Selasa, 24 September 2013

Tentang Wanita Terhebat di Hidupku ::IBU::


SEKALIPUN MODERNITAS BERLAKU,
KEPERKASAAN IBU TAK TERGERUS WAKTU


Dunia hampir tak kehabisan ide jika topik pembicaraan tentang sosok ibu diangkat ke permukaan. Berlembar-lembar kertas pun seakan tidak mampu membendung deretan kata yang menggambarkan pesona dirinya. Sosok orang tua teristimewa ini terkadang menerbitkan rasa penasaran yang memaksa setiap pihak berhasrat untuk menemukan jawabannya. Ibu, terbuat dari apakah hatimu? Karena formula cinta yang diciptakan oleh seorang ibu pantang mengenal kata surut, kian berkembang tiap detiknya demi memberikan perlindungan berkualitas bagi buah hati dan keluarganya.
Namun sangat disayangkan, banyak kaum ibu yang kerap mendapatkan ketidakadilan dalam roda kehidupan ini. Banyak dari mereka masih berada dalam aura feodalism terselubung, tak mampu memerdekakan hak kehidupannya. Bahkan untuk menyuarakan pendapatnya saja masih terasa berat. Seringkali fenomena-fenomena menyesakkan tentang ibu tertangkap dalam indera pengelihatan ini. Dimana tampak sesosok ibu tua meski telah berlumurkan keriput dan ruam-ruam wajah yang memucat, namun terpaksa berjuang keras melakukan pekerjaan kasar yang tak pantas dikerjakan hanya demi membiarkan asap dapur rumahnya tetap mengepul. Ada anak yang menanti, begitu dalihnya. Jika sudah begini, hati siapa yang tidak getir mendengar pengakuannya? Karena, pengorbanan seorang ibu tak mengharapkan imbal balik apapun. Murni demi cinta.
Mengapa Hari Ibu, Bukan Hari Ayah?
Banyak masyarakat awam yang mempertanyakan, mengapa hal di dunia ini terkesan tak adil? Salah satunya adanya perayaan Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember. Sementara, adakah perayaan Hari Ayah? Mengapa hanya ibu yang dihormati, padahal tugas mencari nafkah terletak dalam pundak seorang ayah?
Jika berkaca pada tonggak sejarah perayaan Hari Ibu, rasanya sepaket pertanyaan di atas layak untuk dipatahkan. Hari Ibu merupakan bentuk tradisi penghargaan oleh anak, suami, maupun anggota keluarga lainnya terhadap peran seorang ibu. Tradisi ini ditetapkan secara nasional, dan biasanya ditandai dengan membebastugaskan ibu dari segala macam rutinas tugas kesehariannya dalam rumah tangga.
Sejarah Hari Ibu diawali ketika para pejuang wanita bertemu dan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 di Gedung Mandalabhakti Wanitatama, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh  30 organisasi perempuan perwakilan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Pemikiran ini diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19, seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said, dan lain-lain. Sedangkan penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Kemudian, Presiden Soekarno menetapkan keputusan tersebut melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. (http://sejarah.kompasiana.com, diakses tanggal 6 Januari 2013)
Misi peringatan Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Hal ini tercermin melalui semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Mengingat betapa bersejarahnya kisah di atas, rasanya tidak berlebihan jika setiap makhluk di muka bumi ini rela memberikan waktu satu kali dua puluh empat jam saja untuk mengenang jasa-jasa ibu. Walau sudah sepantasnya penghormatan terhadap ibu diberikan setiap harinya, saat mata terbuka dan jiwa terjaga.
Buah Simalakama Wanita Karir
Perubahan alam terjadi begitu cepat, layaknya roda rantai evolusi yang kian mencekik keaslian alam. Sekelompok orang mencoba bertahan melawan perubahan yang ada di sekelilingnya dengan atau tanpa kekuatan yang berarti. Bahkan tidak sedikit dari mereka berusaha mengejar bekal pertahanannya secara membabi-buta, walau harus menghamba pada budaya modernitas yang selalu mengedepankan nilai materiil. Hingga terkadang mengorbankan waktu dan harga kebersamaan bersama orang yang dicintai. Padahal harga dari sebuah kebersamaan notabene tak terukur oleh nilai materiil apapun.
 Tak jarang perubahan evolusi tersebut mendorong beberapa kaum perempuan, termasuk sosok ibu, terjerumus ke dalam rutinitas yang lebih menitikberatkan materi. Berbondong-bondong ibu berlomba dengan waktu untuk menuntaskan tumpukkan tugas di tempat kerjanya. Jam lembur pun cenderung menjadi konsumsi halal sehari-hari bagi mereka demi memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Fenomena ini kerap terjangkit pada segelintir ibu dengan kebanggaan status ‘wanita karir’.
Status karir bagi wanita seringkali dikaitkan dengan isu kesetaraan gender maupun isu feminisme yang mengedepankan posisi setara antara kaum wanita dan kaum pria dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga menyebabkan sebagian besar masyarakat awam menilai negatif setiap pengorbanan seorang wanita karir. Terlebih lagi jika wanita tersebut memiliki jabatan atau lingkungan kerja yang lebih tinggi dibanding suaminya. Kesenjangan yang ada terkadang memicu pertikaian dalam keluarga, dengan dalih anak menjadi kurang kasih sayang, suami menjadi terlunta-lunta, bahkan terkesan ibu berkarir menjadi sosok terdurhaka dalam keluarga.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan badge wanita karir. Rasanya, jika setiap ibu memiliki keinginan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih layak sebagai bekal kehidupan berkeluarga di masa mendatang, bukanlah suatu hal yang patut dihakimi. Karena tetap ada nilai positif dari pengorbanan yang tertuang di dalamnya. Ibarat memakan buah simalakama. Tapi, jika posisi wanita karir membuat para ibu menjadi lupa akan kewajibannya, maka patutlah jika hal ini dipermasalahkan. Jangan sampai posisi seorang wanita yang mengembangkan sayap karirnya terpaksa mengorbankan intensitas waktu bertemu antar sesama anggota keluarga, dan mengenyampingkan posisinya sebagai seorang ibu.
Keperkasaan Ibu Versus Budaya Modernitas
Ada pepatah yang mengatakan jika “Satu orang ibu mampu memelihara sepuluh orang anak, tapi belum tentu sepuluh orang anak mampu memelihara satu orang ibu”. Pepatah ini hanya secuil pembuktian betapa tangguhnya seorang ibu. Deskripsi nyata pengorbanan ibu hampir tersentuh di setiap elemen waktu yang berbeda. Seakan seluruh alam ingin membuktikan kebenaran bahwa kasih ibu sepanjang masa adanya.
Budaya modernitas itu kejam. Perubahan demi perubahan yang tercipta akibat arus kehidupan modern menuntut setiap pihak untuk berusaha mempertahankan diri secara optimal dengan segala potensi yang dimiliki. Jika tidak siap untuk memerangi persaingan yang ada, maka sama saja siap menerima kekalahan. Seorang ibu masa kini memerlukan adanya pengembangan kompetensi diri, pengetahuan terhadap dunia luar, dan berkenalan dengan berbagai fasilitas berbasis teknologi modern. Seperti halnya keadaan yang berkembang saat ini, dimana kian menjamurnya situs jejaring sosial yang menjelma sebagai konsumsi primer bagi golongan anak-anak dari segala usia. Bahkan anak yang baru duduk di bangku sekolah dasar pun mulai banyak yang menggemarinya. Anak-anak cenderung merasa lebih enjoy jika menceritakan isi hatinya dalam status jejaring sosial, bukan kepada keluarga ataupun ibu yang  bersentuhan di dunia keseharian sang anak. Jika seorang ibu tetap tak mau tahu terhadap perkembangan dunia anak akibat budaya modernitas ini, jangan salahkan jika banyak anak zaman sekarang cenderung lebih ‘cerdik’ dibanding para ibunya. Sungguh miris jika berkaca pada keadaan ini.
Hidup ini ibarat sebuah rangkaian sistem, dimana masing-masing komponennya memiliki keterkaitan satu sama lain. Sama halnya seperti posisi seorang ibu di bumi ini. Ada berbagai komponen pelengkap yang membuat posisi seorang ibu menjadi utuh, yakni seorang ayah dan anak. Pembentukan sistem dalam suatu keluarga membutuhkan keseimbangan peran antar masing-masing komponen yang ada. Setiap komponen tersebut tercipta beserta kekurangan dan kelebihan yang bervariasi. Karenanya, pantas jika setiap komponen dalam keluarga harus bekerja sama untuk saling melengkapi peran masing-masing demi menjaga stabilitas dan keteraturan alur  perputaran sistem tersebut.
Hal tersebut dapat diantisipasi dengan perubahan status ibu yang mulai mengenal dunia karir. Pergaulan dalam dunia kerja memberi kesempatan ibu untuk mengenal potret dunia luar secara umum. Bergaul dengan rekan kerja sesama kaum ibu dapat memicu terbentuknya pola pemikiran yang lebih terbuka. Oleh karena itu, seorang ibu masa kini perlu memperluas pengetahuannya tentang budaya-budaya yang lahir dari era modern. Seorang ibu harus berupaya untuk mengkonstruk pemikirannya dalam lingkungan pergaulan secara luas. Kini sudah sepantasnya kaum ibu keluar dari kotak paradigma masa lalu, dimana tugas ibu hanya berputar sekitar rumah, kamar, dan dapur semata. Kaum ibu harus pandai beradaptasi dengan perubahan sosial yang ada, menjadi sosok anti gagap teknologi, serta belajar memahami perkembangan dunia pergaulan sang anak.  
Alangkah baiknya jika kelahiran budaya modernitas tidak hanya memberikan dampak dengan melahirkan sosok-sosok ibu yang mulai menikmati berjibaku dalam rutinitas dunia kerja. Melainkan budaya modernitas dapat dijadikan pemicu bagi mereka untuk mengukur daya keperkasaannya dalam memberikan peran terbaik bagi keluarga tercinta tanpa harus tergerus waktu. 

**And, I'm really miss her now (T_T) 

From: Ananda ::AndariHersoe::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar