SEKALIPUN MODERNITAS BERLAKU,
KEPERKASAAN IBU TAK TERGERUS WAKTU
Dunia hampir tak
kehabisan ide jika topik pembicaraan tentang sosok ibu diangkat ke permukaan.
Berlembar-lembar kertas pun seakan tidak mampu membendung deretan kata yang
menggambarkan pesona dirinya. Sosok orang tua teristimewa ini terkadang
menerbitkan rasa penasaran yang memaksa setiap pihak berhasrat untuk menemukan
jawabannya. Ibu, terbuat dari
apakah
hatimu? Karena formula cinta yang diciptakan oleh seorang ibu pantang mengenal
kata surut, kian berkembang tiap detiknya demi memberikan perlindungan
berkualitas bagi buah hati dan keluarganya.
Namun sangat
disayangkan, banyak kaum ibu yang kerap mendapatkan ketidakadilan dalam roda
kehidupan ini. Banyak dari mereka masih berada dalam aura feodalism terselubung, tak mampu memerdekakan hak kehidupannya.
Bahkan untuk menyuarakan pendapatnya saja masih terasa berat. Seringkali fenomena-fenomena
menyesakkan tentang ibu tertangkap dalam indera pengelihatan ini. Dimana tampak
sesosok ibu tua meski telah berlumurkan keriput dan ruam-ruam wajah yang
memucat, namun terpaksa berjuang keras melakukan pekerjaan kasar yang tak
pantas dikerjakan hanya demi membiarkan asap dapur rumahnya tetap mengepul. Ada
anak yang menanti, begitu dalihnya. Jika sudah begini, hati siapa yang tidak
getir mendengar pengakuannya? Karena, pengorbanan seorang ibu tak mengharapkan
imbal balik apapun. Murni demi cinta.
Mengapa Hari Ibu, Bukan Hari Ayah?
Banyak masyarakat awam
yang mempertanyakan,
mengapa hal di dunia ini terkesan tak adil? Salah satunya adanya perayaan Hari
Ibu setiap tanggal 22 Desember. Sementara, adakah perayaan Hari Ayah? Mengapa
hanya ibu yang dihormati, padahal tugas mencari nafkah terletak dalam pundak
seorang ayah?
Jika berkaca pada tonggak sejarah perayaan Hari Ibu, rasanya sepaket
pertanyaan di atas layak untuk dipatahkan. Hari Ibu merupakan bentuk tradisi
penghargaan oleh anak, suami, maupun anggota keluarga lainnya terhadap peran seorang
ibu. Tradisi ini ditetapkan secara nasional, dan biasanya ditandai dengan
membebastugaskan ibu dari segala macam rutinas tugas kesehariannya dalam rumah
tangga.
Sejarah Hari Ibu diawali ketika para pejuang wanita bertemu dan
mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 di
Gedung Mandalabhakti Wanitatama, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh 30 organisasi perempuan perwakilan dari 12
kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah
membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia
(Kowani). Pemikiran ini diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad
ke-19, seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, R.A.
Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo
Rasuna Said, dan lain-lain. Sedangkan penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari
Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Kemudian, Presiden Soekarno menetapkan
keputusan tersebut melalui
Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. (http://sejarah.kompasiana.com, diakses tanggal 6 Januari 2013)
Misi peringatan Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan
perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Hal ini
tercermin melalui semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk
bersatu dan bekerja bersama. Mengingat betapa bersejarahnya
kisah di atas, rasanya tidak berlebihan jika setiap makhluk di muka bumi ini
rela memberikan waktu satu
kali dua puluh empat jam saja untuk mengenang jasa-jasa ibu.
Walau sudah sepantasnya penghormatan terhadap ibu diberikan setiap harinya,
saat mata terbuka dan jiwa terjaga.
Buah
Simalakama Wanita Karir
Perubahan alam terjadi
begitu cepat, layaknya roda rantai evolusi yang kian mencekik keaslian alam. Sekelompok orang mencoba bertahan melawan
perubahan yang ada di sekelilingnya dengan atau tanpa kekuatan yang berarti.
Bahkan tidak sedikit dari mereka berusaha mengejar bekal pertahanannya secara
membabi-buta, walau harus menghamba pada budaya modernitas yang selalu
mengedepankan nilai materiil. Hingga terkadang mengorbankan waktu dan harga
kebersamaan bersama orang yang dicintai. Padahal harga dari sebuah kebersamaan
notabene tak terukur oleh nilai materiil apapun.
Tak jarang perubahan evolusi
tersebut mendorong beberapa kaum perempuan, termasuk sosok ibu, terjerumus ke
dalam rutinitas yang lebih menitikberatkan materi. Berbondong-bondong ibu
berlomba dengan waktu untuk menuntaskan tumpukkan tugas di tempat kerjanya. Jam
lembur pun cenderung menjadi konsumsi halal sehari-hari bagi mereka demi
memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Fenomena ini kerap terjangkit
pada segelintir ibu dengan kebanggaan status ‘wanita karir’.
Status karir bagi wanita seringkali dikaitkan dengan isu kesetaraan gender maupun isu feminisme yang
mengedepankan posisi setara antara kaum wanita dan kaum pria dalam berbagai
aspek kehidupan. Sehingga menyebabkan sebagian besar masyarakat awam menilai
negatif setiap pengorbanan seorang wanita karir. Terlebih lagi jika wanita
tersebut memiliki jabatan atau lingkungan kerja yang lebih tinggi dibanding
suaminya. Kesenjangan yang ada terkadang memicu pertikaian dalam keluarga,
dengan dalih anak menjadi kurang kasih sayang, suami menjadi terlunta-lunta,
bahkan terkesan ibu berkarir menjadi sosok terdurhaka dalam keluarga.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan badge
wanita karir. Rasanya, jika setiap ibu memiliki keinginan untuk mendapatkan
kehidupan ekonomi yang lebih layak sebagai bekal kehidupan berkeluarga di masa mendatang, bukanlah suatu hal yang patut dihakimi. Karena tetap
ada nilai positif dari pengorbanan yang tertuang di dalamnya.
Ibarat memakan buah
simalakama. Tapi, jika posisi wanita karir membuat para ibu
menjadi lupa akan kewajibannya, maka patutlah jika hal ini dipermasalahkan.
Jangan sampai posisi seorang wanita yang mengembangkan sayap karirnya terpaksa mengorbankan intensitas waktu bertemu antar
sesama anggota keluarga, dan mengenyampingkan posisinya sebagai seorang ibu.
Keperkasaan Ibu Versus Budaya Modernitas
Ada pepatah yang
mengatakan jika “Satu orang ibu mampu memelihara sepuluh orang anak, tapi belum
tentu sepuluh orang anak
mampu memelihara satu orang ibu”.
Pepatah ini hanya secuil pembuktian betapa tangguhnya seorang ibu. Deskripsi
nyata pengorbanan ibu
hampir tersentuh
di setiap elemen waktu yang berbeda.
Seakan
seluruh alam ingin membuktikan kebenaran bahwa kasih ibu sepanjang masa adanya.
Budaya modernitas itu kejam. Perubahan demi
perubahan yang tercipta akibat arus kehidupan modern menuntut setiap pihak
untuk berusaha mempertahankan diri secara optimal dengan segala potensi yang
dimiliki. Jika tidak siap
untuk memerangi persaingan yang ada, maka sama saja siap menerima kekalahan.
Seorang ibu masa kini memerlukan adanya pengembangan kompetensi diri, pengetahuan terhadap dunia
luar, dan berkenalan dengan berbagai fasilitas berbasis teknologi modern. Seperti halnya keadaan yang
berkembang saat ini, dimana kian
menjamurnya
situs jejaring sosial yang menjelma sebagai konsumsi primer bagi golongan anak-anak dari segala usia.
Bahkan anak yang baru duduk di bangku sekolah dasar pun mulai banyak yang
menggemarinya. Anak-anak cenderung merasa lebih enjoy
jika menceritakan isi hatinya dalam ‘status’ jejaring sosial, bukan kepada
keluarga ataupun ibu
yang bersentuhan di dunia keseharian sang
anak. Jika seorang ibu
tetap tak mau tahu terhadap perkembangan dunia anak akibat budaya modernitas
ini, jangan salahkan jika banyak anak zaman sekarang cenderung lebih ‘cerdik’ dibanding
para ibunya. Sungguh miris jika berkaca pada keadaan ini.
Hidup ini ibarat sebuah rangkaian sistem, dimana masing-masing
komponennya memiliki keterkaitan satu sama lain. Sama halnya seperti posisi
seorang ibu di bumi ini. Ada berbagai komponen pelengkap yang membuat posisi
seorang ibu menjadi utuh, yakni seorang ayah dan anak. Pembentukan sistem dalam
suatu keluarga membutuhkan keseimbangan peran antar masing-masing komponen yang
ada. Setiap komponen tersebut tercipta beserta kekurangan dan kelebihan yang
bervariasi. Karenanya, pantas jika setiap komponen dalam keluarga harus bekerja
sama untuk saling melengkapi peran masing-masing demi menjaga stabilitas dan
keteraturan alur perputaran sistem
tersebut.
Hal tersebut dapat diantisipasi dengan perubahan status ibu yang mulai
mengenal dunia karir. Pergaulan dalam dunia kerja memberi kesempatan ibu untuk
mengenal potret dunia luar secara umum. Bergaul dengan rekan kerja sesama kaum
ibu dapat memicu terbentuknya pola pemikiran yang lebih terbuka. Oleh karena
itu, seorang ibu masa kini perlu memperluas pengetahuannya tentang
budaya-budaya yang lahir dari era modern. Seorang ibu harus berupaya untuk mengkonstruk pemikirannya dalam lingkungan pergaulan secara luas. Kini sudah sepantasnya kaum
ibu keluar dari kotak paradigma masa lalu, dimana tugas ibu hanya berputar
sekitar rumah, kamar, dan dapur semata. Kaum ibu harus pandai beradaptasi
dengan perubahan sosial yang ada, menjadi sosok anti gagap teknologi, serta
belajar memahami perkembangan dunia pergaulan sang anak.
Alangkah baiknya jika kelahiran budaya modernitas tidak hanya memberikan
dampak dengan melahirkan sosok-sosok ibu yang mulai menikmati berjibaku dalam rutinitas
dunia kerja. Melainkan budaya modernitas dapat dijadikan pemicu
bagi mereka untuk mengukur daya keperkasaannya dalam memberikan peran terbaik
bagi keluarga tercinta tanpa harus tergerus waktu.
**And, I'm really miss her now (T_T)
From: Ananda ::AndariHersoe::
**And, I'm really miss her now (T_T)
From: Ananda ::AndariHersoe::
Tidak ada komentar:
Posting Komentar