LDR... Long Distance Relationship itu menyiksa. LDR itu penuh perjuangan... butuh kesetiaan plus kejujuran. Masa-masa penantian selama LDR itu terasa berharga untuk dikenang. Walau pasangannya berada jauh dan tak tersentuh, tapi terkadang hati tak bisa dibohongi... terasa dekaaat *katanya*.
Dan, kisah yang kugoreskan satu ini untuk mendukung mereka-mereka yang saat ini (mungkin) sedang berjuang dengan kisah cinta LDR-nya. Khususnya, untuk 'kamu' yang menantikan kisah ini.... happy reading, ya. Semoga suka.
NB: Btw, aq jarang nulis dengan gaya teenlit begini. Jadi kalo nanti nemu dialog yang agak2 alay... harap maklum ya ceman2. Dan maap kalo ada kesamaan nama orang atopun nama tempat. Semata-mata 'sengaja'... biar lebih nge-feel. Hehe *peace ^-^
#DearDistance
(Part. 1)
Tale
Story of Love
Aku suka hujan. Tanpa kutahu apa alasannya. Suka.
Begitu saja. Terasa damai saat tetes-tetes airnya mulai berjatuhan membasahi
telapak tanganku yang terbuka. Menyambutnya. Seperti saat sekarang ini.
Kurentangkan kedua tanganku sambil menengadahkan
kepala ke atas langit. Membiarkan ribuan anak hujan membanjiri tubuhku. Wajahku
basah, tetesan-tetesan hujan itu sukses mengkamuflase tetes air mataku. Mengijinkan mereka
meninggalkan jejak dingin yang menguar. Hingga terbuai rasa dingin gigil seketika. Tapi, aku tak
peduli.
Aroma hujan bagai candu. Setidaknya memang ini yang
kubutuhkan. Untuk detik ini. Untuk mengubur dalam kenangan demi kenangan yang
semakin hari terasa menyesakkan jika diingat.
Alex, manusia satu itu. Aku akan mengiklaskannya.
Sungguh. Tak peduli seberapa beratnya, tapi aku akan menerima keputusannya.
Semoga dia berbahagia dengan seseorang yang saat ini berada di hidupnya.
Seseorang yang menyala terang di hatinya. Seorang gadis yang dipilihnya. Sekalipun itu bukan aku.
“Riii... masuk!” Aku tergagap. Suara ibu. Teriakan
parau itu berhasil menghancurkan pengembaraan pikiranku. “Riri...!!” panggil
ibu lagi dengan lengkingan yang kian meninggi. Mungkin amarahnya memuncak karena
dilihatnya aku tak juga bergeming.
Kuturunkan kedua lenganku. Tanpa memberikan sahutan
apa-apa, berjalan menuju arah bergaungnya suara itu. “Ibuk mesti, deh,” rajukku
begitu tiba di hadapan ibu.
Wanita paruh baya yang masih menyisakan gurat-gurat
kecantikan di masa muda itu justru menatapku dengan pandangan yang siap melumat
habis tubuh ini.
“Kamu itu, kebiasaan buruk masih aja dipelihara. Udah
gede tapi kelakuan masih kayak anak kecil.” Tuh kan, bener. Siap-siap dilumat
habis, deh.
“Kan cuma ujan-ujanan. Cuma di depan rumah doang,
nggak keluar gerbang. Nggak bakalan ada yang tau juga, Buk,” belaku ringan.
“Cuma? Nanti kalo udah pilek, mau bilang cuma lagi
nggak?”
Aku meringis menanggapinya. “Kalau itu rejeki, Buk.
Rejeki dikado pilek ma anak-anak hujan.”
“Udah, nggak usah kebanyakan semosis. Buruan mandi
sekalian sana!” perintah ibu sambil berlalu menuju dapur. Meninggalkanku.
“Iya... ya,” jawabku bersungut-sungut, sambil mengekor
langkah ibu. Kalau sudah seperti ini, aku benar-benar tidak berani membantah. Apalagi kata
jargon ‘semosis’ ibu sudah keluar.
“Tutup pintunya, Ri!” Langkahku terhenti. Berbalik
menuju depan rumah, memenuhi perintah
itu.
Niat hati ingin segera menarik handle pintu lalu menekannya ke daun pintu lain hingga meninggalkan
suara ‘klik’. Tapi nyatanya, aku masih begini. Mematung menatap anak-anak hujan
yang kian deras berjatuhan. Membiarkan tubuh mereka terhempas permukaan
paving-paving halaman yang keras. Dengan kasar. Semacam ilustrasi bentuk ikhlas, siap dan rela untuk dihancurleburkan.
Iri dengan mereka. Ya, dengan anak-anak hujan itu. Iri
dengan rasa ikhlas mereka. Semoga kelak aku bisa menjadi sosok yang ikhlas.
Penuh penerimaan, tanpa rasa beban. Sebesar apapun atau sekecil sekalipun itu.
Dan Alex. Dia
akan menjadi sebuah kenangan. Hanya kenangan. Cukup disimpan rapi. Tanpa perlu
diulang kembali. Semoga ikhlas itu akan menyapa. Kelak akhirnya.
“Riiii....!” suara lengkingan ibu. Lagi-lagi
menghentikan lamunanku.
Cepat-cepat kutekan handle pintu dan memasukkan kunci slot tepat ke dalam lubangnya.
Bahaya. Kelamaan di sini bisa-bisa perang dunia ketiga pecah. Nggak ada yang
bisa menghentikan omelan ibu kalau tingkat kemarahannya sudah di level ketujuh.
“Iyaaa...” balasku dengan suara nyaring. Lega rasanya
berteriak kecil begini.
Dan, selamat tinggal kenangan.
* * *
I’m going to
place where love and feeling good don’t ever cost a pain.
Status baru BlackBerry Message yang kutulis begitu saja. Sebenarnya sih tidak. Aku
menulisnya dengan pengharapan penuh. Benar-benar berharap kota yang kudatangi
ini akan kembali menyembuhkan lukaku. Gratis, tanpa berbiaya dan pengorbanan
akan sudut hati lainnya.
Bojonegoro. Hanya kota kecil memang. Tapi bisa
dibilang dari sanalah segala kisah kehidupanku bermula. Dan mungkin akan
berakhir pula. Entahlah... hanya Dia yang tahu pasti ke mana langkah tertepat dari kaki ini untuk dilangkahkan,
kan? Dan hingga jawaban itu bersuara, ada baiknya kita tetap berusaha sebaik
mungkin.
Ibaratnya mengayuh sebuah sepeda. Jika kita tak ingin
terjatuh dari sepeda itu, sama artinya janganlah kita berhenti untuk
mengayuhnya, bukan?
Mungkin aku hanya butuh sedikit lebih cepat untuk mengayuh. Sampai bayangan
kenangan silam yang menyesakkan itu terasa kian menjauh dan tertinggal di
belakang sana. Tentang seseorang yang tak pantas dikenang.
Kalau boleh jujur, aku masih merasa berat untuk
melepasnya. Entah kenapa. Tapi, akal sehatku selalu berontak. Logika
mengajarkanku untuk menjadi sosok yang tahu diri. Bukan sosok perusak hubungan
orang lain. Sekalipun aku harus menjauh darinya. Ya, menjauhi sosok... Alex.
Ah, menyebut namanya seperti ini pun ternyata masih terasa nyeri. Dan aku
membenci bagian dari diriku yang satu ini.
Dari seseorang aku belajar bagaimana caranya menata
hati. Berperan sebagai wanita yang memiliki hati. Wanita tidak berhak untuk
memilih. Itu bukan haknya. Kaum adam lah yang berhak untuk memilih ke mana hati terpantas yang
menjadi tempat labuhannya kelak. Wanita hanya berhak menentukan untuk menerima
atau menolak. Dan aku... bagaimana aku bisa menggunakan hakku untuk menerima
atau menolak seorang Alex jika aku sendiri tidak pernah dipilih olehnya.
Bodoh. Benar-benar pemikiran bodoh yang kubenci, jika
aku masih dan masih saja merasa berat menerima keputusannya.
Perkenalanku dengan Alex bisa dibilang teramat singkat.
Sangat singkat. Sering kali aku merasa tak habis pikir. Kenapa dari perkenalan
sesingkat ini justru menjadi kenangan yang terasa paling melekat. Tidak! Bukan
‘paling’. Bagaimanapun juga sudah kutegaskan, jangan mengingat apalagi sampai
mengharapkan kembali kehadirannya.
Sudah cukup, berontak
batinku. Kugelengkan
kepalaku seketika. Berharap dapat mengusir cepat bayang-bayang Alex.
Kukerjapkan mataku dua kali. Saat
bayangan bangunan gapura selamat datang Bojonegoro terasa kian membesar. Sebentar lagi nyampe, batinku
memperingatkan dengan tajam. Artinya, tidak boleh ada lagi lelap yang tersisa.
Saatnya kembali ke rutinitas harian yang menyibukkan. Kurasa ada bagusnya.
Semakin sibuk sama artinya semakin cepat aku bisa melupakan segala kejenuhan di
hati ini. Lebih cepat bisa melupakan…. dia. Tidak perlu disebut kembali
namanya, kan?
“Minal… minal... minal. Terakhir…
akhir!” teriakan kondektur bus menyadarkanku. Buru-buru kupasangkan tas ransel
di kedua bahuku. Lalu bergegas menuju pintu keluar yang sudah dipenuhi sesak
penumpang-penumpang lainnya. Sepertinya keadaan mereka tak jauh berbeda dengan
diriku. Sama-sama sudah tak sabar keluar dari bus ini.
Atau, sama-sama sudah tidak sabar
memulai kehidupan baru dengan tema baru pula? Aku mengulum senyum dalam,
menyadari pertanyaan-pertanyaan konyol dari dalam diriku sedari tadi.
Baiklah. Jika ingin berubah, silahkan
saja diubah. Aku sudah siap menghadapinya. Dengan hati yang baru, kurasa.
* * *
‘Klunting..!’
Pemberitahuan pesan BBM. Oh, bukan. Invite
new contact.
Siapa,
sih? tanya penasaran batinku setelah menekan tombol ‘terima undangan baru’.
“4n93L 41!2 W4VE.8-X. Namanya aneh,”
desisku pelan membaca deretan huruf dan angka si kontak baru itu. Dan, tanpa
berpikir dua kali aku mengetik pesan singkat kepadanya. Sekedar ingin tahu,
karena wajah yang terpampang pada foto profilnya pun terasa asing.
“Sapa?”
Satu detik. Dua detik. Tak ada
jawaban dari sana. Tepat di detik ketiga… ‘klunting’.
Dibalas juga, sorak batinku.
“Harris”
jawabnya singkat. Harris? Perasaan
aku nggak punya temen namanya Harris, deh.
“Nggak
kenal,” balasku cuek. “Tau pin-ku dari
sapa?”
“Ngacak
pin,” jawabnya tak kalah cuek.
“Nggak
mungkin banget.”
“Masak
aku ngampusi. Beneran. Serius.”
“Anak
mana?”
“Malang…..mbatu.”
Mbatu. Baru kali ini aku ketemu dengan orang yang nyebut Batu-Malang
dengan embel-embel huruf ‘m’ di depannya. Mbatu? Aneh, deh. “Kamu anak mana?” sahutnya balik
bertanya.
“BOJONEGORO,”
balasku. Sengaja kuketik dengan huruf-huruf kapital, memberi penegasan.
Karena kurasa tak semua orang mengenal kota Bojonegoro ini.
“Oowh…
=’),” balasnya singkat. Tidak tahu itu sahutan tanda mengerti atau
pura-pura paham saja. Aku pun malas untuk menanyakannya.
Tiba-tiba ada tanda pesan file
dikirim. File lagu dari Harris. Firman-Separuh
Hati.mp3.
Bener-bener asing dengan lagu satu
ini. Belum pernah denger. Penasaran, ku-klik
begitu saja tombol playlist musik
di keytouch ponselku.
>>Maafkan lah bila cinta ini tak bisa untukmu
Meski raga ini selalu bersamamu
Temani malammu
Bagai tabir hitam di hidupmu
Separuh hati ini
Bermain dalam hatimu
Meski perih tak bisa jujur padamu
Tuhan tolonglah diriku
Dari munafik hatiku ini
Maafkan lah….aku<<
Liriknya, kok aneh, ya. Maksudku,
kenapa Harris mengirim lagu yang intinya dia minta maaf begini. Padahal kenal
aja baru, kan?
“Kenapa
ngirim lagu ne…” tanyaku, mengirim pesan lagi kepadanya.
“Itu
lagunya enak. Kamu punya lagu enak buat didenger nggak?”
Iiihh…
garing banget. Sumpah, ngobrol sama orang satu ini biking garing. Sok kenal, protes
batinku. Bibirku mengerucut, dengan ogah-ogahan kukirim file lagu
‘Chris_Daughtry_Home.mp3’. Lagu yang paling menguatkanku akhir-akhir ini.
“Ada yang lain nggak?” tanyanya.
“Nggak.
Jujur ma aku… tau pin BB-ku dari sapa?” berondongku lagi, karena rasanya
mustahil sekali kalau alasannya ngacak pin.
“Aku
ngacak…” jawabnya santai.
“Nggak mungkin banget,” desisku pelan
sambil melempar ponsel begitu saja ke kasur. Malas menanggapinya lagi. Paling
kerjaan temen-temen yang sering jahil gitu. Jadi, cukup perbincangannya sampai
di sini saja.
* * *
‘Klunting..!’
Pesan BBM masuk. “Hai, lagi opo?”
Lah, dia lagi. 4n93L 41!2 W4VE.8-X,
nama yang beneran angel―artinya susah dalam bahasa jawa―untuk disebut.
“PING!!!”
“Ngapain
ping-pong…” balasku sok galak. Ini
orang nekat banget. Sengaja dicuekin biar kapok kok nggak ngerti-ngerti juga,
sih? umpat batinku.
“Maaf.
Lagi galau nich…”
“Emang aku nanya,” cercaku spontan.
Tapi, justru kalimat lain yang kutulis membalas pesannya, “Kenapa?”
“Habis
putus ma cewekku.”
“Kenapa?”
“Ditinggal
selingkuh. Cantik tapi tukang selingkuh.”
“Cantik?”
“Iya…
mau liat fotonya..” balas Harris. Bisa dibilang saat dia mengirimkan pesan
itu, aku gondok setengah mati. Sudah diputusin tapi masih aja bangga dengan
ceweknya, ya. Eh, ralat. Mantan ceweknya. Sampe mau dipamerin gitu ke aku.
Tapi detik berikutnya, mulutku
mengaga lebar melihat file gambar yang dikirim Harris. Gadis dalam balutan
kerudung motif pelangi itu memang benar-benar cantik. 1000% kalau perlu. Pantas
aja dia jadi mabuk kepayang.
“Cantik
banget,” komentarku polos.
“Iya…
tapi tukang selingkuh,” protes pengirim pesan di seberang.
“Namanya
soal hati nggak bisa dipaksain. Nggak usah menyalahkan dia. Diikhlasin aja…
nanti sapa tau kamu dapet yang lebih baik dariNya.” Sumpah, waktu nulis
deretan kata itu aku merasa seperti sedang menasehati hatiku sendiri. Mengingatkan
posisiku kembali, sebagai orang yang sempat terbuang. Aku meringis
menyadarinya.
“Iya…
Amin..” sahut pesan dari seberang. “Siapa
tau nanti aku malah bisa dapetin kamu. Ya….” tambah Harris dalam pesannya.
“Emoh,”
balasku singkat.
“Kenapa
kok emoh..”
“Lagi
nggak pengen pacaran. Males jalan ama cowok. Capek disakitin mulu.”
“Kok
kita sama…. senasib.”
“Seperjuangan…,”
sahutku asal.
“Ya
udah… kamu sama aku aja.”
Mataku mendelik. Gampang banget
bilangnya. Jariku pun mengetik balasan singkat, “Emooh.”
“Aku
janji nggak akan buat kamu sedih.”
“Nggak
mau.”
“Ayolah...
mau ya. Pliss… pliss.”
Ne
orang susah banget dibilanginnya, umpat batinku geram. “Mimpi kali.. Wes ndang tangi. Bangun..
bangun!” balasku tak kalah garang.
Tiba-tiba Harris membalas pesanku
dengan voice-note.
Ngapain,
sih? tanyaku penasaran, sambil menekan tombol unduh sebelum menekan perintah play pesan suara itu.
Ada suara helaan napas, sebelum pesan
itu menimbulkan suara berat, “Kok kon
tangi aku ae durung turu tho, Mbak... Mbak.”
Aku terkejut. Kutegakkan posisi
dudukku seketika. Bukan kata-kata itu yang membuatku terkejut. Tapi, nada
suaranya yang menjadi sumber masalah. Nada suara itu seperti nada suara…. Alex.
Sangat-sangat mirip. Dia ini… jangan-jangan.
“Suaramu
kok…” balasku menggantung begitu saja.
“Kenapa?”
“Mirip
dengan seseorang yang ingin kulupakan… seumur hidupku,” sahutku
sarkastik. Sedikit kasar mungkin.
“Mirip
dengan mantanmu, ya…” tanya pesan seberang, sok tahu.
“Iya.
Kamu siapa, sih sebenernya?” Aku balik bertanya. Mengulangi
kalimat tanya yang sama. Siapa. Dan, siapa. Rasa-rasanya aku mengenalnya. Tapi…
entahlah.
“Harris,”
jawab pesan seberang. Masih dengan jawaban yang sama pula.
Aku menghela napas dalam. Lelahnya.
Lelah bermain dengan pikiran-pikiran aneh ini, Tuhan. Menganggap yang tak ada
dipaksa untuk tetap ada. Bermain dengan perasaan yang tak pantas untuk terus
ditumbuhkembangkan. Tidak untuk nama yang sama. Sosok yang sama, hingga
menyeret kotak kisah lama. Tidak, aku tak mau.
Setidaknya… sekalipun detik ini aku
belum sembuh benar, aku sudah mulai belajar untuk tersenyum lega. Walau masih
takut untuk melangkah, aku sudah berani memimpikan pengharapan baru. Menyimpannya
untuk hari-hari yang akan kusinggahi kelak.
Sejauh apapun itu. Dengan wajah-wajah berbeda. Serta hati yang baru.
“PING!!!”
Hampir aku lupa. Harris masih di
seberang sana. Menanti responku, mungkin. Jahat sekali, aku justru mengacuhkannya
sedari tadi. “Maaf,” balasku.
“Lagi
opo?”
“Aku
agak repot. Udah dulu, ya…”
“Tear.”
“Night…”
“Tear,” sahut Harris,
mengulangi pesan yang sama.
Maaf,
batinku bersuara lirih. Aku tidak mau memberi harapan semu. Mungkin hanya
ini yang bisa kulakukan, supaya Harris―atau siapapun dia―mengerti akan kelabilan hatiku saat ini. Hati
yang masih terlalu dini untuk kembali mengukir nama baru dengan sekeranjang
cinta baru yang dia tawarkan.
Aku tak mau disakiti. Karena itu, aku
tak ingin menyakiti hati siapa pun. Aku hanya ingin menemukan cara paling tepat
untuk menyembuhkan lukaku, sekalipun luka ini tak sama. Just trying to hide my deepest pain.
* * *
>>Staring out into the night
Trying to hide the pain
I’m going to the place where love
And feeling good don’t ever cost a thing
And the pain you feel’s a different kind of pain
Well, I’m going home
Back to the place where I belong
And where your love has always been enough for me
I’m not running from… no
I think you got me all wrong
I don’t regret this life I choose for me
But these places and these faces are getting old
So, I’m going home
Well, I’m going home... <<
""By. Chris Daughtry
– Home""
**to be continued….Part.2
By. Andari Hersoe <(^^)/*