Tiara
terbangun paksa dari mimpinya. Napasnya tersengal, satu-satu. Mimpi apa itu tadi? gumamnya tanpa
henti.
Mimpi
ini sudah berulang kali terjadi. Semenjak...
semenjak apa ya? Tiara mencoba mengingat-ingat kali pertama mimpi itu
datang. Tiba-tiba matanya melirik tajam ke arah ponsel hitam yang masih membatu
di pinggiran kasurnya.
Apa semenjak ada ponsel
itu? tanya batinnya penasaran.
***
“Hoamm.”
Tiara menguap, kesekian kalinya. Mimpi aneh semalam benar-benar menguras jam
tidurnya. Padahal hari ini awal dimulainya kelas untuk tahun ajaran baru. Tapi,
rasa kantuk ini membuat matanya tak bisa terbuka sempurna.
Semua
ini karena ponsel baru sialan itu. Sehabis mimpi buruk semalam. Tiara
benar-benar tidak bisa memejamkan matanya kembali. Bahkan kini, suara Ibu Else
yang menjelaskan skema Teori Evolusi Darwin di depan kelas serasa dongeng
pengantar tidur. Berulang kali kepala Tiara hampir terjatuh, kemudian dipaksa
tegak kembali. Terjaga lagi. Hingga suara bel istirahat yang meraung-raung
menjadi penyelamatnya.
“Kamu
kenapa? Aneh gitu?” Sebuah suara memaksa Tiara menegakkan tubuhnya yang hampir
roboh di atas meja.
“Aneh
apanya?” sahut Tiara ogah-ogahan, balas bertanya.
“Kamu
habis ngapain, sih?”
“Apaan,
sih? Aku ini nggak ngapa-ngapain. Cuma ngantuk,” balas Tiara galak, merasa
kenyamanannya terusik.
“Bukan
begitu maksudku. Ada sesuatu sama kamu.”
“Sesuatu
apa? Sok tau.”
Alto
mengela napas berat. Memang cewek itu
makhluk paling ribet, susah dihadapi, batinnya.
“Aku
mau jelasin sesuatu. Tapi... kamu janji, jangan kaget ya!”
Tiara
mengernyitkan dahinya. Permintaan yang aneh. Tapi, toh dia mengangguk juga.
Sedikit penasaran, bela batinnya.
“Kamu
diikuti bangsa Astral sekarang,” ucap Alto tegas.
“Astral?
Merek onderdil motor?” tanya Tiara. Cuek.
Pletak!!
Alto menjitak pelan kepala cewek di hadapannya itu. “Beda tahu. Astral itu
bangsa... Halah, paling juga kamu nggak percaya.”
“Bangsa
apa?” tanya Tiara penasaran. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak.
“Begini saja... terserah sih kamu mau percaya atau nggak. Tapi, ada sosok makhluk gelap
yang besar, tinggi, mukanya rata. Dan, makhluk ini... ada di sampingmu
sekarang!” ucap Alto, sambil memberi penakan intonasi saat mengucapkan kata ‘di
sampingmu’.
Tiara
membisu. Melotot. Terkejut mendengarnya.
“Makanya,
tadi aku tanya... kamu habis ngapain?”
“Kamu...
kok, bisa... ngeliatnya?” terbata-bata Tiara menyelesaikan kalimat tanyanya.
Ketakutan. Bahkan sekedar melirik ke kanan-kiri pun tak berani.
“Bawaan
dari lahir kali. Sudah biasa,” sahut Alto santai.
“Terus,
aku harus gimana, Al?”
“Kamu
percaya?”
“Kayaknya
makhluk yang kamu maksud itu sama dengan makhluk yang sering datang ke mimpi aku,”
terang Tiara, lemas.
“Ooh..
jadi dia menyerangmu lewat mimpi. Pantas, cuma ngikutin doang.”
Refleks
Tiara mengangguk-anggukan kepalanya. Padahal hatinya makin keruh dengan tanda
tanya.
“Kira-kira,
kenapa dia mengikutimu, ya?” tanya Alto penasaran.
“Kenapa
nggak kamu sendiri aja yang tanya? Kan kamu bisa liat dia juga.”
“Nggak
bisa. Soalnya, kamu yang punya perantara itu.”
“Perantara apa?”
“Sesuatu.
Aku sendiri juga nggak tahu apa itu. Yang jelas, sesuatu itu yang
menghubungkanmu dengan dia,” jawab Alto. Dia pun tampak berpikir keras.
“Mungkin
aku tahu, Al. Sesuatu itu... mungkin berasal dari sini.” Perlahan Tiara
mengangsurkan ponsel hitam hasil temuannya minggu lalu itu.
Alto
tak membalas. Dia terdiam, hanya mengamati ponsel itu sejenak, lalu bertanya, “Kenapa kamu ngerasa sesuatu itu
berasal dari ponsel ini?”
“Seinget aku, semenjak punya ponsel ini aku selalu mimpi buruk melulu.”
“Alibi kamu sesederhana itu tapi kenapa pemikiranmu
jauh nyambungnya, ya?”
“Eh, maksud kamu?” Tiara balik bertanya.
“Iya, kamu tahu, sadar, punya alasan kuat kalau ponsel
ini sumber perubahan kamu. Tapi kenapa kamu justru acuh, nggak bertindak
apa-apa.”
“Ya, karena aku punya alasan.”
“Alasan?”
“Iya, alasan. Alibi lain yang membuat aku jadi sayang
buat melepas ponsel ini.”
“Kenapa?”
“Karena aku butuh, Al. Jujur,
sayang banget. Aku butuh ponsel supaya bisa mudah berkomunikasi
dengan teman-temannya. Masa iya di saat
dunia sekelilingku dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk meraba-raba layar
ponselnya, tapi aku… cuma bisa meraba udara kosong.”
Alto menghela napas mendengarkan penjelasan sahabat
baiknya. Sekaligu sosok wanita yang diam-diam dikagumi.
“Terus, kalau ponsel itu
dikembalikan... jadinya gimana? Aku
harus berkomunikasi pakai
apa? Karena aku butuh, makanya aku bertahan, Al.”
Lagi-lagi Alto tetap membisu, tidak menganggapi
penjelasan Tiara. Dia pun kemudian meraih ponsel di hadapannya
dengan sangat hati-hati. Namun, saat tangan itu bersentuhan, tubuh Alto
gemetar. Berguncangan hebat. Layaknya bertemu sumber energi listrik bertegangan
tinggi. Telapak tangannya terasa terbakar, panas. Seperti ada titik api yang
mengalir melalui celah nadi dan darahnya.
Pekik
Tiara tertahan. Wajah cowok berseragam abu-abu di hadapannya kini tampak
memucat biru. Ada apa? Kenapa? Kata
tanya itu bergantian menghampiri benaknya.
Kletak!!
Ponsel itu pun terjatuh di atas meja. Telepas dari genggaman Alto. Gumpalan
darah segar tampak mengalir keluar dari lubang hidungnya.
“Al,
kamu mimisan.” Buru-buru Tiara mencari tissue dari dalam tas dan mengusapkannya
di atas bibir Alto. Menahan laju darah kental itu.“Kenapa?”
“Kamu
harus mengembalikan ponsel itu kalau mau selamat. Di mana kamu menemukannya?”
“Aku...
Eh, kamu kok bisa tau kalau aku nemu ponsel ini? Perasaan aku belum cerita
apa-apa.”
“Di
mana kamu menemukannya?” tanya Alto
mengulangi pertanyaannya.
“Di
jalan, mau ke taman belakang sekolah kita.”
“Nanti
siang sepulang sekolah kita kembalikan ponsel itu ke tempat semula. Harus
segera dikembalikan!” putus Alto, tanpa menunggu persetujuan Tiara.
“Tapi Al….”
“Nggak bisa, Ra. Aku nggak mau mendengar alibi apapun
darimu. Must it! Kecuali kalau kamu
mau nyawamu terancam someday,” tegas
Alto.
“Sebenarnya ada apa, sih, dengan ponsel ini, Al?”
“Kamu yakin mau mendengarkan alasannya? Nggak takut?”
“Ya takut, sih. Tapi kan penasaran, Al,” bela Tiara
sambil memasang senyum termanisnya.
“Ra, nggak semua masalah di dunia ini bisa disampaikan
dengan bebas ke permukaan umum. Begitu juga, nggak semua tindakan dilakukan
harus karena ada alasan. Seperti halnya, aku menyayangimu selama ini. Tanpa
alasan, tanpa alibi, tanpa karena.”
Mata Tiara terbelalak. Kenapa
topik pembicaraannya jadi berubah?
Alto menyentuh jemari Tiara, tiba-tiba. Lalu
menangkupkannya di balik kedua telapak tangan. “Aku sayang sama kamu, Ra.
Karena itu, aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa. Atau… kalau kamu memaksa penasaran,
biar nanti malam penghuni asli ponsel ini menjelaskan alibinya langsung ke
kamu. Siap-siap saja, kurang lebih penampakannya sama dengan sosok yang sering
datang berkunjung ke mimpimu.”
“Alto nakutin, iiih….” Reflek Tiara melepaskan
genggaman tangan Alto.
“Jujur ini, Ra. Sudah, deh, tahu alasan dari makhluk itu pun nggak akan menyelesaikan masalahmu. Dia akan tetep mengikutimu selama ponsel ini ada sama kamu, Ra."
Tiara hanya terdiam. Mencoba mencerna penjelasan Alto. “Ra,
lain kali... hati-hati sama barang yang ketemu di jalan. Kalau itu bukan punya
kamu, jangan diambil, ya. Bahaya,” tambah Alto lagi. "Cukup ambil hatiku saja. Selalu siap untukmu, kok." Kali ini ada senyum yang
menghiasi wajahnya. "Nanti kuantar mengembalikan ponsel ini, ya. Sekalian, kutunggu jawabanmu dari pengakuanku tadi."
Suara bel masuk telah bergema. Memaksa mereka untuk
menghentikan perbincangan itu. Tiara pun hanya menjawab permintaan Alto dengan anggukan pelan.
Pasrah. Entah anggukan untuk permintaan yang mana. Dia tak peduli. Karena alibi kini sudah tak berarti lagi. [END_#OWOP]