Senin, 30 September 2013

Catatan Tentang: Mika's Soul in Angin's Breath (Mungkin)



Why, do you always do this to me?
Why, couldn't you just see through me?
How come, you act like this
Like you just don't care at all

Do you expect me to believe I was the only one to fall?
I could feel I could feel you near me, even though you're far away
I could feel I could feel you baby, why

It's not supposed to feel this way
I need you, I need you
More and more each day
It's not supposed to hurt this way
I need you, I need you, I need you
Tell me, are you and me still together?
Tell me, do you think we could last forever?
Tell me, why

Hey, listen to what we're not saying
Let's play, a different game than what we're playing
Try, to look at me and really see my heart

Do you expect me to believe I'm gonna let us fall apart?
I could feel I could feel you near me, even when you're far away
I could feel I could feel you baby, why

It's not supposed to feel this way
I need you, I need you
More and more each day
It's not supposed to hurt this way
I need you, I need you, I need you
Tell me, are you and me still together?
Tell me, you think we could last forever?
Tell me, why

So go and think about whatever you need to think about
Go ahead and dream about whatever you need to dream about
And come back to me when you know just how you feel, you feel
I could feel I could feel you near me, even though you're far away
I could feel I could feel you baby, why


Dear Angin...

Bagaimana kabarmu? Masihkah kau berdiri tegak dengan segudang impian yang selalu kau tegakkan, selama ini?
Sudah lama sekali tak pernah mendengarkan kata sapa darimu, Ang. Dan, kau benar-benar menghilang. Tanpa aku benar-benar tahu alasan pasti yang membuat kau  menghilang.
Ang, aku di sini hanya ingin mengabarkan satu hal. Bahwa, aku akan kembali belajar! Belajar menemukan makna hidup dengan segala keindahan-ketakutan yang pernah kuajukan di hadapanmu dulu. Aku akan belajar memaknai kata ‘ikhlas’ yang dulu kau kenalkan padaku. Karena aku yakin, hanya dengan ini aku bisa menghadirkan sosokmu dalam napasku. Setiap detiknya.

Ang, kesempatan kali ini akan kugunakan untuk memperkenalkan suatu sosok lain di hadapanmu. Perkenalkan, sosok ini bernama ::MIKA::

Yah, dia punya nama. Nama hebat yang akan tetap tertanam hebat di dalam hati ::INDI:: - gadis hebat (mantan) pengidap skoliosis yang belajar banyak kehebatan dari seorang Mika.

Hampir serupa, Ang. Sama halnya dengan musim yang pernah kurasakan juga saat mengenalmu dulu,
Dan, keduanya berhasil membangunkan kehebatan yang jauh-jauh berbeda, dibanding garis perjalanan mereka sebelumnya, Saat keduanya belum bersua.

Kau tahu, apa yang membuat Mika spesial. Hal pertama yang membuatku teringat kepadamu, karena sakit yang dideritanya. HIV AIDS. Positif. Seperti dirimu, kan?
Dulu, kau pernah bertanya, kenapa aku tidak menjauh seperti yang lainnya saat mengetahui sakit hebat itu tertanam dalam tubuhmu. Kata tanya itu seolah menunjukkan jika kau menolakku menjadi sahabatmu. Karena saat itu kau terlalu tertutup di mataku. Dan, ternyata anggapanku salah.
Aku mengerti, sepertinya layak jika kau pernah menyangsikan sikapku dulu. Tapi, seharusnya itu tak perlu. Karena, selalu ada yang pertama dalam segala hal – seperti yang diucapkan Mika.
Walau aku memang belum pernah mengenal atau bertemu dengan sosok berkarakteristik sepertimu sebelumnya. Tapi, mengenalmu bukan suatu hal yang berdosa besar di mataNya, kan? Hanya saja (mungkin) publik yang memberikan cap ‘disgust’ pada golongan orang-orang sepertimu. Membuat sebagai orang dalam golonganmu menutup diri dari dunia luar.

Dan, karenanya... mengenalmu tak akan pernah membuatku merasa menyesal. Walau hanya sekejap. Walau hanya terasa seperti hembusan angin sore yang hilang ketika gelap kian beranak di angkasa. Justru di saat singkat itulah, aku belajar banyak hal yang lebih membuatku mengerti akan betapa besarnya karunia dariNya. Karunia yang sengaja diciptakan untuk kita, maupun untuk semua orang di bumi ini. Kau telah membuktikan kehebatan karunia itu. Dengan jalanmu sendiri.

Ang, ingatlah! Jangan kau ulangi kesalahan yang sama. Jangan pernah kembali menjamah barang-barang tak berguna itu lagi. Tak ada kenikmatan sama sekali jika kau semakin gencar menyentuh mereka. Mereka itu hanya sampah, dimana semakin banyak kau menimbunnya dalam tubuhmu... maka bisa dipastikan akan semakin banyak kotoran yang sulit untuk kaukeluarkan. Ingat posisi kesehatanmu. Karena, kau tetap pantas bertahan. Sangat pantas. Karenanya, segera kau obati hatimu dari sosok dia, sosok yang lain itu.


Kita memang tak akan pernah tau bagaimana akhir dari perjalanan hidup kita. Mika pun tak tahu, bagaimana cara dia akan menjemput malaikat mautnya. Apakah ada seorang Indi di sampingnya, atau hanya dia sendiri dengan berteman kesepian. Indi pun tak tahu apakah Mika benar-benar akan meninggalkannya. Pergi terlebih dahulu.
Dan, aku sungguh tak habis pikir jika hal ini menjadi satu-satunya alasan yang membuatmu menjauhiku. Kau takut jika kau meninggalkanku lebih dulu? Apa benar begitu, Ang?

Tapi, toh sama saja, Kau akhirnya pergi terlebih dulu. Menghilang lagi. Dan, aku mulai terbiasa dengan segala hal yang berbau datang kemudian menghilang. Karena kau yang pernah mengajarkanku tentang ini semua. Terima kasih.
Tapi, walaupun begitu... aku tak akan pernah memakimu. Kau punya hak di atas segala-galanya atas segala yang kau kehendali. Untuk dirimu sendiri.

Aku hanya ingin membela diriku sendiri, Ang. Ingatlah! Fisik, materi, rupa, atau keadaan seseorang tetap tak pantas dijadikan sebagai alasan utama bagi siapa pun untuk menilai kedalaman isi dari suatu hal. Terlebih lagi isi dari suatu benda bernyawa. Dan, aku sangat menyayangkan sikapmu... yang bersembunyi, hilang, dan menjauh dari kehidupanku. Hanya karena sakit itu.

Jadi, di manapun kau berada saat ini... aku akan tetap mengirimkan sebaris doa dan pengharapan untukmu. Semoga kehangatan napas itu masih menginap puas di rongga hidungmu. Semoga kata ‘bertahan’ itu masih tetap kau kembangkan. Bertahan dari sakitmu. Bertahan dengan segala impianmu. Bertahan demi keidealisan “Propaganda Kehidupan”-mu. Hahaha... Rasanya perutku masih merasakan sakit yang sama jika mengingatnya. Propaganda Kehidupan, peta perjalanan hidup yang kau rencanakan. Oh, bukan. Tapi perjalanan hidup yang kau inginkan. Dan, aku tak tahu apakah semua rencana yang kau tulis itu telah berhasil tercapai. Sebelum batas waktu dariNya justru menjadi jawab akhir di balik segala rencanamu.

Miris sekali membayangkannya, Ang. Jujur, kalau boleh memilih... aku ingin kau tetap bernapas lama di duniaNya. Jangan cepat-cepat terbang ke atas sana. Dataran ini masih hijau, masih bisa kau nikmati segala karunia yang ada. Tapi, entahlah! Sekali lagi, hanya ketentuanNya yang berkuasa di atas segalanya. Dan semoga, hanya ketentuan terbaik yang kau terima hingga detik ini. Apapun itu.

Jadi, dimanapun kau berada... tetaplah bersemangat, Ang! Karena, hanya semangat kita yang akan menuntun langkah ini untuk tetap terlangkah sempurna. Sebesar apapun yang kita bisa.
Dan, aku akan tetap berada di sini. Bersama dukungan doa dalam diamku. Semata, demi menghormati keputusanmu. Dan, aku akan tetap belajar. Belajar untuk mengikhlaskan segalanya. Semoga kau tetap menari-nari indah di udara... selayaknya angin musim semi.
Dan, semoga... biar waktu akan menjawab pertanyaan ‘why’ yang kuajukan. 

“Tessekur Ederim, Ang!”


By. Andari Hersoe

Jumat, 27 September 2013

You Can Bring Your Dream, If You Want!



I m p i a n.
Setiap orang yang bernafas semestinya pantas memiliki impian. Mimpi sebagai sosok lain yang ingin diciptakan. Atau, mimpi mencapai posisi tertentu yang ingin dirasakan. Atau bahkan, mimpi menggapai materiil tertentu yang ingin digenggam.
Mimpi itu ibarat Yin dan Yang. Selalu ada sisi gelap dan terang. Ibarat dua mata uang, dimana kegagalan pun tak pernah jengah untuk selalu mengikutinya. Dan aku... terlalu sering menghadapi keduanya secara bersamaan. Saat dimana aku akan berusaha untuk menegakkan mimpi yang kucipta dalam balutan kata-kata penyemangat, namun di saat bersamaan pula aku dipaksa untuk lebih tegar menyadari bahwa “kenyataan tak selamanya indah”.

D r e a m.
Walau kerap kali merasakan sakitnya saat tertimpa reruntuhan dari sebuah tembok impian, tapi rasanya tetap tak pantas untuk berlama-lama terdiam dan berduka. Impian itu ada karena kita berani memimpikannya. Impian itu dapat terlahir jika kita pun berani memperjuangkannya. Dan, sudah sepantasnya impian itulah yang akan menjadi muara tujuan untuk semakin mantap setiap kali akan melangkahkan kaki kerdil ini.
Jadi, sesering apapun kalian merasakan kegagalan demi kegalalan... maka sesering itulah kalian harus mengupayakan untuk kembali tegar. Memaksa untuk lebih bersabar. Walaupun berat, hanya itu jalan bagi kita. Demi menggapai pencapaian akhir yang selalu kita damba-dambakan, Teman.
Kenapa? Karena kita semua tetap pantas untuk menjaga mimpi itu menjadi nyata. Akhirnya, kelak..

Tak ada yang tak pantas untuk tetap bermimipi! Sekecil apapun makhluk itu di dunia, dia tetap pantas untuk menyumbang nada-nada impiannya.
Lihatlah, bagaimana para semut bisa berhasil menemukan sebutir gula setiap harinya!
Pelajarilah, bagaimana semangat burung-burung pipit yang tak pernah bosan melawan teriak penolakan bapak petani di sawahnya!
Rasakan semua kegagalan sebagai buah kenikmatan. Karena, tak semua orang bisa benar-benar menikmati bulir kegagalannya.
Jika tangis itu pecah, biarkanlah jatuh. Jika hati ini tertusuk, terimalah rasa sakitnya. Jika napas ini terdesak, rasakan sesaknya. Tak apa-apa. Biarkan saja, jika semua itu perlu.
Tapi, jangan berlama-lama larut dalam kesedihanmu, Teman! Segera bangkit..!!
Mari bersama-sama kita terbitkan nada perjuangan baru. Bukan semata-mata demi kita. Melainkan, demi mereka...
Demi orang-orang yang kita sayangi. Juga, demi negeri tercinta ini.

Dan inilah, secarik percakapan sederhana yang seharusnya bisa memotivasi kita semua... termasuk aku *angkat jari telunjuk <(^^)/”

_oOo_


Malam itu, Yaya Yuiki seperti kehilangan sekantung bekal penyemangatnya. Seharusnya, Yaya senang saat dia terpilih menjadi pemeran utama di pertunjukan balet ‘The Swan Lake’ akhir pekan ini. Tapi, justru tidak. Dia merasa dirinya tak pantas. Tak pantas menjadi pengganti Maika Himekawa. Hime yang kuat, tangguh, lincah, dan meletakkan harapan tingginya dengan bergabung pada klub balet internasional ini. Sangat berbeda dengan keadaan Yaya, penari pemula yang hanya bermodal coba-coba belaka.

Yaya tahu, selama ini Hime telah berlatih mati-matian. Demi menjemput impiannya menjadi pemeran utama itu. Tapi, cidera menghalanginya. Cedera yang tak diinginkan dan tak terhindari. Dan, Yaya semakin merasa tak pantas untuk menggantikannya. Seolah telah merebut impian sehebat itu dari hadapan Hime. Dengan begitu saja. Tanpa usaha.

“Ternyata... impian itu mudah hancur dan sulit diraih, desis Yaya, lirih. Langkahnya diseret paksa menaiki anak-anak tangga, menuju atap gedung tempatnya berlatih balet. Sempoyongan. Benar-benar tak bersemangat. Tapi, dia berharap di atas sana semangatnya dapat kembali. Seperti biasa.

Mungkin... aku bisa melihat langit berbintang itu lagi.

Yaya menghentikan langkahnya. Mendadak, saat dia melihat sosok bayangan lain ada di atas balkon itu. Pria tanpa nama. Berwajah mirip dengan Tadase, teman semasa kecil Yaya.

“Kamu ada di sini juga?” tanya pria itu. Sekedar memastikan saja pastinya. Yaya hanya menggangguk pelan. Bahkan untuk tersenyum pun Yaya lupa.

Dan, pria itu menyadari perubahan yang ada. Dia pun bersuara, “Kamu kenapa?”

“Kamu sendiri, kenapa ada di sini?” tanya balik Yaya, mencoba mengalihkan pertanyaan pria di hadapannya itu.

“Tempat ini misterius,” ucap pria itu. Dia menengadahkan kepala, menatap ke angkasa. Sekawanan bintang masih bercanda mesra di atas sana, saling memamerkan kilau cahaya tubuhnya. “Kalau lagi bingung soal akhir novel, aku pasti ke sini. Menatap bintang dari sini. Dengan begitu, aku bisa dapat ide bagus.”

“Novel? Rupanya kamu seorang penulis, ya?”

“Penulis pemula yang masih belum laris. Masih telur penulis,” sahut pria itu, sambil tersenyum hangat. “Aku punya impian, suatu saat nanti bisa jadi penulis terkenal.”

“Eh, memangnya orang dewasa masih punya impian?” tanya Yaya heran.

“Tentu saja.”

Impian.. ternyata impian itu selalu ada di mana-mana. Dan, semakin miris hati Yaya menyadarinya.

“Nah.. sekarang kamu sedang bingung soal apa?” tanya pria itu. Mengulangi nada tanya yang sama.


Yaya menghela napas pelan. “Ada orang dewasa yang bilang... hanya sedikit orang yang bisa meraih impiannya. Menggelikan, kan? Impian nggak bisa diraih oleh orang yang nggak punya segalanya dan sempurna... Jadi, mungkin nggak ada artinya kalau kita ingin ‘jadi sesuatu’ dan kita telah berusaha keras untuk itu.”

Pria itu menggangkat jari telunjuknya, seolah ingin menunjukkan sesuatu. “Biar kuberi tahu rahasia membuat cerita,” sahut pria itu, masih dengan senyum hangatnya. “Cinderella, putri salju, dan putri tidur... pada awalnya mereka bertiga berjumlah lengkap. Di awal cerita, pemeran utamanya pasti memiliki kekurangan. Cerita ‘hidup berbahagia bersama pangeran’ ada di halaman terakhir, kan?”



Pria itu terdiam sejenak. Membiarkan Yaya meresapi kata-katanya. “Kalau dari awal Sang Putri punya segalanya, maka nggak akan ada cerita. Anak yang memiliki kekurangan, siapa pun dia, pasti bisa jadi tokoh utama cerita,” ucap pria itu. Dia pun berdiri, dan kembali bersuara, “Jemput impianmu! Sesempurna apapun yang kau inginkan.”

Yaya membisu. Kata-kata pria itu seperti telah berhasil melahirkan lubang baru di hatinya. Bukan untuk menyakitinya, tapi untuk melahirkan kelegaan. Dan juga, pertanyaan demi meyakinkan hatinya.

Tokoh utama cerita... apa aku juga bisa?







#Source: From Nakayosi Magz – Untitle Comic


_oOo_

Jadi, temukan jawaban itu dalam hati kalian masing-masing, Teman! Karena kita pantas berdiri tegak bersama impian kita. *Ganbatte kudasai^^


By. Andari Hersoe

Rabu, 25 September 2013

SEIKO UDOKU: Semangat Kita Pantas Berdiri Tegak

Pernah dengar Japanese Wisdom: "SEIKO UDOKU"??Kurang lebih artinya begini, "Farm when it's sunny, read when it rain" (@tentenjakarta). Kalau boleh asal mengartikan, sih, seiko udoku itu semacam menggambarkan bahwa ada waktu-waktu tertentu dimana kita bisa menentukan hal terbaik apa yang seharusnya dilakukan. Semacam, boleh terpuruk... tapi harus ingat untuk segera bangkit dan bersemangat. Boleh tidur... tapi harus ingat untuk terjaga tepat waktu. Boleh bersantai... tapi harus ingat deretan tugas dan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Boleh bermimpi... tapi harus ingat kapan saat terbaik untuk berusaha mewujudkannya.

Dan sepertinya, memang benar, waktu terbaik untuk membaca itu saat hujan turun. (Aish...nggak nyambung!!)Dan yang pasti... kali ini saya hanya ingin menggoreskan kisah lama yang hampir membusuk di notes fesbuk. Mencoba mengenalkan kepada kalian, dengan setting seiko udoku... saat clear sky and rainy. Akh...semoga suka ^.^


Tak mau berhenti. Aku benar-benar tak bisa mengabaikannya. Selayaknya anak kecil yang menemukan permainan baru. Menarik. Menantang. Dan ingin terulang, tanpa keraguan. 
Srekk.. srekk!!
"Hei, lihat orang itu!"
"Hei... kau gila, ya?"
Suara bernada-nada protes itu masih saja berdengung di telingaku. Tapi, tak ada yang perlu kuperdulikan. Biarkan saja, toh mereka tidak akan pernah mengerti. Karena, inilah kehendakku.
Srekk.. srekk!!
Masih dengan gerakan yang sama. Perlahan tapi pasti, kugoreskan mata belati pada ruas-ruas tubuh angkasa. Aku hanya ingin membuat langit sedikit berlubang. Membiarkan secuil celah di badannya agar tampak gurat-gurat cahaya mentari yang menyapa bumi di pagi ini. 
Aku tahu pekerjaan ini akan memakan waktu lama. Dan, akan ada banyak orang di bawah sana yang mulai menyadari keberadaanku. Tapi ini perlu, sungguh.
Lihatlah! Jauh di sana, ribuan wajah petani bermuram. Sawah mereka terlalu basah untuk ditanami, terlalu tergenang untuk menyemai benih. Lihatlah, sekumpulan anak berseragam sekolah berjuang melawan basah. Tertatih-tatih berlari menghindari hujaman rintik air langit, melindungi buku-buku tugas yang telah dilahap habis di malam buta. Dan, lihatlah... semakin banyak yang memilih untuk tenggelam di balik selimutnya. Menyerah dengan dingin yang bermuara.
Karena itu, aku ada di sini. Sepagian tadi. Berdiri di atas tangga penyangga, di atap gedung tertinggi dunia, demi menggapai atap-atap langit. Menyentuh dan melubanginya. Sampai detik ini.
Kuintip sedikit celah yang telah lahir tercipta. Kupicingkan mata kananku, agar fokus bayangan itu dapat tertangkap. Ya, ada segurat senyum di sana. Senyum mentari yang menyapa hangat. Aku tidak salah lihat kan? Dia benar-benar tersenyum, mentari itu, kepadaku.
“Buatlah lubang yang lebih besar, Kawan!” Tiba-tiba mentari itu pun bersuara. “Kalau hanya sekecil itu lubangmu, sinar tubuhku tidak bisa menyebar ke semua bumi,” tambahnya lagi.
“Tapi... bisa kau lihat, orang-orang di bawah sana. Mereka membuat gerakku tak bebas,” sahutku.
“Mereka tidak menahanmu, mereka hanya meneriakimu. Kau tetap bisa bebas bergerak!”
“Tapi, waktuku tak banyak. Langit mendung semakin berdatangan. Bagaimana?” tanyaku gusar.
Kulihat mentari itu justru tersenyum. Bukan senyum, tapi tertawa sinis. Mengejekku.
“Beginilah. Banyak orang berimpian besar. Tapi tidak banyak orang yang mau benar-benar memperjuangkan impiannya itu menjadi benar-benar besar.”
Aku tergugu. Kata-kata yang membuatku membisu.
“Terserah kau, Kawan! Tapi... jika memang kau ingin menjadi orang besar, kau juga harus berani melawan hambatan besar. Berani belajar mengatasi masalah besar. Bukan terdiam, menyerah, dan merasa cukup begitu saja,” tambah mentari lagi.
“Apa aku bisa?” tanyaku mencari dukungan. Seolah tak yakin dengan apa yang kupunya.
Tapi mentari tak menjawab. Dia hanya memamerkan kembali senyuman sinisnya.
“Apa aku bisa?” tanyaku kesal, mengulang kata tanya yang sama.
“Masih ingat kisah seekor sapi yang iri pada burung layang-layang?” Mentari itu balik bertanya.
“Kisah apa itu?”
“Dengarkan ini! Biar lagu ‘Donna-donna’ ini yang akan berbagi kisahnya padamu,” sahut mentari, menumbuhkan rasa ingin tahuku.

***




On a weagon bound the market
There’s a calf with a mournful eye
High above him there’s a swallow
Winging swiftly through the sky

How the winds are laughing
They laugh with all they might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summers night

Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don

“Stop complaining!” Said the farmer
Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free?

Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow has learned to fly
***

“Jadi?” tanyaku menggantung. Tetap tak tahu kemana arah pembicaraan ini. Apa kaitannya dengan lagu itu?
“Jadi, stop complaining! Berhentilah mengeluh. Jika kau ingin seperti burung layang-layang yang bebas, kenapa harus suka menjadi seekor sapi. Kenapa tidak kau cari sayap itu?”
“Aku? Aku sendiri yang harus mencari?” sahutku balik bertanya.
“Iya. Karena kau yang punya mimpi itu. Karena... siapapun yang menginginkan kebebasan, seperti burung layang-layang, mereka harus mau belajar terbang!”
Sudut bibirku menarik garis lengkung. Kata-kata itu, ternyata tidak menyudutkanku. Tetapi justru menguatkanku.
‘Who told you a calf to be?’ ... ‘Siapa yang menentukan kamu itu jadi anak sapi?’. Kupikir, tidak ada yang menentukan kita ini siapa, kita akan menjadi apa. Hidup bukan sebuah ketentuan. Melainkan hidup ini sebuah pencarian, perubahan, menuju ke arah yang jauh lebih baik tentunya.
Walau kenyataan hidup tak selamanya terasa berpihak pada setiap pinta yang kita gariskan, tapi bukan berarti usaha untuk mencapai impian itu terhenti begitu saja. Karena, hidup ini bukan cuma sekedar menjalani apa yang ditentukan. Hidup ini juga butuh keputusan, butuh pilihan, dan mau jadi orang yang seperti apakah kita kelak?
“Baiklah.. akan kubuat lubang yang lebih besar lagi, amat besar lagi. Supaya kilau tubuhmu benar-benar menyentuh bumi, Mentari,” janjiku akhirnya, dengan mantap dan penuh kepercayaan.
Mentari hanya tersenyum. Tapi kali ini, tidak ada nada ejekan yang terasa dari garis senyumnya. Senyum penyemangat untuk pagi hari penuh semangat ini. Terima kasih!!


-.ooOoo.-

“Calves are easily bound and slaughtered. Never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom. Like the swallow has learned to fly.”

Kita tidak boleh menerima nasib buruk. Kemudian, menganggapnya sebagai jalan hidup yang telah ditentukan bagi kita. Pasrah, bahkan menerimanya sebagai sebuah kutukan. Dan, masa depan kita tetap pantas berdiri.
Karena... kalau kita ingin hidup bebas, kita harus belajar terbang.
Bukan begitu, Kawan?

#semoga_kalian_tetap_berSEMANGAT_hari_ini^^

By. Andari Hersoe

Selasa, 24 September 2013

Tentang Wanita Terhebat di Hidupku ::IBU::


SEKALIPUN MODERNITAS BERLAKU,
KEPERKASAAN IBU TAK TERGERUS WAKTU


Dunia hampir tak kehabisan ide jika topik pembicaraan tentang sosok ibu diangkat ke permukaan. Berlembar-lembar kertas pun seakan tidak mampu membendung deretan kata yang menggambarkan pesona dirinya. Sosok orang tua teristimewa ini terkadang menerbitkan rasa penasaran yang memaksa setiap pihak berhasrat untuk menemukan jawabannya. Ibu, terbuat dari apakah hatimu? Karena formula cinta yang diciptakan oleh seorang ibu pantang mengenal kata surut, kian berkembang tiap detiknya demi memberikan perlindungan berkualitas bagi buah hati dan keluarganya.
Namun sangat disayangkan, banyak kaum ibu yang kerap mendapatkan ketidakadilan dalam roda kehidupan ini. Banyak dari mereka masih berada dalam aura feodalism terselubung, tak mampu memerdekakan hak kehidupannya. Bahkan untuk menyuarakan pendapatnya saja masih terasa berat. Seringkali fenomena-fenomena menyesakkan tentang ibu tertangkap dalam indera pengelihatan ini. Dimana tampak sesosok ibu tua meski telah berlumurkan keriput dan ruam-ruam wajah yang memucat, namun terpaksa berjuang keras melakukan pekerjaan kasar yang tak pantas dikerjakan hanya demi membiarkan asap dapur rumahnya tetap mengepul. Ada anak yang menanti, begitu dalihnya. Jika sudah begini, hati siapa yang tidak getir mendengar pengakuannya? Karena, pengorbanan seorang ibu tak mengharapkan imbal balik apapun. Murni demi cinta.
Mengapa Hari Ibu, Bukan Hari Ayah?
Banyak masyarakat awam yang mempertanyakan, mengapa hal di dunia ini terkesan tak adil? Salah satunya adanya perayaan Hari Ibu setiap tanggal 22 Desember. Sementara, adakah perayaan Hari Ayah? Mengapa hanya ibu yang dihormati, padahal tugas mencari nafkah terletak dalam pundak seorang ayah?
Jika berkaca pada tonggak sejarah perayaan Hari Ibu, rasanya sepaket pertanyaan di atas layak untuk dipatahkan. Hari Ibu merupakan bentuk tradisi penghargaan oleh anak, suami, maupun anggota keluarga lainnya terhadap peran seorang ibu. Tradisi ini ditetapkan secara nasional, dan biasanya ditandai dengan membebastugaskan ibu dari segala macam rutinas tugas kesehariannya dalam rumah tangga.
Sejarah Hari Ibu diawali ketika para pejuang wanita bertemu dan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22 – 25 Desember 1928 di Gedung Mandalabhakti Wanitatama, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh  30 organisasi perempuan perwakilan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Pemikiran ini diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19, seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, R.A. Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said, dan lain-lain. Sedangkan penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Kemudian, Presiden Soekarno menetapkan keputusan tersebut melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. (http://sejarah.kompasiana.com, diakses tanggal 6 Januari 2013)
Misi peringatan Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Hal ini tercermin melalui semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Mengingat betapa bersejarahnya kisah di atas, rasanya tidak berlebihan jika setiap makhluk di muka bumi ini rela memberikan waktu satu kali dua puluh empat jam saja untuk mengenang jasa-jasa ibu. Walau sudah sepantasnya penghormatan terhadap ibu diberikan setiap harinya, saat mata terbuka dan jiwa terjaga.
Buah Simalakama Wanita Karir
Perubahan alam terjadi begitu cepat, layaknya roda rantai evolusi yang kian mencekik keaslian alam. Sekelompok orang mencoba bertahan melawan perubahan yang ada di sekelilingnya dengan atau tanpa kekuatan yang berarti. Bahkan tidak sedikit dari mereka berusaha mengejar bekal pertahanannya secara membabi-buta, walau harus menghamba pada budaya modernitas yang selalu mengedepankan nilai materiil. Hingga terkadang mengorbankan waktu dan harga kebersamaan bersama orang yang dicintai. Padahal harga dari sebuah kebersamaan notabene tak terukur oleh nilai materiil apapun.
 Tak jarang perubahan evolusi tersebut mendorong beberapa kaum perempuan, termasuk sosok ibu, terjerumus ke dalam rutinitas yang lebih menitikberatkan materi. Berbondong-bondong ibu berlomba dengan waktu untuk menuntaskan tumpukkan tugas di tempat kerjanya. Jam lembur pun cenderung menjadi konsumsi halal sehari-hari bagi mereka demi memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Fenomena ini kerap terjangkit pada segelintir ibu dengan kebanggaan status ‘wanita karir’.
Status karir bagi wanita seringkali dikaitkan dengan isu kesetaraan gender maupun isu feminisme yang mengedepankan posisi setara antara kaum wanita dan kaum pria dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga menyebabkan sebagian besar masyarakat awam menilai negatif setiap pengorbanan seorang wanita karir. Terlebih lagi jika wanita tersebut memiliki jabatan atau lingkungan kerja yang lebih tinggi dibanding suaminya. Kesenjangan yang ada terkadang memicu pertikaian dalam keluarga, dengan dalih anak menjadi kurang kasih sayang, suami menjadi terlunta-lunta, bahkan terkesan ibu berkarir menjadi sosok terdurhaka dalam keluarga.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan badge wanita karir. Rasanya, jika setiap ibu memiliki keinginan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih layak sebagai bekal kehidupan berkeluarga di masa mendatang, bukanlah suatu hal yang patut dihakimi. Karena tetap ada nilai positif dari pengorbanan yang tertuang di dalamnya. Ibarat memakan buah simalakama. Tapi, jika posisi wanita karir membuat para ibu menjadi lupa akan kewajibannya, maka patutlah jika hal ini dipermasalahkan. Jangan sampai posisi seorang wanita yang mengembangkan sayap karirnya terpaksa mengorbankan intensitas waktu bertemu antar sesama anggota keluarga, dan mengenyampingkan posisinya sebagai seorang ibu.
Keperkasaan Ibu Versus Budaya Modernitas
Ada pepatah yang mengatakan jika “Satu orang ibu mampu memelihara sepuluh orang anak, tapi belum tentu sepuluh orang anak mampu memelihara satu orang ibu”. Pepatah ini hanya secuil pembuktian betapa tangguhnya seorang ibu. Deskripsi nyata pengorbanan ibu hampir tersentuh di setiap elemen waktu yang berbeda. Seakan seluruh alam ingin membuktikan kebenaran bahwa kasih ibu sepanjang masa adanya.
Budaya modernitas itu kejam. Perubahan demi perubahan yang tercipta akibat arus kehidupan modern menuntut setiap pihak untuk berusaha mempertahankan diri secara optimal dengan segala potensi yang dimiliki. Jika tidak siap untuk memerangi persaingan yang ada, maka sama saja siap menerima kekalahan. Seorang ibu masa kini memerlukan adanya pengembangan kompetensi diri, pengetahuan terhadap dunia luar, dan berkenalan dengan berbagai fasilitas berbasis teknologi modern. Seperti halnya keadaan yang berkembang saat ini, dimana kian menjamurnya situs jejaring sosial yang menjelma sebagai konsumsi primer bagi golongan anak-anak dari segala usia. Bahkan anak yang baru duduk di bangku sekolah dasar pun mulai banyak yang menggemarinya. Anak-anak cenderung merasa lebih enjoy jika menceritakan isi hatinya dalam status jejaring sosial, bukan kepada keluarga ataupun ibu yang  bersentuhan di dunia keseharian sang anak. Jika seorang ibu tetap tak mau tahu terhadap perkembangan dunia anak akibat budaya modernitas ini, jangan salahkan jika banyak anak zaman sekarang cenderung lebih ‘cerdik’ dibanding para ibunya. Sungguh miris jika berkaca pada keadaan ini.
Hidup ini ibarat sebuah rangkaian sistem, dimana masing-masing komponennya memiliki keterkaitan satu sama lain. Sama halnya seperti posisi seorang ibu di bumi ini. Ada berbagai komponen pelengkap yang membuat posisi seorang ibu menjadi utuh, yakni seorang ayah dan anak. Pembentukan sistem dalam suatu keluarga membutuhkan keseimbangan peran antar masing-masing komponen yang ada. Setiap komponen tersebut tercipta beserta kekurangan dan kelebihan yang bervariasi. Karenanya, pantas jika setiap komponen dalam keluarga harus bekerja sama untuk saling melengkapi peran masing-masing demi menjaga stabilitas dan keteraturan alur  perputaran sistem tersebut.
Hal tersebut dapat diantisipasi dengan perubahan status ibu yang mulai mengenal dunia karir. Pergaulan dalam dunia kerja memberi kesempatan ibu untuk mengenal potret dunia luar secara umum. Bergaul dengan rekan kerja sesama kaum ibu dapat memicu terbentuknya pola pemikiran yang lebih terbuka. Oleh karena itu, seorang ibu masa kini perlu memperluas pengetahuannya tentang budaya-budaya yang lahir dari era modern. Seorang ibu harus berupaya untuk mengkonstruk pemikirannya dalam lingkungan pergaulan secara luas. Kini sudah sepantasnya kaum ibu keluar dari kotak paradigma masa lalu, dimana tugas ibu hanya berputar sekitar rumah, kamar, dan dapur semata. Kaum ibu harus pandai beradaptasi dengan perubahan sosial yang ada, menjadi sosok anti gagap teknologi, serta belajar memahami perkembangan dunia pergaulan sang anak.  
Alangkah baiknya jika kelahiran budaya modernitas tidak hanya memberikan dampak dengan melahirkan sosok-sosok ibu yang mulai menikmati berjibaku dalam rutinitas dunia kerja. Melainkan budaya modernitas dapat dijadikan pemicu bagi mereka untuk mengukur daya keperkasaannya dalam memberikan peran terbaik bagi keluarga tercinta tanpa harus tergerus waktu. 

**And, I'm really miss her now (T_T) 

From: Ananda ::AndariHersoe::