Kamis, 28 November 2013

Aturan Dunia Maya: Hati-hati Menggunakan Hati


"Kalau kita suka dengan seseorang, 
maka bukan berarti itu jadi alasan untuk semuanya. 
Termasuk percaya mati2an, ikut saja apapun. 
Berbahaya sekali kalau hanya karena kata “sayang”, 
kita jadi menutup mata atas hal2 merusak 
dan hal2 lain yang jauh lebih penting dibanding rasa sayang itu. 
Karena kabar buruknya, 
bahkan kita tidak tahu apakah sayang itu benar2 sayang 
atau karena kita tidak bisa mengendalikan perasaan.

"Gunakan akal sehat, pakai rambu2 agama, 
dengarkan nasehat keluarga atau teman baik, 
itu akan menuntun kita." 

Tere Liye (26/11/2013)


Aku suka sekali dengan kata-kata postingan Bang Tere di atas itu. Semacam mengingatkan kita, untuk tetap menjaga prasangka dalam berbagai keadaan. Entah itu prasangka baik, maupun prasangka buruk. Terlebih lagi, berbagai prasangka yang sering kali terekam dalam komunitas dunia sosmed (baca: Sosial Media.Red).

Di era sekarang ini, namanya penggunaan sosmed bukan termasuk barang tersier yang diagung-agungkan kemewahannya lagi. Sosmed dibarat anak yang setiap detik tidak pernah kekurangan perhatian dari induknya. Selalu dijaga. Dijaga dari apa? Tentu saja dari banyaknya ‘jempol’ dan komentar. Karena, semakin ramai beranda kita, sama saja semakin banyak penggemar kita. Ini jika sosmed yang digunakan adalah Facebook. Tapi, inti penggunaan dari sosmed lainnya tetaplah sama. Sama-sama meramaikan pergaulan dalam dunia maya dengan berkomunikasi lancar walau tanpa suara dan rupa.

Sosmed bisa menjadi pemenuhan kebutuhan yang menguntungkan. Kita bisa mengenal berbagai macam orang, dengan berbagai profesi yang berbeda, dengan berbagai lokasi yang berbeda, dengan berbagai rupa yang berbeda, dalam berbagai bahasa, bervariasi kesukaan, dan sebagainya. Yang jelas, dari sosmed kita bisa memanfaatkannya untuk menambah teman seluas mungkin, tanpa ada pembatasan. Jadi, wajar saja... dari sekian ribu akun pertemanan seseorang, di dalamnya ada mereka yang benar-benar mengenal kehidupan keseharian kita dan mereka yang sesungguhnya sama sekali belum mengenal kita, bahkan belum bertemu sekalipun.

Rumus dalam ilmu pertemanan, keindahan itu selalu terasa di awal. Saat satu sama lain belum mengerti posisi maupun keadaan masing-masing. Saling memperkenalkan diri masing-masing, saling memberi kata pujian maupun penguatan, saling bertukar pengalaman, hingga tumbuh perasaan merasa dihargai karena ada sesorang di belahan bumi sana yang sudi mendengar segala kisah kita. Entah itu kisah yang terkesan senang maupun duka. Karena, saat kita menemukan tempat ternyaman untuk berbagi, saat itu kata “simpathy” mulai berdiri tegak. Dan, jika dipelihara dengan subur, bukan tidak mungkin rasa yang hanya berbentuk simpati belaka menjadi berkembang dalam taraf yang lebih dan lebih. Ngerti kan, apa yang kumaksud?

Mungkin, salah satu dari kalian ada yang pernah mengalami ini. Tidak, bukan salah satu. Tapi, salah banyak. Karena, aku seringkali menemukan fenomena seperti ini dalam dunia maya. Dari dulu yang tidak tahu, tidak kenal, tidak pernah bertemu, tiba-tiba langsung menjadi dekat hingga berani menggunakan status ‘new relationship’ tertentu dalam akunnya. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan keadaan ini. Semua orang berhak untuk mengembangkan hatinya. Mencari tempat peristirahatan ternyaman untuk hatinya. Tapi, nanti dulu... tetap harus melihat konteks dimana saat itu terjadi. Benar-benar di hati yang tepat atau tidak. Adakah dampak kemungkinan akan melukai hati lainnya? Atau mengganggu keberadaan hati lainnya? Karena bagaimanapun juga, jika sesuatu yang baik itu bisa memberikan dampak buruk bagi seseorang, maka perlu adanya sikap antisipasi dari kemungkinan kedatangan dampak itu.

Aku yakin, kalian pernah mendengar kisah miris tentang anak-anak dibawah umur yang belum bisa dikatakan dewasa, menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, dan tindak kriminal lainnya, hanya karena pergaulannya dalam jejaring sosial. Mengenal seseorang, menjadi dekat, hingga saling bertukar nomor, berkomunikasi jarak jauh melalui pesan singkat ataupun telepon, sampai suatu masa dimana keduanya berjanji untuk ‘copy darat’. Bertemu langsung. Pertemuan yang terpuaskan akhirnya, setelah sekian lama sempat tertahan dalam dinginnya dinding sekat ruang yang membatasi keduanya.

Hati itu lembut dan berkontur lentur. Karenanya hati selalu berubah-ubah. Terkadang mengembang besar saat suka, atau mengempis kecil saat berduka. Hati itu diibaratkan sebuah spons, yang penuh rongga udara di dalamnya. Terlalu mudah terpengaruh, dan mudah pula berubah seketika. Sama seperti spons. Misalkan, kita masukkan sekawanan spons ke dalam suatu tabung... sekalipun tabung itu penuh, tetap kita masukkan juga. Kita jejalkan spons di dalamnya hingga benar-benar tak ada ruang lagi dalam tabung itu untuk spons-spons lain, walaupun posisi sekawan spons yang telah berhasil masuk ke dalam tabung itu penuh paksaan. Dalam berbagai posisi. Tidak lagi mengembang, tapi mengempis. Lalu, kita tutup tabung itu dengan rapat. Pasti tetap bisa tertutup rapat, asalkan tutup tabung yang digunakan benar-benar sesuai.

Sama halnya dengan hati kita. Setiap hari kita berusaha menjejalkan rasa penasaran, rasa ingin bertemu, rasa simpati, rasa tertarik, rasa rindu, rasa marah, atau rasa-rasa lainnya ke dalam tabung hati kita. Hingga saat kopdar (baca: kopi darat.Red) tiba, saat dimana tutup tabung hati kita yang semula tertutup rapat akan dibuka dengan bebas, saat itulah spons-spons berbagai rasa–yang  semula dijejalkan paksa–menjadi berhamburan. Berbagai rasa yang telah cukup lama dipendam akan keluar dan berjatuhan begitu saja. Terjun bebas dari tabung hati. Dan, jika tidak hati-hati melindungi hati, maka kejadian-kejadian miris yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Tanpa ada kontrol yang berarti.

Kalian masih ingat dengan salah satu kasus dari sekian kasus dampak dari adanya jejaring sosial. Kisah tentang seorang siswi SMP dari Surabaya sana yang dikabarkan menghilang dari rumah (tidak perlu lah menyebut nama). Kabar dari status maupun aktivitas terakhir sang siswi tersebut menunjukkan jika dia pergi untuk bertemu dengan seorang pria kenalan dari facebook. Hingga, sang siswi itu pun dibawa lari oleh teman dunia mayanya. Entah kemana, dan entah hal apa saja yang telah mereka lakukan. Sesuatu yang amat miris, terlebih lagi bagi keluarga sang siswi. Bagiku, tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini saat kita menyadari bahwa orang terdekat kita justru tidak merasa nyaman untuk menceritakan segala hal tentang dirinya. Melainkan, justru mencari tempat tumpahan dari segala rasa pada sosok lain yang letaknya sangat jauh, atau hubungannya pun jauh. Orang asing. Aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan sang ibu. (Jadi inget wanita tercantik di dunia yang sekarang ada di rumah sana, hiks L)

Atau kisah tentang seorang istri yang menjadi korban keganasan suami, hingga tewas mengenaskan di tangan suaminya sendiri (kalau nggak salah, kejadiannya ada di daerah Madura sana seh). Emosi sesaat sang suami yang berakibat fatal, dimotori karena kecemburuan sang suami terhadap istrinya sendiri. Istri itu ketahuan memiliki PIL alias sephia yang dikenal melalui jejaring sosial, berlanjut kopdar, hingga terjadi hal-hal yang sebenarnya tak pantas untuk terjadi. Kalau sudah begini, siapa yang patut disalahkan. Sang suami kah, yang sudah gelap mata? Sang istri kah, yang sudah menyia-nyiakan kepercayaan suaminya? Atau, sang PIL kah, yang berani mengganggu ketentraman hidup keluarga lain? Atau justru, jejaring sosial itu sendiri? Yang menjadi penyebab awal segalanya.

Tulisan ini dibuat bukan sengaja ingin berghibah ria, atau memamerkan aib orang lain. Sama sekali bukan itu niatnya. Tulisan ini dibuat semata-mata untuk menyadarkan kita semua akan eksistensi dari keberadaan dunia maya (khususnya jejaring sosial) yang sebenarnya. Manfaat dari dunia maya yang sebenarnya bisa kita petik, lebih dari sekedar alat menambah kenalan saja.

Jejaring sosial dibuat salah satunya untuk bertemu dengan komunitas-komunitas yang sesuai dengan minat kita masing-masing. Misalkan, jika kalian suka membaca, bisa bergabung dengan komunitas kutu buku. Jika kalian suka menulis, bisa bergabung dengan komunitas sastra dan penulis. Jika kalian suka berpetualang, bisa bergabung dengan komunitas pecinta alam. Dan masih banyak komunitas lainnya yang bertebaran di berbagai jejaring sosial. Dari komunitas itu kita saling bertukar pendapat, pemikiran, sharing, dan saling menginspirasi. Dari situ, kita bisa belajar banyak hal-hal baru yang memang ingin kita ketahui. Sesuatu yang mungkin tidak bisa kita peroleh dalam dunia nyata. Kenapa? Karena dunia maya tak pernah terlelap. 24 jam non stop selalu terbuka, bagi siapa saja yang ingin mengetuknya.

Jadi, tidak ada salahnya jika kita memiliki banyak kenalan baru dari berbagai jejaring sosial. Hanya saja, tetap diperlukan kehati-hatian di dalamnya. Karena kita tak tahu seperti apa kehidupan asli dari berbagai teman yang tergabung dalam jejaring-jejaring sosial itu. Benarkah mereka ada? Benarkah kedudukan mereka nyata? Dan, pertanyaan benarkah-benarkah lain yang perlu dipertanyakan. Demi kehati-hatian. Dan, demi menjaga diri sendiri dari segala hal yang mengarah pada kebathilan.

Seringkali aku menemukan pada status-status jejaring sosial, kata-kata mesra bertebaran saat sepasang sejoli di dunia maya mulai terbuai dengan aroma kasmaran. Saling memuji satu sama lain, saling bertukar kata sayang, dengan panggilan yang terkadang agak (*maaf) memuakkan. Tapi, di lain waktu, saat sepasang sejoli itu terlibat dalam perdebatan, cekcok... maka berbagai olokan dan caci-maki ganti mulai bertebaran di beranda keduanya. Saling mengumpat, menjelek-jelekkan satu sama lain, bahkan melakukan aksi blokir yang paling diharamkan.  

Padahal, seharusnya segala keadaan di atas tak perlu terjadi, kalau saja mereka mengerti bahwa pertemanan dalam dunia maya sekalipun tetap ada etika yang perlu dijaga. Sosial media bukan tempat untuk menambah musuh. Sosial media bukan tempat untuk menggadaikan kesetiaan. Sosial media bukan tempat untuk meminta belas kasihan. Sosial media bukan satu-satunya media pertemanan yang layak dijadikan candu. Hingga rasanya, sedetik saja tak membuka, tangan ini terasa gatal ingin terus dan selalu membukanya. Sampai terlupa akan kehidupan nyata di sekitar kita, kehidupan yang paling dekat bersentuhan dengan kita.

Jadi, hati-hatilah menempatkan hati dalam pergaulan di dunia maya. Gunakan seperlunya, secukupnya. Tidak berlebihan. Jangan sampai merugikan siapapun, termasuk orang-orang di sekitar kita, yang lebih membutuhkan perhatian kita. Orang-orang yang pernah menjadikan kita ada di dunia nyata. Apalagi jika sosok-sosok di dunia nyata itu benar-benar menghilang dari kita, hanya karena keasyikan kita dalam dunia maya. Jangan lupakan mereka. Bukan dunia maya yang tak bisa disentuh keberadaannya.

Seperti kata-kata postingan Bang Tere Liye yang satu ini (28/11/2013): 

"Boleh jadi kita telah kehilangan sesuatu, 
jauh2 hari sebelum sesuatu itu benar2 pergi, menghilang dari kehidupan kita.
Dan boleh jadi, 
kitalah yang menyebabkan hilangnya sesuatu itu, 
karena tidak peduli, tidak merasa penting."



Senin, 25 November 2013

Curhatan Seorang Guru dari Sekolah Seberang Bengawan Solo



Tanggal 25 Desember ini bertepatan dengan perayaan Hari Guru Nasional. Hari yang sengaja diadakan sebagai penghormatan kepada kaum guru, pendidik, maupun pengajar dari berbagai jenjang, jenis, dan nama penyebutan yang berbeda.
Mungkin, aku termasuk di dalamnya... Guru Jadi-jadian J. Yah, karena kadang aku berubah menjadi guru, kadang jadi staf admin, kadang jadi tukang tagih-tagih, kadang juga jadi tukang sapu. Tapi, semua itu benar-benar terasa nikmat kalau kita mempunyai cara untuk menikmatinya, bukan? Dan, aku menikmatinya. Sangat! J

Aku mencintai dunia pendidikan, walau selama ini aku tak semata-mata menjadi pengajarnya saja. Bagiku, melalui dunia pendidikan yang kurintis ini, semangat anak-anak muda penggerak Indonesia dapat kian meningkat. Karena, mereka, anak-anak didikku punya segudang tugas yang harus dijalankan untuk membangun negara ini, untuk memberikan sesuatu yang lebih buat bangsa ini. Termasuk, anak-anak didik di sekolah maupun berbagai lembaga pendidikan lainnya.
Aku seringkali menceritakan pada mereka tentang perubahan Indonesia, dari jaman dulu (semenjak era Soekarno) hingga jaman sekarang. Hal-hal yang membuat bangsa ini terasa cheos di berbagai sisi. Kerusakan yang semestinya tak perlu untuk terjadi, jika kecintaan terhadap bangsa ini pun telah lama tertanam dalam diri.

Dua hari dalam sepekan, aku mengajar di sekolah baru yang berbasis pondok pesantren di seberang aliran Bengawan Solo yang melintasi Kabupaten Bojonegoro ini. Sekolah ini bukan sekolah ‘wah’. Dan, sangat jauh jika dibandingkan dengan Pondok Putra Gontor di Ponorogo maupun Pondok Putri Gontor di Mantingan, Ngawi sana. Terlebih lagi jika melihat perbedaan infrastruktur yang ada.
Sekolahku ini berdiri dengan dana swadaya dan sumbangan dari donatur yang peduli akan perkembangan dunia pendidikan. Bisa dikatakan, kami membangun sekolah ini dengan asal comot sana comot sini. Kadang kala, ada sumbangan yang melimpah. Tapi, kadang kala juga tidak ada sumbangan apa-apa. Benar-benar perjuangan. Termasuk honor guru mengajar pun masih dalam kategori ‘perjuangan’. Rasanya, lebih baik menggunakan istilah itu.

Sebenarnya, awal mula aku menerima tawaran mengajar di sana, itu karena aku ingin merasakan aura dunia pendidikan yang sesungguhnya. Merasakan menjadi seseorang yang setiap hari dipanggil ‘bu guru’ oleh raut wajah lucu dan polos itu. Hanya sesederhana itu saja. Tapi ternyata, dunia pendidikan Indonesia sudah sedemikian buram. Banyak kerusakan di sana sini yang harus ditambal-sulam, dan hasrat sesederhana itu saja tidak perlu.
Aku tahu, guru pun manusia normal. Sama seperti makhluk lainnya, memiliki keinginan untuk terus meningkatkan taraf hidupnya. Kemapan materiil dengan memanfaatkan deretan fasilitas keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah saat ini. Mulai dari pengadaan tunjangan fungsional guru per bulan hingga pengajuan dana sertifikasi, semua itu sengaja diberikan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup guru. Sebenarnya, aku tidak masalah jika sebagian besar guru berusah untuk mengejar berbagai fasilitas istimewa itu. Boleh-boleh saja. Karena, itu hak mereka. Tapi, akan menjadi masalah jika mereka menuntut hak itu, dan tanpa diimbangi dengan pemenuhan kewajiban yang seimbang. Jarang masuk mengajar, tugas terbengkalai, dan anak-anak pun menjadi terlantar. Itu yang salah!! L

Yah, semoga... ke depannya nanti, guru-guru di sekolah ini bisa lebih mengerti, untuk apa mereka ada di sana. Bukan untuk menambah daftar ke-chaos-an bangsa ini. Bukan untuk menambah daftar waktu yang mubazir terbuang tanpa dimanfaatkan oleh hal-hal yang berguna. Dan, semoga semangat perjuangan mereka dapat lebih terjaga.



Hari Sabtu kemarin, aku baru saja memberikan semacam burning effect di kelas VIII. Kelas yang bagi sebagian guru seringkali membuat mereka bergeleng-geleng kepala. Bukan karena heran bangga, tapi sebaliknya. Yah, anak kelas VIII memang sedikit atraktif. Aktifnya tingkat dewa. Mayoritas virus ini hampir menjakiti anak satu kelas, hanya segelintir orang saja yang kebal dari virus itu.
Aku sendiri, dulu sempat menitikkan air mata di hadapan mereka. Karena, aku tak tahu harus marah dengan jalan seperti apa untuk menyadarkan kelakukan mereka yang kurang pantas. Tapi, toh, semenjak kejadian itu, mereka menjadi sedikit lebih sungkan saat aku mengajar. Yah, hanya sedikit. Tapi ramainya, tetap. Wajar sajalah... karena mereka anak-anak. Setidaknya setiap aku memberikan pengarahan atau bahan yang perlu dicatat, mereka bersedia melakukannya. Tidak seperti dulu yang selalu memberontak.

Sekolahku ini memang bukan sekolah elit, dan baru berumur jagung. Jumlah murid dalam satu kelas pun tidak banyak. Hanya berkisah 10-15 orang saja. Sekolah baru yang belum memiliki nama dan masih memupuk kepercayaan dari masyarakat awan atas kredibilitas kerjanya. Karenanya, jika aku memaksakan kuliatas input anak-anak yang sama dengan sekolah negeri atau sekolah swasta favorit di luaran sana, jelas saja tidak mungkin. Salah. Setiap anak itu datang dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sosok-sosok unik yang perlu dikembangkan tanpa melupakan konsep keunikan yang mereka punya, tidak peduli unik secara positif maupun negatif. Termasuk anak kelas VIII yang memiliki sindrome keunikan khas itu. Unik, karena bisa memutuskan urat kesabaran guru-guru. Membuat guru-guru harus mengelus dada setiap mengatasinya, dan ribuan pemakluman atas segala sikap yang mereka lakukan. Yah, karena seperti itu yang aku upayakan untuk bisa menghadapi mereka. Setidaknya, mengajar dengan tanpa beban. Just it!

Aku tahu, anak-anak di kelas VIII punya segudang impian. Impian besar yang nantinya pasti bisa mengubah bagsa ini. Impian besar yang akan dimulai oleh masing-masing pribadi mereka sendiri. Impian besar yang akan terwujud jika mereka sadar sepenuhnya peran dasar mereka bagi bangsa ini.
Mungkin, saat ini mereka belum bernilai apa-apa bagi bangsa. Tapi, lihatlah 10 tahun ke depan. Bagaimana perubahan yang telah tercipta dari tangan-tangan mereka yang tak lagi mungil. Bukankah sebiji intan yang berkulitas membutuhkan penempaan selama betahun-tahun? Bukankah sebatang oak besar bisa tumbuh kuat dalam waktu berpuluh-puluh tahun? Dan, seperti itulah mereka kelak.

Aku seringkali menularkan kekuatan dari bermimipi. Mimpi kecil yang akan menjadi nyata jika kita tetap berani memimpikannya. Berani bermimipi kembali saat kegagalan menghampiri. Berani membangun mimpi itu kembali saat penolakan terjadi. Berani melalui dengan hal-hal yang tidak mengenakkan untuk menciptakan mimpi itu dalam dunia realitas. Karena, mimpi selamanya akan menjadi mimpi jika tidak diimbangi dengan usaha yang berarti. Sama halnya seperti aku dan impian-impianku.
Dan, salah satu impianku adalah mewujudkan impian mereka. Mengingatkan mereka untuk terus bermimpi, bahkan di saat mereka telah terjaga. Diantaranya, memimpikan perubahan besar pada bangsa ini. Kebaikan dalam pengelolaan SDM dan SDA, kualitas produksi barang-barang yang tetap terjaga, menjaga kekayaan alam dari penggerogotan mesin-mesin asing. Yang setiap hari seakan semakin liar dan membabibuta. Kita harus peduli, dan anak-anakku haru peduli itu. Harus tahu itu. Karena dimulai detik ini, mereka tahu bahwa tugas mereka lebih dari sekedar datang, duduk, dan mendengarkan penjelasan guru. Lebih dari itu. Dan, semoga mereka siap menghadapi segala perubahan di depan sana. Hingga masa depan bangsa ini telah terjaga dalam gengamannya.

Hanya ini yang bisa kupercayakan untuk bekal mereka. Ilmu dan semangat perjuang. Karena bangsa ini tetap pantas untuk dicintai.
“Anak-anakku... kalian mendapat salam dari Indonesia. Berjuanglah!!”


Jumat, 22 November 2013

LDR Versus Kesetiaan


#LDR, semua orang pasti tahu kepanjangan dari tiga huruf ini. Secara... pernah dibahas juga 'kan, di salah satu adegan film-nya Raditya Dika "Kambing Jantan". Yupz, tidak lain.. tidak buka. LDR alias Long Distance Relationship.

You know what?
Tidak tahu. Entah siapa yang memulai melaunching singkatan ini. Tapi yang pasti, seseorang itu jeli banget. Tahu pasti bahwa terkadang kata cinta yang semula utuh bisa keropos tiba-tiba, kalau terkena hambatan sama yang namanya 'jarak'.

Sekarang gini, beberapa pasangan yang (katakanlah) tiap hari ketemu, kemana-mana bareng, terus bisa ditemuin di keseharian, tapi nyatanya... tetep masih ada juga yang kena godaan "sephia". Terus, gimana dengan mereka yang terpisahkan oleh jarak? Bukan hanya waktu, tapi tempat juga. Ruang yang berbeda. Jangankan untuk menatap, bertukar suara saja susah. Lalu, apa itu artinya jarak tidak bisa menumbuhkan kesetiaan..?? Bisa jadi.

Yah, sebagian orang pasti menjawab begitu... menjawab dengan kata-kata: bisa jadi, depend on, tergantung (*mati dong??), liat sikon lah, atau nanti dulu. Karena, nyatanya tidak semua LDR berujung pada ketidaksetiaan hingga putus di tengah jalan. Tidak semua LDR memberikan ending yang "so saaaad" :'( . Tidak semua pelaku LDR harus rela mengubur hatinya, cita-cita dengan cintanya, yang kemudian mengalah pada ribuan kilometer jarak yang membatasi gerak-gerik mereka. Karena, aku sudah melihatnya. LDR yang sukses menapaki ranjau di tiap kilometer hambatan langkah mereka... sama-sama memperjuangkan beratnya jarak yang harus dijaga ada. Dan, membiarkan kata-kata manis perjumpaan yang hanya terangkum dalam angan semata. Tapi... kesetiaan mereka pula 'kan yang menjadi juaranya.

Aku yakin, cinta itu sederhana. Tinggal bagaimana kita memaknainya saja. Ribuan kilometer yang menjadi penghalang, jika kita memaknainya dengan segaris senyuman... pasti tak ada keraguan yang menghimbit. Tidak ada apa itu cemburu, tidak ada rasa kehilangan, kosong karena merasa kurang perhatian, sepi karena merasa berjuang sendiri, sedih karena memendam kesedihan sendiri, hingga galau karena menyimpan rindu yang belum juga terpecahkan. Cinta itu sederhana, saat kita bisa membagi kapan saat terpantas untuk adanya cinta dan kapan saat dimana cinta harus dinomorduakan. Karena, cinta itu tak pernah egois. Dia fleksibel... selalu bisa mengikuti kemana arus perjalanan hati yang dituju. Tanpa harus ada perasaan saling terbebani.
(*Uaaaahh.... cinta mlulu, kaya' orang yang sudah pakar urusan satu ne aja!!!)

Aku pernah bertemu dengan berbagai macam hati yang pernah terlibat dalam skandal LDR ne. Dan, memang... ada setangkup hati yang berhasil, tapi ada juga setangkup hati lain yang gagal total. Bagiku, mereka yang berhasil karena mereka telah meyakini bahwa mereka merasa perlu untuk menggadaikan kepercayaan dalam ribuan jarak yang memisahkannya. Tanpa ada kecurigaan dan kekhawatiran apapun. Yah, hanya kepercayaan saja kuncinya. Like Sinichi Kudo and Ran Mori's Story.
Dan, mereka yang tidak berhasil... tentu saja karena mereka tergolong makhluk-makhluk yang tak pernah mau belajar ikhlas. Belajar menerika nikmatnya kesendirian, nikmatnya rasa rindu yang terus tersimpan hingga bertumpuk atau bergunung-gunung tingginya, Dimana, saatnya tiba... saat pertemuan itu datang, mereka akan mampu meletuskan rasa rindu hingga kepuasan yang terciptanya. Karena, bisa merindukan seseorang itu adalah anugrah yang seharusnya bisa menjadi cambuk dalam diri kita untuk semakin memperbaiki diri. Hingga saat perjumpaan kembali itu tiba, kita telah menjelma menjadi sosok pemenang, yang selalu berusaha menjadi baikn setiap harinya, demi menyambut kedatangannya.
Bukan begitu, Sobat?

Yah, karena ku dulu pernah menanti. Terkadang sakit, tapi tetap tak boleh mati. Langkah kita masih panjang, tidak seharusnya masalah cinta dan jarak menjadi masalah terberat untuk memupuk masa depan gemilang. Cukup berpasrah ria, itu saja kuncinya. Karena dengan sendirinya, Allahh-lah yang nantinya akan menuntun langkah ini... menuju ke suatu keadaan, sesuai pinta kita, sesuai kemampuan kita, dan sesuai kadar kepantasan kita untuk menerimanya.

Jadi, jika kalian ingin sesuatu yang baik, maka ciptakan kadar kepantasan yang baik pula. Sehingga, jarak maupun permasalahan lainnya tak akan menjadi soal terparah bagi kita untuk tetap melangkah. Bersama hati, dan rasa cinta yang tetap pantas diperjuangkan.
Karena (sekali lagi)... mimpi setiap orang itu tetap pantas berdiri!!

Dan, semoga... kalian-kalian yang hingga detik ini masih berjuang dengan #jarak, adonan keikhlasan senantiasa ada untuk mengobati segala keraguan kalian. Aamiin (^.^)

  


Rabu, 20 November 2013

Secuil Kenangan Antara Aku, Tara, dan Dia... Mister of Autumn in Paris




Aku sudah bilang, aku paling nggak jago kalau diminta membuat puisi. Sama sekali nggak bisa. Jadi, kemaren waktu ada event lomba bikin puisi buat salah satu tokoh cerita dalam novel-novelnya Ka’ Ilana Tan, aku ikut ambil bagian di dalamnya. Tapi, bonek abis.. bondo nekat. Modal sok kepedean aja. Demi apa? Demi Tuan Fujitatsu deh, tokoh novel Ilana terfavoritku.

Sedikit cerita tentang Tuan Fujitatsu, sosok ini tetep nggak bisa ninggalin Sang Induk cerita, dimana tokoh ini dilahirkan di dalamnya. Tokoh yang menurutku sangat bijaksana sekaligus bodoh dalam memperjuangkan cintanya. Bijaksana, karena akhirnya dia rela mengorbankan perasaannya dan perasaan seseorang yang pernah dicintai dan mencintainya demi ketentuan nasib yang memang tak berpihak pada mereka. Bodoh, karena seberat apapun dia berusaha untuk menerima ketidakmungkinan keadaannya hanya ada penyesalan-penyesalan yang tersisa. Seharusnya dia tidak perlu seperti itu. Seperti mengharapkan kedatangan kematian segera. Seperti hambaNya yang tidak mengenal kata syukur, karena sebenarnya hakikat cinta itu luas. Tapi, sekali lagi, ini hanya cerita.

Huaahh..  cerita ini memang selalu membuat air mataku terkuras abis. Bukan dasarnya emang aku rada cengeng, ya. Tapi karena cerita ini bener-bener kisah sad ending yang punya taraf kesedihan tingkat dewa. Apalagi kalau disuguhi dengan deretan kata-kata di bawah ini. Kata-kata yang aku culik dikit dari novel aslinya. Kata-kata perpisahan Fujitatsu buat seseorang yang sempat menjadi bagian terpenting bagi dirinya, Tara Dupont.

Dan, ada baiknya sebelum membaca kalimat ini... kalian menyiapkan dulu segepok tissue. Jaga-jaga kalu tiba-tiba aja air mata itu nggak sopan nongol begitu aja. Biar nggak jatuh mubazir. J

::Quotes From: Autumn in Paris, Page 107-109::

“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu.”
Kalimat pembuka dari e-mail Tatsuya itu membuat Tara menahan napas.
Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.
“Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia agak mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya pada pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya kepadaku. Selama ini aku tidak pernah percaya pada yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku mendapat kesempatan mengenalnya.
“Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja—tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami—dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
“Bintang keberuntunganku ternyata sedang bersinar terang saat itu. Aku bertemu dengannya lagi, tanpa sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus kuakui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemaniku ke museum.
“Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama.
“Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan?
“Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti—aku tidak tahu kapan—rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.”
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Tara meraih ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Tidak peduli ponselnya jadi basah karena air matanya yang mengalir deras.
“Tara?” Suara Sebastien terdengar di telinganya. “Aku ada di bandara. Pesawat Tatsuya baru saja tinggal landas.”
Tara tidak bisa mendengar suara Sebastien lagi. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Namun ia bisa mendengar suara pelan Élise yang membacakan surat Tatsuya.
Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
“Aku mencintainya.”
Saat itulah secuil kendali diri Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. Ia hanya berharap sepenuh hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga di dalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.

Hanya secuil kisah. Yah, di atas itu hanya penggalan kisah Autum in Paris aja, tapi aura basah-basah banjir air matanya sudah kerasa. Bener-bener kerasa feel sedihnya. Tapi, coba bandingkan dengan puisi karyaku di bawah ini. Sama sekali nggak kerasa feel sedihnya. Sama sekali bukan karya yang bisa dikatakan berkualitas. Karya yang sekedar dipaksa untuk jadi. Jadi, wajar aja kalau karya satu ini sama sekali nggak masuk kriteria nomine karya yang terpilih. Gatot.. gagal total. Hehe..

*SISA NYALA KERINDUAN*

Dear Tatsuya Fujisawa (Fujitatsu)...

Aku tangguh
Aku kuat
Tapi tidak jika mengingatmu
Tentang sebaris kenangan
menyala padam dalam diam

Kau ibarat angin
Berhembus keras menampar wajah
Menguap tanpa tersisa
Hanya sisa desiran lembutnya terasa
Tanpa mampu teraba raga

Aku tahu
Kau ada, sempat ada
Berpendar dalam cinta yang salah
Kelap-kelip tak tahu arah
Tenggelam dalam kisah yang menggelapkan rasa
Berlabuh dalam hati yang meleburkan mimpi

Terlalu lama ‘ku terpenjara
Terlena nikmat aroma memorimu
Terbius reaktif karbon dari atmosfermu
Bermimipi nyala terangmu ‘kan kembali
Hingga asaku lagi-lagi terhempas
Tidak mungkin... tidak mungkin
Berulang kali sederet kata itu terkecap asam
di lidah dan di hatiku jua

Aku benci
Aku marah
Aku jijik
Setiap mengingatmu
Tentang janji-janji kasat mata kita
dan sekeranjang harapan yang terelakan padam
Lalu, mengabur dalam ketukan palu takdirNya

Karena...
Aku tahu
Kau sempat ada
dan menjadi tiada

Hingga,
hanya nyala rindu yang tersisa

Paris, Autumn Season

From:
Your Beloved Sister
Tara Duppont


Minggu, 17 November 2013

#Mudik: Memabokkan Sekaligus Menenangkan


Sudah lama sekali ingin nge-post tulisan ini. Tapi selalu terkendala waktu dan... mood? Hah, selalu saja mencari kambing hitam dari suatu masalah yang sebenarnya disebabkan karena diri sendiri. Yah, sebenernya karena kemalesan yang bersumber dari sendiri aja. Sampai-sampai menyalahkan keadaan yang sebenarnya terjadi secara natural... alami, tanpa bisa dicegah.
*Ups.. malah jadi ngomong panjang lebar nggak ada juntrungannya gini, ya. So, kembali ke Laptop!!

Sebenarnya apa yang akan kutulis di sini, sebuah kejadian nyata yang terjadi tanpa disengaja. Sebuah kejadian yang sebenarnya jika diruntut, ada makna tersirat di dalamnya. (*uaaahh... lebe abis!!)
Kisah ini terjadi waktu kepulanganku yang terakhir kemarin ke rumah ortu. Waktu libur Idul Adha. Yah, setelah hampir satu bulan-an nggak pulang ke rumah, tersedot oleh rutinitas kerja yang terkadang melelahkan.. tapi memang harus dilaksanakan. Karena, dunia kerja inilah duniaku. Dunia yang kupilih atas kemauanku sendiri. Pilihan yang harus tetap pantas untuk dipertanggungjawabkan. Pilihan untuk masa depan yang (mungkin) akan melambungkan impian dan citaku.. kelak. Pilihan yang harus terus dibuktikan di hadapannya, Bapakku tercinta (ehmm..).

Saat itu, tepat tanggal 12 Oktober, hari Sabtu. Sekitar jam 15.00 sore, baru deh si kepala bus alias Pak Sopir bersedia mengeluarkan kendaraan besi persegi panjang itu lepas landas dari terminal. Setelah pakai acara ngeteem segala pastinya. Kebiasaan angkutan umum bangsa ini kan... selalu menanti penumpang penuh (duhh L). Kebetulan hari itu bertepatan juga dengan perayaan Ultah Kota Bojonegoro yang mengadakan agenda karnaval tahunan tingkat sekolah menengah dan umum. Kebayang kan gimana crowded-nya?? Sebenarnya jalur bus yang kunaiki tidak melalui jalur kota yang menjadi rute karnaval itu. Tapi, tetep aja macet. Gimana nggak, secara  warga Bojonegoro serempak pada keluar semua, menuhin jalan dengan berbagai cara...  dari yang jalan kaki sampai yang naik kendaraan beroda. Full crowded!! So, terpaksa-lah kita para penumpang bus yang malang ini harus sabar berbagi jalan dengan pemakai-pemakai jalan lainnya. Pelan dan merambat.

Tapi, memang seperti ini, sih. Setiap kali aku naik bus, pasti nggak bisa datang sampai rumah tepat waktu sesuai perkiraan gitu. Pasti banyak molornya di jalan. Bener-bener nggak bisa diprediksi kan. Yang biasanya naek bus dari Bojonegoro ke Ngawi makan waktu dua jam, trus dari Ngawi ke rumah ortu (*teett.. sensor*) butuh waktu satu jam... hari itu parah total kerugian waktunya, dah. Jam lima-an baru nyampe Padangan, baru setengah perjalanan. Kondisi jalan yang ramai karena menjelang liburan, trus banyak penumpang yang memang sama-sama satu visi denganku... hasrat ingin #mudik, ditambah kondisi si bus yang kayaknya agak nggak fit gimana gitu. Lelet banget rasanya. Mau tidur juga nggak nyaman. Jadinya, buat ngilangin boring.. iseng-iseng jepret landscape sepanjang jalan yang kulewati (bukan jalan kenangan lohh..!!).  Nggak peduli amat sama pandangan beberapa mata yang mungkin merasa aku kok *gitu banget ya.. Kaya’ orang yang nggak pernah lihat jalan aja (what??). Secara, memang sering banget dikit-dikit klik.. dikit-dikit cekrek, gitu. Nggak percaya? Nih liat aja hasil jepretanku. Agak burem emang, soalnya posisinya kan bergerak. Maksudnya, aku yang bergerak karena bus yang kunaiki bergerak juga. Wajar dah kalau kurang fokus.

*Bengawan Solo.. tenang dan menghanyutkan (help..help!!)*

 *Bukit Tak Bernama (???)*


*Senja Malu-malu Menyapa (^.^)* 

*Akhirnya... Noda Keemasan Mulai Bertahta, Lembayung* 

 *Ada yang Nggak Sopan Nampang ::Sedot WC:: (-_-)*

Begitu sampai perempatan Padangan, bus ini nggak biasa-biasanya nggak ngeteem lama. Terang aja, karena begitu bus berhenti... segerombolan penumpang pada berebut buat naik. Lagi-lagi penuh dan sesak. (*Uaaahh.. help help! Napasku satu-satu) Dan hal baiknya, setidaknya aku sudah dapat tempat duduk lah. Jadi, nggak perlu ikut berdesak-desakkan seperti mereka yang baru datang. Tapi sebenarnya bukan masalah penuh-sesak ini yang mau kubahas. Melainkan ada seseorang.. eeh, ralat, dua orang yang berhasil menculik perhatianku. Memaksaku untuk menegakkan telinga, mencuri dengar setiap kata yang keluar dari mulut keduanya. Dua orang asing yang tak kukenal. Keduanya tepat berdiri di samping tempat dudukku. Berhadap-hadapan dan berdiskusi dengan hebat.

Mereka itu... yang satu, bapak guru dan yang satunya lagi, seorang gadis penyiar radio. Dari percakapan mereka, aku menyimpulkan.. bapak guru itu kalau dia tidak mengajar bahasa indonesia, ya mengajar kesenian. Karena masalah yang mereka bahas seputar keduanya, tepatnya tentang karya sastra. Tapi bukan tulisan yang menjadi topik utamanya, melainkan seni teater. Wah, aku paling nggak tau blass sama dunia sastra satu ne. Lagian, awal mula aku tertarik buat nguping cerita mereka bukan karena tertarik dengan pembahasan teaternya sih.. tapi karena mendengar nama si anu (*teeet.. sensor), seorang pimrednya koran keluaran lokal Bojonegoro – yang nggak sengaja dulu pernah ngobrol nyastra sebentar plus pake banget (*tapi berkesan, haha J).

Bapak guru itu menceritakan lika-liku perjuangannya merintis dunia teater di Bojonegoro. Mengenalkan kepada masyarakat awam yang notabene masih ‘nol putul’ pengetahuannya tentang dunia teater. Mencoba menumbuhkan minat berteater, hingga pengkaderan anak-anak muda untuk lebih mencintai dunia teater. Langka dan mahal adanya. Bapak guru itu selalu saja mendapat peran menjadi pendeklamasi puisi. Membacakan karya-karya puisi yang ditulisnya, termasuk dengan gaya stensil kuno yang mungkin hanya orang-orang terdahulu yang tau bagaimana menikmati tiap detik proses penciptaannya. Dan, hampir tidak pernah tidak kutemui semangat nasionalisme yang terbakar sempurna di tiap deretan kata-katanya. Semangat mengkritik pemerintahan, semangat kekecewaan terhadap pemimpin, hingga semangat membasmi “bangsa Indonesia yang berubah menjadi bangsat Indonesia”. Karena, tema-tema kritik sosial seperti itulah yang kerap sekali ditampilkan dalam tiap pertunjungan teater sang bapak guru bersama teman-temannya.

Sementara, si gadis penyiar radio (yang mengaku mengenal dekat mas ‘anu’) menceritakan kecintaannya terhadap dunia sastra melalui karya-karya tulisannya. Malahan si gadis sering sekali mengirimkan karya tulisnya pada sebuah tabloid lokal Bojonegoro AA (*cukup inisial.. demi keamanan bersama, kya..kyaaa) yang kebetulan dirintis bersama mas ‘anu’ dkk. Si gadis penyiar radio yang suka bercerita, suka mendengarkan cerita, dan suka menuliskan cerita. Termasuk ketertarikannya dalam dunia teater, yang (sepertinya) baru saja dipelajari. Karena, si gadis mengaku pernah menyaksikan beberapa pementasan teater di Bojonegoro dimana kebetulan si bapak guru ikut serta sebagai lelakon di pementasan itu pula.

Aku memang tak bisa mendefinisikan secara pasti dan runtut apa-apa saja yang telah dibicarakan oleh keduanya. Tapi, yang pasti, aku sempat merekam deretan kata-kata si bapak guru yang kembali berhasil menyedot setengah kotak memoriku. Kata-kata yang terendap di pikiranku dan tak ingin segera terlupakan begitu saja.

Bapak guru itu berkata, “Seni teater itu seni yang paling jujur sejujurnya orang. Di teater, kita bisa meminta peran apa saja sesuai keinginan kita. Kita bisa minta jalan cerita yang kita mau. Kita bisa menciptakan akhir yang kita impikan, atau mau merubahnya tiba-tiba juga bisa. Tapi itu hanya di teater, panggung sejujurnya panggung. Beda dengan kenyataan di sekitar kita yang sekarang sudah berubah menjadi panggung sandiwara. Kita tidak bisa melakukan apa yang kita inginkan, ada norma, ada peraturan yang mengatur. Saat kita melakukan kesalahan, kita menjadi malu untuk jujur menunjukkannya di muka penonton dunia nyata. Terpaksa kita menyembunyikannya, berbohong, memakai topeng orang baik... peran yang memang diidam-idamkan penonton di dunia nyata. Tapi, begitu kita turun dari panggung dunia nyata, kita berubah menjadi diri kita sendiri. Berubah menjadi sosok-sosok munafik yang pintar menyembunyikan kesalahannya di atas segala perbuatan manisnya. Karena itu, Bapak lebih mencintai panggung dunia teater.. daripada panggung dunia nyata.”

Sementara si gadis penyiar radio itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan semakin intensif. Seakan membenarkan rangkaian kata-kata yang didengar dari si bapak guru.
Sementara aku... aku hanya mengulum senyum. Karena, memang seperti itu ‘kan keadaan bangsa ini. Bangsa yang berubah menjadi bangsat negara. Dan, mayoritas selalu menjangkiti mereka-mereka yang telah tergiur akan hegemoni kedudukan dan jabatan. (*tiba-tiba... jadi kangen sama kamu, Soe L)

Sayang sekali... pembicaraan keduanya terhenti. Karena, waktu bus melewati jalur pegunungan kapur dengan jurang di kanan-kiri jalan, bersama deretan tikungan-tikungan tajam, yang membuat laju bus menjadi berbelok kanan dan berbelok kiri.. si gadis penyiar radio mendadak merasa mual. Mabuk darat. Kasihan sekali, melihat si gadis itu berdiri dengan pogah. Berbekal kantong kresek hitam di tangannya, aku tidak tega melihatnya. Sementara tempat duduk lainnya sudah penuh penumpang. Kebetulan karena tempat gadis itu berdiri dekat dengan tempat dudukku, ya sudah.. jadilah aku memilih untuk berdiri aja. Dan, memberikan tempat dudukku pada gadis penyiar radio itu. Bukan karena sok mau dianggap baek hati lohh.. tapi, karena menjaga aja. Takut nggak sengaja kena tumpahan isi mabok-annya aja, soalnya posisi jalan bus yang memang oleng ke kanan-kiri trus. Heheee... *Peace, ya, mba penyiar J

Dan, ternyata.. kisahku nggak cuma sampai di mereka saja. Tidak sampai di pembicaraan si bapak guru dan si gadis penyiar radio saja. Karena, setelah beberapa detik berlalu, setelah tuntas melewati jalanan yang oleng-oleng itu... tiba-tiba si bus merajuk. Berhenti di tengah jalan. Mogok. Iya, nggak mau jalan. Bah, klop sudaaaah...!! Mana perut keroncongan belum kemasukan makanan apa-apa dari pagi, kelopak mata kaya’ ditempeli beban satu ton yang bawaannya bikin merem-melek, kaki yang mulai kerasa linu cenat-cenut, ketambahan angin malem yang bikin nggak kalah brrrr. Perfecto!!


Terpaksa nunggu lamaaaa banget. Nunggu busnya dibenerin. Eeeh.. malah ternyata busnya nggak bisa dibenerin. Mesinnya jebol, gegara kebanyakan beban. Salah sendiri, sapa suruh bawa penumpang satu kota diangkut sekaligus tadi?! :-p
Dan terpaksa, nunggu lebih lamaaaa lagi. Nunggu bus carteran yang mau ngangkut penumpang-penumpang terlantar ini datang. Pas lagi nunggu diambang kesabaran, tiba-tiba HP-ku meraung-raung. Maksa banget minta diangkat. Ternyata, dari si Mbak Ngawi yang sudah kena sindrom kebakaran jenggot akut. Cemas karena aku-nya nggak dateng-dateng. Heheee... emang sengaja nggak ngasih kabar kalau macet. Karena nanti, pasti jadinya kepikiran.
Alhasil, dapet semprotan bertubi-tubi (*ampuuun, resiko jadi anak kecil ndiri ya gini L). Dimarahin karena pulang kemaleman, dimarahin juga karena nggak cerita klo busnya mogok. Karena si Mbak Ngawi dah nggak sabaran banget.. jadi deh si Mas Ngawi ikut-ikutan berperan. Dia nyusulin aku sampai ke tempat TKP permogokan bus itu terjadi. Idih, repot banget.
Terus, giliran bus carterannya dateng.. si Mas Ngawi belum dateng-dateng. Giliran semua penumpang pada naek bus, cuma aku doang yang masih manyun di pinggir jalan. Menanti jemputan tak kunjung datang... malang nian. Nggak mungkin juga kan kalau aku ikutan naek bus carteran itu. Semacam nggak menghargai perjuangan si Mas Ngawi yang sudah ribet-ribet super duper gitu. Jadi, cuma tetap menanti solusi terbaiknya.

Halah.. bener-bener jadwal mudik yang memabokkan. L L L
Dan, sekaligus mengesankan. J J J

Senin, 11 November 2013

Jodoh (Ku), Over There??



Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan menjawabnya


Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu...

Jodoh pasti bertemu..


By. Afgan SyahReza^^


"Jodoh itu rahasia Tuhan"

Rasanya kata-kata ini sudah berulang kali kudengar, hingga bosan menggelitik telinga. Tapi, sekalipun berulang kali terdengar, tetap saja aku tak pernah bisa menjawab.. rahasia Tuhan itu kapankah datangnya?

Memang, banyak kaum Adam yang datang. Sampai aku sendiri merasa tak nyaman dengan kedatangan mereka. Karena, dari sekian banyak yang datang... aku belum mampu mendefiniskan kata "cinta" itu seperti apa?
Apa tanda-tanda orang yang berjodoh denganku karena dia memiliki cinta?
Atau, orang itu pantas untuk dicinta?

Kata salah satu temanku, cinta itu absurd. Tidak berbentuk, tidak bisa dirasa, dan mudah mengabur. Cinta yang kumaksud di sini tentu saja cinta terhadap lawan jenis. Cinta yang seperti 'itu' lah.. kurasa kalian paham maksudnya. Lalu, kalau cinta yang seperti ‘itu’ tiba-tiba datang menyerang terhadap sosok lain... apa itu berarti jika sosok pria atau wanita yang berbeda dari kita adalah jodoh kita? Tidak bisa dipastikan juga sih. Jadi, terserah kalian bagaimana mendefinisikan konsep antara cinta dan jodoh itu. Tapi yang pasti, aku hanya mempercayai satu hal.

Aku percaya, kalau Kaum Hawa itu terbuat dari tulang rusuk Kaum Adam. Dan, aku percaya kalau tulang rusuk itu tak pernah tertukar.

Tapi, tinggal bagaimana kita meyakininya saja. Seperti aku. Tentu saja, aku berharap kelak bisa segera menemukan seseorang yang lebih pantas disebut sebagai pemilik tulang rusukku. Sebuah raga dimana jiwaku dulu sempat hinggap dalam bagian kehidupannya.

Jadi, wajarlah jika jodoh itu bagian dari misteri Allah yang harus terus dicari tahu. Dimana letak perwujudannya kelak, dengan cara apa, dan hasil akhir seperti apa yang dapat ternikmati akhirnya. Aku tak tahu, hanya bisa meraba-raba dan mereka-reka semata. Hingga detik ini.

Mungkin, pemilik tulang rusukku itu kamu. Atau, mungkin akulah pemilik tulang rusukmu yang hilang. Hmm.. entahlah. Mungkin, hanya waktu yang pantas menyuarakannya. Bukan permintaan kita. Karena, tentu saja ketentuan Allah, sunatullah, yang lebih pantas berdiri tegak di atas segala usaha dan daya yang telah kita lakukan.

Bagiku, jodoh itu bilangan di kehidupan yang sangat tahu diri. Seorang ‘jodoh’ tahu kapan saat terpantas dia akan datang. Saat dimana kita benar-benar membutuhkannya. Demi apa? Tentu saja demi langkah hati yang lebih tertata kemana akan di arahkan.

Jodoh tak akan datang saat kita belum siap untuk menerimanya.
Jodoh tak akan menyapa saat kita tidak yakin akan keberadaannya.
Jodoh tak akan hadir saat kita hanya sekedar ingin menguji coba sebuah hubungan semata.
Jodoh tak akan mampir saat kita belum benar-benar membutuhkan kehadirannya.
Dia selalu datang tepat waktu.
Hanya saja, tak semua orang bisa belajar sabar untuk menantinya. Dan terus menantinya, Sampai kesiapan, keyakinan, keseriusan, dan kebutuhan itu benar mengudara adanya.

Jadi, siapa pun Anda... jika Anda benar-benar merasa siap, yakin, serius, dan benar-benar butuh akan kehadiran ‘jodoh’ yang masih menjadi misteri bagi Anda hingga detik ini, ucapkan segala keseriusan itu dalam doa-doa panjang yang terlantun saat semua mata telah tertutup. Yakinkan Allah, bahwa saat ini Anda telah pantas untuk menerima kedatangan sosok istimewa itu. Jodoh yang senyata-nyatanya bagi Anda. Jodoh yang tidak akan pernah tertukar adanya.

Aku yakin, jika semua orang mau belajar berfikir, bertafakur akan kebutuhannya dan keseriusannya dalam mewujudkan hal yang dibutuhkan itu... pastinya tak perlu lagi ada resah, umpatan, maupun keluhan yang sebenarnya tak penting. Sebenarnya, aku sendiri masih sering menguapkan aroma keluhan ke udara bebas, sama saja seperti kalian. Tapi, aku selalu berusaha supaya keluhan yang telah terucap itu tak berlaku lama. Hanya sepersekian detik saja mereka pantas ada. Selebihnya, semangat baru yang harus tercipta. Bukankah, berpura-pura untuk tetap merasa baik-baik saja itu lebih jauh tampak terhormat munafiknya. Hahaha... Munafik terhormat??

Yah, maksudku... saat kita tengah mengidap sakit separah apapun itu, jika kita menganggapnya bukan suatu sakit parah yang patut untuk dikasihani, setidaknya kita akan belajar untuk menyusun kekuatan dengan cara kita sendiri. Dengan tangan kita sendiri. Tanpa perlu memberitahu ke semua orang bahwa kita tengah melakukan pembohongan besar-besaran.

Mungkin, begitu pula lah rasanya jika kalian tengah menanti kedatangan ‘jodoh’ tertepat dalam hidup kalian. Kalian tak perlu harus selalu menampakkan rupa galau untuk mendapat perhatian dari orang lain. Misalnya, sang cewek harus mengupdate status galau supaya dikasihani oleh teman-teman cowoknya. Atau, anak putra harus nge-tweet kata-kata merana yang bisa menarik simpati follower-follower putrinya. Tidak harus begitu, bukan? Sangat tidak perlu malah.
Seperti kata Om Mario Teguh, “Segera pantaskan diri kalian untuk menerima jodoh dan nasib terpantas untuk kalian.”

Jadi, sekali lagi kuncinya ya ada dalam diri kalian masing-masing. Keyakinan untuk menyakini bahwa ketentuan Allah itu benar-benar indah. Garis yang dibuat oleh Allah benar-benar tepat, meskipun banyak belokan yang harus dilalui dulu hingga mencapai garis finish yang diinginkan kelak akhirnya.  Tapi yang pasti, di sana, di ujung sana telah tersedia finish terindah yang kelak akan pantas kalian nikmati... jika saatnya telah tiba. Saat terpantas untuk menikmatinya.

Dan karenanya... bersabarlah, teman! Nikmati saja penantian ini dengan sejuta kegiatan yang bisa berguna bagi hidupmu dan orang-orang di sekitarmu. Karena itu lebih pantas, daripada sekedar meratap. So, teruslah bersemangat!!