Selasa, 12 Maret 2019

SEGURAT WAJAH DI BARIS WAKTU



Langit gelap. Aku menyilangkan tangan di dada. Menahan rasa dingin yang menyapa tanpa tata krama. Beberapa orang mengembangkan payungnya, berlindung dari derasnya air hujan. Sementara yang lain, rela membasahi pakaiannya. Berlari-lari kecil melawan rintik air langit yang lebih dari sekedar gerimis. Mungkin, waktu mereka terlalu berharga jika dihabiskan hanya terdiam dan menunggu reda itu tiba.
Tapi, itu tak berlaku bagiku. Aku masih di sini. Berdiri mematung. Gamang antara iya dan tidak. Hanya berani menatapnya, sepasang daun pintu yang mengatup rapat di seberang jalan sana. Takut untuk mendekatinya. Bukan karena ukuran pintu itu. Melainkan, karena seraut wajah yang berada di baliknya. Dan, aku tak yakin jika wajah itu sudi melengkungkan bibirnya saat menyambutku. Mamak, boleh aku kembali ke pangkuanmu lagi?
Anak durhaka. Sebutan itu kembali memekik kasar di genderang telingaku. Pikiranku melayang pada sebaris kenangan dua tahun silam. Di malam terakhir sebelum hari keberangkatanku ke Negeri Jiran.
“Buat apa, tho, Le? Jauh-jauh ke negeri orang cuma buat jadi buruh,” ucap Mamak kala itu, menentang niatku menjadi seorang TKI. “Sawah tinggalannya Bapak sudah cukup buat makan kita sehari-hari.”
“Wawan mau coba cari penghasilan sendiri, Mak. Siapa tau Mak, rejekinya Wan ada di sana.”
“Terus, siapa yang jaga Mak, Le?” ratap Mamak.
“Nanti Wan minta tolong Budhe Arti buat jaga Mak, ya.” Kusentuh pundak Mamak, mencoba meyakinkannya.
“Pokoknya Mak ndak ikhlas. Jangan pergi, Le!”
“Mak, desa ini ada apanya, sih? Apa yang bisa dibanggakan?” tanyaku dengan nada suara yang mulai meninggi. “Wan mau belajar mandiri. Kalau Wan sukses, Mak juga yang bangga.”
“Kamu ndak mau jadi anak durhaka, kan, Le?”
Aku menatap Mamak dengan pandangan tak percaya. Pertanyaan itu? Benarkah Mamak yang bersuara.
Mamak justru membenamkan kepalanya semakin dalam, lalu berucap, “Kamu anak satu-satunya yang Mak punya. Kalau kamu pergi, Mak anggap... Mak ndak pernah punya satupun anak.”
Aku menarik napas dalam. Perihnya masih terasa. Waktu terasa menyakitkan jika mengingatnya.
Deretan kata itu terlalu kuat membekas. Tidak mampu kututupi sekalipun dengan berlembar-lembar uang yang kudapatkan. Aku tahu, aku salah. Mengindahkan pintanya demi membesarkan nafsu serakahku. Nyatanya, apa yang kudapatkan? Tidak ada. Dua tahun menjadi TKI, tapi sukses yang kuharapkan belum juga dapat kunikmati dengan bebas. Barisan waktu mengajarkanku, ternyata hidup di negeri orang tak seindah kisah dongeng pengantar tidur. Tetap ada susah yang perlu diperjuangkan dengan penutup kisah yang tak selamanya berakhir indah.
Tetesan anak hujan mulai mereda. Perlahan kulangkahkan kaki menuju sepasang pintu coklat itu. Baru kusadari, beberapa bagiannya tampak renta. Keropos dimakan rayap. Ah, Mak, semoga tidak begitu dengan cintamu.
Sepertinya aku memilih belajar untuk tak peduli, Mak. Tak peduli sebesar apa penolakanmu nantinya, tak peduli sumpah serapah yang akan terlontar dari mulutmu. Tak apa, Mak. Aku rela mendengarnya. Aku hanya ingin menatap kembali gurat menenangkan dari raut rentamu.
Setidaknya, biarkan pintu maaf itu terbuka sedikit saja. Demi anak durhakamu, Mak. Sebelum jeda waktu itu bersuara.

#NubarOwobJatim #WaktuChallenge



Sabtu, 02 Maret 2019

REVIEW DRAMA KOREA: MOTHER



Title : Mother (Call Me Mother)

Director : Kim Cheol-Kyu

Writer : Jung Seo-Kyoung

Network : tvN, 16 episode

Drama korea series ini merupakan drama remake dari Jepang dengan judul yang sama ‘Mother’ dan telah ditayangkan di tahun 2010. Kemudian diremake lagi di Turki dengan judul ‘Anne’ yang ditayangkan pada tahun 2016. Untuk di Korea sendiri, drama ini mulai rilis sejak tanggal 24 Januari 2018. Karena drama ini hasil remake, jadi otomatis jalan kisah di dalamnya sama persis dengan drama-drama yang sudah tayang sebelumnya. Tapi berani bertaruh, sebanyak apapun kalian menonton drama ini, sebanyak itu pula air mata baper kalian akan banjir berkali-kali.


Dunia hampir tak kehabisan ide jika kisah tentang sosok ibu diangkat ke permukaan. Seakan beribu-ribu babak tidak mampu membendung deretan adegan yang menggambarkan pesona hati seorang ibu. Bukan hanya karena formula cinta yang ditebarkanya, melainkan juga tutur kata nasihat yang kerap kali membentuk kematangan pribadi dan sikap anaknya. Lalu, mungkinkan seorang ibu membenci anaknya? Walaupun itu ibu kandung sekalipun, mungkin tidak? Jika kalian ragu harus menjawab apa, itu artinya kalian wajib menemukan jawabannya setelah menonton drama korea satu ini: Mother atau Call Me Mother. Drama ini bertemakan child abuse dengan menekankan bagaimana seharusnya pola hubungan ibu dan anak yang lebih sehat.
Drama Mother dimulai dengan adegan seorang detektif yang menemukan tas sekolah Kim Hye Na (Heo Yeol) telah basah kuyup tercebur di laut, lalu menyerahkan tas itu ke ibu kandungnya, Ja Young (Ko Sung Hee). Hye Na merupakan murid kelas TK yang telah beberapa hari dikabarkan menghilang, bahkan diasumsikan Hye Na sengaja menceburkan diri ke dalam laut. Kemudian, penonton akan diajak flashback pada hari-hari sebelum kejadian menghilangnya Hye Na terjadi.
 Bermula saat Kang Soo Jin (Lee Bo Young) menjadi guru pengganti yang mulai mengajar di kelas Hye Na. Soo Jin sebenarnya adalah peneliti burung terkenal tapi memilih tetap melajang di usianya  yang sudah berkepala tiga. Soo Jin yang keras kepala, mandiri, dan cenderung dingin ini mulai membuka diri saat bertemu dengan Hye Na. Di mata Soo Jin, Hye Na mengingatkan kembali pada dirinya di masa lalu sebagai anak yang pernah menjadi korban kekerasan orang tua. Soo Jin menemukan banyak bekas luka di tubuh Hye Na, tapi anehnya anak itu justru menutupinya dengan berkata ‘baik-baik saja’. Hye Na memang anak yang tak pernah mengeluh dan selalu bangga menceritakan betapa baik dan cantik ibu kandungnya.
Ja Young, sebagai ibu yang pernah melahirkan Hye Na ini tak pernah memperlakukan Hye Na dengan layak. Ja Young merasa menyesal telah melahirkan Hye Na, dan membuat dia merasa frustasi kurang kasih sayang seorang pria. Ketika Lee Seol Ak (Son Sook Koo) masuk ke dalam kehidupan Ja Young, dia justru semakin membuat Hye Na sengsara. Seol Ak sangat membenci anak-anak, bahkan dia mempunyai riwayat pernah membunuh seorang anak hanya karena anak itu terlalu ribut menurutnya. Otomatis Hye Na pun diperlakukan sama olehnya, disiksa bahkan sempat dipukul dengan bola bisbol hingga telinga Hye Na terpaksa dijahit. Sementara Ja Young membiarkan saja melihat anaknya diperlakukan kasar. Puncak klimaks terjadi ketika Hye Na dimasukkan ke dalam kantong plastik sampah, lalu diletakkan di luar rumah saat udara malam bersalju dan dingin.
Ketika Hye Na berada dalam posisi mengenaskan di dalam plastik sampah seperti itu, Soo Jin menemukannya. Sejak malam itu, Soo Jin berniat untuk menjauhkan Hye Na dari ibunya dan membuat seolah-olah Hye Na menghilang dengan melompat diri ke dalam laut. Namun, alih-alih bermaksud menyelamatkan Hye Na, justru Soo Jin dijadikan tersangka penculikan. Dalam masa pelariannya, Soo Jin dipertemukan kembali dengan ibu angkat yang telah mengadopsinya dari panti asuhan dan bertemu juga dengan ibu kandung yang telah menelantarkannya di panti asuhan. Dalam masa pelariannya, Soo Jin belajar mengalahkan ego dengan cinta untuk menerima ibu angkat yang telah rela berkorban banyak saat mengadopsi lalu membesarkannya seorang diri. Soo Jin juga belajar memaafkan ibu kandung yang dulu menelantarkannya di bawah pohon depan panti asuhan.
Sementara Hye Na, semenjak melarikan diri bersama Soo Jin, dia berubah nama menjadi Yoon Bok. Hye Na mulai menjadi anak apa adanya yang tidak lagi malu menunjukkan perasaannya. Menangis saat sedih, dan tersenyum saat tertawa. Hye Na merasakan banyak hal baru dalam hidupnya, merasakan hangatnya keluarga besar, perasaan dibutuhkan, membuat dia tidak ragu memanggil Soo Jin dengan panggilan ibu.
Bagian tersedih dari drama series ini saat episode 13 ketika Soo Jin akhirnya tertangkap oleh polisi yang selama ini mengejar-ngejarnya. Posisi Hye Na di mata masyarakat awam dianggap sebagai anak yang diculik, namun saat itu justru Hye Na menangis meraung-raung ketika polisi memisahkannya dengan Soo Jin. Berulang kali dia berteriak, “Jangan sakiti ibu saya,” ke polisi-polisi yang menangkap Soo Jin lalu menggiringnya ke mobil tahanan. Sedangkan Soo Jin pun bersikap sama, berteriak, berontak, karena tidak ingin dipisahkan oleh Hye Na yang benar-benar telah dianggap sebagai anak sendiri. Siapkan tisu sebanyak mungkin jika sudah menonton sampai ke bagian ini, ya.


Kelebihan drama ini, bisa memberikan pengaruh emosional yang kuat bagi penontonnya. Mampu mengocok berbagai perasaan, dari sedih, kecewa, marah, hingga gregetan. Awalnya, setelah menonton episode-episode pembuka, saya sempat bertanya-tanya. Mengapa Hye Na harus diajak kabur bersama? Mengapa tidak meminta pertolongan ke polisi, melaporkan tindakan abuse yang telah dilakukan oleh ibu kandungnya? Misal, kalau di Indonesia bisa melaporkannya ke Komnas Perlindungan Anak. Tapi ternyata, di bagian akhir-akhir episode akan dijelaskan jika saat itu Soo Jin meminta bantuan perlindungan dari aparat pemerintah, ujung-ujungnya Hye Na akan tetap kembali pada ibu kandungnya sebagai pihak yang paling berhak atas pengasuhan anaknya. Soo Jin khawatir jika Hye Na dibiarkan tetap bersama ibunya, cepat atau lambat Hye Na pasti akan meninggal. Karena itulah, tindakan ekstrem melarikan Hye Na menjadi pilihan Soo Jin.
Setiap orang memiliki kenangan dan masa lalu. Entah baik, entah buruk, kenangan itu pasti akan membekas di masa mendatang. Keadaan inilah yang berusaha dideskripsikan dalam drama Mother, dimana hampir setiap tokoh memiliki kenangan masa lalu yang rata-rata ‘menyesakkan’. Seperti Soo Jin, menyimpan kenangan pahit saat dia ditelantarkan ibunya di halaman panti asuhan. Lee Seol Ak yang menjadi kejam karena masih menyimpan traumatis melihat ibunya bunuh diri, korban broken home. Dan, Ja Young yang terlalu egois merasa ingin disayangi dan diperhatikan oleh seorang pria karena merasa kehadiran Hye Na membuat ilfil ayah Hye Na lalu meninggalkannya begitu saja. Membuat dia merasa kurang kasih sayang dari seorang pria, sehingga rela melakukan apa saja agar pria yang disayanginya tetap mau bertahan bersamanya, sekalipun itu harus menyakiti anaknya. Parah, kan? Sementara Hye Na, anak yang cenderung dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya karena keadaan memaksa dia untuk membuat ibunya selalu merasa bahagia. Kenapa begitu? Karena untuk anak semacam Hye Na, sosok ibu lah yang menurutnya paling berharga. Sosok ibu menjadi satu-satunya tempat dia bernaung, saat tak ada lagi pihak luar yang benar-benar peduli padanya. Peduli dengan tidak mengatasnamakan belas kasihan.
Lalu, mungkin tidak sih ada orang-orang dengan ‘keunikan’ karakter-karakter ini di dunia nyata? Mungkin tidak ada seseorang yang berkarakter semandiri Soo Jin, sekejam Seol Ak dan Ja Young, atau bahkan sedewasa Hye Na di usianya yang baru sembilan tahun? Saya rasa mungkin. Walau terkadang logika menolak, mana ada ibu di dunia ini yang membenci anak kandungnya sendiri? Tapi nyatanya, sudah berapa kali kita sering mendengar berita miris yang mengabarkan tentang orang tua menyiksa anaknya? Bahkan lebih ekstrimnya, ada bayi yang sengaja dibuang oleh orang tuanya. Miris memang, tapi begitulah kenyataannya.
Karenanya, kelebihan lain dari drama ini bisa dijadikan sebagai media ‘shock teraphy’ bagaimana seharusnya seorang ibu, calon ibu, dan orang tua pada umumnya dalam memperlakukan anaknya. Mengingatkan para orang tua, bahwa sekecil apapun perlakuan buruk yang dilakukan ke anaknya, apalagi untuk anak yang di bawah umur, kelak perlakuan itu tetap akan membekas di masa mendatang. Karena pada akhirnya, perlakuan itu dapat menggiring pembentukan karakter sang anak. 
Jadi untuk kalian, berhati-hatilah dalam bersikap maupun bertutur kata kepada siapa pun. Jangan sampai apa yang kalian katakan, apa yang kalian lakukan, memberikan efek negatif bagi perkembangan mental orang lain, ya.

*p.s : Ketika ditulisan ini berhasil dipost, maka tugas rumah Nuber OWOB Regional Jatim untuk minggu ini telah selesai ditunaikan. #DONE #OneWeekOne Book



Sabtu, 02 Februari 2019

DEAR ARA....

source pict. : Kompas.com

Ara, apa kabar? Boleh aku bertanya, kamu di mana saat ini? Jangan terkejut jika aku menanyakan keberadaanmu. Karena aku sendiri pun heran, sejak kapan aku menjadi sok peduli seperti ini? Bahkan saat kutulis surat ini, masih ada nada sumbang di belakangku serentak berteriak, “Huuu…!”, “Munafik!”, dan umpatan kasar lainnya.
Ara, kamu tahu kan minuman kopi? Minuman yang membuat kita sempat dekat. Spesies minuman itu bisa enak kalau takaran kopi dan gulanya pas. Berapa sendok kopi dicampur dengan entah berapa sendok gula. Ditambah-dikurangi saja, sesuai selera si pembuatnya. Mau lebih pahit, atau lebih manis.
Kurang lebih, sama seperti hubungan kita saat ini, Ra. Sama ibaratnya kopi, bisa ditakar komposisi bubuk kopi dan gulanya, bisa dibuat suka-suka pahit-manisnya. Jadi, kalau menurutmu hubungan kita sekarang ini lebih dominan kerasa pahit, ijnkan aku menambahkan gula ke dalamnya. Ijinkan aku menciptakan momen manis di antara kita. Dan, surat ini sebagai pembuktiannya.
Exelsa pernah berkata padaku, “Kamu bisa apa, Rob? Orang memilih kita bukan karena nama kita mentereng atau tidak. Tapi, seberapa jauh kamu bisa mempengaruhi perasaannya, menumbuhkan emosi yang lebih dari sekedar suka. Ini masalah selera, Rob. Dalam hal ini, Arabika lah pemenangnya.”
Karenanya, bersama surat ini sudah kuputuskan jika… aku menyerah, Ra! Aku akui kehebatanmu. Sudah saatnya aku berdamai dengan kenyataan. Keadaan yang nyata-nyata membuktikan jika sekeping biji Robusta tak mampu mengalahkan kedigdayaan rasa Arabika. Keberadaanmu terlalu kuat di hati para Baracik.
Jadi, jangan menjauh ya, Ara… Arabika. Segeralah pulang! Ada aku, Exelsa, dan Liberika menanti kedatanganmu. Kami rindu.

Dari sahabat rasa saudara,
Robusta

*[END]*

* Dedicated to: #Nuber2_OWOB.RegJatim
@Gerakan_1week1books





Sabtu, 19 Januari 2019

KETIKA CUKUP BAYANGAN YANG MENJADI IDOLA


source pict." www.pinterest.com
Tidak ada satu pun yang menyanggupi untuk berkata bahwa ‘melepaskan’ itu indah. Tak akan ada. Seseorang. Satu pun. Dan, siapa pun itu.
Melepaskan terkadang terjadi saat kita berada di ambang ketidakmampuan untuk membuat sesuatu itu tetap ada. Atau, kita telah merasa kalah hingga tak tahu bagaimana lagi cara untuk tetap mempertahankannya. Ketidakmampuan dari diri kita sendiri, juga dari pihak lain. Orang lain. Sesuatu yang lain, dari ribuan alasan terpantas untuk dilepas.
Karenanya, aku hanya ingin mencoba. Mencoba untuk melepaskanmu… sekalipun berat. Tapi, aku hanya akan mencoba untuk membuat diriku terbiasa.
Terbiasa tanpamu.
Dan, kilasan-kilasan perih mulai menyapa nakal kotak memoriku. Kenangan itu, saat terakhir mataku menangkap garis sudut senyumanmu. Sosok yang hingga saat ini terasa jauh untuk tersentuh. Terlalu jauh jarak perbedaan antara aku dengannya.
“Ada di mana, sih? Aku nggak tahan. Panas tahu!” tanyaku kala itu, setengah protes tepatnya. Efek panasnya Terminal Bungurasih sudah tidak bisa kusembunyikan lagi.
“Kamu jangan di tempat panasan, Ri. Cari tempat teduh dulu,” balas suara seberang, suara Bara yang kurindu. Ada nada khawatir yang kutangkap dalam suaranya.
“Terus.. aku nunggu di mana, Bar?” tanyaku gusar. Handphone di tanganku terasa licin, sudah basah kuyup oleh keringat.
“Kamu di mana? Biar aku yang ke situ, ya.”
“Lama nggak? Kalau lama, mending aku yang ke tempat kamu sekarang.”
“Katanya tadi nggak tahan panas?” sahut Bara, balik bertanya. “Kamu tunggu saja di situ.”
Aku tersenyum. Ternyata, kamu belum berubah, Bar. Masih tetap perhatian. Rasa perhatian yang mematikan, bahkan melenakan. Hingga aku terlupa sejenak, bagaimana memposisikan diri sepantasnya di hadapanmu.
“Ya…,” jawabku kemudian. “Eh… tapi aman nggak?”
“Aman. Nggak ada yang bakal ngenalin aku, kok.”
“Oke, deh. Aku nunggu di depan Dunkin’ Donuts saja, ya?”
“Oke,” jawabnya tertular. “Kututup, ya, Ri,” tambah Bara lagi.
Aku mengangguk, kemudian bersuara setelah menyadari tak mungkin Bara bisa melihat anggukanku. “Iya, Bar. Hati-hati.”
Bara terkekeh pelan mendengar pintaku. Aneh, dan mendorongku untuk bersuara, “Kenapa? Lucu, ya?”
“Kamu itu...,” jawab Bara di antara tawanya. Dan, klik! Dia memutuskan sambungan telepon begitu saja.
“Ishh... nggak sopan,” protesku. Memaki-maki handphone yang mematikan lampu kelip-kelipnya. Padahal aku tahu handphone itu tidak salah apa-apa.
Tidak perlu kujelaskan siapa Bara Beraja Langit. Kurasa semua orang sudah tak asing mendengar namanya, semenjak dia berhasil menjadi runner up ajang pencarian penyanyi muda berbakat.  Walaupun bukan menjadi juara utama, tapi berani bertaruh fans ceweknya sudah menyebar cepat seperti jamur di musim hujan. Setiap kali Bara perform, tiket pre sale hingga VIP selalu sold out. Dan bisa dipastikan, kaum hawa yang paling dominan menjadi pembelinya.
Aku sendiri mengenal Bara jauh sebelum dia menjadi seterkenal sekarang. Teman masa kecil yang beranjak menjadi teman mendewasa bersama. Terbiasa berangkat dan pergi ke sekolah bersama, membuatku diam-diam terbiasa nyaman akan keberadaan Bara.
Sayangnya, Bara sepertinya berbakat menjadi terkenal sejak dari kecil. Penampilan fisik yang mendukung, berasal dari keluarga berada, ditunjang dengan sikapnya yang super supel, berbakat menyanyi pula, semua itu seolah menjadikan dia sepaket terlihat paling menonjol di antara lautan ‘manusia biasa’ pada umumnya. Ha ha… manusia biasa, termasuk aku salah satunya.
Kalau boleh jujur, selalu berada di samping Bara seperti waktu sekolah dulu membuatku sedikit tersiksa. Siapa aku? Gelar paling tinggi yang kudapat hanya ‘si kutu buku’. Selebihnya… biasa. Seperti yang tadi sudah kusebutkan. Tapi Bara, dia seperti tak ambil pusing. Walau aku hanya sekedar menjadi bayang-bayang yang selalu mengikutinya tapi tak tampak apa-apa bagi orang lain. Begitulah Bara, sosok idola baru semua orang yang diam-diam sudah kuidolakan sejak lama.
Karena itulah, aku memutuskan untuk melanjutkan study berjauhan dengannya. Menciptakan jarak. Meninggalkan dinginnya Bogor, menikmati panasnya Surabaya. Sengaja? Iya, pasti. Terkadang kita memerlukan jarak untuk menciptakan kelegaan, bukan? Karena jarak selalu mempunyai cara hebat untuk membuat kita bernapas.
Ri...,” sebuah suara yang amat kukenal memaksaku buru-buru menoleh ke arahnya, si pemilik suara yang bersembunyi di balik kacamata hitam lengkap dengan topi. Penyamaran sempurna.
“Bara... lama banget. Sampai garing gini aku,” berondongku begitu saja. Tanpa menanyakan kabarnya dahulu. Aku hampir terlupa kalau sosok yang ada di hadapanku kini adalah artis.
Bara hanya terkekeh pelan. Jemari kukuhnya meraih anak poniku yang sedikit nakal menutupi dahi. Menghalangi penglihatanku di balik sepasang lensa kacamata. “Capek, ya. Maaf, ya,” balasnya santai. Tapi hatiku berdesir tak karuan jadinya. Selalu begini.
“Bara tambah endutan, ya,” suaraku setengah berteriak, berusaha menyembunyikan genderang tak karuan di hati. “Pipinya saingan ama bulat-bulatnya donat, tuh.” Tawaku pun pecah setelah mengucapkan seloroh ringan itu.
Bara menoleh sejenak ke arah etalase Dunkin’ Donuts yang kutunjuk barusan. Lalu, tertular dengan senyumanku. “Iya lah, Ri. Kaya kamu nggak tahu saja, Bogor kan hawanya dingin. Bawaannya bikin lapar melulu,” belanya tanpa basa-basi.  “Kamu sendiri, kenapa kurusan? Telat makan terus pasti,” tuduh Bara. Tanpa basa-basi pula.
“Aku sudah dari sananya seperti ini, Bar. Mau makan banyak atau sedikit nggak ada pengaruh apa-apa. Masa sudah lupa sama kebiasaan sahabatnya sendiri, sih,” balasku. Pura-pura merajuk. Padahal sekedar ingin mendapatkan perhatiannya saja. Kan, lagi-lagi aku lupa memposisikan diri.
Bara terkekeh lagi. Gaya tawanya yang khas, yang selalu kurindu. “Bukan lupa, Ririana... tapi ini perhatian. Kan nggak lucu kalau aku tambah endut, tapi kamu tambah kurus. Kalo kita jalan nanti dikira....
“Angka sepuluh lewat.... ha ha ha,” ucapku begitu saja, memotong pembicaraannya.
“Terus saja ngeledek. Hobi banget ya sekarang,” sahut Bara gemas sambil menjepit hidungku dengan jari-jarinya.
Spontan aku menjerit, “Aduuh... sakit, tahu!” Aku memasang tampang geram.
Habisnya, baru saja ketemu jadi tambah parah penyakit jahilnya gini. Bikin orang gemas.”
Kamu gemas, akunya cemas, Bar. Berontak batinku diam-diam.
“Eh, mau ke mana?”
“Pulang lah... masa mau menginap di terminal gini,” balasku cuek.
Kudengar Bara menghela napasnya pelan, kemudian berlari kecil menjajari langkahku. Lalu bersuara, “motormu di mana?”
“Seriusan kamu mau naik motorku, Bar? Nggak takut ketahuan wartawan, terus diliput media semuanya. Terus banyak fansmu yang protes, gitu?”
“Peduli amat, lah. Kan mumpung aku bisa ketemu kamu, Ri,” balas Bara cuek.
“Nyinyiran netizen itu lebih perih daripada patah hati lho, Bar, katanya.”
Bara terkekeh lagi. “Sejak kapan ini, seorang Ririana peduli sama pendapat orang lain?”
“Bukan karena aku, Bar. Tapi demi kamu, sekarang kan kamu sudah beda. Sudah banyak yang kenal, jadi ya harus hati-hati lah.”
“Terus?”
“Iya, kaya gini ini. Sebenarnya aku was-was ketemu kamu di tempat umum kaya gini, Bar. Takut nanti ada yang bisa kenalin wajahmu, terus bikin gosip yang aneh-aneh lagi,” cerocosku. “Memangnya kamu nggak takut, Bar?”
“Takut. Tapi aku takutnya sama Allah, Ri,” jawab Bara lagi-lagi cuek, lalu senyumnya pun terkembang.
“Bara, aku serius.”
“Ri, aku cuma nggak ingin keadaan kita jadi berubah gara-gara aku jadi dikenal banyak orang. Nggak ada yang bakalan berubah. Ingat itu, ya!” pinta Bara tegas.
Aku tersenyum, lalu mengangguk cepat. Termasuk perasaanku terhadapmu, Bar. Nggak akan berubah.
“Acaramu di Surabaya sampai hari apa, Bar?” tanyaku kemudian, melanjutkan langkah ke area parkiran sepeda motor.
“Sampai kangenku ke Ririana hilang.”
Aku menoleh cepat ke arahnya. Membatu. Bisu seketika. Bara selalu hebat menyihir hatiku. Tapi ketika tersadar, mulutku pun akhirnya bersuara, “bercandanya nggak lucu, ya, Bapak Bara.”
Sementara yang diprotes hanya memamerkan senyum lebarnya.
Begitulah Bara, apa adanya. Dan bagiku, bayangan masa-masa kebersamaan se-simple itulah yang membuat sosoknya terasa berharga untuk dilupakan. Karena, tak sedikitpun aku merasa tak dihargai olehnya sekalipun badge artis ibu kota itu sudah tersemat manis di dada Bara hingga kini.
 Karena, dia lah Baraku. Udara terhangat untukku bernapas. Api penyemangatku. Idola yang kuidolakan diam-diam. Dan, aku merasa beruntung dapat berbagi oksigen di sekitar ruang hampa ini dengannya. Walaupun hanya sebagai sahabat terbaiknya.
Tapi, sekarang...  dengan siapa lagi aku harus membagi oksigen ini?
Bara... bahkan aku tak berani membayangkan kemungkinan keadaan yang akan kujalani sekarang. Mulai detik ini. Maupun di ribuan detik berikutnya jika semua itu tanpa aroma napasmu.
Keberadaanmu sudah teramat jauh untuk tergengam saat ini, Bar.
“Akh...,aku menghela napas berat. Membuangnya begitu saja ke udara. Rasanya sesak sekali, seperti kehilangan cadangan bulir-bulir oksigennya.
Mungkin. Hanya satu yang bisa kuharapkan kelak. Semoga waktu dapat segera menenggelamkan rasa kehilangan ini. Dengan cara apapun itu.
“Ri…,“ suara panggilan yang menggantung, memaksaku menatap ke arah suara itu berasal. “Mau sampai kapan di sini?” tanya Tika kemudian.
Aku merunduk. Kembali menekuk wajahku semakin dalam. Menyembunyikannya di antara kedua siku lutut kaki yang kutekuk. Tidak ada keberanian untuk menjawab sorot kekhawatiran itu.
Tika menghela napas berat, lalu bersuara, “dia nggak akan kembali. Setinggi apapun pengharapanmu.” 
“Aku tahu,“ balasku lirih. “Tapi aku butuh waktu.”
“Sampai kapan? Nunggu semua bunga kamboja itu berguguran?” tanya Tika sinis.
“Duluan lah! Nanti aku nyusul.”
Tika kembali menghela napas. Semakin berat kudengar. Kebiasaan yang selalu kuingat setiap kali dia merasa gelisah.
Keep holdin’ on, Ri. Dia juga nggak pengen kamu jadi kayak gini.”
Aku mengangguk pelan. Sangat lemah.
“Ada yang bilang… hidup ini nggak bener-bener indah. Tapi berharga,” ucap Tika, sambil menepuk pundakku pelan. Sebelum berlalu dan menjauh.
Aku tahu. Aku sadar. Tapi, aku belum bisa menerima semuanya. Maaf.
Sebut saja aku pencundang yang tak mampu menerima keputusan buruk dari tindakan bodoh yang pernah kulakukan. Bodoh? Iya… amat bodoh.
Terserahlah jika aku dianggap putus asa, apatis. Tak punya harapan. Biarlah. Karena bagiku perasaan bersalah ini tak mampu menghapus bayangan gurat-gurat ketegasan di wajah Bara. Semakin kuingat justru membuat lubang di hati ini kian menganga lebar.
Kalian tahu, apa yang terasa menyiksa tapi tetap berat untuk melepaskannya? Hal apa itu? Tidak lain, tidak bukan hanya dia... kenangan.
Bagiku, kenangan Bara terlalu berat untuk dilupakan. Sekalipun kenangan tentang Bara kerap membuatku merintih dalam, meratapi keadaan hingga tak ada secuil asa tersiksa. Setiap kali terkenang, jiwa ini dipaksa untuk kembali mengumpulkan bulir-bulir semangat yang berserakan. Potongan kenangan yang justru membuatku merasa kuat dan rapuh pada saat bersamaan. 
Terlebih saat teringat malam itu, ketika hujan mengguyur deras Surabaya sejak belasan jam sebelumnya.
Sepuluh menit lagi, batinku bersuara. Menghitung gerak anak jarum jam yang menyapa nakal angka sembilan dan menit ketigabelas.
Sudah kupastikan. Sepuluh menit lagi jika sosok Bara tak kunjung datang, lebih baik nekat menerobos barisan anak hujan yang tertata rapat berjatuhan di jalanan. Lelah sekali menunggu Bara. Padahal dia sudah berjanji, tidak akan datang terlambat. Untuk kesekian kalinya.
Semenjak kesibukannya sebagai penyanyi yang harus menjalani touring show ke sana-sini, bisa dibilang intensitas waktu pertemuanku dengan Bara pun menjadi berbanding terbalik. Obrolan malam panjang tak pernah tercipta. Dia terlalu sibuk dengan rutinitas dunianya. Dan, aku pun tak  berani mengusik waktu istirahatnya. Lagi pula, aku sadar. Toh, aku bukan siapa-siapa baginya, selain teman. Sahabat. Tempat berkeluh kesah. Atau, tempat sampah. Sudah, tak lebih.
Jadi, jangan meminta sesuatu yang special dari Bara, ya, Ri. Begitulah, berulang kali mantra yang kuajarkan untuk hatiku.
Karenanya, aku memang sudah hapal benar bagaimana kebiasaan buruk Bara untuk hal yang satu ini. Jam karet. Paling susah ontime.
Tapi aku masih berharap, setidaknya dia mau berusaha untuk malam ini saja. Iya, hanya malam ini. Malam dimana dia seharusnya sudah duduk di sini, di hadapanku. Lalu menyalamiku, setelah mendengar berita diangkatnya aku menjadi karyawan tetap di kantor penerbitan tempatku bekerja dengan posisi yang selama ini aku impikan. Desainer layout. Dan, aku bangga dengan profesi ini.
Lagi pula, dia sudah berjanji bersedia meluangkan waktu untukku di akhir pekan ini. Tentu saja, atas nama persahabatan.
Tapi nyatanya… akh, begini-begini saja.
Bara, lihatlah! Badge karyawan training itu sudah kubuang jauh-jauh. Sesuai keyakinan yang sempat kau tanamkan dulu. Dan aku ingin membagi kebahagian ini denganmu.
Tapi rasanya, pintaku tak akan terkabul sempurna. Barisan anak hujan ini seolah menjadi penandanya. Dan ribuan kata maaf yang terucap dari bibir Bara melalui lubang-lubang tipis horn handphone tadi.
“Penerbanganku ditunda, Ri. Maaf.”
“Jadi, kira-kira sampai Surabaya jam berapa? Jangan lama-lama, ya...” pintaku, manja.
“Aku usahain secepatnya, ya, Ri. Habisnya kamu kasih kabarnya juga mendadak banget tadi. Jadi nggak sempet booking tiket sebelumnya, kan.”
“Tapi kan kamu sudah janji, Bar. Kalau mau meluangkan waktu minggu ini.”
“Iya, Ri. Aku ingat, kok. Toh aku juga memang lagi nggak ada jadwal manggung juga, kok. Tapi ini kamu kasih kepastian acaranya mendadak bener.”
“Iya, maaf,” balasku pelan.
“Dari kemarin kan aku udah tanya, ‘Jadi nggak Ri acaranya. Kalau pasti jadi, aku bisa prepare dari sekarang’. Tapi kamu malah bilang belum pasti,” protes Bara beruntun. “Jadinya kaya gini, kan.”
“Iya... maaf. Aku ngerepotin, ya,” sahutku lirih.
“Iya, ngerepotin banget.”
“Baraaaa...,” balasku, sedikit protes, sedikit gemas mendengar responnya.
Terdengar suara tawa renyah dari seberang.  “Becanda, Ri. Lagian, kan aku jadi ada alasan juga buat ketemu kamu. Biar nggak dikira cuma aku yang lagi kangen berat sama kamu.”
Jleb! Tuh, kan. Kambuh lagi. Romantis sih, tapi jahil habis. Akh… sadar Ririana. Sadar. Cuma teman!
“Sayangnya aku nggak lagi kangen, tuh.” Mulutku mencibir. Kemudian tertawa tertahan begitu menyadari tak mungkin Bara melihat cibiranku.
“Ya udah, berdoa saja biar seluruh Indonesia hujan lebat, angin badai, jadi semua pesawat dilarang lepas landas.”
“Baraaaa... nggak asyik, ah!” protesku lagi. Kali ini dengan nada suara meninggi.
“Kalau gitu, bilang dong seorang Ririana juga lagi kangen sama Kakanda Bara ini.”
“Ih, maksa, deh.”
“He he... emang. Habisnya kapan lagi bisa denger suara manjamu. Bentar lagi aku udah naik, kan.”
“Ya nanti saja, kalau kamu sudah sampai sini,” balasku, menolak pintanya.
“Ayolah, Ri. Terakhir ini saja, pengen denger suaramu. Kita sudah lama lho nggak ngobrol manis-manisan di telepon gini.
“Bara aneh, deh. Udah, ah. Pokoknya buruan terbang ke sini. Aku tunggu, dan.... nggak pakai lama.”
Ada suara helaan napas berat di seberang. Pertanda dia sudah menyerah. “Iya ya... sabar, ya.”
“Ya sudah, aku tutup, ya. Nanti kabarin lagi kalau sudah landing.
“Iya...,” balas Bara lemah. Ogah-ogahan. “Aku tutup, ya.”
“Bar... bentar.”
“Apa lagi, Ri? Katanya suruh buruan.” Ada nada kesal yang kutangkap dalam kalimat tanyanya.
Kudekatkan bibirku di hadapan horn handphone, kemudian bersuara lembut, “Aku kangen banget sama sumber bara semangatku. Cepet datang, ya... Bara.”
“Pasti. Secepat angin berhembus.” Aku tersenyum mendengar sahutan Bara. “Take care, ya, Ri.”
“Kamu juga.” Dan suara klik memutus perbincanganku sekilas dengan Bara pagi tadi. Kabar terakhir yang kudapat sebelum sosok itu benar-benar menghilang, Hingga detik ini, ketika kebekuan menyapaku dalam aroma basah.
Hujan masih belum reda. Beberapa teman kerjaku telah pulang lebih dulu. Dan seharusnya sudah sejam yang lalu Bara juga ada di sini. Aku berharap akan mendengar sedikit saja alasan dari mulutnya. Entah tentang apapun itu. Setidaknya, aku bisa memberikan ribuan pemakluman atas kesalahannya yang sama.
Baiklah. Waktuku tidak banyak. Rasanya sudah tak ada lagi kemungkinan akan kedatanganmu, Bar. Aku beranjak dari dudukku, menatap sejenak ke arah sudut-sudut lobi kantor ini. Remang. Dan, sepi.
Mungkin doa Bara benar-benar dijawab. Seluruh kota se-Indonesia benar-benar hujan lebat. Aku meringis menyadarinya. Lagi-lagi, masih tetap ada seribu pemakluman untukmu, Bar.
Sebuah pemakluman terakhirku untuknya, Karena, tepat di malam itulah aku mengetahui satu hal. Bahwa pemaklumanku tak akan sia-sia. Karena hari esok, dan esoknya lagi Bara benar-benar telah menepati janjinya. Terbang secepat angin berhembus. Menghilang. Dan benar-benar mengabur bersama embusan bayu.
Kecelakaan pesawat. Hanya itu pemakluman terakhirku untuknya.
Aku mengusap batu nisan di hadapanku perlahan, mengenyahkan pengembaraan memoriku. Batu nisan itu terasa dekat, tapi batinku tidak merasa begitu. Dia jauh, benar-benar menjauh.
Bara Beraja Langit. Deretan nama itu, membacanya saja masih terasa menyesakkan seperti ini. Bahkan aku tak yakin sampai kapan perasaan sakit ini tetap menyala. Genangan bening mulai mengambang di sudut mataku. Tanpa permisi.
“Maaf… aku nggak bisa,” ucapku lirih, tidak ingin terdengar oleh siapapun. Bahkan kalau boleh, cukup aku dan dia saja yang mendengarnya. “Bar, aku harus bagaimana? Aku nggak bisa kaya gini, nggak bii...saa.”
Kutangkupkan kedua telapak tanganku. Membekap erat mulutku. Tidak, jangan ada suara isak di sini. Tidak di hadapannya.
Karena aku tak ingin Bara tahu, bahwa aku selalu mengidolakannya diam-diam melebihi dari seorang teman. Aku tak ingin Bara tahu, bahkan setelah dia tiada. Aku takut ada penyesalan karena tak menyuarakan sebelumnya, entah dariku atau darinya. Bagiku, cukup bayangan indah bersamanya saja yang terekam kuat hingga kini. Itu saja sudah cukup.
Dan semoga, kau tenang di pelukan akhirat, Bar. [END_#Nuber1.OwobJatim]