Sabtu, 02 Februari 2019

DEAR ARA....

source pict. : Kompas.com

Ara, apa kabar? Boleh aku bertanya, kamu di mana saat ini? Jangan terkejut jika aku menanyakan keberadaanmu. Karena aku sendiri pun heran, sejak kapan aku menjadi sok peduli seperti ini? Bahkan saat kutulis surat ini, masih ada nada sumbang di belakangku serentak berteriak, “Huuu…!”, “Munafik!”, dan umpatan kasar lainnya.
Ara, kamu tahu kan minuman kopi? Minuman yang membuat kita sempat dekat. Spesies minuman itu bisa enak kalau takaran kopi dan gulanya pas. Berapa sendok kopi dicampur dengan entah berapa sendok gula. Ditambah-dikurangi saja, sesuai selera si pembuatnya. Mau lebih pahit, atau lebih manis.
Kurang lebih, sama seperti hubungan kita saat ini, Ra. Sama ibaratnya kopi, bisa ditakar komposisi bubuk kopi dan gulanya, bisa dibuat suka-suka pahit-manisnya. Jadi, kalau menurutmu hubungan kita sekarang ini lebih dominan kerasa pahit, ijnkan aku menambahkan gula ke dalamnya. Ijinkan aku menciptakan momen manis di antara kita. Dan, surat ini sebagai pembuktiannya.
Exelsa pernah berkata padaku, “Kamu bisa apa, Rob? Orang memilih kita bukan karena nama kita mentereng atau tidak. Tapi, seberapa jauh kamu bisa mempengaruhi perasaannya, menumbuhkan emosi yang lebih dari sekedar suka. Ini masalah selera, Rob. Dalam hal ini, Arabika lah pemenangnya.”
Karenanya, bersama surat ini sudah kuputuskan jika… aku menyerah, Ra! Aku akui kehebatanmu. Sudah saatnya aku berdamai dengan kenyataan. Keadaan yang nyata-nyata membuktikan jika sekeping biji Robusta tak mampu mengalahkan kedigdayaan rasa Arabika. Keberadaanmu terlalu kuat di hati para Baracik.
Jadi, jangan menjauh ya, Ara… Arabika. Segeralah pulang! Ada aku, Exelsa, dan Liberika menanti kedatanganmu. Kami rindu.

Dari sahabat rasa saudara,
Robusta

*[END]*

* Dedicated to: #Nuber2_OWOB.RegJatim
@Gerakan_1week1books