Sabtu, 19 Januari 2019

KETIKA CUKUP BAYANGAN YANG MENJADI IDOLA


source pict." www.pinterest.com
Tidak ada satu pun yang menyanggupi untuk berkata bahwa ‘melepaskan’ itu indah. Tak akan ada. Seseorang. Satu pun. Dan, siapa pun itu.
Melepaskan terkadang terjadi saat kita berada di ambang ketidakmampuan untuk membuat sesuatu itu tetap ada. Atau, kita telah merasa kalah hingga tak tahu bagaimana lagi cara untuk tetap mempertahankannya. Ketidakmampuan dari diri kita sendiri, juga dari pihak lain. Orang lain. Sesuatu yang lain, dari ribuan alasan terpantas untuk dilepas.
Karenanya, aku hanya ingin mencoba. Mencoba untuk melepaskanmu… sekalipun berat. Tapi, aku hanya akan mencoba untuk membuat diriku terbiasa.
Terbiasa tanpamu.
Dan, kilasan-kilasan perih mulai menyapa nakal kotak memoriku. Kenangan itu, saat terakhir mataku menangkap garis sudut senyumanmu. Sosok yang hingga saat ini terasa jauh untuk tersentuh. Terlalu jauh jarak perbedaan antara aku dengannya.
“Ada di mana, sih? Aku nggak tahan. Panas tahu!” tanyaku kala itu, setengah protes tepatnya. Efek panasnya Terminal Bungurasih sudah tidak bisa kusembunyikan lagi.
“Kamu jangan di tempat panasan, Ri. Cari tempat teduh dulu,” balas suara seberang, suara Bara yang kurindu. Ada nada khawatir yang kutangkap dalam suaranya.
“Terus.. aku nunggu di mana, Bar?” tanyaku gusar. Handphone di tanganku terasa licin, sudah basah kuyup oleh keringat.
“Kamu di mana? Biar aku yang ke situ, ya.”
“Lama nggak? Kalau lama, mending aku yang ke tempat kamu sekarang.”
“Katanya tadi nggak tahan panas?” sahut Bara, balik bertanya. “Kamu tunggu saja di situ.”
Aku tersenyum. Ternyata, kamu belum berubah, Bar. Masih tetap perhatian. Rasa perhatian yang mematikan, bahkan melenakan. Hingga aku terlupa sejenak, bagaimana memposisikan diri sepantasnya di hadapanmu.
“Ya…,” jawabku kemudian. “Eh… tapi aman nggak?”
“Aman. Nggak ada yang bakal ngenalin aku, kok.”
“Oke, deh. Aku nunggu di depan Dunkin’ Donuts saja, ya?”
“Oke,” jawabnya tertular. “Kututup, ya, Ri,” tambah Bara lagi.
Aku mengangguk, kemudian bersuara setelah menyadari tak mungkin Bara bisa melihat anggukanku. “Iya, Bar. Hati-hati.”
Bara terkekeh pelan mendengar pintaku. Aneh, dan mendorongku untuk bersuara, “Kenapa? Lucu, ya?”
“Kamu itu...,” jawab Bara di antara tawanya. Dan, klik! Dia memutuskan sambungan telepon begitu saja.
“Ishh... nggak sopan,” protesku. Memaki-maki handphone yang mematikan lampu kelip-kelipnya. Padahal aku tahu handphone itu tidak salah apa-apa.
Tidak perlu kujelaskan siapa Bara Beraja Langit. Kurasa semua orang sudah tak asing mendengar namanya, semenjak dia berhasil menjadi runner up ajang pencarian penyanyi muda berbakat.  Walaupun bukan menjadi juara utama, tapi berani bertaruh fans ceweknya sudah menyebar cepat seperti jamur di musim hujan. Setiap kali Bara perform, tiket pre sale hingga VIP selalu sold out. Dan bisa dipastikan, kaum hawa yang paling dominan menjadi pembelinya.
Aku sendiri mengenal Bara jauh sebelum dia menjadi seterkenal sekarang. Teman masa kecil yang beranjak menjadi teman mendewasa bersama. Terbiasa berangkat dan pergi ke sekolah bersama, membuatku diam-diam terbiasa nyaman akan keberadaan Bara.
Sayangnya, Bara sepertinya berbakat menjadi terkenal sejak dari kecil. Penampilan fisik yang mendukung, berasal dari keluarga berada, ditunjang dengan sikapnya yang super supel, berbakat menyanyi pula, semua itu seolah menjadikan dia sepaket terlihat paling menonjol di antara lautan ‘manusia biasa’ pada umumnya. Ha ha… manusia biasa, termasuk aku salah satunya.
Kalau boleh jujur, selalu berada di samping Bara seperti waktu sekolah dulu membuatku sedikit tersiksa. Siapa aku? Gelar paling tinggi yang kudapat hanya ‘si kutu buku’. Selebihnya… biasa. Seperti yang tadi sudah kusebutkan. Tapi Bara, dia seperti tak ambil pusing. Walau aku hanya sekedar menjadi bayang-bayang yang selalu mengikutinya tapi tak tampak apa-apa bagi orang lain. Begitulah Bara, sosok idola baru semua orang yang diam-diam sudah kuidolakan sejak lama.
Karena itulah, aku memutuskan untuk melanjutkan study berjauhan dengannya. Menciptakan jarak. Meninggalkan dinginnya Bogor, menikmati panasnya Surabaya. Sengaja? Iya, pasti. Terkadang kita memerlukan jarak untuk menciptakan kelegaan, bukan? Karena jarak selalu mempunyai cara hebat untuk membuat kita bernapas.
Ri...,” sebuah suara yang amat kukenal memaksaku buru-buru menoleh ke arahnya, si pemilik suara yang bersembunyi di balik kacamata hitam lengkap dengan topi. Penyamaran sempurna.
“Bara... lama banget. Sampai garing gini aku,” berondongku begitu saja. Tanpa menanyakan kabarnya dahulu. Aku hampir terlupa kalau sosok yang ada di hadapanku kini adalah artis.
Bara hanya terkekeh pelan. Jemari kukuhnya meraih anak poniku yang sedikit nakal menutupi dahi. Menghalangi penglihatanku di balik sepasang lensa kacamata. “Capek, ya. Maaf, ya,” balasnya santai. Tapi hatiku berdesir tak karuan jadinya. Selalu begini.
“Bara tambah endutan, ya,” suaraku setengah berteriak, berusaha menyembunyikan genderang tak karuan di hati. “Pipinya saingan ama bulat-bulatnya donat, tuh.” Tawaku pun pecah setelah mengucapkan seloroh ringan itu.
Bara menoleh sejenak ke arah etalase Dunkin’ Donuts yang kutunjuk barusan. Lalu, tertular dengan senyumanku. “Iya lah, Ri. Kaya kamu nggak tahu saja, Bogor kan hawanya dingin. Bawaannya bikin lapar melulu,” belanya tanpa basa-basi.  “Kamu sendiri, kenapa kurusan? Telat makan terus pasti,” tuduh Bara. Tanpa basa-basi pula.
“Aku sudah dari sananya seperti ini, Bar. Mau makan banyak atau sedikit nggak ada pengaruh apa-apa. Masa sudah lupa sama kebiasaan sahabatnya sendiri, sih,” balasku. Pura-pura merajuk. Padahal sekedar ingin mendapatkan perhatiannya saja. Kan, lagi-lagi aku lupa memposisikan diri.
Bara terkekeh lagi. Gaya tawanya yang khas, yang selalu kurindu. “Bukan lupa, Ririana... tapi ini perhatian. Kan nggak lucu kalau aku tambah endut, tapi kamu tambah kurus. Kalo kita jalan nanti dikira....
“Angka sepuluh lewat.... ha ha ha,” ucapku begitu saja, memotong pembicaraannya.
“Terus saja ngeledek. Hobi banget ya sekarang,” sahut Bara gemas sambil menjepit hidungku dengan jari-jarinya.
Spontan aku menjerit, “Aduuh... sakit, tahu!” Aku memasang tampang geram.
Habisnya, baru saja ketemu jadi tambah parah penyakit jahilnya gini. Bikin orang gemas.”
Kamu gemas, akunya cemas, Bar. Berontak batinku diam-diam.
“Eh, mau ke mana?”
“Pulang lah... masa mau menginap di terminal gini,” balasku cuek.
Kudengar Bara menghela napasnya pelan, kemudian berlari kecil menjajari langkahku. Lalu bersuara, “motormu di mana?”
“Seriusan kamu mau naik motorku, Bar? Nggak takut ketahuan wartawan, terus diliput media semuanya. Terus banyak fansmu yang protes, gitu?”
“Peduli amat, lah. Kan mumpung aku bisa ketemu kamu, Ri,” balas Bara cuek.
“Nyinyiran netizen itu lebih perih daripada patah hati lho, Bar, katanya.”
Bara terkekeh lagi. “Sejak kapan ini, seorang Ririana peduli sama pendapat orang lain?”
“Bukan karena aku, Bar. Tapi demi kamu, sekarang kan kamu sudah beda. Sudah banyak yang kenal, jadi ya harus hati-hati lah.”
“Terus?”
“Iya, kaya gini ini. Sebenarnya aku was-was ketemu kamu di tempat umum kaya gini, Bar. Takut nanti ada yang bisa kenalin wajahmu, terus bikin gosip yang aneh-aneh lagi,” cerocosku. “Memangnya kamu nggak takut, Bar?”
“Takut. Tapi aku takutnya sama Allah, Ri,” jawab Bara lagi-lagi cuek, lalu senyumnya pun terkembang.
“Bara, aku serius.”
“Ri, aku cuma nggak ingin keadaan kita jadi berubah gara-gara aku jadi dikenal banyak orang. Nggak ada yang bakalan berubah. Ingat itu, ya!” pinta Bara tegas.
Aku tersenyum, lalu mengangguk cepat. Termasuk perasaanku terhadapmu, Bar. Nggak akan berubah.
“Acaramu di Surabaya sampai hari apa, Bar?” tanyaku kemudian, melanjutkan langkah ke area parkiran sepeda motor.
“Sampai kangenku ke Ririana hilang.”
Aku menoleh cepat ke arahnya. Membatu. Bisu seketika. Bara selalu hebat menyihir hatiku. Tapi ketika tersadar, mulutku pun akhirnya bersuara, “bercandanya nggak lucu, ya, Bapak Bara.”
Sementara yang diprotes hanya memamerkan senyum lebarnya.
Begitulah Bara, apa adanya. Dan bagiku, bayangan masa-masa kebersamaan se-simple itulah yang membuat sosoknya terasa berharga untuk dilupakan. Karena, tak sedikitpun aku merasa tak dihargai olehnya sekalipun badge artis ibu kota itu sudah tersemat manis di dada Bara hingga kini.
 Karena, dia lah Baraku. Udara terhangat untukku bernapas. Api penyemangatku. Idola yang kuidolakan diam-diam. Dan, aku merasa beruntung dapat berbagi oksigen di sekitar ruang hampa ini dengannya. Walaupun hanya sebagai sahabat terbaiknya.
Tapi, sekarang...  dengan siapa lagi aku harus membagi oksigen ini?
Bara... bahkan aku tak berani membayangkan kemungkinan keadaan yang akan kujalani sekarang. Mulai detik ini. Maupun di ribuan detik berikutnya jika semua itu tanpa aroma napasmu.
Keberadaanmu sudah teramat jauh untuk tergengam saat ini, Bar.
“Akh...,aku menghela napas berat. Membuangnya begitu saja ke udara. Rasanya sesak sekali, seperti kehilangan cadangan bulir-bulir oksigennya.
Mungkin. Hanya satu yang bisa kuharapkan kelak. Semoga waktu dapat segera menenggelamkan rasa kehilangan ini. Dengan cara apapun itu.
“Ri…,“ suara panggilan yang menggantung, memaksaku menatap ke arah suara itu berasal. “Mau sampai kapan di sini?” tanya Tika kemudian.
Aku merunduk. Kembali menekuk wajahku semakin dalam. Menyembunyikannya di antara kedua siku lutut kaki yang kutekuk. Tidak ada keberanian untuk menjawab sorot kekhawatiran itu.
Tika menghela napas berat, lalu bersuara, “dia nggak akan kembali. Setinggi apapun pengharapanmu.” 
“Aku tahu,“ balasku lirih. “Tapi aku butuh waktu.”
“Sampai kapan? Nunggu semua bunga kamboja itu berguguran?” tanya Tika sinis.
“Duluan lah! Nanti aku nyusul.”
Tika kembali menghela napas. Semakin berat kudengar. Kebiasaan yang selalu kuingat setiap kali dia merasa gelisah.
Keep holdin’ on, Ri. Dia juga nggak pengen kamu jadi kayak gini.”
Aku mengangguk pelan. Sangat lemah.
“Ada yang bilang… hidup ini nggak bener-bener indah. Tapi berharga,” ucap Tika, sambil menepuk pundakku pelan. Sebelum berlalu dan menjauh.
Aku tahu. Aku sadar. Tapi, aku belum bisa menerima semuanya. Maaf.
Sebut saja aku pencundang yang tak mampu menerima keputusan buruk dari tindakan bodoh yang pernah kulakukan. Bodoh? Iya… amat bodoh.
Terserahlah jika aku dianggap putus asa, apatis. Tak punya harapan. Biarlah. Karena bagiku perasaan bersalah ini tak mampu menghapus bayangan gurat-gurat ketegasan di wajah Bara. Semakin kuingat justru membuat lubang di hati ini kian menganga lebar.
Kalian tahu, apa yang terasa menyiksa tapi tetap berat untuk melepaskannya? Hal apa itu? Tidak lain, tidak bukan hanya dia... kenangan.
Bagiku, kenangan Bara terlalu berat untuk dilupakan. Sekalipun kenangan tentang Bara kerap membuatku merintih dalam, meratapi keadaan hingga tak ada secuil asa tersiksa. Setiap kali terkenang, jiwa ini dipaksa untuk kembali mengumpulkan bulir-bulir semangat yang berserakan. Potongan kenangan yang justru membuatku merasa kuat dan rapuh pada saat bersamaan. 
Terlebih saat teringat malam itu, ketika hujan mengguyur deras Surabaya sejak belasan jam sebelumnya.
Sepuluh menit lagi, batinku bersuara. Menghitung gerak anak jarum jam yang menyapa nakal angka sembilan dan menit ketigabelas.
Sudah kupastikan. Sepuluh menit lagi jika sosok Bara tak kunjung datang, lebih baik nekat menerobos barisan anak hujan yang tertata rapat berjatuhan di jalanan. Lelah sekali menunggu Bara. Padahal dia sudah berjanji, tidak akan datang terlambat. Untuk kesekian kalinya.
Semenjak kesibukannya sebagai penyanyi yang harus menjalani touring show ke sana-sini, bisa dibilang intensitas waktu pertemuanku dengan Bara pun menjadi berbanding terbalik. Obrolan malam panjang tak pernah tercipta. Dia terlalu sibuk dengan rutinitas dunianya. Dan, aku pun tak  berani mengusik waktu istirahatnya. Lagi pula, aku sadar. Toh, aku bukan siapa-siapa baginya, selain teman. Sahabat. Tempat berkeluh kesah. Atau, tempat sampah. Sudah, tak lebih.
Jadi, jangan meminta sesuatu yang special dari Bara, ya, Ri. Begitulah, berulang kali mantra yang kuajarkan untuk hatiku.
Karenanya, aku memang sudah hapal benar bagaimana kebiasaan buruk Bara untuk hal yang satu ini. Jam karet. Paling susah ontime.
Tapi aku masih berharap, setidaknya dia mau berusaha untuk malam ini saja. Iya, hanya malam ini. Malam dimana dia seharusnya sudah duduk di sini, di hadapanku. Lalu menyalamiku, setelah mendengar berita diangkatnya aku menjadi karyawan tetap di kantor penerbitan tempatku bekerja dengan posisi yang selama ini aku impikan. Desainer layout. Dan, aku bangga dengan profesi ini.
Lagi pula, dia sudah berjanji bersedia meluangkan waktu untukku di akhir pekan ini. Tentu saja, atas nama persahabatan.
Tapi nyatanya… akh, begini-begini saja.
Bara, lihatlah! Badge karyawan training itu sudah kubuang jauh-jauh. Sesuai keyakinan yang sempat kau tanamkan dulu. Dan aku ingin membagi kebahagian ini denganmu.
Tapi rasanya, pintaku tak akan terkabul sempurna. Barisan anak hujan ini seolah menjadi penandanya. Dan ribuan kata maaf yang terucap dari bibir Bara melalui lubang-lubang tipis horn handphone tadi.
“Penerbanganku ditunda, Ri. Maaf.”
“Jadi, kira-kira sampai Surabaya jam berapa? Jangan lama-lama, ya...” pintaku, manja.
“Aku usahain secepatnya, ya, Ri. Habisnya kamu kasih kabarnya juga mendadak banget tadi. Jadi nggak sempet booking tiket sebelumnya, kan.”
“Tapi kan kamu sudah janji, Bar. Kalau mau meluangkan waktu minggu ini.”
“Iya, Ri. Aku ingat, kok. Toh aku juga memang lagi nggak ada jadwal manggung juga, kok. Tapi ini kamu kasih kepastian acaranya mendadak bener.”
“Iya, maaf,” balasku pelan.
“Dari kemarin kan aku udah tanya, ‘Jadi nggak Ri acaranya. Kalau pasti jadi, aku bisa prepare dari sekarang’. Tapi kamu malah bilang belum pasti,” protes Bara beruntun. “Jadinya kaya gini, kan.”
“Iya... maaf. Aku ngerepotin, ya,” sahutku lirih.
“Iya, ngerepotin banget.”
“Baraaaa...,” balasku, sedikit protes, sedikit gemas mendengar responnya.
Terdengar suara tawa renyah dari seberang.  “Becanda, Ri. Lagian, kan aku jadi ada alasan juga buat ketemu kamu. Biar nggak dikira cuma aku yang lagi kangen berat sama kamu.”
Jleb! Tuh, kan. Kambuh lagi. Romantis sih, tapi jahil habis. Akh… sadar Ririana. Sadar. Cuma teman!
“Sayangnya aku nggak lagi kangen, tuh.” Mulutku mencibir. Kemudian tertawa tertahan begitu menyadari tak mungkin Bara melihat cibiranku.
“Ya udah, berdoa saja biar seluruh Indonesia hujan lebat, angin badai, jadi semua pesawat dilarang lepas landas.”
“Baraaaa... nggak asyik, ah!” protesku lagi. Kali ini dengan nada suara meninggi.
“Kalau gitu, bilang dong seorang Ririana juga lagi kangen sama Kakanda Bara ini.”
“Ih, maksa, deh.”
“He he... emang. Habisnya kapan lagi bisa denger suara manjamu. Bentar lagi aku udah naik, kan.”
“Ya nanti saja, kalau kamu sudah sampai sini,” balasku, menolak pintanya.
“Ayolah, Ri. Terakhir ini saja, pengen denger suaramu. Kita sudah lama lho nggak ngobrol manis-manisan di telepon gini.
“Bara aneh, deh. Udah, ah. Pokoknya buruan terbang ke sini. Aku tunggu, dan.... nggak pakai lama.”
Ada suara helaan napas berat di seberang. Pertanda dia sudah menyerah. “Iya ya... sabar, ya.”
“Ya sudah, aku tutup, ya. Nanti kabarin lagi kalau sudah landing.
“Iya...,” balas Bara lemah. Ogah-ogahan. “Aku tutup, ya.”
“Bar... bentar.”
“Apa lagi, Ri? Katanya suruh buruan.” Ada nada kesal yang kutangkap dalam kalimat tanyanya.
Kudekatkan bibirku di hadapan horn handphone, kemudian bersuara lembut, “Aku kangen banget sama sumber bara semangatku. Cepet datang, ya... Bara.”
“Pasti. Secepat angin berhembus.” Aku tersenyum mendengar sahutan Bara. “Take care, ya, Ri.”
“Kamu juga.” Dan suara klik memutus perbincanganku sekilas dengan Bara pagi tadi. Kabar terakhir yang kudapat sebelum sosok itu benar-benar menghilang, Hingga detik ini, ketika kebekuan menyapaku dalam aroma basah.
Hujan masih belum reda. Beberapa teman kerjaku telah pulang lebih dulu. Dan seharusnya sudah sejam yang lalu Bara juga ada di sini. Aku berharap akan mendengar sedikit saja alasan dari mulutnya. Entah tentang apapun itu. Setidaknya, aku bisa memberikan ribuan pemakluman atas kesalahannya yang sama.
Baiklah. Waktuku tidak banyak. Rasanya sudah tak ada lagi kemungkinan akan kedatanganmu, Bar. Aku beranjak dari dudukku, menatap sejenak ke arah sudut-sudut lobi kantor ini. Remang. Dan, sepi.
Mungkin doa Bara benar-benar dijawab. Seluruh kota se-Indonesia benar-benar hujan lebat. Aku meringis menyadarinya. Lagi-lagi, masih tetap ada seribu pemakluman untukmu, Bar.
Sebuah pemakluman terakhirku untuknya, Karena, tepat di malam itulah aku mengetahui satu hal. Bahwa pemaklumanku tak akan sia-sia. Karena hari esok, dan esoknya lagi Bara benar-benar telah menepati janjinya. Terbang secepat angin berhembus. Menghilang. Dan benar-benar mengabur bersama embusan bayu.
Kecelakaan pesawat. Hanya itu pemakluman terakhirku untuknya.
Aku mengusap batu nisan di hadapanku perlahan, mengenyahkan pengembaraan memoriku. Batu nisan itu terasa dekat, tapi batinku tidak merasa begitu. Dia jauh, benar-benar menjauh.
Bara Beraja Langit. Deretan nama itu, membacanya saja masih terasa menyesakkan seperti ini. Bahkan aku tak yakin sampai kapan perasaan sakit ini tetap menyala. Genangan bening mulai mengambang di sudut mataku. Tanpa permisi.
“Maaf… aku nggak bisa,” ucapku lirih, tidak ingin terdengar oleh siapapun. Bahkan kalau boleh, cukup aku dan dia saja yang mendengarnya. “Bar, aku harus bagaimana? Aku nggak bisa kaya gini, nggak bii...saa.”
Kutangkupkan kedua telapak tanganku. Membekap erat mulutku. Tidak, jangan ada suara isak di sini. Tidak di hadapannya.
Karena aku tak ingin Bara tahu, bahwa aku selalu mengidolakannya diam-diam melebihi dari seorang teman. Aku tak ingin Bara tahu, bahkan setelah dia tiada. Aku takut ada penyesalan karena tak menyuarakan sebelumnya, entah dariku atau darinya. Bagiku, cukup bayangan indah bersamanya saja yang terekam kuat hingga kini. Itu saja sudah cukup.
Dan semoga, kau tenang di pelukan akhirat, Bar. [END_#Nuber1.OwobJatim]