Selasa, 15 Oktober 2013

BOJONEGORO: Obrolan Dari Buah Bintang Menuju Kota Bintang


“Berkumpul bersama adalah suatu permulaan,
tetap bersama adalah suatu kemajuan,
bekerja bersama adalah suatu kesuksesan.”
(Henry Ford)

Roda pembangunan itu ibarat memanfaatkan sebuah alat timbangan. Selalu ada satuan yang digunakan untuk mengukur dan objek yang diukur. Dan, hasil akhir dari timbangan itu haruslah seimbang. Ya, seimbang. Karena, dengan keseimbangan maka objek yang diukur tersebut baru dapat diakui handal, tepat, dan siap untuk segera dimanfaatkan.
Pemerintah Indonesia menggunakan sistem otonomi daerah sebagai alat timbangan dalam menciptakan kesejahteraan secara merata pada seluruh daerah di Indonesia. Otonomi daerah lahir di penghujung era 90-an. Melalui sistem ini, diharapkan dapat mendorong terciptanya nuansa kemandirian di tiap-tiap daerah.  Dengan kata lain, setiap daerah diharuskan untuk mampu hidup sejahtera di atas kakinya sendiri, dengan usaha mandiri dalam mengembangkan potensi regional yang dimiliki. Tanpa menuntut uluran tangan pemerintah pusat yang sebelumnya hanya terkesan ‘meminta tanpa berusaha’. Dan, satuan ukur yang digunakan tentu saja tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.
Sama halnya dengan geliat pemerintahan yang tengah berkembang di Bojonegoro, salah satu kabupaten kecil di Jawa Timur yang berusaha untuk menjadi besar dan terkenal. Semenjak Pemerintah Indonesia menyebarkan virus otonomi ke berbagai penjuru daerah, semenjak itulah Pemerintah Kabupaten Bojonegoro aktif menata dan menumbuhkembangkan potensi kedaerahannya. Baik itu potensi sumber daya alam, maupun potensi sumber daya manusianya.
Saat ini Bojonegoro memang dikenal sebagai daerah penghasil ladang minyak. Tapi sebenarnya, banyak sekali potensi sumber daya alam di Bojonegoro yang patut untuk dikenalkan pada publik secara luas selain itu. Daerah ini memiliki sederet lokasi pariwisata yang menyajikan keunikan sendiri, salah satunya Kawasan Agropolitan Blimbing di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro. Kawasan ini menjadi sentra bagi para warga sekitar untuk mengembangkan usaha perkebunan buah belimbing atau buah bintang lima.


Perkebunan buah belimbing di Desa Ngringinrejo sebenarnya sudah ada sejak tahun 1986. Sejak dulu perkebunan buah belimbing ini menjadi tempat ‘jujukan’ pertama para pedagang buah-buahan lokal maupun luar Bojonegoro. Umumnya para pedagang lebih suka membeli di areal perkebunan langsung karena cenderung lebih mudah dalam hal tawar-menawar harga. Perkebunan ini baru dikenal luas sejak akhir tahun 2010, ketika Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menetapkan kawasan Kalitidu sebagai “kawasan agropolitan” dengan komoditi unggulannya berupa buah belimbing (Surat Gubernur No. 520/8821/202.2/2010 tentang Penetapan Kawasan Agropolitan).
Namun, dalam perkembangannya kawasan ini pun belum mampu menarik minat pengunjung dari masyarakat umum secara optimal. Padahal penetapan kawasan agropolitan ini, diharapkan dapat menjadi referensi objek wisata baru yang akan dikunjungi oleh wisatawan dari dalam maupun luar daerah Bojonegoro.  Kawasan ini baru mulai dilirik oleh wisatawan semenjak Bendungan Gerak yang terletak di Kecamatan Kalitidu hingga Kecamatan Trucuk diresmikan. Tepatnya pada tanggal 2 Mei 2012, diresmikan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dengan disaksikan Wakil Gubernur Jatim Syafullah Yusuf dan Bupati Bojonegoro Suyoto. Bendungan Gerak dioperasikan untuk mengendalikan debit air sungai Bengawan Solo yang seringkali meluap saat musim penghujan, agar dapat dialirkan menuju area-area persawahan di sekitar aliran bendungan tersebut.
Bendungan Gerak memang menjadi ikon tempat wisata baru di daerah Bojonegoro. Kawasannya yang asri, berudara segar, dengan sajian panorama alam yang masih alami, mengundang minat muda-mudi untuk sekedar mampir atau menghabiskan waktu di sana. Lokasi Bendungan Gerak berdekatan dengan perkebunan belimbing, keduanya berada di satu jalur yang sama di Desa Ngringinrejo. Sehingga secara tidak langsung, keberadaan Bendungan Gerak juga berpengaruh positif bagi peningkatan jumlah pengunjung di perkebunan belimbing. 


Sebenarnya tidak ada syarat khusus jika pengunjung ingin masuk ke kebun belimbing ini. Karena memang setiap pengunjung tidak dikenakan tarif tiket masuk ke area perkebunan. Para pengunjung pun diberi kebebasan untuk memetik sendiri buah belimbing yang akan dibeli. Langsung memetik dari pohonnya. Asyik, kan? Melihat puluhan buah belimbing yang bergelantungan manja di dahan-dahan pohon, membuat air liur ini tak henti-hentinya tertelan paksa. Suasana di kebun belimbing ini benar-benar sejuk segar dan… menggiurkan. Glekk..!! Bahkan, terkadang pemilik kebun berbaik hati mempersilahkan jika ada pengunjung yang ingin mencicipi buah belimbing langsung dari pohonnya. Gratis lagi. Jika ada pengunjung yang ingin menikmati segarnya rujak buah, juga bisa. Sambil duduk santai, menikmati semilir angin kebun yang memabukkan. Dijamin, mereka yang datang ke kebun ini pasti betah berlama-lama menghabiskan waktunya.

 Tapi, tetap ada hal yang disayangkan. Miris rasanya jika melihat ada buah belimbing yang busuk di dahan. Buah belimbing memang jenis buah yang sangat rentan terhadap serangan lalat buah, kumbang, ataupun ulat penggerek. Serangga-serangga buah itu akan menyuntikkan telur ke dalam jaringan buah. Setelah menetas, telur serangga itu akan menjadi larva yang hidup di dalam jaringan daging buah. Pada tahap lebih lanjut, keadaan ini mengakibatkan masuknya bakteri pembusuk hingga seluruh jaringan daging buah akan mengalami kerusakan. Karena itu, buah belimbing mutlak memerlukan pembungkusan untuk meminimalisir serangan dari segala macam serangga buah itu. Pembungkusan dapat berupa bahan mulai dari plastik, kertas, sampai ke pembungkus daun.
Dalam hal ini, petani-petani di kebun belimbing Desa Ngringinrejo telah cukup pintar dengan membungkus buah-buah belimbingnya menggunakan plastik putih bening. Tapi sebenarnya mereka membutuhkan lebih dari itu. Sistem irigasi secara lancar dan melimpah dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas buah belimbing yang ditanam. Karena, dengan asupan air yang cukup memadai, maka kualitas buah yang dihasilkan dapat tumbuh dengan lebat, berukuran jumbo, dan memiliki rasa manis tentunya. Khususnya, pengaturan irigasi di musim kemarau harus benar-benar dipertimbangkan.
Selain itu, untuk menghindari resiko buah busuk di dahan sebelum dimanfaatkan, ada baiknya jika para petani dan warga sekitar desa diberi pelatihan yang bermanfaat untuk mampu menciptakan hasil olahan buah belimbing yang lebih bernilai jual. Coba kita tengok Kota Malang yang menjadi ikon sebagai Kota Apel. Mereka memiliki perkebunan buah apel khas malang, dimana para pengunjung dapat menikmati buah apel dalam berbagai tampilan. Bisa berupa buah segar itu sendiri, maupun berupa makanan olahan dari buah apel tersebut. Seperti camilan ringan, meliputi keripik apel, kerupuk apel, dodol apel, hingga minuman sari apel.
Sebenarnya, Bojonegoro bisa belajar banyak hal dari Kota Malang. Meniru strategi pemasaran yang digunakan untuk memperkenalkan hasil perkebunan secara luas, tanpa takut terkena resiko buah busuk selama pendistribusiannya. Petani-petani di kebun belimbing Desa Ngringinrejo bisa menciptakan produk olahan baru dari buah belimbing, seperti “Keripik Buah Bintang”. Makanan ringan dengan bahan dasar buah belimbing yang dipotong menyerupai bintang segi lima, kemudian dikeringkan dan diolah menjadi keripik buah. Atau, bisa juga menciptakan olahan air sari belimbing, dengan menginformasikan khasiat dan kandungan dari minuman itu bagi kesehatan tubuh.
Hasil olahan ini nantinya dapat diperjualbelikan sebagai pilihan oleh-oleh bagi para pengunjung di sekitar kebun belimbing maupun di luar Kabupaten Bojonegoro. Tentu saja dalam hal ini dibutuhkan kerjasama antar sesama pemilik perkebunan belimbing. Lalu, bagaimana caranya?
Para pemilik perkebunan bisa membentuk suatu serikat atau paguyupan yang menaungi segala tindak-tanduk usaha perkebunanan ini. Dari sini, mereka bisa saling mengkoordinasikan pembagian tugas mulai dari proses produksi, proses pendistribusian, hingga kegiatan promosi atau pengenalan produk secara luas. Dengan pembentukan suatu serikat, tidak ada ketimpangan maupun perasaan saling dirugikan dengan adanya persaingan yang tidak sehat antar sesama pemilik perkebunan belimbing. Bukankah dengan bersatu kita akan menjadi teguh? Bahkan tidak menutup kemungkinan dari komoditi buah belimbing ini, Kabupaten Bojonegoro dapat meningkatkan pendapatan daerahnya. Menjadi lebih dikenal sebagai penghasil buah bintang. "Bojonegoro… bintangnya buah bintang".
Pertanyaannya sekarang, bersediakah kita mewujudkan mimpi menuju Kota Bintang ini?


* Tulisan sederhana ini diikutsertakan Lomba Blog: "Potensi Lokal Bojonegoro" diadakan oleh Komunitas Blogger Bojonegoro


 

Jumat, 11 Oktober 2013

Proud Concept From The Conscience of a Hacker’s Version



Bangga? Kenapa harus bangga? Apa kebanggaan itu perlu?

Setiap orang pasti memiliki impian. Semacam garis rencana yang ingin diwujudkan menjadi nyata. Semacam pedoman terbuka untuk menujukkan arah paling tepat ke mana kaki akan dilangkahkan kelak. Dan, semacam suatu pencapaian yang tidak menutup kemungkinan akan mampu menerbitkan sebuah kebanggaan pula pada akhirnya.

Karenanya, sebagian orang percaya bahwa kebanggaan merupakan buah dari keberhasilan. Hasil pencapaian dari setiap mimpi. Sementara, sebagian orang lainnya percaya bahwa kebanggaan akan semakin terasa jika ada pengakuan atas keberhasilan itu sendiri. Pengakuan yang sering kali disebut sebagai sanjungan. Coba, siapa yang tidak ingin mendapat sanjungan, dipuji secara habis-habisan? Adakah yang menjawab tidak?

Mungkin ada, tapi tidak semua orang yang menjawabnya. Salah satu orang itu adalah dia, Tim Berners-Lee. Ada yang merasa pernah mendengar deretan nama ini? Pasti mayoritas dari kita akan menggelengkan kepala. Tapi, adakah yang merasa pernah mendengar Hyper Text Transfer Protocol (HTTP)? Atau, dalam bahasa kerennya disebut dengan internet. Pertanyaan kali ini pasti mayoritas akan disambut dengan anggukan mantap.

Internet. Setiap orang pasti pernah mendengarnya, bahkan memanfaatkannya. Bersentuhan langsung dengan dunia ini bukan suatu hal yang luar biasa lagi. Saat ini dapat dipastikan hampir keseluruhan elemen masyarakat telah mengenal dunia internet. Dunia maya, ruang informasi tanpa sekat pembatas. Dan, orang pertama kali yang bersentuhan dengan dunia internet adalah Lee. Karena, dialah sang penemunya.

Kita bisa belajar makna kebanggaan yang sebenarnya dari seorang Lee. Karena, ketika kita mencoba untuk mendefinisikan makna kebanggaan, sebenarnya hampir menyerupai tindakan saat kita mencoba untuk mendapatkan senyuman dari banyak orang dalam waktu yang bersamaan. Ibarat sebuah pekerjaan yang tak cukup dilakukan hanya dengan satu cara. Sulit diterapkan dengan satu solusi jawaban semata. Jadi, tidak ada salahnya jika kita mulai berkenalan dengan konsep kebanggaan yang dianut oleh seorang Lee! Konsep kebanggaan yang langka.

Tim Beners-Lee merupakan bagian dari “White-Hat Hacker”. Golongan komunitas hacker dengan topi putih, yaitu tokoh-tokoh yang mengagumkan dari segi pencapaian teknis dan filosofis mereka dengan turut mengembangkan budaya hacker di dunia. Dalam pandangan masyarakat awam, seorang hacker tak lebih baik dari seorang penjahat. Penjahat yang menggunakan komputer sebagai sarana utamanya. Cybercrime.

Lee dan teman-temannya memilih menjadi bagian dari komunitas hacker bukan karena bangga disebut sebagai penjahat. Tapi, lebih dari itu. Menjadi seorang hacker berarti harus memiliki kemampuan tertentu. Keahlian yang tak bisa tergantikan oleh apapun. Kemampuan untuk menciptakan hal-hal menakjubkan yang mereka yakini bisa memberikan banyak manfaat jika dapat dinikmati secara bebas. Bukan dibatasi pengunaannya oleh golongan tertentu saja.

Coba kita bayangkan, ada berapa belahan di dunia ini yang dapat menikmati kemudahan layanan dari internet? Sangat banyak, bukan? Lalu, dari sekian banyak bagian dunia tersebut, ada berapa ratus juta orang yang dapat mengakses internet dengan mudah? Dan, lebih dari sekedar banyak. Tapi, hanya sepertiga persen saja yang mungkin sudi mengakui kehebatan sang penemu itu. Terlebih lagi, setelah mereka mengetahui jika dunia yang sering dimanfaatkan itu hasil dari ‘buah kejahatan’ seorang hacker. Lalu, apakah kemudian seorang Lee menjadi tak bangga atas penemuannya? Hanya karena tak mendapat sanjungan dari banyak orang. Hanya karena disebut sebagai penjahat. Jawabannya, tidak! Karena dunia hacker tak pernah mengajarkan konsep kebanggaan yang harus selalu berjalan beriringan dengan sanjungan.

Dalam dunia hacker, ada satu ungkapan yang paling terkenal. Harga mati bagi komunitas mereka. Ungkapan itu berbunyi, “Show me the code!”. Artinya, tunjukkan padaku kode (pemrogaman) yang telah kamu buat. Ungkapan ini menegaskan dua hal: 1) bahwa hacker dinilai berdasarkan keahliannya membuat kode program, dan 2) bahwa kode program seharusnya tidak terkunci tapi dapat ditunjukkan pada masyarakat luas. Dunia hacker selalu menebarkan aura kebebasan sebebas-bebasnya. Apa yang mereka miliki juga menjadi hak milik publik luas. Mereka jarang sekali mengedepankan tindakan otoriter, atau membuat keputusan dengan pertimbangan pribadi semata. Karenanya, mereka selalu berani melakukan tindakan kreatif di luar kelaziman hidup sehari-hari.

Seorang hacker tanpa kemampuan nyata, tetapi kerap sekali sesumbar pada forum-forum online, tak ubahnya ‘tong kosong berbunyi nyaring’. Bising. Benar-benar menganggu. Dan, dipastikan hacker palsu ini akan puas menerima nasib tragisnya. Dipermalukan seumur hidup, atau mati tanpa pernah diingat. Karena hacker yang sesungguhnya lahir demi kebebasan. Tidak demi kepuasan mereka semata. Hingga, keberadaan kata pujian maupun hormat sanjungan bukan menjadi tolak ukur kebanggaan di mata mereka. Saat mereka bisa menghasilkan sesuatu yang bisa membuat orang lain tersenyum bahagia dan merasa terbantu, maka dari situlah kebanggaan itu akan bermula. Cukup mereka saja yang merasa.

Seperti kata-kata yang pernah diungkapkan oleh Tim Beners-Lee saat dia menghindari publikasi kehidupan pribadinya dari media massa. Dia berkata, “Dalam konteks publik, tidak apa aku ditunjuk sebagai penemu World Wide Web. Yang aku mau, citra itu dipisahkan dari kehidupan pribadiku, sebab kesohoran dapat menghancurkan kehidupan pribadi.”

Gelar menjadi seorang penemu atau menjadi seorang penjahat sekalipun, bukanlah hal berbeda di mata mereka. Para hacker tak akan pernah peduli akan adanya kemungkinan ribuan cemooh yang akan mereka terima atas tindak-tanduknya selama ini. Acuh di atas segala hina dan pandangan miring orang atas keberadaan mereka. Karena, kejahatan itulah satu-satunya sumber kebanggaan yang akan mereka rasa. Dan, sekali lagi, karena kebanggaan itu hanya cukup dirasa. Tanpa perlu ada sanjungan yang berdiri tegak di sampingnya.

Seperti bunyi pepatah orang Cina yang mengandung kebijaksanaan kuno dari Timur, bahwa “Dia yang menapak dengan lembut akan menempuh jarak yang lebih jauh”. Dengan kata lain, semakin berat hidup yang harus dijalani oleh seseorang maka semakin dekat orang itu melangkah menuju impiannya. Kerasnya hidup seharusnya mendorong kita untuk menjadi pribadi yang kuat, lebih tangguh dalam berbagai situasi terburuk, dan tegar menerima hasil akhir yang telah tercipta. Segala usaha pantas diperjuangkan demi mencapai suatu keberhasilan, dengan atau tanpa kata-kata sanjungan di akhirnya sekalipun. Karena, kebanggaan dapat lahir secara spontan saat ada rasa puas yang terlekat seketika di atas segala upaya yang telah ditegakkan. Kebanggaan itu akan datang tiba-tiba. Lahir dari sudut hati terdalam kita. Mengalir dengan sendirinya, tanpa perlu diminta.

Bagaimanapun juga, menjadi orang yang rendah hati pasti jauh lebih menenangkan daripada mengharapkan ungkapan kata "hebat" dari orang lain. Saat kita merasa hebat di atas segala-galanya, besar kemungkinan jika kemudian kita akan berkamuflase menjadi sosok sombong dan gemar pamer. Namun, jika akhirnya tak ada satu pun kata sanjungan yang berhasil tertangkap oleh telinga kita... sudah bisa dipastikan jika ribuan pil kekecewaan harus tertelan dengan paksa. Bahkan, hampir tidak akan ada lagi sisa kebanggaan atas harga perjuangan yang telah digerakkan sebelumnya. 

Jadi, untuk apa bangga harus ditunjuk-tunjukkan? Belajarlah menjadi sosok humbleCukup simpan geliat kebanggaan itu dengan rapi. Biar kita sendiri yang merasakannnya. Bukankah begitu akan terasa jauh lebih baik?

Dan rasanya pantas, jika para hacker memilih untuk berlapang dada menerima segala ucapan keras dari dunia terhadap keberadaan komunitasnya. Agar kelak, mereka dapat melangkah dengan jauh lebih ringan. Bersama konsep kebanggaan dalam napas kebebasan yang selalu tergenggam di hati nurani mereka masing-masing.


Quotes: “Manifesto Hacker
The Conscience of a Hacker (Hati Nurani Seorang Hacker)

Inilah dunia kami... dunia elektron dan switch, beauty of the baud. Kalian menyebut kami penjahat.. karena kami menggunakan layanan yang sudah ada tanpa membayar, padahal layanan itu seharusnya sangat murah jika tidak dikuasai oleh orang-orang rakus. Kami kalian sebut penjahat... karena kami gemar menjelajah. Kami kalian sebut penjahat... karena kami mengejar ilmu pengetahuan. Kami ada tanpa warna kulit, tanpa kebangsaan, tanpa bias agama... tapi bagi kalian kami penjahat. Kami adalah penjahat... sedangkan kalianlah yang membuat bom nuklir, mengobarkan peperangan, membunuh, berbuat curang, berbohong, dan berusaha membuat kami percaya bahwa itu semua demi kebaikan kami.

Ya, aku adalah penjahat. Kejahatanku adalah keingintahuanku. Kejahatanku adalah menilai orang berdasarkan perkataan dan pikiran mereka, dan bukan berdasarkan penampilan mereka. Kejahatanku adalah menjadi lebih pintar dari kalian, sebuah dosa yang tak akan bisa kalian ampuni.

Aku adalah hacker, dan inilah manifestoku. Kau bisa menghentikan satu, tapi kau tak bisa menghentikan semuanya... bagaimanapun juga, kami semua sama. (The Mentor, 1986)

*Source: Di Balik Kisah-kisah Hacker Legendaris (Hidayat dan Sopyan, 2007)

**Catatan tak berbentuk ini guna diikutsertakan pada 'Lomba Artikel CineUs Book Trailer bersama Smartfren dan Noura Books'



>>Supported By. <<

Kamis, 10 Oktober 2013

Ketika Tanggung Jawab = Produk 'Tersier'

Rasa tanggung jawab tiba-tiba terasa langka. Menjadi barang tersier, barang mewah. Hal yang membuatku geram hari ini. Rasa-rasanya tak jauh beda seperti ingin menerkam habis wajah-wajah mereka... deretan orang tak bertanggung jawab. TAK BERTANGGUNG JAWAB... CATAT!!!

Sosok makhluk bertanggung jawab memang semakin sulit ditemui di jagat raya ini. Mudah sekali dihitung dengan jari. Sosok langka yang semakin mahal harganya.

Coba kalian bayangkan, berapa banyak orang tak bertanggung jawab yang seringkali datang di kehidupan kita? Mereka selalu ada di sekitar kita, tanpa kita sadari. Atau, justru kita sendiri yang menjadi bagian di dalamnya. 

Berapa banyak orang yang bersedia untuk peduli, jika melihat ada korban tabrak lari terkapar di jalan? Lebih banyak penonton daripada penolong. Berapa banyak orang yang mau bersusah ria memungut sebotol sampah bekas air mineral di jalan? Lebih banyak yang menggurutu 'jorok' daripada membantunya tertidur nyenyak di kotak sampah. Berapa banyak orang yang mau mengembalikan barang-barang yang dipinjam, walau barang itu sekalipun milik dan untuk kepentingan umum? Lihat, fasilitas telepon umum berangsur-angsur hilang karena tak ada yang mau menjaga pemanfaatannya. Halte maupun dinding-dinding jalan semakin indah dengan kata-kata coretan tak berkelas, atau umpatan kasar yang sangat menyegarkan mata. Berapa banyak orang yang mau peduli? Kurasa tak ada, tak ada yang mau disalahkan, bukan?

Tidak lain karena... nilai tanggung jawabnya semakin mengikis oleh budaya individualisme. Hedeonisme barat yang kian mengakar kuat. Dan, tanpa kita sadari.

Coba kalian bayangkan, ada sosok yang tak bertanggung jawab atas impiannya. Seorang anak, pelajar, ataupun mahasiswa yang saling berebut masuk ke sekolah dan kampus favoritnya. Rela berkompetisi mengalahkan ribuan bahkan ratusan pesaing sebaya dengannya. Tapi, saat mereka telah masuk dalam lingkungan pendidikan favorit itu... masihkah sama semangat kompetisinya? Apakah tak pernah terdengar gaung keluh-kesahnya ketika dihadapkan pada setumpuk tugas-tugas sekolah? Dan, keluhan itu bukti ketidak-tanggung-jawabannya. Terlebih lagi, jika mereka memilih untuk 'drop-out' dari pada rela maju untuk terus berkompetisi. Lalu, kalau sudah begini, dimana harga perjuangan yang telah dilakukan oleh mereka sebelumnya? Hanya sampah??

Atau, bisa kalian bayangkan juga, sosok lain yang tak bertanggung jawab atas cintanya, perasaannya. Seorang pria yang semakin gencar  berjuang atas nama 'cinta'. Sekali ditolak, maka seribu semangat akan kembali tercipta. Hanya demi cintanya. Cinta mati, katanya (???). Tapi, saat jalinan cinta itu sudah tercipta... apakah masih ada ungkapan "demi cinta" itu tadi? Putus-nyambung, percekcokkan, perceraian, hingga perselingkuhan telah menjadi buktinya. Walau tak semua pejuang cinta berlaku demikian, tapi saat ini deretan kasus skandal cinta rasanya semakin ngetren dan hebat jika bisa dilakukan secara berjamaah. Selingkuh dibalas selingkuh. Atau, playgirl versus playboy.
Heiii...kalian sudah mati rasa!! Atau kalian sudah lupa segala manis-indah janji "demi cinta" yang pernah kalian ungkapkan sebelumnya?? Lupa yang disengaja. Puihhh..

Dan, sosok yang tak bertanggung jawab atas haknya. Lihatlah, betapa giatnya para anak muda membawa selembar amplop coklat besar dengan kata-kata "Kepada Yth. Pimpinan HRD Perusahaan bla..bla..bla...". Semangat melamar kerja, mencari hidup yang lebih layak. Mendapatkan penghasilan dengan keringatnya sendiri, demi pemenuhan haknya sebagai makhluk yang sarat kebutuhan. Saat test interview pun meraka tak segan-segan mengumbar janji manis demi mengambarkan betapa beratinya posisi mereka kelak bagi perusahaan. Mengumbar janji loyalitasnya. 

Mereka yang berstatus sebagai karyawan atau pegawai atau staf apalah... pasti akan menuntut haknya. Hak terima gaji. Bahasa kasarnya sih upah, dan rasanya lebih cocok disebut begitu. Tapi, adakah di antara para karyawan itu yang seringkali mengucapkan kata-kata keberatan atau penolakan dari tugas-tugas kerja? Banyaaak... Bahkan mereka tidak segan-segan menuliskan kalimat keluhan itu pada lembar-lembar spanduk, meneriakkannya di moncong speaker, dan mengancam Sang Majikan jika segala keluhannya itu tak terjawabkan. 

Memang, tak ada salahnya berpendapat. Tapi, tetap harus lihat-lihat. Lihat kondisi dan posisi, bagian mana yang sesungguhnya dirugikan dan bagian mana yang sesungguhnya lebih diuntungkan. Bukankah di pelajaran-pelajaran sosial seringkali disebutkan, jika kita ingin menuntut hak kita... maka kita harus menjalankan dulu  kewajiban kita. Bukan begitu, sobat? Sesama sobat karyawan (^.^)

Dan, termasuk mereka... para pejabat kelas kakap bermental teri. Lihatlah, betapa bangganya mereka yang masih berkesempatan nongkrong manis di kursi pemerintahan! Demi bangsa, dalihnya. Tapi, ujung-ujungnya juga demi perut mereka sendiri. Atau, demi istri tercintanya yang banyak pinta di rumah. Atau, malah demi selingkuhannya. (Na'udzubillah)

Andai kata negeri ini memiliki banyak orang yang bertanggung jawab, badge negara berkembang rasanya sudah tak pantas lagi tersemat di dada bangsa kita. Andaikan ada banyak pelajar yang semakin giat berkompetisi meraih prestasi, buka demi prestise semata. Adaikan ada banyak mahasiswa yang semakin mengembangkan pola berpikir bebasnya secara positif, bukan demi idealisme mengatasnamakan komunitasnya. Adaikan ada ribuan orang yang berani mempertanggungjawabkan ungkapan cintanya, maka tak perlu lagi lembaran-lembaran tissue bertebaran. Tak ada sakit hati, tak ada kata galau, tak perlu lagi kata maaf. Dan, andaikan mereka yang sibuk berkongkow ria di kursi pemerintahan benar-benar mempertanggungjawabkan misi dan janji sucinya bagi negara, tak perlu lagi KPK didirikan!!

Jadi, maukah kalian menjadi sosok yang benilai mahal itu? Menjadi salah satu benda mewah itu? Menjadi pribadi yang benar-benar bertanggung jawab? Demi impian, demi cinta, demi pemenuhan keinginan, dan demi negeri kita tercinta ini pastinya. 

Dan, aku yakin... jika ada salah satu dari kalian yang bisa benar-benar membaca deretan kata 'nyampah' di postingan ini, maka itu artinya: kalian bisa menularkan wabah bertanggung-jawab ini dengan mudah. Semakin banyak yang tertular tentu semakin baik bagi penyebaran virus bertanggung-jawab ini. Demi kita semua.



Karena, kita pantas berjaya... INDONESIA-ku..! 




By. Andari_Hersoe


Minggu, 06 Oktober 2013

Sakit yang 'Kubenci; Sakit yang 'Kusuka (?_?)

Sakit itu tidak mengenakkan. Sungguh!

Tugas tetap menumpuk. Tanggungan makin menggunung. Tidur serasa dihimpit dua tembok besar yang kian bergerak dekat, napas terasa berat, penuh kecemasan, dan huahhhhh... sangat tak mengenakkan.

Dan, sebenarnya aku membenci rasa sakit yang seperti ini. Rasa sakit yang menyiksa. Rasa sakit yang memaksa berpura-pura tetap tegar. Padahal... tidak ada cadangan kekuatan yang tersisa. Habis. Terkalahkan oleh nyeri tak bertuan.

Tak bertuan? Yah, karena aku sendiri pun merasa mengerti di mana sumber muara sakit ini berasal. Dan, aku pun merasa tak perlu untuk tahu. Untuk apa? Apa sakit memang perlu untuk ditunjuk-tunjukkan? Apa pandangan kasihan dari orang lain cukup menguatkan? Tidak.. pandangan itu, petunjuk itu, semua kelak akan menjadi suatu alasan saat aku tak mampu melakukan suatu hal yang seharusnya mampu kulakukan.

Karena, sakit ini kemungkinan akan menjadi 'kambing hitam' terwajar jika ketidakmampuan mengalahkan rasa penasaran... penasaran untuk berjuang.
Jadi, tak perlu lah rasa sakit itu dipamerkan ke sana-sini.

Karena, sakitku adalah rahasiaku. Dan, karena sakit yang kubenci ini kelak menjadi hal yang akan kusuka..kelak. Mungkin (???)

Semoga dengan rasa sakit ini, aku bisa menghargai harga dari sebuah 'sehat' dengan sebaik-baiknya. Semampuku. Aamiin, Ya Robb. ^)//*

*just pray for myself, only -_-


>>>BESOK HARUS SEMBUH.. HARUS!!!!<<<

Kamis, 03 Oktober 2013

Antara Kenangan dan Akhir Untuk Mengakhiri


“Dengan cara apa aku akan dikenang?”

Akhir-akhir ini pertanyaan bernada serupa kerap sekali menghampiriku. Seperti... ada sesuatu yang harus segera dituntaskan sebelum palu waktu dariNya bersuara.

Aku takut. Bukan takut pada kematian. Tetapi takut jika mereka yang kutinggalkan akan merasa kehilangan yang terasa. Atau, mereka yang kutinggalkan menjadi tak rela karena masih ada segepok kewajiban yang belum selesai kutuntaskan. Tapi, mungkin aku akan lebih takut lagi jika aku menjadi bagian yang tidak terkenang.

Egois, ya? Sepertinya begitu. Karena, ada atau tiadanya posisi seseorang... nilai dari secuil perhatian itu tentu berharga. Karena dari perhatian kita bisa dikenang. Dari dikenang kita bisa dikenal. Dari dikenal kita bisa tetap merasa ada. Merasa diakui keberadaannya, walau sekalipun sudah tak bernyawa.

Seperti kisah di bawah ini. Bagian dari kisah seorang guru di Jepang sana. Seorang guru yang mampu menjadi bagian dari kenangan termanis di hati siswa-siswanya.
Dan, aku berharap bisa menjadi bagian di tempat sekecil itu... di dalam hatimu, Kawan ^.^

By. Andari Hersoe

**88‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘ 8 , 8 ‘88**

DREAMERSRADIO.COM - Kisah nyata ini datang dari Jepang, sosok guru selain memberikan pelajaran akademis juga ikut memberikan pendidikan. Guru istimewa ini mampu merasakan kalau waktunya hidup didunia tak lama lagi, sehingga ia menulis pekerjaan rumah terakhir bagi muridnya yang membuat orang terharu.
Sebelum guru tersebut menghembuskan nafas terakhir, dirinya masih sempat menuliskan PR untuk para siswanya. Jika umumnya para murid malas mengerjakannya, maka PR yang satu ini membuat para siswanya menangis.
Guru tersebut menuliskan PR tersebut di papan tulis, dengan sebauh kapur ia mulai menuliskan tugas terakhir kepada murid-muridnya. Berikut tugas yang diberikan sang guru:
PR Terakhir
Tidak ada batas waktu.
Jadilah orang yang bahagia.
Saat kalian mulai mengerjakan tugas ini, mungkin aku sudah ada di surga.
Tidak usah buru-buru mengerjakannya. Kalian bebas menggunakan waktu yang dimiliki.
Tapi suatu hari, tolong kumpulkan padaku dan katakan, "Aku sudah melakukannya. Aku sudah bahagia."
Aku akan menunggu.
Tentunya PR tersebut menjadi PR paling mengharukan di dunia. Bahkan salah satu akun Twitter membagikan foto terakhir dari papan tersebut. Guru yang menuliskan tugas ini baru saja meninggal.
Namun apa yang ia sempat lakukan di nafas-nafas terakhirnya sungguh mengesankan. Ia benar-benar melakukan tugasnya sebagai seorang guru, yaitu memastikan bahwa anak didiknya bukan hanya belajar atas tuntutan akademis. Namun juga untuk menjadi seorang yang bahagia.

Source: yahoo.com//diakses tanggal 03/10/13