Rabu, 20 November 2013

Secuil Kenangan Antara Aku, Tara, dan Dia... Mister of Autumn in Paris




Aku sudah bilang, aku paling nggak jago kalau diminta membuat puisi. Sama sekali nggak bisa. Jadi, kemaren waktu ada event lomba bikin puisi buat salah satu tokoh cerita dalam novel-novelnya Ka’ Ilana Tan, aku ikut ambil bagian di dalamnya. Tapi, bonek abis.. bondo nekat. Modal sok kepedean aja. Demi apa? Demi Tuan Fujitatsu deh, tokoh novel Ilana terfavoritku.

Sedikit cerita tentang Tuan Fujitatsu, sosok ini tetep nggak bisa ninggalin Sang Induk cerita, dimana tokoh ini dilahirkan di dalamnya. Tokoh yang menurutku sangat bijaksana sekaligus bodoh dalam memperjuangkan cintanya. Bijaksana, karena akhirnya dia rela mengorbankan perasaannya dan perasaan seseorang yang pernah dicintai dan mencintainya demi ketentuan nasib yang memang tak berpihak pada mereka. Bodoh, karena seberat apapun dia berusaha untuk menerima ketidakmungkinan keadaannya hanya ada penyesalan-penyesalan yang tersisa. Seharusnya dia tidak perlu seperti itu. Seperti mengharapkan kedatangan kematian segera. Seperti hambaNya yang tidak mengenal kata syukur, karena sebenarnya hakikat cinta itu luas. Tapi, sekali lagi, ini hanya cerita.

Huaahh..  cerita ini memang selalu membuat air mataku terkuras abis. Bukan dasarnya emang aku rada cengeng, ya. Tapi karena cerita ini bener-bener kisah sad ending yang punya taraf kesedihan tingkat dewa. Apalagi kalau disuguhi dengan deretan kata-kata di bawah ini. Kata-kata yang aku culik dikit dari novel aslinya. Kata-kata perpisahan Fujitatsu buat seseorang yang sempat menjadi bagian terpenting bagi dirinya, Tara Dupont.

Dan, ada baiknya sebelum membaca kalimat ini... kalian menyiapkan dulu segepok tissue. Jaga-jaga kalu tiba-tiba aja air mata itu nggak sopan nongol begitu aja. Biar nggak jatuh mubazir. J

::Quotes From: Autumn in Paris, Page 107-109::

“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tidak boleh dicintai? Aku tahu.”
Kalimat pembuka dari e-mail Tatsuya itu membuat Tara menahan napas.
Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hidupku.
“Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika dia agak mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya pada pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya kepadaku. Selama ini aku tidak pernah percaya pada yang namanya kebetulan, tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku mendapat kesempatan mengenalnya.
“Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku. Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja—tentu saja saat itu dia tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya saat temannya memperkenalkan kami—dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan mengajaknya keluar.
“Bintang keberuntunganku ternyata sedang bersinar terang saat itu. Aku bertemu dengannya lagi, tanpa sengaja. Kali ini dia yang datang menghampiri dan menyapaku. Harus kuakui, aku begitu terpana sampai-sampai mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku sendiri. Aku pun mengajaknya menemaniku ke museum.
“Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim Gugur adalah orang yang sama.
“Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan?
“Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari hidupnya. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari nanti—aku tidak tahu kapan—rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru akan bertemu kembali.”
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Tara meraih ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Tidak peduli ponselnya jadi basah karena air matanya yang mengalir deras.
“Tara?” Suara Sebastien terdengar di telinganya. “Aku ada di bandara. Pesawat Tatsuya baru saja tinggal landas.”
Tara tidak bisa mendengar suara Sebastien lagi. Ponselnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Namun ia bisa mendengar suara pelan Élise yang membacakan surat Tatsuya.
Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja... aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia, dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau harapan, aku ingin mengaku.
“Aku mencintainya.”
Saat itulah secuil kendali diri Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya berguncang keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. Ia hanya berharap sepenuh hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun sedikit. Karena ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap lubang besar yang menganga di dalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.

Hanya secuil kisah. Yah, di atas itu hanya penggalan kisah Autum in Paris aja, tapi aura basah-basah banjir air matanya sudah kerasa. Bener-bener kerasa feel sedihnya. Tapi, coba bandingkan dengan puisi karyaku di bawah ini. Sama sekali nggak kerasa feel sedihnya. Sama sekali bukan karya yang bisa dikatakan berkualitas. Karya yang sekedar dipaksa untuk jadi. Jadi, wajar aja kalau karya satu ini sama sekali nggak masuk kriteria nomine karya yang terpilih. Gatot.. gagal total. Hehe..

*SISA NYALA KERINDUAN*

Dear Tatsuya Fujisawa (Fujitatsu)...

Aku tangguh
Aku kuat
Tapi tidak jika mengingatmu
Tentang sebaris kenangan
menyala padam dalam diam

Kau ibarat angin
Berhembus keras menampar wajah
Menguap tanpa tersisa
Hanya sisa desiran lembutnya terasa
Tanpa mampu teraba raga

Aku tahu
Kau ada, sempat ada
Berpendar dalam cinta yang salah
Kelap-kelip tak tahu arah
Tenggelam dalam kisah yang menggelapkan rasa
Berlabuh dalam hati yang meleburkan mimpi

Terlalu lama ‘ku terpenjara
Terlena nikmat aroma memorimu
Terbius reaktif karbon dari atmosfermu
Bermimipi nyala terangmu ‘kan kembali
Hingga asaku lagi-lagi terhempas
Tidak mungkin... tidak mungkin
Berulang kali sederet kata itu terkecap asam
di lidah dan di hatiku jua

Aku benci
Aku marah
Aku jijik
Setiap mengingatmu
Tentang janji-janji kasat mata kita
dan sekeranjang harapan yang terelakan padam
Lalu, mengabur dalam ketukan palu takdirNya

Karena...
Aku tahu
Kau sempat ada
dan menjadi tiada

Hingga,
hanya nyala rindu yang tersisa

Paris, Autumn Season

From:
Your Beloved Sister
Tara Duppont


Tidak ada komentar:

Posting Komentar