk diriku sendiri. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Kamis, 26 Januari 2017

DEAR WILLIAM HAKIM

HARI KE #9: SURAT UNTUK SESEORANG DALAM TAHANAN


“Everyone makes mistakes, but only a few could forgive.
Padahal ada banyak kesalahan yang hanya
perlu dimaafkan, bukan dihukum.
An eye for an eye will make us all blind.”
~ Forgiven – Morra Quatro

Ada yang pernah membaca buku FORGIVEN by Morra Quatro?
Saat pertama kali membaca tema #WritingChallenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari kesembilan—hari kedua sebelum penutup deretan even tantangan ini, saya membayangkan seraut wajah yang tak pernah lelah mempertahankan gurat-gurat ketegasan. Si genius yang radikal.
Dialah… William Hakim. Mantan penyusup di MIT, Massachusetts Institude of Technology. Mantan pemimpi yang akhirnya berhasil membangun pembangkit listrik tenaga nuklir—yang semula hanya memanen cibiran. Meski segalanya berupa kisah romance belaka, tapi terasa begitu nyata ada. Karena saya merindukan sosok generasi bangsa seperti dirinya.

Surat ini seolah-olah disampaikan oleh dr. Chiara Hakim, sosok istri yang tak dikehendaki. Kadang miris membayangkan nasib percintaan mereka. Dan, semoga saya tidak terlalu muluk-muluk bermimpi dapat menyampaikan sepucuk surat kepada Will yang namanya tak lekang terkikis zaman. 


Dear William Hakim....

Sebelumnya, maaf merepotkanmu dengan deretan kata pada perkamen lusuh ini. Walaupun aku sendiri tidak tahu, apakah kau mau tahu akan isi di dalamnya.

Cooling down, please! Let down your anger and your hatred to me. Sebesar apapun rasa itu, janganlah tergesa-gesa 'tuk membuang surat ini ke dalam tong sampah. Setidaknya ijinkan aku menyuarakan nada-nada pembelaan yang telah lama bergemuruh di hatiku.

Will, suamiku .....
Sampai kapan pun aku masih menganggapmu begitu.
Terima kasih engkau pernah hadir dalam hidupku. Mengetuk pelan pintu hatiku. Yah, teramat pelan melodi ketukan itu. Hingga aku sendiri pun tak tahu, apakah kau benar-benar berniat untuk mengetuknya. Atau tindakanmu itu hanya buah dari keputusasaanmu belaka. Karena akhirnya, kisah cintamu terkalahkan oleh takdir seorang pesakitan.

Maaf, bukan aku senang akan keadaan 'sakit'-mu. Tapi aku sungguh-sungguh bersyukur karena dari hal itulah engkau menyerah  pada keadaan nasib, dan menyerahkan waktumu dengan berada sekejap dalam hidupku. Sekali lagi, aku bersyukur bukan berarti senang di atas penderitaanmu. Dan juga bukan berarti aku egois. Semata-mata karena aku teramat sangat menginginkanmu utuh. Jadi, apakah salah jika aku pun berhak mencintai seseorang? Apakah aku egois jika ingin hak cintaku itu dapat terpenuhi jua?

Tahukah kau, Will? Hal pertama yang membuatku menyukaimu, bukan karena kau menyerupai Nicolas. Melainkan, justru karena kau tampak berbeda darinya. Tak ada sinar keangkuhan dari matamu, walaupun kau mampu memiliki sesuatu potensi yang dapat dibanggakan. Sorot matamu yang lembut, dengan aroma kehangatan yang tak pernah terkikis dari tubuhmu, membuatku terasa tenang dan nyaman berada di dekatmu, Will. Namun, di sisi lain... selalu ada keganasan emosi yang kerap meletup kuat dalam jiwamu. Seakan ingin mengatakan pada dunia bahwa "ada seorang William Hakim di bumi ini".
Karena itulah, seorang Karla tak pernah mampu menghilangkan peranmu sebagai seorang motivator sejati dalam hidupnya. Seseorang yang selalu ada dan mendukung langkahnya. Seseorang yang sangat membutuhkan nafasmu untuk mengisi setiap ruang udara yang akan dihirupnya.

Aku tahu, kau pernah bercerita. Bagaimana Karla rela mencarimu. Mendatangi rumahmu, menunggu, bahkan rela melompati pagar rumahmu, hanya untuk memastikan dimanakah keberadaanmu saat itu. Lebih tepatnya, karena dia merasa kehilangan sosok motivatornya. Sosok seorang yang dianggap paling tangguh, justru saat itu menghilang karena titik kelemahannya kian mencuat ke permukaan. Lemah tak berdaya atas derita sakit yang dirasa.

Jujur, hingga saat ini masih terasa perih jika bibir ini dipaksa untuk mengucapkan barisan huruf K-A-R-L-A. Terlebih lagi, setelah aku mulai menyadari. Hanya ada dia dalam hatimu. Hanya ada namanya dalam kotak memorimu, mewarnai di setiap bunga tidurmu.

Kenapa Will? Kenapa kau tak pernah menganggap kehadiranku berarti bagimu?
Karenanya, jangan salahkan diriku jika pertanyaan kekecewaan itu menarik nama Greg Sullivan dalam kisah kita.

Hidup ini ibarat sebuah sistem, Will. Dimana di dalamnya ada aku, kau, dan Karla. Walau kelihatan hubungan di antara kita semua sangat berantakan, tapi sebenarnya sangat teratur sesuai dengan hukum alam. Masing-masing dari kita memiliki peran yang berbeda-beda.
Aku yang ingin engkau cintai, aku yang ingin mendapatkan hatimu, tapi sebesar apapun usahaku tetap tak mampu mengalahkan posisi Karla.
Kau yang ingin merelakan cintamu, demi kebahagiaannya walaupun memberi kesakitan padamu, tapi sebesar apapun usahamu tetap tak mampu melupakannya.
Sementara Karla (walaupun aku tak terlalu mengenalnya secara mendalam), dia tetap berusaha menantimu dengan segenap pengharapan bahwa kau akan kembali. Tapi dia sendiri pun tidak yakin, apakah penantiannya akan berbuahkan keindahan. Dia hanya yakin bahwa cinta terbesarnya hanya untukmu, Will.

Tetapi sistem ini tetap dapat diberhentikan. Jika salah satu dari kita semua berkehendak untuk mematahkannya. Karena itu, aku meminta Sullivan untuk menarikku keluar dari lingkaran sistem ini. Agar hanya tersisa elemen kau dan Karla di dalamnya. Agar kalian berdua pun sadar untuk menarik kembali benang penghubung yang sempat terputus, demi jalinan sistem kisah cinta di antara kalian sendiri.
Sayangnya, keputusanku ini terlalu lamban. Karena sudah teramat banyak hati yang terluka di dalamnya. Dan mungkin keberadaan Sullivan pun justru melukai hatimu. Dalam hal ini, aku minta maaf, Will.

William Hakim, suamiku .....
Dengan datangnya surat ini, semoga engkau mendapatkan ketenangan hakiki sebelum akhirnya jiwamu berada dalam pelukan akhirat di sana.
Dan ingatlah suamiku, sampai kapan pun aku akan terus menganggapmu begitu. You're my husband!


Your Wife,


dr. Chiara Hakim

Rabu, 25 Januari 2017

OUT OF THE BOX

HARI KE #8: 5 OPINI = 5 (BUKAN) FAKTA


“Two things define you.
Your patience when you have nothing
and your attitude when you have everything.”
~ Unknown

Kata-kata yang tergores di sini berasa seperti mempersiapkan materi konferensi pers. Semacam meyakinkan orang lain bahwa anggapan mereka salah, opini mereka tentang diriku sama sekali bukanlah fakta. Sebuah pengakuan bahwa hanya aku yang paling mengerti tentang konsep-konsep yang telah lama berlaku dalam diriku. Bukan untuk melebih-lebihkan atau menutupi segala kekurangan. Karena memang begitu peraturan yang berlaku dalam #Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari kedelapan ini.
Terkadang kita perlu melakukan penilaian terhadap diri sendiri saat mulai tumbuh rasa insecure, karena menganggap apa yang sempat kita lakukan ternyata tidak cukup baik di mata orang lain. Bisa jadi orang lain sudah terlanjur memiliki penilaiannya sendiri terhadap kepribadian kita, dan secara tidak langsung penilaian itulah yang mempengaruhi baik-buruk atas segala hal yang sedang, akan, atau telah dilakukan. Beberapa opini tertentu sering kali membuat kita kecewa, jika ternyata saat kita telah bekerja mati-matian untuk berusaha menunjukkan eksistensi diri, tetapi akhirnya tidak begitu dihargai.
Kalau sudah begitu, ada saatnya kita harus mulai berpikir out of the box. Memandang hal tertentu dengan tidak harus memaksa sama seperti penilaian orang lain. Tidak perlu berpura-pura memenuhi standar kepuasan orang lain. Lebih kreatif dan bebas bersuara.
Karenanya, stop mendengar pendapat membeo di luar sana. Cukup yakinkan diri sendiri, tidak selamanya opini publik berhak menjadi juara. Dan terlepas dari segala penilaian yang pernah terdengar, sekiranya inilah kelima hal nyata tentang diriku yang pantas untuk diluruskan.
#1: Tegar = Cengeng
Hampir semua orang selalu salah menilaiku. Mereka seringkali menganggap aku kuat, tegar, dan tidak suka mengeluh. Iya benar. Tapi semua itu hanya kulit luarnya saja. Nyatanya, aku suka sering menangis secara sembunyi-sembunyi. Hanya ada aku sendiri, tidak perlu ada yang tahu.
Aku suka menangis, bahkan sangat gampang untuk sekedar menitikkan air mata. Membaca novel maupun menonton drakor saja sudah bisa membuat mataku memanas. Tapi terlalu malu untuk menunjukkannya. Menyadari betapa jeleknya potret wajah yang akan kusuguhkan saat mata ini basah, lubang hidung penuh liur kental, dan pipi merah bak bekas tamparan. Saat terlalu sedih atau bahagia, aku bisa menangis di antara keduanya. Kadang air mata tidak selalu menunjukkan kesedihan, kan? Dari air mata kita bisa mendapatkan kelegaan, walau justru tidak juga bisa menyelesaikan apa-apa. Hanya demi memupuk kekuatan.
Aku ingat seseorang pernah berkata, jika “Jangan pernah menunjukkan kelemahanmu di hadapan orang lain, termasuk air matamu”. Kurang-lebih kalimat itulah yang menjadi alarm pengingatku. Seberapa besar rasa sukaku pada air mata, aku akan berusaha menjaganya agar tidak ada yang tahu betapa jelek ekspresiku saat menangis. Bahaya!
#2: Tahan Banting = Pesakitan
Aku tidak suka menceritakan bagian ini. Jika kujelaskan, seperti ingin menyalahkan takdir. Padahal tidak ada satu pun makhluk di bumi ini yang sudi mengalami sakit. Apalagi parah. Walau diberi imbalan uang satu karung pun rasanya tidak akan pernah ada yang mau, kan. Jadi, bisa dibilang menjadi seorang pesakitan itu sebuah fakta yang tidak mengenakkan.
Dulu… dulu sekali, aku termasuk tipe orang yang jarang sekali sakit. Paling parah hanya demam atau influenza biasa. Berkunjung ke rumah sakit bukanlah hobiku. Biarpun tidak menjaga pola makan teratur atau tidur kurang dari delapan jam setiap hari, entah kenapa aku selalu baik-baik saja. Hingga mantan ibu kost-ku dulu sempat berpendapat, “Tahan banting banget, ya. Nggak makan, nggak tidur, tapi tetep sehat bugar.”
Kebanggaan masa lalu. Karena nyatanya, keadaan sudah berubah 360 derajat. Semenjak aku didiagnosa mengidap salah satu sakit langka yang belum bisa dipastikan dapat mencicipi kesehatan secara nyata. Tapi tetap saja, aku tak sudi menunjukkan tentang sakit ini di hadapan orang kebanyakan. Berusaha berlaku secara normal, menjalani rutinitas semampu yang kubisa. Bukan sekedar ingin dianggap ‘tahan banting’ lagi. Hanya saja, rasanya terlalu jijik melihat tatapan belas kasihan dari mereka.
#3: Dewasa = Childish Manja
Profesiku yang bergelut dalam dunia pendidikan secara otomatis menuntutku untuk bersikap dewasa dan matang. Iya, tapi hanya di lingkungan luar saja. Jika telah masuk ke dalam kehidupan pribadiku, saat aku beralih peran sebagai anak terakhir di keluarga atau sebagai seorang istri, rasanya aku tak perlu lagi menggunakan topeng itu. Cukup menjadi diriku yang lama, yang kekanak-kanankan… total childish. Apalagi jika sudah di hadapan suami tercinta, kebiasaan sikap manja itupun berlaku. Tidak apa-apa kan manja untuk meminta perhatian lebih dari sosok yang paling kita sayangi? Ngeles!!
#4: Best Planner = Best Worrier
Aku terbiasa untuk mempersiapkan segala sesuatu jauh-jauh hari, baik itu pekerjaan rutin maupun baru. Hampir selalu berusaha mempertimbangkan hal dengan matang sebelum deadline, menyusun rencana harus begini-begitu, menyiapkan kepentingan ini-itu. Aku sering menggunakan buku memo atau catatan kecil untuk mengingat tanggung jawab dan tugas yang memang harus dijalankan. Karena itulah, banyak yang menilaiku sebagai best planner yang penuh pertimbangan.
Tapi lagi-lagi, mereka salah. Aku hanya orang yang terlalu dipenuhi rasa was-was. Terlalu banyak kekhawatiran yang memenuhi rongga pikiranku sehingga memaksaku harus berhati-hati agar segala sumber katakutan itu tidak menjadi nyata. Karena itulah aku merasa perlu untuk menyusun rencana sedetail mungkin untuk meminimalisir chaos yang kemungkinan bisa datang jika tidak diantisipasi sebelumnya.
#5: Pendiam = Cerewet
Saat kalian baru mengenalku, kalian pasti dengan sukses akan menilaiku sebagai sosok yang pendiam dan tertutup. Tapi semua itu hanya pandangan awalnya saja. Karena, saat kalian sudah mengenalku lebih dekat… lebih lama, kalian akan sadar jika penilaian awal tadi benar-benar keliru. Aku hampir tidak akan kehabisan bahan pembicaraan jika sudah terlalu akrab dengan sosok lain. Selalu menceritakan apa yang kurasa, meminta pendapat apa yang harus kuputuskan, hingga hal-hal sepele yang hanya membahas masalah selera. Akh… kalian pasti akan menjadi bosan mendengar ocehanku jika sudah begini.
* * *
Dan, inilah catatan sebuah kisah yang kurang lebih mengilustrasikan opini orang lain tidak sesuai dengan hal nyata yang kumiliki…



“Jalani hidup ini dengan ikhlas, maka segalanya akan terasa ringan.”
Aku mengerjapkan mata. Sekali lagi. Mencoba meresapi deretan kata itu. Bukan kata baru, kutahu begitu. Tapi entah kenapa, setiap kata itu terlontar dari mulut seorang Elang, rasanya seperti menemukan sumber penyemangat baru untukku.
Elang memiliki hati selembut embusan angin. Dan aku merasa beruntung telah mengenalnya. Sangat. Bahkan hingga kini, di saat dia menghilang.
Kadang miris menyadari, aku yang dianggap dewasa dan mandiri. Ternyata tidak bisa lepas untuk tak bergantung pada dunia tempat Elang berpijak.
“Lang, maaf!” suaraku lirih. Tak peduli jika suaraku akan teredam oleh kebisingan lounge bandara yang penuh sesak ini.
“Terlambat lagi,” sahut Elang ketus. Dia marah. Aku tahu itu, dan rasanya pantas jika aku diperlakukan begitu. 
“Baru dapat ijin keluar sore tadi soalnya, ditambah kejebak macet di jalan pula,” belaku. “Namanya juga Surabaya, paling susah kalau mau tepat waktu jam-jam segini.”
“Itu.. tu, yang buat bangsa kita nggak maju-maju. Selalu mencari kambing hitam penyebab dari kesalahannya sendiri. Padahal, sebenarnya bisa diatasi.”
Aku menghela napas, sebal. Mulai, deh. Aku yang terkenal bawel ini bisa menjadi pendiam seketika jika sudah dipaksa menerima siraman rohani dari dia.
“Elang sudah check-in?” tanyaku, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Menurutmu? Apa aku setega itu, terbang ke Sydney begitu saja? Sebelum melihat mata belok ini penuh dengan genangan air mata,” goda Elang, sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di pipiku.
“Idih, siapa juga yang mau nangis,” balasku sambil membuang muka sekenanya. Mencoba memasang pertahanan yang sama. Karena kurasakan pipiku mulai memanas. “Kalau mau pergi, ya, pergi saja sana!”
Elang terkekeh mendengar ucapanku. “Bener? Nggak takut kangen tiba-tiba, nih?”
“Nggak akan!” 
Bohong… bohong! sahut batinku tidak sopan.
Nyatanya di detik berikutnya, rasanya seisi perutku diaduk-aduk tak beraturan. Dengung pengumuman itu penyebabnya. Panggilan mengingatkan untuk penumpang yang belum melakukan check-in. Aku tahu, kamu salah satunya, Lang.
Aku baru sadar, ternyata sebuah perpisahan masih terasa berat untuk kuterima. Tapi, aku menghormatimu. Bagaimanapun juga, Aussie adalah impianmu. Mendapat gelar Magister dari sana adalah mimpi besarmu sejak dulu. Dan, kamu tak pernah salah dengan mempercayai mimpi itu.
Elang menunduk. Meraih tas ranselnya dari lantai, hingga terpasang sempurna di kedua bahunya. Lalu berkata, “Jangan menangis, Nay. Aku tahu, kamu bisa jauh lebih kuat dari yang aku bayangkan,” pinta Elang yang terasa aneh di benakku.
“Kenapa?”
“Karena, kamu wanitaku,” balasnya tegas. “Satu-satunya orang paling dewasa yang pernah kukenal. Kamu selalu bisa bagaimana harus bersikap dengan logika, bukan dengan mengedepankan emosi.”
Aku mengangguk cepat. Berusaha menghalau bulir-bulir air mata yang mulai terasa menggenang. Tidak ingin dicap cengeng di hadapannya, walaupun aslinya memang begitu.
“Ingat ya, harus belajar ikhlas. Apapun yang terjadi di depan sana, kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada. Jangan ada ragu!”
Lagi-lagi aku mengangguk. Hanya ini yang bisa kulakukan.
Elang merengkuh tubuhku pelan. Tidak ada kata-kata lagi. Hanya tetabuhan genderang di hati saja yang kurasa kian meliar. Begitu menyakitkan sebuah perpisahan. Padahal, saat kita dekat, kita tak pernah bisa menghargai betapa berharganya sebuah pertemuan.  
“Bagaimana kabarmu, Lang?” Sepertinya kata tanya ini hanya mampu kuterbangkan di antara lipatan angin yang tetap angkuh membisu. Karena, pesawat itu benar-benar telah membawa Elang menjauh dariku. Selamanya.
Tapi, tak sepantasnya aku bersedih. Karena masa depan masih milikku, bersama aroma semangat darinya. Aku  akan tetap mencoba untuk mengikhlaskannya. Membiarkan Elang tenggelam dalam pelukan akhirat, semenjak pesawat maut itu merenggut paksa kontrak hidupnya di dunia penuh kemunafikan ini.

[END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Selasa, 24 Januari 2017

TENTANG MENGHIDUPKAN HIDUP

HARI KE #7: TULISAN YANG MEMBUAT KUAT, BISAKAH?



 “Nobody can hurt me without my permission.”
~ Mahatma Gandhi

Kata-kata Mahatma Gandhi di atas itu sebenarnya terlalu congkak, sih. Tapi, mau bagaimana lagi? Topik Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari ketujuh ini seolah-olah mendorongku untuk mengeluh pada keadaan dulu, setelah itu baru aku bisa merumuskan  apa-apa yang membuat keluhan itu pun akhirnya terdorong untuk menghilang. Harus bisa menentukan apa-apa yang seharusnya bisa membuatku menjadi kuat. Apa-apa yang harus tergores dengan tepat waktu di hari ini. Hingga akhirnya, apa-apa itu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah aku bisa menjadi lebih kuat dengan menyampaikannya melalui barisan kalimat-kalimat berikut ini?
Karenanya, sebelum keraguan mulai tumbuh mengakar, aku merasa perlu untuk menyampaikan kalimat congkak itu. Dengan dalih—yang lebih masuk akal—bukan menyombongkan, melainkan berpura-pura optimis.
Dan, sedikit renungan yang mungkin akan membuatku tersadar. Lalu, buru-buru memupuk kekuatan. Mencari cara untuk bisa menghidupkan hidup.



Hey, kamu… Gadis Pembeli Harapan.
Masihkah sudi menyimpan harapan lamamu? Tentang barisan impian yang hingga kini belum tuntas kau dapatkan. Tentang pembuktian eksistensimu sebagai ‘anak’ yang belum juga dipandang utuh oleh sosok Bapak yang kau sayang. Tentang kehidupan yang sengaja menghadirkan berbagai batu tapal ujiannya. Dengan cara yang berbeda-beda. Demi melahirkan keikhlasan, demi ketegaran, demi perjuangan, dan demi menjaga keranjang cinta yang harus terus ada.
Kita memang tak akan pernah tahu bagaimana konsep rencana masa depan yang sedang dipersiapkan oleh Dia. Ketidakpastian yang sering kali membuat kita harus menanam biji harapan satu per satu. Berusaha meyakini bahwa apa yang kita pinta layak untuk dijadikan nyata. Atau, memaksa suara-suara tersembunyi dari dalam hati untuk bebas mengudara dalam alunan doa di tiap pengujung pertemuan denganNya. Sayangnya, sering kali pula kita menjadi terlena untuk giat memuluskan harapan demi harapan itu. Terlupa akan posisi kita sebagai manusia, sebagai hambaNya yang sama sekali tak punya kuasa apa-apa di atas segala realitas kehidupan.
Hidup ini terkadang aneh. Penuh teka-teki. Sementara kebenarannya hampir selalu abstrak untuk bisa diraba.
Suatu waktu kita dihadapkan pada keadaan untuk bebas memupuk subur harapan. Tapi, di waktu yang lain kita justru dipaksa untuk rela melepaskannya. Membiarkan bulir-bulir harapan itu jatuh berserakan, sambil meyakinkan pada diri sendiri… apakah tangan kerdil ini sanggup untuk mengumpulkan kembali tiap bulirnya? Sepertinya, hidup itu memang harus seperti ini. Memaksa kita untuk siap menghadapi segala kemungkinan.
Mungkin untuk bernapas atau mati.
Mungkin untuk sehat atau sakit.
Mungkin untuk kaya atau miskin.
Mungkin untuk berhasil atau gagal.
Mungkin untuk menang atau kalah.
Mungkin untuk jatuh cinta atau patah hati.
Mungkin untuk tegar atau terpuruk.
Dan, segala kemungkinan lain yang harus kita terima dengan cepat tanpa bisa menolak.
Mungkin, kita memang harus lebih realistis menerima segala keputusan takdirNya. Walaupun sering kali kita dengar bahwa Dia tidak akan mengubah nasib hamba-hambaNya yang tidak mau berusaha. Tapi tetap saja, pada akhirnya hanya takdirNya yang berkuasa sebagai penentu utama. Sebesar apapun kita berusaha, jika Dia tidak berkata “iya”… maka semua akan menjadi sia-sia. Karenanya, sekali lagi, apakah kaum manusia seperti kita bisa mengubah kenyataan? Tidak peduli bagaimana jawabannya, semestinya keadaan ini bukan berarti menuntut kita harus berhenti berusaha.
Tapi di atas itu semua, ada satu hal yang perlu kita ingat.
Adalah seburuk-buruk apapun ketentuan takdir yang diberikan olehNya, selalu ada makna rahasia yang tersembunyi di baliknya. Hikmah dan (mungkin) kisah indah baru yang bisa jadi sudah disiapkan oleh Dia di akhir segala penerimaan pasrah kita. Kita hanya perlu mengingatnya. Bukan justru mengedepankan keluhan, lalu bergerilya meminta sumbangan rasa kasihan dari orang lain. Akh… memalukan. Kenapa kalian harus bangga memamerkan segala kekurangan yang kalian punya? Kenapa harus mengadu kepada sesama hambaNya? Kenapa tidak mengadu langsung kepada Dia, asal dari mana segala kekurangan dan ketetapan itu berawal?
Kadang, keadaan ini yang membuat kita bangga menjadi hambaNya terlalu hebat meminta saat serdadu masalah mulai berdatangan. Tidak malu memohon ini-itu. Menghujat kenapa begini-kenapa begitu. Bukan justru mencari bagaimana tindakan terbaik untuk mengatasi segalanya. Bukankah kita hamba ciptaanNya yang paling sempurna, satu-satunya makhluk Dia yang berakal. Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha untuk bisa menggunakan akalnya dengan benar?
Sebuah mitos terkenal pernah bersuara, bahwa “sebagian besar orang hanya menggunakan sepuluh persen kapasitas otak mereka selama hidupnya”. Terlepas dari benar atau salah mitos itu, ada suatu penilaian yang sekiranya perlu kita yakini. Dia bukan tanpa alasan memberikan bekal otak lengkap dengan segala manfaatnya. Ada begitu banyak hal yang tampak mustahil untuk didapatkan atau dilakukan oleh manusia pada umumnya, tapi ternyata tetap ada begitu banyak manusia yang bisa mewujudkannya. Sepertinya kita memang perlu sedikit percaya jika bekal otak yang kita punya sangatlah luas dan dalam, layaknya lautan samudra. Dan, kita pun diberikan pilihan untuk bersedia memanfaatkannya secara keseluruhan atau tidak. Atau, justru cukup berpuas diri begitu saja.
Teruslah berupaya walau mungkin nanti hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita upayakan. Teruslah berprasangka baik kepada Dia. Karena Dia, satu-satunya Zat Maha Kekal yang tak akan pernah tertidur menyaksikan gerak-gerik peran kita dalam tiap babak sandiwara ciptaanNya.
Percayalah kata-kata klise… semua akan indah pada waktunya. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]


Senin, 23 Januari 2017

HASIL PLUS PROSES (JANGAN) MINUS

HARI KE #6: KEBANGGAAN YANG BELUM TERASA MEMBANGGAKAN


“Negeri ini sudah menderita keterpurukan
akibat korupsi,
apa harus ditambah lagi dengan
generasi muda yang mentalnya bobrok?”
~ Andri Rizki Putra

Bawaannya ingin berendam di Laut Mati saja sekarang, karena tidak tahu harus menggoreskan kisah apa kali ini. Pertanyaan topik Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari keenam ini benar-benar susah untuk dijawab. Karena saya merasa belum memiliki satu hal yang pantas dibanggakan, atau setidaknya yang membuat saya sendiri merasa bangga. Apa, ya? Sulit sekali didefinisikan.
Boleh alpa buat challenge hari ini nggak, ya?? Hahaha… minta dijewer! J J J
Okelah… setelah menimbang dan memperkirakan, lalu memutuskan bahwa ada secelah kisah yang sepertinya cukup menggambarkan jawaban untuk pertanyaan hari ini. Walaupun jenis jawaban yang ingin disampaikan ini belum bisa dibilang jadi suatu hal yang layak untuk dipamerkan atau dibangga-banggakan juga, sih. Tapi, tidak ada salahnya kan jika saya ingin share kisah satu ini. Kisah yang dulu sempat membuat saya sempat berada di ambang kegamangan. Apakah sudah benar keputusan yang saya ambil? Tanpa sedikit membanggakan kisah ini atau ber-ghibah akan kekurangan pihak manapun. Tidak. Semoga tidak.
Karena saya hanya ingin berbagi apa yang sempat saya rasa kepada kalian.

Kisah ini terjadi lima tahun silam, saat saya masih berstatuskan guru sekolah menengah pertama swasta yang memiliki basic pondok pesantren. Sebenarnya, semua terasa baik-baik saja dan berjalan normal apa adanya selama saya mengajar di sekolah itu, hingga di tahun ketiga pergolakan batin itu terjadi. Ada beberapa kebijakan pihak pengelola pesantren yang mulai mengganggu saya. Tidak sesuai dengan nurani saya sebagai seorang pendidik, guru mapel biasa di sana. Terlebih lagi, jabatan sentris di sekolah itu mulai dari pembina, kepala sekolah, dan bendahara keuangannya diisi oleh mereka-mereka yang kebetulan masih kerabat pengelola pesantren. Kadang banyak keputusan sekolah yang tidak bisa dijalankan dengan bebas, karena harus bergantung pada keputusan dari pengelola pesantren. Bahkan sering kali aktivitas belajar menjadi terganggu karena ada beberapa kesibukan di luar kurikulum pendidikan yang harus diikuti oleh siswa-siswanya dan dilakukan di dalam jam belajar sekolah. Hingga beberapa guru sering kali mengeluh atas kebijakan-kebijakan sepihak tersebut.
Awalnya, saya sendiri tidak ambil pusing dengan keadaan-keadaan itu. Hingga tiba di malam itu, malam sebelum pelaksanaan hari terakhir Ujian Nasional (UN). Seperti malam-malam menjelang pelaksanaan UN sebelumnya, di pondok pesantren itu selalu ada semacam kegiatan belajar dan berdoa bersama. Pemateri didatangkan dari guru luar sekolah yang dikenal telah terbiasa memberikan bimbingan dan pengarahan agar siswa-siswa dari sekolah manapun siap bertempur menghadapi UN.
Kala itu, UN tak ubahnya momok bagi tiap sekolahan. Dimana tingkat kelulusan siswa menjadi tolak ukur berhasil atau tinggi-rendahnya kualitas sekolah. Satu-satunya penilaian terkonkret tentang taraf keberhasilan pihak sekolah dalam mendidik siswa-siswa setelah menempuh lamanya proses pendidikan, dalam kasu ini selama tiga tahun. Jadi, sering kali beragam cara dilakukan oleh pihak sekolah untuk bisa meluluskan semua siswanya. Lulus 100 persen itu keren! Slogan yang paling dominan didendangkan oleh sekolahku saat itu.
Karena kebetulan saya mendapat amanah sebagai salah satu wali kelas IX, jadi tiap malam saya diwajibkan berpatroli memantau jalannya aktivitas belajar bersama tersebut. Seharusnya, sih begitu. Tapi baru di malam menjelang hari ketiga UN itulah saya bisa memenuhi tugasnya. Sedikit cerita, karena memang saya memiliki kesibukan yang tidak hanya sebagai guru saja. Jadi rasanya wajar jika saya harus bisa membagi waktu untuk menyelesaikan satu per satu kesibukan yang saya jalani saat itu. Tanpa ada berat sebelah.
Malam itu, untuk pertama kalinya saya baru bisa mendengarkan celoteh anak-anak saya. Dengan lancar mereka mengeluhkan kesulitan ini-itu, bercerita tentang si pengawas nganu-itu, termasuk proses pengerjaan soal yang seperti begini-begitu. Salah satunya, celoteh tentang lembar kunci jawaban yang bebas beterbang di tiap ruang ujian. Kebocoran soal massal! Hah…, kabar burung yang satu itu beneran nyata?
Sebenarnya saya sudah mencurigai kabar itu jauh-jauh hari sebelumnya. Beberapa guru lain yang kebetulan mendapat tugas sebagai pengawas UN sempat menceritakan ada oknum guru dari sekolah ini yang sengaja menyebarkan kunci jawaban sebelum jam UN dimulai. Bahkan mereka diminta untuk memuluskan usaha anak-anak saat aksi kecurangan itu berlangsung di tiap ruang ujian. Padahal saya sangsi akan kebenaran kabar ini sebelumnya. Karena seperti yang sempat saya ceritakan sebelumnya, kalau sekolah ini basic-nya pondok pesantren. Jadi, masa sih mereka melupakan nilai-nilai religi demi mengejar keindahan duniawi semata?
Tapi nyatanya, saya salah besar. Dengan mata kepala sendiri, di malam itu saya menyaksikan kebenaran yang terlalu menyesakkan. Pemateri yang katanya terkenal membakar semangat anak-anak agar tidak gentar berhadapan dengan soal-soal UN, ternyata semua itu hanya kedok. Tidak ada kegiatan belajar bersama, tidak ada pembahasan kisi-kisi soal secara kilat. Hanya sebatas prosesi pembagian kunci jawaban.
Sedikit penasaran, saya pun bertanya pada salah satu siswa yang duduk di dekat saya kala itu. “Tiap hari bawa kertas kayak gitu, Dil?”
“Iya, Bu.”
“Memang bisa bukanya pas ujian?”
“Bisa lah, Bu. Pelan-pelan. Kadang pengawasnya juga pura-pura nggak tau kalau kita buka ini.”
“Masa, sih?”
“Beneran, Bu. Waktu kapan hari itu kan kunci jawabanku jatuh ke lantai. Karena takut ngambilnya, jadi langsung kuinjak pake kaki terus jalan keluar sambil nyeret-nyeret kaki. Gitu itu pengawasnya nggak ada yang penasaran, nanyain kenapa.”
Aku tersenyum miris. “Memang kamu yakin kalau kunci jawabannya udah bener?”
“Emm…, nggak tau juga, sih, Bu. Tapi yang penting, katanya asal kita bawa ini pas ujian, kita pasti bisa lulus.”
Saya kecewa. Perasaan pun campur aduk. Antara marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Antara ingin mengadu, tapi juga tidak tahu mengadu ke mana. Kalau memang pengawas UN saja masa bodo—seperti penuturan siswa tadi—bisa jadi tindakan kotor ini tidak hanya terjadi di sekolahku saja. Karena tugas pengawas UN itu bersifat silang. Artinya, guru-guru yang menjadi pengawas UN di sekolahku berasal dari guru-guru sekolah lain. Bertukar posisi dengan guru-guru pengawas dari sekolahku. Bisa jadi sebelumnya sudah ada perjanjian antar pengawas dari kedua sekolah, untuk memuluskan kecurangan anak-anak mereka saat ujian tadi. Sama-sama ada, tapi sama-sama membiarkan saja.
Saya bingung. Dilema. Tidak tahu harus memutuskan bagaimana. Karena itu, saya buru-buru pulang ke rumah. Ribuan tanda tanya berlarian dalam kepala, tanpa tahu harus dimana mencari jawabannya. Kenapa bisa begini? Ada apa ini sebenarnya? Ini dunia pendidikan, bukannya harus selektif dalam mendidik? Apa memang tidak ada cara lain, selain menggadaikan nilai kejujuran seperti ini? Apa mereka tahu, Bapak Menteri Pendidikan dan Bapak Presiden yang terhormat?
Bagi saya, UN seharusnya bisa dimanfaatkan bagi tiap-tiap pebelajar untuk ajang menguji seberapa sakti jurus-jurus yang telah dipelajari. Standar pengukuran kemampuan mereka masing-masing. Tanpa perlu bergantung pada siapa pun dan dengan bantuan alat apapun. Semestinya mereka—para pebelajar yang notabene kelak akan menjadi generasi penerus bangsa—bisa menjalani proses yang benar untuk mendapatkan hasil yang benar juga. Kepuasan di atas jerih payah mereka sendiri. Bukan kepuasan semu. Bukan hanya sekedar mengandalkan hasil, tapi proses nol. Hasil boleh plus, tapi proses jangan sampai minus.
Kalau dari dunia pendidikan sekecil pelaksanaan UN saja masih terasa mahal untuk mendapatkan nilai-nilai kejujuran, lalu di mana anak-anak bangsa ini bisa mencari keteladanan? Apakah mengenalkan budaya mencontek itu tidak sama saja dengan mengajarkan mereka menjadi calon-calon koruptor kelak? Tidak menutup kemungkinan begitu, bukan?
Semenjak malam itu, semenjak merasa sakit hati yang tak tahu di mana obatnya, saya berjanji tidak akan kembali memasuki dunia pendidikan tingkat sekolah. Entah itu sekolah dasar, sekolah menengah pertama atau atas. Tidak mau. Selama ada sistem ujian nasional untuk penentuan kelulusannya, saya tidak ingin terlibat kembali di dalamnya. Karena itulah, saat tugas-tugas administratif sebagai wali kelas IX telah tuntas saya selesaikan, saya pun mengundurkan diri dari sekolah itu. Dan juga, dari dunia pendidikan tingkat sekolah. Selama-lamanya.
Hal yang tidak begitu membanggakan memang, tapi juga tidak mudah diputuskan. Karena saat saya menyuarakan keputusan ini dengan deretan alasan yang saya kemukakan, ada deretan nada sumbang juga yang mengikuti. Dianggap guru sok suci, konservatif, tidak adaptif, tidak bisa mengikuti arus, pemikiran jadul, sampai dinilai terlalu idealis.
“Mau makan apa kamu jadi orang sok idealis gitu?” Pertanyaan apatis yang sebenarnya membunuh keoptimisan sendiri si penanya.
Rasanya, masih banyak cara untuk mendapatkan rizki dengan halal. Atau, masih banyak jalan untuk menuntaskan keinginan dengan benar. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]