Selasa, 12 Maret 2019

SEGURAT WAJAH DI BARIS WAKTU



Langit gelap. Aku menyilangkan tangan di dada. Menahan rasa dingin yang menyapa tanpa tata krama. Beberapa orang mengembangkan payungnya, berlindung dari derasnya air hujan. Sementara yang lain, rela membasahi pakaiannya. Berlari-lari kecil melawan rintik air langit yang lebih dari sekedar gerimis. Mungkin, waktu mereka terlalu berharga jika dihabiskan hanya terdiam dan menunggu reda itu tiba.
Tapi, itu tak berlaku bagiku. Aku masih di sini. Berdiri mematung. Gamang antara iya dan tidak. Hanya berani menatapnya, sepasang daun pintu yang mengatup rapat di seberang jalan sana. Takut untuk mendekatinya. Bukan karena ukuran pintu itu. Melainkan, karena seraut wajah yang berada di baliknya. Dan, aku tak yakin jika wajah itu sudi melengkungkan bibirnya saat menyambutku. Mamak, boleh aku kembali ke pangkuanmu lagi?
Anak durhaka. Sebutan itu kembali memekik kasar di genderang telingaku. Pikiranku melayang pada sebaris kenangan dua tahun silam. Di malam terakhir sebelum hari keberangkatanku ke Negeri Jiran.
“Buat apa, tho, Le? Jauh-jauh ke negeri orang cuma buat jadi buruh,” ucap Mamak kala itu, menentang niatku menjadi seorang TKI. “Sawah tinggalannya Bapak sudah cukup buat makan kita sehari-hari.”
“Wawan mau coba cari penghasilan sendiri, Mak. Siapa tau Mak, rejekinya Wan ada di sana.”
“Terus, siapa yang jaga Mak, Le?” ratap Mamak.
“Nanti Wan minta tolong Budhe Arti buat jaga Mak, ya.” Kusentuh pundak Mamak, mencoba meyakinkannya.
“Pokoknya Mak ndak ikhlas. Jangan pergi, Le!”
“Mak, desa ini ada apanya, sih? Apa yang bisa dibanggakan?” tanyaku dengan nada suara yang mulai meninggi. “Wan mau belajar mandiri. Kalau Wan sukses, Mak juga yang bangga.”
“Kamu ndak mau jadi anak durhaka, kan, Le?”
Aku menatap Mamak dengan pandangan tak percaya. Pertanyaan itu? Benarkah Mamak yang bersuara.
Mamak justru membenamkan kepalanya semakin dalam, lalu berucap, “Kamu anak satu-satunya yang Mak punya. Kalau kamu pergi, Mak anggap... Mak ndak pernah punya satupun anak.”
Aku menarik napas dalam. Perihnya masih terasa. Waktu terasa menyakitkan jika mengingatnya.
Deretan kata itu terlalu kuat membekas. Tidak mampu kututupi sekalipun dengan berlembar-lembar uang yang kudapatkan. Aku tahu, aku salah. Mengindahkan pintanya demi membesarkan nafsu serakahku. Nyatanya, apa yang kudapatkan? Tidak ada. Dua tahun menjadi TKI, tapi sukses yang kuharapkan belum juga dapat kunikmati dengan bebas. Barisan waktu mengajarkanku, ternyata hidup di negeri orang tak seindah kisah dongeng pengantar tidur. Tetap ada susah yang perlu diperjuangkan dengan penutup kisah yang tak selamanya berakhir indah.
Tetesan anak hujan mulai mereda. Perlahan kulangkahkan kaki menuju sepasang pintu coklat itu. Baru kusadari, beberapa bagiannya tampak renta. Keropos dimakan rayap. Ah, Mak, semoga tidak begitu dengan cintamu.
Sepertinya aku memilih belajar untuk tak peduli, Mak. Tak peduli sebesar apa penolakanmu nantinya, tak peduli sumpah serapah yang akan terlontar dari mulutmu. Tak apa, Mak. Aku rela mendengarnya. Aku hanya ingin menatap kembali gurat menenangkan dari raut rentamu.
Setidaknya, biarkan pintu maaf itu terbuka sedikit saja. Demi anak durhakamu, Mak. Sebelum jeda waktu itu bersuara.

#NubarOwobJatim #WaktuChallenge



Sabtu, 02 Maret 2019

REVIEW DRAMA KOREA: MOTHER



Title : Mother (Call Me Mother)

Director : Kim Cheol-Kyu

Writer : Jung Seo-Kyoung

Network : tvN, 16 episode

Drama korea series ini merupakan drama remake dari Jepang dengan judul yang sama ‘Mother’ dan telah ditayangkan di tahun 2010. Kemudian diremake lagi di Turki dengan judul ‘Anne’ yang ditayangkan pada tahun 2016. Untuk di Korea sendiri, drama ini mulai rilis sejak tanggal 24 Januari 2018. Karena drama ini hasil remake, jadi otomatis jalan kisah di dalamnya sama persis dengan drama-drama yang sudah tayang sebelumnya. Tapi berani bertaruh, sebanyak apapun kalian menonton drama ini, sebanyak itu pula air mata baper kalian akan banjir berkali-kali.


Dunia hampir tak kehabisan ide jika kisah tentang sosok ibu diangkat ke permukaan. Seakan beribu-ribu babak tidak mampu membendung deretan adegan yang menggambarkan pesona hati seorang ibu. Bukan hanya karena formula cinta yang ditebarkanya, melainkan juga tutur kata nasihat yang kerap kali membentuk kematangan pribadi dan sikap anaknya. Lalu, mungkinkan seorang ibu membenci anaknya? Walaupun itu ibu kandung sekalipun, mungkin tidak? Jika kalian ragu harus menjawab apa, itu artinya kalian wajib menemukan jawabannya setelah menonton drama korea satu ini: Mother atau Call Me Mother. Drama ini bertemakan child abuse dengan menekankan bagaimana seharusnya pola hubungan ibu dan anak yang lebih sehat.
Drama Mother dimulai dengan adegan seorang detektif yang menemukan tas sekolah Kim Hye Na (Heo Yeol) telah basah kuyup tercebur di laut, lalu menyerahkan tas itu ke ibu kandungnya, Ja Young (Ko Sung Hee). Hye Na merupakan murid kelas TK yang telah beberapa hari dikabarkan menghilang, bahkan diasumsikan Hye Na sengaja menceburkan diri ke dalam laut. Kemudian, penonton akan diajak flashback pada hari-hari sebelum kejadian menghilangnya Hye Na terjadi.
 Bermula saat Kang Soo Jin (Lee Bo Young) menjadi guru pengganti yang mulai mengajar di kelas Hye Na. Soo Jin sebenarnya adalah peneliti burung terkenal tapi memilih tetap melajang di usianya  yang sudah berkepala tiga. Soo Jin yang keras kepala, mandiri, dan cenderung dingin ini mulai membuka diri saat bertemu dengan Hye Na. Di mata Soo Jin, Hye Na mengingatkan kembali pada dirinya di masa lalu sebagai anak yang pernah menjadi korban kekerasan orang tua. Soo Jin menemukan banyak bekas luka di tubuh Hye Na, tapi anehnya anak itu justru menutupinya dengan berkata ‘baik-baik saja’. Hye Na memang anak yang tak pernah mengeluh dan selalu bangga menceritakan betapa baik dan cantik ibu kandungnya.
Ja Young, sebagai ibu yang pernah melahirkan Hye Na ini tak pernah memperlakukan Hye Na dengan layak. Ja Young merasa menyesal telah melahirkan Hye Na, dan membuat dia merasa frustasi kurang kasih sayang seorang pria. Ketika Lee Seol Ak (Son Sook Koo) masuk ke dalam kehidupan Ja Young, dia justru semakin membuat Hye Na sengsara. Seol Ak sangat membenci anak-anak, bahkan dia mempunyai riwayat pernah membunuh seorang anak hanya karena anak itu terlalu ribut menurutnya. Otomatis Hye Na pun diperlakukan sama olehnya, disiksa bahkan sempat dipukul dengan bola bisbol hingga telinga Hye Na terpaksa dijahit. Sementara Ja Young membiarkan saja melihat anaknya diperlakukan kasar. Puncak klimaks terjadi ketika Hye Na dimasukkan ke dalam kantong plastik sampah, lalu diletakkan di luar rumah saat udara malam bersalju dan dingin.
Ketika Hye Na berada dalam posisi mengenaskan di dalam plastik sampah seperti itu, Soo Jin menemukannya. Sejak malam itu, Soo Jin berniat untuk menjauhkan Hye Na dari ibunya dan membuat seolah-olah Hye Na menghilang dengan melompat diri ke dalam laut. Namun, alih-alih bermaksud menyelamatkan Hye Na, justru Soo Jin dijadikan tersangka penculikan. Dalam masa pelariannya, Soo Jin dipertemukan kembali dengan ibu angkat yang telah mengadopsinya dari panti asuhan dan bertemu juga dengan ibu kandung yang telah menelantarkannya di panti asuhan. Dalam masa pelariannya, Soo Jin belajar mengalahkan ego dengan cinta untuk menerima ibu angkat yang telah rela berkorban banyak saat mengadopsi lalu membesarkannya seorang diri. Soo Jin juga belajar memaafkan ibu kandung yang dulu menelantarkannya di bawah pohon depan panti asuhan.
Sementara Hye Na, semenjak melarikan diri bersama Soo Jin, dia berubah nama menjadi Yoon Bok. Hye Na mulai menjadi anak apa adanya yang tidak lagi malu menunjukkan perasaannya. Menangis saat sedih, dan tersenyum saat tertawa. Hye Na merasakan banyak hal baru dalam hidupnya, merasakan hangatnya keluarga besar, perasaan dibutuhkan, membuat dia tidak ragu memanggil Soo Jin dengan panggilan ibu.
Bagian tersedih dari drama series ini saat episode 13 ketika Soo Jin akhirnya tertangkap oleh polisi yang selama ini mengejar-ngejarnya. Posisi Hye Na di mata masyarakat awam dianggap sebagai anak yang diculik, namun saat itu justru Hye Na menangis meraung-raung ketika polisi memisahkannya dengan Soo Jin. Berulang kali dia berteriak, “Jangan sakiti ibu saya,” ke polisi-polisi yang menangkap Soo Jin lalu menggiringnya ke mobil tahanan. Sedangkan Soo Jin pun bersikap sama, berteriak, berontak, karena tidak ingin dipisahkan oleh Hye Na yang benar-benar telah dianggap sebagai anak sendiri. Siapkan tisu sebanyak mungkin jika sudah menonton sampai ke bagian ini, ya.


Kelebihan drama ini, bisa memberikan pengaruh emosional yang kuat bagi penontonnya. Mampu mengocok berbagai perasaan, dari sedih, kecewa, marah, hingga gregetan. Awalnya, setelah menonton episode-episode pembuka, saya sempat bertanya-tanya. Mengapa Hye Na harus diajak kabur bersama? Mengapa tidak meminta pertolongan ke polisi, melaporkan tindakan abuse yang telah dilakukan oleh ibu kandungnya? Misal, kalau di Indonesia bisa melaporkannya ke Komnas Perlindungan Anak. Tapi ternyata, di bagian akhir-akhir episode akan dijelaskan jika saat itu Soo Jin meminta bantuan perlindungan dari aparat pemerintah, ujung-ujungnya Hye Na akan tetap kembali pada ibu kandungnya sebagai pihak yang paling berhak atas pengasuhan anaknya. Soo Jin khawatir jika Hye Na dibiarkan tetap bersama ibunya, cepat atau lambat Hye Na pasti akan meninggal. Karena itulah, tindakan ekstrem melarikan Hye Na menjadi pilihan Soo Jin.
Setiap orang memiliki kenangan dan masa lalu. Entah baik, entah buruk, kenangan itu pasti akan membekas di masa mendatang. Keadaan inilah yang berusaha dideskripsikan dalam drama Mother, dimana hampir setiap tokoh memiliki kenangan masa lalu yang rata-rata ‘menyesakkan’. Seperti Soo Jin, menyimpan kenangan pahit saat dia ditelantarkan ibunya di halaman panti asuhan. Lee Seol Ak yang menjadi kejam karena masih menyimpan traumatis melihat ibunya bunuh diri, korban broken home. Dan, Ja Young yang terlalu egois merasa ingin disayangi dan diperhatikan oleh seorang pria karena merasa kehadiran Hye Na membuat ilfil ayah Hye Na lalu meninggalkannya begitu saja. Membuat dia merasa kurang kasih sayang dari seorang pria, sehingga rela melakukan apa saja agar pria yang disayanginya tetap mau bertahan bersamanya, sekalipun itu harus menyakiti anaknya. Parah, kan? Sementara Hye Na, anak yang cenderung dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya karena keadaan memaksa dia untuk membuat ibunya selalu merasa bahagia. Kenapa begitu? Karena untuk anak semacam Hye Na, sosok ibu lah yang menurutnya paling berharga. Sosok ibu menjadi satu-satunya tempat dia bernaung, saat tak ada lagi pihak luar yang benar-benar peduli padanya. Peduli dengan tidak mengatasnamakan belas kasihan.
Lalu, mungkin tidak sih ada orang-orang dengan ‘keunikan’ karakter-karakter ini di dunia nyata? Mungkin tidak ada seseorang yang berkarakter semandiri Soo Jin, sekejam Seol Ak dan Ja Young, atau bahkan sedewasa Hye Na di usianya yang baru sembilan tahun? Saya rasa mungkin. Walau terkadang logika menolak, mana ada ibu di dunia ini yang membenci anak kandungnya sendiri? Tapi nyatanya, sudah berapa kali kita sering mendengar berita miris yang mengabarkan tentang orang tua menyiksa anaknya? Bahkan lebih ekstrimnya, ada bayi yang sengaja dibuang oleh orang tuanya. Miris memang, tapi begitulah kenyataannya.
Karenanya, kelebihan lain dari drama ini bisa dijadikan sebagai media ‘shock teraphy’ bagaimana seharusnya seorang ibu, calon ibu, dan orang tua pada umumnya dalam memperlakukan anaknya. Mengingatkan para orang tua, bahwa sekecil apapun perlakuan buruk yang dilakukan ke anaknya, apalagi untuk anak yang di bawah umur, kelak perlakuan itu tetap akan membekas di masa mendatang. Karena pada akhirnya, perlakuan itu dapat menggiring pembentukan karakter sang anak. 
Jadi untuk kalian, berhati-hatilah dalam bersikap maupun bertutur kata kepada siapa pun. Jangan sampai apa yang kalian katakan, apa yang kalian lakukan, memberikan efek negatif bagi perkembangan mental orang lain, ya.

*p.s : Ketika ditulisan ini berhasil dipost, maka tugas rumah Nuber OWOB Regional Jatim untuk minggu ini telah selesai ditunaikan. #DONE #OneWeekOne Book