Senin, 22 September 2014

Dear Distance (Part.1)

LDR... Long Distance Relationship itu menyiksa. LDR itu penuh perjuangan... butuh kesetiaan plus kejujuran. Masa-masa penantian selama LDR itu terasa berharga untuk dikenang. Walau pasangannya berada jauh dan tak tersentuh, tapi terkadang hati tak bisa dibohongi... terasa dekaaat *katanya*.

Dan, kisah yang kugoreskan satu ini untuk mendukung mereka-mereka yang saat ini (mungkin) sedang berjuang dengan kisah cinta LDR-nya. Khususnya, untuk 'kamu' yang menantikan kisah ini.... happy reading, ya. Semoga suka. 


NB: Btw, aq jarang nulis dengan gaya teenlit begini. Jadi kalo nanti nemu dialog yang agak2 alay... harap maklum ya ceman2. Dan maap kalo ada kesamaan nama orang atopun nama tempat. Semata-mata 'sengaja'... biar lebih nge-feel. Hehe *peace ^-^




#DearDistance (Part. 1)
Tale Story of Love


Aku suka hujan. Tanpa kutahu apa alasannya. Suka. Begitu saja. Terasa damai saat tetes-tetes airnya mulai berjatuhan membasahi telapak tanganku yang terbuka. Menyambutnya. Seperti saat sekarang ini.
Kurentangkan kedua tanganku sambil menengadahkan kepala ke atas langit. Membiarkan ribuan anak hujan membanjiri tubuhku. Wajahku basah, tetesan-tetesan hujan itu sukses mengkamuflase tetes air mataku. Mengijinkan mereka meninggalkan jejak dingin yang menguar. Hingga terbuai rasa dingin gigil seketika. Tapi, aku tak peduli.
Aroma hujan bagai candu. Setidaknya memang ini yang kubutuhkan. Untuk detik ini. Untuk mengubur dalam kenangan demi kenangan yang semakin hari terasa menyesakkan jika diingat.
Alex, manusia satu itu. Aku akan mengiklaskannya. Sungguh. Tak peduli seberapa beratnya, tapi aku akan menerima keputusannya. Semoga dia berbahagia dengan seseorang yang saat ini berada di hidupnya. Seseorang yang menyala terang di hatinya. Seorang gadis yang dipilihnya. Sekalipun itu bukan aku.
“Riii... masuk!” Aku tergagap. Suara ibu. Teriakan parau itu berhasil menghancurkan pengembaraan pikiranku. “Riri...!!” panggil ibu lagi dengan lengkingan yang kian meninggi. Mungkin amarahnya memuncak karena dilihatnya aku tak juga bergeming.
Kuturunkan kedua lenganku. Tanpa memberikan sahutan apa-apa, berjalan menuju arah bergaungnya suara itu. “Ibuk mesti, deh,” rajukku begitu tiba di hadapan ibu.
Wanita paruh baya yang masih menyisakan gurat-gurat kecantikan di masa muda itu justru menatapku dengan pandangan yang siap melumat habis tubuh ini.
“Kamu itu, kebiasaan buruk masih aja dipelihara. Udah gede tapi kelakuan masih kayak anak kecil.” Tuh kan, bener. Siap-siap dilumat habis, deh.
“Kan cuma ujan-ujanan. Cuma di depan rumah doang, nggak keluar gerbang. Nggak bakalan ada yang tau juga, Buk,” belaku ringan.
“Cuma? Nanti kalo udah pilek, mau bilang cuma lagi nggak?”
Aku meringis menanggapinya. “Kalau itu rejeki, Buk. Rejeki dikado pilek ma anak-anak hujan.”
“Udah, nggak usah kebanyakan semosis. Buruan mandi sekalian sana!” perintah ibu sambil berlalu menuju dapur. Meninggalkanku.
“Iya... ya,” jawabku bersungut-sungut, sambil mengekor langkah ibu. Kalau sudah seperti ini, aku benar-benar tidak berani membantah. Apalagi kata jargon ‘semosis’ ibu sudah keluar.
“Tutup pintunya, Ri!” Langkahku terhenti. Berbalik menuju depan rumah, memenuhi perintah  itu.
Niat hati ingin segera menarik handle pintu lalu menekannya ke daun pintu lain hingga meninggalkan suara ‘klik’. Tapi nyatanya, aku masih begini. Mematung menatap anak-anak hujan yang kian deras berjatuhan. Membiarkan tubuh mereka terhempas permukaan paving-paving halaman yang keras. Dengan kasar. Semacam ilustrasi bentuk ikhlas, siap dan rela untuk dihancurleburkan.
Iri dengan mereka. Ya, dengan anak-anak hujan itu. Iri dengan rasa ikhlas mereka. Semoga kelak aku bisa menjadi sosok yang ikhlas. Penuh penerimaan, tanpa rasa beban. Sebesar apapun atau sekecil sekalipun itu.
Dan Alex.  Dia akan menjadi sebuah kenangan. Hanya kenangan. Cukup disimpan rapi. Tanpa perlu diulang kembali. Semoga ikhlas itu akan menyapa. Kelak akhirnya.
“Riiii....!” suara lengkingan ibu. Lagi-lagi menghentikan lamunanku.
Cepat-cepat kutekan handle pintu dan memasukkan kunci slot tepat ke dalam lubangnya. Bahaya. Kelamaan di sini bisa-bisa perang dunia ketiga pecah. Nggak ada yang bisa menghentikan omelan ibu kalau tingkat kemarahannya sudah di level ketujuh.
“Iyaaa...” balasku dengan suara nyaring. Lega rasanya berteriak kecil begini.
Dan, selamat tinggal kenangan.
* * *
I’m going to place where love and feeling good don’t ever cost a pain.
Status baru BlackBerry Message yang kutulis begitu saja. Sebenarnya sih tidak. Aku menulisnya dengan pengharapan penuh. Benar-benar berharap kota yang kudatangi ini akan kembali menyembuhkan lukaku. Gratis, tanpa berbiaya dan pengorbanan akan sudut hati lainnya.
Bojonegoro. Hanya kota kecil memang. Tapi bisa dibilang dari sanalah segala kisah kehidupanku bermula. Dan mungkin akan berakhir pula. Entahlah... hanya Dia yang tahu pasti ke mana langkah tertepat dari kaki ini untuk dilangkahkan, kan? Dan hingga jawaban itu bersuara, ada baiknya kita tetap berusaha sebaik mungkin.
Ibaratnya mengayuh sebuah sepeda. Jika kita tak ingin terjatuh dari sepeda itu, sama artinya janganlah kita berhenti untuk mengayuhnya, bukan? Mungkin aku hanya butuh sedikit lebih cepat untuk mengayuh. Sampai bayangan kenangan silam yang menyesakkan itu terasa kian menjauh dan tertinggal di belakang sana. Tentang seseorang yang tak pantas dikenang.
Kalau boleh jujur, aku masih merasa berat untuk melepasnya. Entah kenapa. Tapi, akal sehatku selalu berontak. Logika mengajarkanku untuk menjadi sosok yang tahu diri. Bukan sosok perusak hubungan orang lain. Sekalipun aku harus menjauh darinya. Ya, menjauhi sosok... Alex. Ah, menyebut namanya seperti ini pun ternyata masih terasa nyeri. Dan aku membenci bagian dari diriku yang satu ini.
Dari seseorang aku belajar bagaimana caranya menata hati. Berperan sebagai wanita yang memiliki hati. Wanita tidak berhak untuk memilih. Itu bukan haknya. Kaum adam lah yang berhak untuk memilih ke mana hati terpantas yang menjadi tempat labuhannya kelak. Wanita hanya berhak menentukan untuk menerima atau menolak. Dan aku... bagaimana aku bisa menggunakan hakku untuk menerima atau menolak seorang Alex jika aku sendiri tidak pernah dipilih olehnya.
Bodoh. Benar-benar pemikiran bodoh yang kubenci, jika aku masih dan masih saja merasa berat menerima keputusannya.
Perkenalanku dengan Alex bisa dibilang teramat singkat. Sangat singkat. Sering kali aku merasa tak habis pikir. Kenapa dari perkenalan sesingkat ini justru menjadi kenangan yang terasa paling melekat. Tidak! Bukan ‘paling’. Bagaimanapun juga sudah kutegaskan, jangan mengingat apalagi sampai mengharapkan kembali kehadirannya.
Sudah cukup, berontak batinku. Kugelengkan kepalaku seketika. Berharap dapat mengusir cepat bayang-bayang Alex.
Kukerjapkan mataku dua kali. Saat bayangan bangunan gapura selamat datang Bojonegoro terasa kian membesar. Sebentar lagi nyampe, batinku memperingatkan dengan tajam. Artinya, tidak boleh ada lagi lelap yang tersisa. Saatnya kembali ke rutinitas harian yang menyibukkan. Kurasa ada bagusnya. Semakin sibuk sama artinya semakin cepat aku bisa melupakan segala kejenuhan di hati ini. Lebih cepat bisa melupakan…. dia. Tidak perlu disebut kembali namanya, kan?
“Minal… minal... minal. Terakhir… akhir!” teriakan kondektur bus menyadarkanku. Buru-buru kupasangkan tas ransel di kedua bahuku. Lalu bergegas menuju pintu keluar yang sudah dipenuhi sesak penumpang-penumpang lainnya. Sepertinya keadaan mereka tak jauh berbeda dengan diriku. Sama-sama sudah tak sabar keluar dari bus ini.
Atau, sama-sama sudah tidak sabar memulai kehidupan baru dengan tema baru pula? Aku mengulum senyum dalam, menyadari pertanyaan-pertanyaan konyol dari dalam diriku sedari tadi.
Baiklah. Jika ingin berubah, silahkan saja diubah. Aku sudah siap menghadapinya. Dengan hati yang baru, kurasa.
* * *
Klunting..!’ Pemberitahuan pesan BBM. Oh, bukan. Invite new contact.
Siapa, sih? tanya penasaran batinku setelah menekan tombol ‘terima undangan baru’.
“4n93L 41!2 W4VE.8-X. Namanya aneh,” desisku pelan membaca deretan huruf dan angka si kontak baru itu. Dan, tanpa berpikir dua kali aku mengetik pesan singkat kepadanya. Sekedar ingin tahu, karena wajah yang terpampang pada foto profilnya pun terasa asing.
Sapa?”
Satu detik. Dua detik. Tak ada jawaban dari sana. Tepat di detik ketiga… ‘klunting’. Dibalas juga, sorak batinku.
“Harris” jawabnya singkat. Harris? Perasaan aku nggak punya temen namanya Harris, deh.
“Nggak kenal,” balasku cuek. “Tau pin-ku dari sapa?”
“Ngacak pin,” jawabnya tak kalah cuek.
“Nggak mungkin banget.”
“Masak aku ngampusi. Beneran. Serius.”
“Anak mana?”
“Malang…..mbatu.” Mbatu. Baru kali ini aku ketemu dengan orang yang nyebut Batu-Malang dengan embel-embel huruf ‘m’ di depannya. Mbatu? Aneh, deh. “Kamu anak mana?” sahutnya balik bertanya.
“BOJONEGORO,” balasku. Sengaja kuketik dengan huruf-huruf kapital, memberi penegasan. Karena kurasa tak semua orang mengenal kota Bojonegoro ini.
Oowh… =’),” balasnya singkat. Tidak tahu itu sahutan tanda mengerti atau pura-pura paham saja. Aku pun malas untuk menanyakannya.
Tiba-tiba ada tanda pesan file dikirim. File lagu dari Harris. Firman-Separuh Hati.mp3.
Bener-bener asing dengan lagu satu ini. Belum pernah denger. Penasaran, ku-klik begitu saja tombol playlist musik di keytouch ponselku.

>>Maafkan lah bila cinta ini tak bisa untukmu

Meski raga ini selalu bersamamu

Temani malammu

Bagai tabir hitam di hidupmu

Separuh hati ini

Bermain dalam hatimu

Meski perih tak bisa jujur padamu

Tuhan tolonglah diriku

Dari munafik hatiku ini

Maafkan lah….aku<<

Liriknya, kok aneh, ya. Maksudku, kenapa Harris mengirim lagu yang intinya dia minta maaf begini. Padahal kenal aja baru, kan?
“Kenapa ngirim lagu ne…” tanyaku, mengirim pesan lagi kepadanya.
Itu lagunya enak. Kamu punya lagu enak buat didenger nggak?”
Iiihh… garing banget. Sumpah, ngobrol sama orang satu ini biking garing. Sok kenal, protes batinku. Bibirku mengerucut, dengan ogah-ogahan kukirim file lagu ‘Chris_Daughtry_Home.mp3’. Lagu yang paling menguatkanku akhir-akhir ini.
“Ada yang lain nggak?” tanyanya.
“Nggak. Jujur ma aku… tau pin BB-ku dari sapa?” berondongku lagi, karena rasanya mustahil sekali kalau alasannya ngacak pin.
“Aku ngacak…” jawabnya santai.
“Nggak mungkin banget,” desisku pelan sambil melempar ponsel begitu saja ke kasur. Malas menanggapinya lagi. Paling kerjaan temen-temen yang sering jahil gitu. Jadi, cukup perbincangannya sampai di sini saja.
* * *
Klunting..!’
Pesan BBM masuk. “Hai, lagi opo?”
Lah, dia lagi. 4n93L 41!2 W4VE.8-X, nama yang beneran angelartinya susah dalam bahasa jawa―untuk disebut.
“PING!!!”
“Ngapain ping-pong…” balasku sok galak. Ini orang nekat banget. Sengaja dicuekin biar kapok kok nggak ngerti-ngerti juga, sih? umpat batinku.
Maaf. Lagi galau nich…
“Emang aku nanya,” cercaku spontan. Tapi, justru kalimat lain yang kutulis membalas pesannya, “Kenapa?”
“Habis putus ma cewekku.”
“Kenapa?”
“Ditinggal selingkuh. Cantik tapi tukang selingkuh.”
“Cantik?”
“Iya… mau liat fotonya..” balas Harris. Bisa dibilang saat dia mengirimkan pesan itu, aku gondok setengah mati. Sudah diputusin tapi masih aja bangga dengan ceweknya, ya. Eh, ralat. Mantan ceweknya. Sampe mau dipamerin gitu ke aku.
Tapi detik berikutnya, mulutku mengaga lebar melihat file gambar yang dikirim Harris. Gadis dalam balutan kerudung motif pelangi itu memang benar-benar cantik. 1000% kalau perlu. Pantas aja dia jadi mabuk kepayang.
Cantik banget,” komentarku polos.
“Iya… tapi tukang selingkuh,” protes pengirim pesan di seberang.
Namanya soal hati nggak bisa dipaksain. Nggak usah menyalahkan dia. Diikhlasin aja… nanti sapa tau kamu dapet yang lebih baik dariNya.” Sumpah, waktu nulis deretan kata itu aku merasa seperti sedang menasehati hatiku sendiri. Mengingatkan posisiku kembali, sebagai orang yang sempat terbuang. Aku meringis menyadarinya.
“Iya… Amin..” sahut pesan dari seberang. “Siapa tau nanti aku malah bisa dapetin kamu. Ya….” tambah Harris dalam pesannya.
“Emoh,” balasku singkat.
“Kenapa kok emoh..”
“Lagi nggak pengen pacaran. Males jalan ama cowok. Capek disakitin mulu.”
“Kok kita sama…. senasib.”
“Seperjuangan…,” sahutku asal.
Ya udah… kamu sama aku aja.”
Mataku mendelik. Gampang banget bilangnya. Jariku pun mengetik balasan singkat, “Emooh.”
“Aku janji nggak akan buat kamu sedih.”
“Nggak mau.”
“Ayolah... mau ya. Pliss… pliss.”
Ne orang susah banget dibilanginnya, umpat batinku geram. “Mimpi kali.. Wes ndang tangi. Bangun.. bangun!” balasku tak kalah garang.
Tiba-tiba Harris membalas pesanku dengan voice-note.
Ngapain, sih? tanyaku penasaran, sambil menekan tombol unduh sebelum menekan perintah play pesan suara itu.
Ada suara helaan napas, sebelum pesan itu menimbulkan suara berat, “Kok kon tangi aku ae durung turu tho, Mbak... Mbak.
Aku terkejut. Kutegakkan posisi dudukku seketika. Bukan kata-kata itu yang membuatku terkejut. Tapi, nada suaranya yang menjadi sumber masalah. Nada suara itu seperti nada suara…. Alex. Sangat-sangat mirip. Dia ini… jangan-jangan.
Suaramu kok…” balasku menggantung begitu saja.
“Kenapa?”
“Mirip dengan seseorang yang ingin kulupakan… seumur hidupku,” sahutku sarkastik. Sedikit kasar mungkin.
“Mirip dengan mantanmu, ya…” tanya pesan seberang, sok tahu.
“Iya. Kamu siapa, sih sebenernya?” Aku balik bertanya. Mengulangi kalimat tanya yang sama. Siapa. Dan, siapa. Rasa-rasanya aku mengenalnya. Tapi… entahlah.
Harris,” jawab pesan seberang. Masih dengan jawaban yang sama pula.
Aku menghela napas dalam. Lelahnya. Lelah bermain dengan pikiran-pikiran aneh ini, Tuhan. Menganggap yang tak ada dipaksa untuk tetap ada. Bermain dengan perasaan yang tak pantas untuk terus ditumbuhkembangkan. Tidak untuk nama yang sama. Sosok yang sama, hingga menyeret kotak kisah lama. Tidak, aku tak mau.
Setidaknya… sekalipun detik ini aku belum sembuh benar, aku sudah mulai belajar untuk tersenyum lega. Walau masih takut untuk melangkah, aku sudah berani memimpikan pengharapan baru. Menyimpannya  untuk hari-hari yang akan kusinggahi kelak. Sejauh apapun itu. Dengan wajah-wajah berbeda. Serta hati yang baru.
“PING!!!”
Hampir aku lupa. Harris masih di seberang sana. Menanti responku, mungkin. Jahat sekali, aku justru mengacuhkannya sedari tadi. “Maaf,” balasku.
“Lagi opo?”
“Aku agak repot. Udah dulu, ya…”
“Tear.”
“Night…”
“Tear,” sahut Harris, mengulangi pesan yang sama.
Maaf, batinku bersuara lirih. Aku tidak mau memberi harapan semu. Mungkin hanya ini yang bisa kulakukan, supaya Harrisatau siapapun diamengerti akan kelabilan hatiku saat ini. Hati yang masih terlalu dini untuk kembali mengukir nama baru dengan sekeranjang cinta baru yang dia tawarkan.
Aku tak mau disakiti. Karena itu, aku tak ingin menyakiti hati siapa pun. Aku hanya ingin menemukan cara paling tepat untuk menyembuhkan lukaku, sekalipun luka ini tak sama. Just trying to hide my deepest pain.
* * *



>>Staring out into the night

Trying to hide the pain

I’m going to the place where love

And feeling good don’t ever cost a thing

And the pain you feel’s a different kind of pain



Well, I’m going home

Back to the place where I belong

And where your love has always been enough for me

I’m not running from… no

I think you got me all wrong

I don’t regret this life I choose for me

But these places and these faces are getting old

So, I’m going home

Well, I’m going home... <<

""By. Chris Daughtry – Home""


 **to be continued….Part.2

By. Andari Hersoe  <(^^)/*