Selasa, 28 Oktober 2014

Resensi Novel Rindu - Tere Liye: Peperangan Jiwa-Jiwa yang Merindukan Kelegaan

Quotes: Rindu - Tere Liye

"Kamu tidak pernah benar-benar merasa kalah, sampai kamu benar-benar berhenti mencoba."
Sepertinya kalimat jargon ini pantas untuk menggambarkan gumuruh kisah yang disajikan oleh Tere Liye dalam novel karya fiksi terbarunya. Rindu. Singkat judulnya. Tapi menarik rasa ingin tahu.
Membaca novel-novel karya Tere Liye cenderung mendidik kita menjadi seorang pribadi yang lebih realistisberpikir mengedepankan logika. Selalu terkandung pesan-pesan moral yang dirangkum dengan barisan kata manis. Mungkin, memang begini peraturan hukum ‘spontanitas’…. segala sesuatu yang ditulis dengan hati, secara spontan akan menumbuhkan sensitifitas di hati pula. Seperti novel Rindu iniyang lagi-lagi ditulis dengan ‘hati’.
Novel ini ditulis dengan setting Indonesia di tahun 1938, saat bagde Negara Hindia Belanda masih melekat. Saat itu memang Indonesia belum merdeka, tapi kalian salah besar kalau berpikir kisah di dalam novel ini sepenuhnya menceritakan keadaan peperangan di medan pertempuran. Justru kisah yang terangkum di dalamnya menggambarkan sosok-sosok yang belajar berdamai dengan status negeri jajahan. Tepatnya, kisah ini menggambarkan tentang perjalanan panjang para calon jamaah haji selama sembilan bulan dari Pelabuhan Makasar hingga ke Jazirah Arab di balik kegagahan BLITAR HOLLANDkapal uap terbesar milik pemerintahan Belanda di zaman itu.
Membaca buku ini membawa kita pada perspektif yang berbeda terhadap pemerintahan kolonial Belanda,  seperti kutipan salah satu kalimat dialog di bawah ini.
Dan larang bicara tentang kemerdekaan. Omong kosong. Sergeant itu sendiri tahu persis ada banyak orang Belanda yang tidak setuju dengan penjajahan oleh kerajaan kami. Ada banyak bangsawan dan kelompok terdidik yang mengirimkan petisi untuk mengakhiri kolonisasi. Penjajahan tidak pernah jadi kepentingan rakyat Belanda, melainkan kedok bagi kelompok elit memperkaya hidup mereka.” (Rindu, hal. 98)
Jadi, wajar saja jika di dalam novel ini kalian akan bertemu dengan kosakata-kosakata berbau Belanda. Bahasa Asing. Akan sangat mengganggu pemahaman terhadap jalannya isi cerita jika kita tak mengerti apa maknanya. Apalagi sama sekali tidak ditemukan footnote di novel ini. Kok bisa? Tenang, kalian tak perlu khawatir. Sekalipun Tere Liye tidak menyuguhkan terjemahan bahasa-bahasa asingnya ke dalam footnote ataupun glosarium, tapi Tere Liye berhasil menggiring pembaca untuk berpikir cerdas. Mengajak pembaca pada penafsiran mandiri dengan kalimat deskriptif dalam narasi maupun dialog yang ditulisnya. Manis. Dan, tidak menggurui.
Sebelum mengulik lebih dalam isi dari novel ini, ada dua hal kebetulan yang menumbuhkan tanda tanya. Entah kebetulan belaka, entah disengaja. Hal pertama, nama tokoh anak-anak yang berperan menghangatkan suasana selama perjalanan dengan sekeranjang kelucuan dan keluguan keduanya yang menggemaskan. Tokoh kakak-beradik ini memiliki nama yang sama dengan tokoh utama di kisah Frozen Movie… Anna dan Elsa.  Kebetulan, kan? Atau, memang terinspirasi dengan Frozen? Entahlah (senyum dikulum). Selanjutnya hal kedua yang cukup menarik, menurut kacamata ini ada kesamaan antara tokoh Ambo Uleng dengan tokoh di kisah lama yang pernah ditulis dalam novel Tere Liye sebelumnya. Tokoh yang menyerupai ‘bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas’. Membaca kisah Ambo Uleng seperti menarik kenangan akan sosok Abang Borno. Misterius dan penuh kejutan. Kebetulan juga, kah? Bisa jadi, kacamata pembaca ini yang keliru.
Tapi terlepas dari itu semua, seorang pemuda memang harus seperti itu. Penuh semangat dan selalu berpikir ke depan. Untuk maju dan terus maju. Bandingkan dengan zaman sekarang, miris sekali membayangkan jika semakin menjamur pemuda-pemudi yang justru merasa tenang menghabiskan hari-hari mereka dalam kegalauan. Kosong. Teramat sayang, masa muda tak akan terulang lagi. Dan waktu terlalu berharga dihabiskan dalam masa-masa tak berguna.
Baiklah, kembali ke dalam kisah dalam novel Rindu ini.
Ada lima tokoh yang memiliki peran sentral dalam kisah ini. Mereka adalah Daeng Andipati, Gurutta Ahmad Karaeng, Bonda Upe, Ambo Uleng, dan pasangan sepuh Mbah Kakung atau Mbah Putri dari Semarang. Bisa dibilang, kisah ini hasil rangkuman dari jawaban-jawaban atas pertanyaan kelima tokoh tersebut. Pertanyaan tentang penilaian masa lalu, tentang batas antara kebencian dan kebahagiaan, tentang kehilangan cinta sejati, tentang takdir dan jodoh, dan terakhir tentang kemunafikan hati. Deretan pertanyaan yang akan dijawab demi menumbuhkan kelegaan, tentu saja dengan mengedepankan logika khas Tere Liye.
Dari kelima tokoh di atas, kisah Ambo UlengPemuda yang bersinar bagai rembulanmenurut kacamata pembaca ini terasa paling menarik untuk dikulik mendalam. Seorang pesakitan hati yang berusaha mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Dengan melepaskan, sekaligus mengikhlaskan apa-apa yang telah berada di garis ketentuanNya. Sesuatu yang tidak pantas dilawan kan? Karena, begitulah misteri dari takdir.
“Apakah cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan suka-cita. ……… Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.” (Rindu, hal. 492)
Terkadang kita berpikir indah sekali kisah-kisah yang disajikan oleh para penulistermasuk Tere Liye dengan ‘Rindu’-nya ini. Seperti kisah negeri dongeng yang happy ending. Tiba-tiba terjadi secara kebetulan, seperti bermimipi, seperti tidak mungkin. Tapi sebagai pembaca yang cerdas ada baiknya janganlah buru-buru mengkritik. Protes, atau mencela dengan bentuk apapun. Tetap ada poin penting yang harus digali. Kun faya kun. Selama Allah berkehendak pasti akan terjadi. Dan selama ada usaha, bukan berarti tidak mungkin terjadi. Semangat optimisme (mungkin) itu yang perlu digali.
Layaknya semangat optimisme untuk bangsa ini. Bangsa yang sudah terlalu lama terlena dalam posisi kemerdekaan. Bangsa yang baru saja memiliki figur pemimpin negeri baru. Fresh from the oven. Setidaknya, poin kemerdekaan yang berusaha untuk diangkat ke permukaan dalam buku ini, semoga dapat menginspirasi kita semua. Sebagai warga bangsa yang berbudaya, sebagai generasi yang bertanggung jawab akan masa depan bangsanya, dan sebagai pemimpi yang konsisten antara impian dan usahanya. Cenderung lebih banyak berpikir, daripada berbangga meratapi ketidakmungkinan.
Akh… sudahlah. Cuap-cuap panjang lebar ini sepertinya harus diakhiri. Kalau kalian penasaran kisah pastinya, silahkan saja membaca sendiri. Begitulah. Dan, tak akan pernah rugi.

IDENTITAS BUKU
Judul buku  : Rindu
Penulis  : Tere Liye
Editor  :  Andriyati
Penerbit  : Republika Penerbit
Cetakan dan tahun terbit  : Cetakan kesatu, Oktober 2014
ISBN  :  978-602-8997-90-4

Tebal buku  : ii dan 544 halaman

Cover Rindu - Tere Liye

>>END<< By, Andari Hersoe

Minggu, 12 Oktober 2014

Dear Distance (Part 2)

Hai..hai..Walau nggak yakin ada yang nungguin part dua dari cerpen ini, tapi dengan segenap kepercayaan diri yang kupunya tetep aja di-app bagian kedua dari sekuel kisah galoonnya pasangan yang lagi LDR-an gitu lah. Daripada nyampah di laptop, mending dibagi. Siapa tahu ada yang merasa senasib-seperjuangan ama kisah ini. Dan, jreng-jreng.... beginilah 'gado-gado' kisahnya. ^^Happy reading!!^^


#DearDistance (Part. 2)
Tale Story of Love

Pernahkah kamu mengalami ingin melakukan sesuatu, tapi kamu tidak boleh untuk melakukannya? Atau, ingin menunjukkan sesuatu, tapi tetap tak boleh untuk menunjukkannya. Pernah?
Aku pernah, seperti saat ini yang kurasakan.
30 Agustus. Deretan penanda waktu yang menarik paksa pada bongkahan kisah masa lalu. Benar-benar hanya masa lalu. Dan, jujur… aku bosan menyuarakannya. Diayang tak perlu diingatsemestinya sedang menyanyikan lagu selamat panjang umur di hari ini. Tepat di hari jadinya. Dan mungkin, bersama seseorang spesial di sampingnya. No matter what. Toh, hatiku sudah mulai belajar tahu diri untuk menempatkan rasa tertepat mungkin di tempat yang tepat.
Maybe, we meet people for a reason. Either they’re a blessing or a lesson. Mengajarkan segala macam pelajaran. Tentang ketegaran, tentang penguat hati, tentang kesedihan dan tentang nikmatnya syukur di balik sakit yang datang. Karenanya, berulang kali kutegaskan pada hatiku. Dilarang untuk membenci. Siapa pun itu, dan dengan dalih alasan apapun.
“Pengalaman itu guru terbaik,” ucapan Mbak Gina kala itu, tiba-tiba kembali terngiang di telingaku. “Bukan gitu, Dek?” tanya suara seberang, memastikan.
Aku mengangguk. Lalu bersuarasetelah menyadari tak mungkin Mbak Gina melihat anggukanku, “Iya, Mbak…,” sahutku pasrah. Sembari menarik napas di ujung ucapan itu. Kudekatkan kembali horn handphone. “Mbak Gina, pernah patah hati?”
Terdengar tawa ringan di seberang. “Setiap orang pasti pernah, Dek. Mengalami apa itu kesenangan, dan apa itu kesedihan. Termasuk patah hati di antaranya.”
Jeda sesaat. Aku membisu, menanti kelanjutan kisahnya.
“Pernah denger kata-kata gini, Dek? Kadang, waktulah yang bisa memberikan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang nggak bisa kita urai di realita ini. Waktu selalu menyiapkan obat untuk kita. Tinggal kitanya aja, mau menerimanya sebagai obat atau nggak. Atau malah membiarkan rasa luka itu tetap ada, tetap terbuka.”
Bijak sekali. Entah kenapa, dari dulu aku selalu menemukan ketenangan setiap menceritakan segala masalahku ke Mbak Gina. Sekalipun dia bukan saudara kandungku. Sekalipun dia berada di pulau seberang, Kalimantan sana. Tapi, mendengarkan suara lembutnya saja sudah terasa damai di hati. Seakan memiliki jawaban akan setiap pertanyaan hatiku. Dialah mentoring agama sekaligus motivator hidup terbaik di mataku.
Mungkin benar. Waktu hampir selalu memiliki jawaban akan segala kesedihan, ketakutan dan ketidakmungkinan yang justru mendorong seseorang untuk memilih berdiri mati di satu titik. Tak berani melangkahkan kaki maju ke depan, atau sebaliknya. Mundur begitu saja.
Tapi lihatlah! Saat kita memilih untuk memberanikan diri melakukan secuil saja perubahan, justru waktulah yang menguatkan. Memupuk kenyamanan. Tanpa kita sadari.
Aku tahu, saat ini aku harus mengulang deretan kata-kata Mbak Gina. Sekali lagi. Demi detik-detik yang harus terlewati.
“Selamat ulang tahun…. Alex. Semoga berbahagia selalu,” desisku pelan.  Kutengadahkan kepala, menatap sulur-sulur awan putih yang semakin padat bergumul. Menyingkap ketenangan nuansa birunya langit. Sungguh, menenangkan sekali.
Sekarang, rasanya aku sudah memiliki cukup alasan untuk melepaskannya. Dengan tanpa beban.
Life must goes on, right? And, I will try to live what I believe. To keep trying hide the pain.
* * *
Klunting..!’ Pemberitahuan pesan BBM masuk. Seperti biasa. 4n93L 41!2 W4VE.8-X.
Lagi opo? tanya Harris. Yah, aku sudah terbiasa menyebut namanya. Tanpa kecanggungan. Tanpa keraguan.
Aku percaya kalau dia nyata. Bukan diada-ada.
Mungkin sudah hukum alam. Dia yang pergi berganti dengan dia yang datang.
Lagi bales BBM,” jawabku asal.
BBM-an sama siapa?”
Sama orang Malang.
(0.0),” balasnya singkat.
Namanya Harris, kenal nggak? Kalo kenal, minta tolong bilangin, ya. Nggak boleh nakal, nggak boleh ganggu orang.
Siapa yang nakal? Ooh... jadi selama ini merasa terganggu ya sama aku.
Kadang. Tapi, banyak nggak-nya, seh. Malah seneng  =’),” godaku. Ada sebaris senyum saat menuliskan kata-kata itu. Senyum pembenaran, kurasa.
Jadi, sekarang sudah berubah, nich. Masih ada harapan, dong.”
Maksudnya?
Maksudnya... sebenernya kamu menganggap aku apa, sih? Kamu sayang nggak ma aku?
Eh? Aku menggaruk rambut yang tak terasa gatal. Refleks. Bingung harus menjawab bagaimana.
Emangnya kenapa?” tanyaku. Mencoba mengalihkan perhatiannya.
Yah, aku pengen tau. Perasaan kamu gimana?
Aku sendiri juga nggak tahu, sahut batinku gamang. Kadang ada senang, kadang sebal. Kadang penasaran dengan sosok Harris, tapi kadang juga tak mau peduli. Rasaku masih abstrak. Belum utuh berwujud, kurasa. Tapi, jujur.... jauh di lubuk hatiku ada suara lirih yang menyenandungkan rasa suka setiap kali pesan-pesan singkat darinya meluncur manis di ponselku. Sungguh. Tanpa kutahu, alasan pastinya apa.
Sebelumnya… aku memang males ngenal cowok. Kadang cowok itu suka datang dan pergi sesuka hati. Padahal ini hati, bukan warung kopi.
Hahaha….,” balasmu singkat. Ada emotion big-laugh di akhir kata balasan itu.
Kadang cowok itu bisa berubah tiba-tiba jadi jaelangkung juga. Datang nggak diundang, pulang nggak dianter. Tapi, mungkin kamu nggak seperti itu.” Aku mengulum senyum saat menuliskan deretan kata ini. Seperti tersadar ada suatu pengharapan baru yang ingin kusampaikan.
Sejak kapan sih, aku belajar jadi sok romantis gini? tanya batinku konyol.
Aku suka ma kamu... tapi baru sebagai teman. Belum berani untuk lebih. Masih ada sakit yang sama. Nggak pengen buru-buru, takut nanti kamu cuma jadi pelarianku aja. Nggak pengen bikin kamu kecewa. Aku yakin kamu orang baik, karena itu… kamu berhak dapet yang terbaek. Semoga….,” balasku lagi. Panjang kali lebar. Kali ini tegas, tanpa senyuman. Karena kurasa, inilah jawaban tertepat yang pantas untuk kusuarakan.
Aamiin. Terimakasih. Semoga yang terbaik itu adalah kamu.”
Senyumku terkulum. Lagi. “ =’)) “ balasku singkat dengan simbol emotion smile.
Makasih, ya, Honey…,”
Sama-sama, Bee… tawon. Honey = madu, cocoknya sama tawon, kan…” sahutku asal.
“Hihihi… ‘Xx’ Bee&Honey ‘Xy’. Gitu, ya?”
“Iyaaa… Ih, jadi gemes sama Bee. Jadi pengen narik-narik jenggotnya.” Damn it! Pemikiran macem apa ini. Koyol! maki hati kecilku.
Dan dia di seberang sana hanya menjawab, “Ha ha ha….”
Kujatuhkan handphone di samping tubuhku, begitu saja. Menelungkupkan tubuhku, lalu menyembunyikan wajah di bawah tumpukan bantal-bantal. Aduh, rasanya urat malu ini mulai  memutuskan diri berkali-kali. Menyadari kekonyolan bahasaku tadi. Apalagi membayangkan dia di sana sedang tertawa lebar. Malu. Bodoh… bodoh!
* * *
Mataku melirik arloji dengan gelisah. Pukul 19:27. Sudah lebih dari sekedar petang kurasa. Entah untuk petang yang keberapa kali. Dan, pesan BBM dari Bee belum juga meriuh di ponselku. Dia berubah. Akhir-akhir ini begitulah yang kurasa.
Bukan tanpa alasan aku menuduhnya. Jarang absen dan tidak seintens dulu.
“Cowok memang gitu. Semangatnya cuma di awal, waktu PDKT aja semuanya dimanis-manisin,” terang Lisha saat aku sharing tentang Bee tadi siang, waktu jam istirahat di kantor. “Sok perhatian, ngejer-ngejer, kayak pengen tahu banget semua hal tentang kita. Tapi ya gitu, manis cuma di awal. Kalo udah dapet, udah bosen, ditinggal seenaknya… macem Bee kamu, tuh,” tambahnya lagi, tidak ketinggalan cibiran di ujung pernyataannya.
Hati memang tempat ternyaman untuk terus dan terus disakitinya, yah. Mungkin.
Tapi kali ini… aku sungguh tidak tahu bagaimana harus bertahan di atas segala perasaan yang tengah berkecamuk tak karuan. Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak mungkin melakukan tindakan frontal layaknya pasangan yang berselisih umumnya. Datang melabrak, mencaci-maki, meluapkan segala amarah di hadapannya. Tidak mungkin.
Karena, dia terlalu abstrak untuk ditemukan.
Dan, jarak kian menambah perihnya. Berpihak padanya.
Aku terlalu bodoh untuk menyadari. Menerima perasaan dari orang yang belum pernah kutemui. Belum kutahu secara pasti rupa dan keberadaannya. Hanya foto, hanya suara, hanya kata-kata pesan, hanya begitu…. lalu luluh dan bersedia menggadaikan hati dengan begitu mudahnya.
Kebodohan yang terlambat disadari.
Penyesalan yang selalu berada di belakang.
Aku hanya berharap. Satu hal. Buatlah segalanya menjadi jelas. Hanya itu. Sekalipun kejelasan yang datang nantinya hanya menyisakan luka.
Tidak apa-apa. Benar tidak mengapa. Setidaknya aku masih memiliki deretan waktu yang akan selalu mampu meredamnya.
A row of time always have the antidote of all kinds of wounds.
Dan sekali lagi, berhati-hatilah. Karena hati memang tempat ternyaman untuk terus dan terus disakiti. [END**]

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone? Baby, it's all wrong
Where are the plans we made for two?

Yeah, I, I know it's hard to remember
The people we used to be...
It's even harder to picture,
That you're not here next to me.

You say it's too late to make it,
But is it too late to try?
And in our time that you wasted
All of our bridges burned down

I've wasted my nights,
You turned out the lights
Now I'm paralyzed.
Still stuck in that time
When we called it love
But even the sun sets in paradise

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone? Baby, it's all wrong
Where are the plans we made for two?

If "Happy Ever After" did exist,
I would still be holding you like this
[Explicit:] All those fairy tales are full of shit
[Clean:] All those fairy tales are full of it.
[Explicit:] One more fucking love song, I'll be sick.
[Clean:] One more stupid love song, I'll be sick

Oh, you turned your back on tomorrow
'Cause you forgot yesterday.
I gave you my love to borrow,
But you just gave it away.

You can't expect me to be fine,
I don't expect you to care
I know I've said it before
But all of our bridges burned down.


**BACKSOUND: PAYPHONE (Maaron 5 feat. Wiz Khalifa)

Rabu, 01 Oktober 2014

Me 'n Spirit of Let-It-Go's Song



Kalian tahu, bagaimana rasanya menyimpan perasaan yang tak pantas dirasa? Karena keadaan maupun waktu sama-sama menegakkan tembok penghalang yang melarang tegas untuk bisa dilalui dengan rasa yang merajai ini. Bukan. Tepatnya, hanya bemimipi untuk bisa merajai rasa ini. Rasa ini? Rasa apa? Apa pantas masih disebut ‘rasa’ jika hanya penyiksaan yang terasa. Aku benci... benci. BENCI!!! Sungguh benci dengan keadaan ini.

Aku membenci diriku saat ini, yang terlalu bangga dalam keterpurukan. Yang lebih merasa nyaman menikmati rasa semu, padahal kata ‘salah’ senantiasa mengekor tanpa jeda. Dan, aku menyadarinya. Bodoh, kan? BODOH!!!

Karenanya, biarkan kali ini aku meratapi segala kebencian ini, semua kebodohan ini. Hanya hari ini saja, hingga detik ini saja. Cukup malam ini saja. Tidak akan ada pengulangan kebodohan yang sama esok, lusa, maupun selanjutnya. My life must goes on. And... let it go! Akan kulepaskan segalanya hingga tak bersisa ampas yang sama. Hingga tak menyisakan rasa yang sama.

Jadi, tunggulah kelahiran jiwaku yang baru. My new day have come in new soul, more struggle... be better life. Like what I believe. Wish get it all.

Lalu backsound Let It Go – IdinaMenzel pun mengalun lembut, menggelitik kasar telingaku. Membuat tekadku tertegak.... dan, mungkin sekejap lagi akan ada rasa nyaman yang tercipta. Akan terus kusenandungkan. Dan semoga, kalian pun tertular dengan keindahan kata-kata optimis di tiap larik liriknya.

The snow glows white on the mountain tonight
Salju  berkilauan di gunung malam ini
Not a footprint to be seen
Tidak ada jejak kaki yang terlihat
A kingdom of isolation, and it looks like I’m the queen
Kerajaan yang diasingkan, dan sepertinya aku adalah ratunya
The wind is howling like this swirling storm inside
Angin berhembus seperti ada badai berputar di dalamnya
Couldn’t keep it in
Aku tidak tahan lagi
Heaven knows I tried
Hanya langit yang tahu

Don’t let them in, Don’t let them see
Jangan biarkan mereka masuk, jangan biarkan mereka melihat
Be the good girl you always had to be
Jadilah gadis yang semestinya
Conceal, don’t feel, don’t let them know
Samarkan, jangan rasakan, jangan biarkan mereka tau
Well now they know
Dan sekarang mereka tau

Let it go, let it go
Lepaskanlah, lepaskanlah
Can’t hold it back anymore
Tidak dapat menahan ini lagi
Let it go, let it go
Lepaskanlah, lepaskanlah
Turn away and slam the door
Berbalik dan hantam pintunya
I don’t care
Aku tidak peduli
What they’re going to say
Apa yang akan mereka katakan
Let the storm rage on
Biarkan badai mengamuk
The cold never bothered me anyway
Dingin tidak pernah menggangguku lagi

It’s funny how some distance,
Ini lucu bagaimana jarak
makes everything seem small
membuat semuanya terlihat kecil
And the fears that once controlled me,
Dan ketakutan yang pernah mengaturku
can’t get to me at all
Tidak akan bisa kembali
It’s time to see what I can do,
Ini waktunya untuk melihat apa yang bisa aku lakukan
to test the limits and break through
untuk mengetahui batasku dan menerobos
No right, no wrong, no rules for me
Tidak ada benar, tidak ada salah, tidak ada aturan untukku
I’m free!
Aku bebas!

Let it go, let it go
Lepaskanlah, lepaskanlah
I’m one with the wind and sky
Aku menyatu dengan angin dan langit
Let it go, let it go
Lepaskanlah, lepaskanlah
You’ll never see me cry
Kamu tidak akan melihat aku menangis
Here I stand, and here I’ll stay
Di sinilah aku berdiri, di sinilah aku akan tinggal
Let the storm rage on
Biarkan badai mengamuk

My power flurries through the air into the ground
Kekuatanku menderu dari udara hingga tanah
My soul is spiraling in frozen fractals all around
Jiwaku berputar dalam pecahan salju yang melingkupi
And one thought crystallizes like an icy blast
Dan satu pikiran mengkristal seperti ledakan es
I’m never going back, the past is in the past!
Aku tidak pernah kembali, masa lalu telah berlalu!

Let it go, let it go
Lepaskanlah, lepaskanlah
And I’ll rise like the break of dawn
Dan aku akan bangkit seperti terbitnya fajar
Let it go, let it go
Lepaskanlah, lepaskanlah
That perfect girl is gone
Gadis sempurna itu telah pergi
Here I stand, in the light of day
Di sinilah aku berdiri, dalam cahaya siang
Let the storm rage on!
Biarkan badai mengamuk!
The cold never bothered me anyway
Dingin tidak pernah menggangguku lagi

Dan untuk segala hal-semua tentang-yang kulepaskan...dimanapun dia berada, ingatlah bahwa tak ada yang dapat dipaksakan. Biarlah waktu menjadi pemberi jawaban terpantas untuk semuanya. Semoga...