“Berkumpul bersama adalah suatu
permulaan,
tetap bersama adalah suatu kemajuan,
bekerja bersama adalah suatu kesuksesan.”
(Henry Ford)
Roda pembangunan
itu ibarat memanfaatkan sebuah alat timbangan. Selalu ada satuan yang digunakan
untuk mengukur dan objek yang diukur. Dan, hasil akhir dari timbangan itu
haruslah seimbang. Ya, seimbang. Karena, dengan keseimbangan maka objek yang
diukur tersebut baru dapat diakui handal, tepat, dan siap untuk segera
dimanfaatkan.
Pemerintah
Indonesia menggunakan sistem otonomi daerah sebagai alat timbangan dalam
menciptakan kesejahteraan secara merata pada seluruh daerah di Indonesia.
Otonomi daerah lahir di penghujung era 90-an. Melalui sistem ini, diharapkan
dapat mendorong terciptanya nuansa kemandirian di tiap-tiap daerah. Dengan kata lain, setiap daerah diharuskan
untuk mampu hidup sejahtera di atas kakinya sendiri, dengan usaha mandiri dalam
mengembangkan potensi regional yang dimiliki. Tanpa menuntut uluran tangan
pemerintah pusat yang sebelumnya hanya terkesan ‘meminta tanpa berusaha’. Dan,
satuan ukur yang digunakan tentu saja tingkat kesejahteraan ekonomi
masyarakatnya.
Sama halnya
dengan geliat pemerintahan yang tengah berkembang di Bojonegoro, salah satu
kabupaten kecil di Jawa Timur yang berusaha untuk menjadi besar dan terkenal.
Semenjak Pemerintah Indonesia menyebarkan virus otonomi ke berbagai penjuru
daerah, semenjak itulah Pemerintah Kabupaten Bojonegoro aktif menata dan
menumbuhkembangkan potensi kedaerahannya. Baik itu potensi sumber daya alam,
maupun potensi sumber daya manusianya.
Saat ini
Bojonegoro memang dikenal sebagai daerah penghasil ladang minyak. Tapi sebenarnya,
banyak sekali potensi sumber daya alam di Bojonegoro yang patut untuk
dikenalkan pada publik secara luas selain itu. Daerah ini memiliki sederet
lokasi pariwisata yang menyajikan keunikan sendiri, salah satunya Kawasan Agropolitan
Blimbing di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro.
Kawasan ini menjadi sentra bagi para warga sekitar untuk mengembangkan usaha
perkebunan buah belimbing atau buah bintang lima.
Perkebunan buah
belimbing di Desa Ngringinrejo sebenarnya sudah ada sejak tahun 1986. Sejak
dulu perkebunan buah belimbing ini menjadi tempat ‘jujukan’ pertama para pedagang buah-buahan lokal maupun luar
Bojonegoro. Umumnya para pedagang lebih suka membeli di areal perkebunan
langsung karena cenderung lebih mudah dalam hal tawar-menawar harga. Perkebunan
ini baru dikenal luas sejak akhir tahun 2010, ketika Pemerintah Kabupaten
Bojonegoro menetapkan kawasan Kalitidu sebagai “kawasan agropolitan” dengan
komoditi unggulannya berupa buah belimbing (Surat Gubernur No.
520/8821/202.2/2010 tentang Penetapan Kawasan Agropolitan).
Namun, dalam
perkembangannya kawasan ini pun belum mampu menarik minat pengunjung dari
masyarakat umum secara optimal. Padahal penetapan kawasan agropolitan ini,
diharapkan dapat menjadi referensi objek wisata baru yang akan dikunjungi oleh
wisatawan dari dalam maupun luar daerah Bojonegoro. Kawasan ini baru mulai dilirik oleh wisatawan
semenjak Bendungan Gerak yang terletak di Kecamatan Kalitidu hingga Kecamatan
Trucuk diresmikan. Tepatnya pada tanggal 2 Mei 2012, diresmikan oleh Menko
Perekonomian Hatta Rajasa, dengan disaksikan Wakil Gubernur Jatim Syafullah
Yusuf dan Bupati Bojonegoro Suyoto. Bendungan Gerak dioperasikan untuk mengendalikan
debit air sungai Bengawan Solo yang seringkali meluap saat musim penghujan,
agar dapat dialirkan menuju area-area persawahan di sekitar aliran bendungan
tersebut.
Bendungan Gerak
memang menjadi ikon tempat wisata baru di daerah Bojonegoro. Kawasannya yang
asri, berudara segar, dengan sajian panorama alam yang masih alami, mengundang
minat muda-mudi untuk sekedar mampir atau menghabiskan waktu di sana. Lokasi
Bendungan Gerak berdekatan dengan perkebunan belimbing, keduanya berada di satu
jalur yang sama di Desa Ngringinrejo. Sehingga secara tidak langsung,
keberadaan Bendungan Gerak juga berpengaruh positif bagi peningkatan jumlah pengunjung
di perkebunan belimbing.
Sebenarnya tidak
ada syarat khusus jika pengunjung ingin masuk ke kebun belimbing ini. Karena
memang setiap pengunjung tidak dikenakan tarif tiket masuk ke area perkebunan.
Para pengunjung pun diberi kebebasan untuk memetik sendiri buah belimbing yang
akan dibeli. Langsung memetik dari pohonnya. Asyik, kan? Melihat puluhan buah
belimbing yang bergelantungan manja di dahan-dahan pohon, membuat air liur ini
tak henti-hentinya tertelan paksa. Suasana di kebun belimbing ini benar-benar
sejuk segar dan… menggiurkan. Glekk..!! Bahkan, terkadang pemilik kebun berbaik
hati mempersilahkan jika ada pengunjung yang ingin mencicipi buah belimbing
langsung dari pohonnya. Gratis lagi. Jika ada pengunjung yang ingin menikmati
segarnya rujak buah, juga bisa. Sambil duduk santai, menikmati semilir angin
kebun yang memabukkan. Dijamin, mereka yang datang ke kebun ini pasti betah
berlama-lama menghabiskan waktunya.
Tapi, tetap ada
hal yang disayangkan. Miris rasanya jika melihat ada buah belimbing yang busuk
di dahan. Buah belimbing memang jenis buah yang sangat rentan terhadap serangan
lalat buah, kumbang, ataupun ulat penggerek. Serangga-serangga buah itu akan
menyuntikkan telur ke dalam jaringan buah. Setelah menetas, telur serangga itu
akan menjadi larva yang hidup di dalam jaringan daging buah. Pada tahap lebih
lanjut, keadaan ini mengakibatkan masuknya bakteri pembusuk hingga seluruh
jaringan daging buah akan mengalami kerusakan. Karena itu, buah belimbing
mutlak memerlukan pembungkusan untuk meminimalisir serangan dari segala macam serangga
buah itu. Pembungkusan dapat berupa bahan mulai dari plastik, kertas, sampai ke
pembungkus daun.
Dalam hal ini,
petani-petani di kebun belimbing Desa Ngringinrejo telah cukup pintar dengan
membungkus buah-buah belimbingnya menggunakan plastik putih bening. Tapi
sebenarnya mereka membutuhkan lebih dari itu. Sistem irigasi secara lancar dan
melimpah dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas buah belimbing yang ditanam.
Karena, dengan asupan air yang cukup memadai, maka kualitas buah yang
dihasilkan dapat tumbuh dengan lebat, berukuran jumbo, dan memiliki rasa manis
tentunya. Khususnya, pengaturan irigasi di musim kemarau harus benar-benar
dipertimbangkan.
Selain itu, untuk
menghindari resiko buah busuk di dahan sebelum dimanfaatkan, ada baiknya jika
para petani dan warga sekitar desa diberi pelatihan yang bermanfaat untuk mampu
menciptakan hasil olahan buah belimbing yang lebih bernilai jual. Coba kita
tengok Kota Malang yang menjadi ikon sebagai Kota Apel. Mereka memiliki
perkebunan buah apel khas malang, dimana para pengunjung dapat menikmati buah apel
dalam berbagai tampilan. Bisa berupa buah segar itu sendiri, maupun berupa makanan
olahan dari buah apel tersebut. Seperti camilan ringan, meliputi keripik apel,
kerupuk apel, dodol apel, hingga minuman sari apel.
Sebenarnya, Bojonegoro
bisa belajar banyak hal dari Kota Malang. Meniru strategi pemasaran yang digunakan
untuk memperkenalkan hasil perkebunan secara luas, tanpa takut terkena resiko
buah busuk selama pendistribusiannya. Petani-petani di kebun belimbing Desa Ngringinrejo
bisa menciptakan produk olahan baru dari buah belimbing, seperti “Keripik Buah Bintang”.
Makanan ringan dengan bahan dasar buah belimbing yang dipotong menyerupai
bintang segi lima, kemudian dikeringkan dan diolah menjadi keripik buah. Atau,
bisa juga menciptakan olahan air sari belimbing, dengan menginformasikan
khasiat dan kandungan dari minuman itu bagi kesehatan tubuh.
Hasil olahan ini
nantinya dapat diperjualbelikan sebagai pilihan oleh-oleh bagi para pengunjung
di sekitar kebun belimbing maupun di luar Kabupaten Bojonegoro. Tentu saja
dalam hal ini dibutuhkan kerjasama antar sesama pemilik perkebunan belimbing. Lalu,
bagaimana caranya?
Para pemilik
perkebunan bisa membentuk suatu serikat atau paguyupan yang menaungi segala
tindak-tanduk usaha perkebunanan ini. Dari sini, mereka bisa saling mengkoordinasikan
pembagian tugas mulai dari proses produksi, proses pendistribusian, hingga kegiatan
promosi atau pengenalan produk secara luas. Dengan pembentukan suatu serikat,
tidak ada ketimpangan maupun perasaan saling dirugikan dengan adanya persaingan
yang tidak sehat antar sesama pemilik perkebunan belimbing. Bukankah dengan
bersatu kita akan menjadi teguh? Bahkan tidak menutup kemungkinan dari komoditi
buah belimbing ini, Kabupaten Bojonegoro dapat meningkatkan pendapatan daerahnya.
Menjadi lebih dikenal sebagai penghasil buah bintang. "Bojonegoro… bintangnya
buah bintang".
Pertanyaannya
sekarang, bersediakah kita mewujudkan mimpi menuju Kota Bintang ini?