Aku sudah bilang, aku paling
nggak jago kalau diminta membuat puisi. Sama sekali nggak bisa. Jadi, kemaren
waktu ada event lomba bikin puisi buat salah satu tokoh cerita dalam novel-novelnya
Ka’ Ilana Tan, aku ikut ambil bagian di dalamnya. Tapi, bonek abis.. bondo
nekat. Modal sok kepedean aja. Demi apa? Demi Tuan Fujitatsu deh, tokoh novel
Ilana terfavoritku.
Sedikit cerita tentang Tuan
Fujitatsu, sosok ini tetep nggak bisa ninggalin Sang Induk cerita, dimana tokoh
ini dilahirkan di dalamnya. Tokoh yang menurutku sangat bijaksana sekaligus
bodoh dalam memperjuangkan cintanya. Bijaksana, karena akhirnya dia rela
mengorbankan perasaannya dan perasaan seseorang yang pernah dicintai dan
mencintainya demi ketentuan nasib yang memang tak berpihak pada mereka. Bodoh,
karena seberat apapun dia berusaha untuk menerima ketidakmungkinan keadaannya
hanya ada penyesalan-penyesalan yang tersisa. Seharusnya dia tidak perlu
seperti itu. Seperti mengharapkan kedatangan kematian segera. Seperti hambaNya
yang tidak mengenal kata syukur, karena sebenarnya hakikat cinta itu luas.
Tapi, sekali lagi, ini hanya cerita.
Huaahh.. cerita ini memang selalu membuat air mataku
terkuras abis. Bukan dasarnya emang aku rada cengeng, ya. Tapi karena cerita
ini bener-bener kisah sad ending yang punya taraf kesedihan tingkat dewa. Apalagi
kalau disuguhi dengan deretan kata-kata di bawah ini. Kata-kata yang aku culik
dikit dari novel aslinya. Kata-kata perpisahan Fujitatsu buat seseorang yang
sempat menjadi bagian terpenting bagi dirinya, Tara Dupont.
Dan, ada baiknya sebelum
membaca kalimat ini... kalian menyiapkan dulu segepok tissue. Jaga-jaga kalu
tiba-tiba aja air mata itu nggak sopan nongol begitu aja. Biar nggak jatuh
mubazir. J
::Quotes From: Autumn in Paris, Page 107-109::
“Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang
tidak boleh dicintai? Aku tahu.”
Kalimat pembuka dari e-mail Tatsuya itu membuat Tara
menahan napas.
“Aku memang baru mengenalnya, tapi rasanya aku sudah
mengenalnya seumur hidup. Dan tiba-tiba saja aku sadar dia telah menjadi bagian
yang sangat penting dalam hidupku.
“Aku pertama kali bertemu dengannya di bandara Charles de
Gaulle. Lalu tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi di sebuah kelab ketika
dia agak mabuk dan salah menyebut nama si bartender. Aku akhirnya tahu namanya
pada pertemuan kami yang ketiga. Salah seorang temanku memperkenalkannya
kepadaku. Selama ini aku tidak pernah percaya pada yang namanya kebetulan,
tetapi ini seperti takdir. Karena akhirnya aku mendapat kesempatan mengenalnya.
“Saat itu juga aku memutuskan akan mencoba keberuntunganku.
Sudah tiga kali aku bertemu dengannya tanpa sengaja—tentu saja saat itu dia
tidak tahu, karena sejauh yang dia tahu, kami bertemu pertama kalinya saat
temannya memperkenalkan kami—dan aku memutuskan jika setelah pertemuan ini aku
bisa bertemu dengannya secara kebetulan, aku akan mengambil langkah pertama dan
mengajaknya keluar.
“Bintang keberuntunganku ternyata sedang bersinar terang saat
itu. Aku bertemu dengannya lagi, tanpa sengaja. Kali ini dia yang datang
menghampiri dan menyapaku. Harus kuakui, aku begitu terpana sampai-sampai
mendadak bisu sesaat. Aku tahu aku harus menepati janjiku sendiri. Aku pun
mengajaknya menemaniku ke museum.
“Benar, gadis misterius yang kutemui di bandara dan Gadis Musim
Gugur adalah orang yang sama.
“Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Suatu kali hidup
melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup mengempaskanmu begitu keras
ke bumi. Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang paling kubutuhkan dalam
hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang
tidak boleh kudapatkan. Kata-kataku mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi
percayalah, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa
bersamanya. Tetapi apakah manusia bisa mengubah kenyataan?
“Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah keluar dari
hidupnya. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan
perasaanku padanya walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku
mencoba melakukannya. Pasti butuh waktu lama sebelum aku bisa menatapnya tanpa
merasakan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya. Mungkin suatu hari
nanti—aku tidak tahu kapan—rasa sakit ini akan hilang dan saat itu kami baru
akan bertemu kembali.”
Tepat saat itu terdengar bunyi ponsel. Secara otomatis Tara
meraih ponselnya dan menempelkannya ke telinga. Tidak peduli ponselnya jadi
basah karena air matanya yang mengalir deras.
“Tara?” Suara Sebastien terdengar di telinganya. “Aku ada di
bandara. Pesawat Tatsuya baru saja tinggal landas.”
Tara tidak bisa mendengar suara Sebastien lagi. Ponselnya
terlepas dari genggaman dan jatuh ke ranjang. Napasnya mulai tersendat-sendat
dan dadanya sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Namun ia bisa
mendengar suara pelan Élise yang membacakan surat Tatsuya.
“Sekarang... Saat ini saja... Untuk beberapa detik saja...
aku ingin bersikap egois. Aku ingin melupakan semua orang, mengabaikan dunia,
dan melupakan asal-usul serta latar belakangku. Tanpa beban, tuntutan, atau
harapan, aku ingin mengaku.
“Aku mencintainya.”
Saat itulah secuil kendali diri
Tara yang rapuh akhirnya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia
membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Seluruh tubuhnya
berguncang keras. Ia membiarkan isakannya, sedu-sedannya, air matanya tumpah
keluar. Ia tidak bisa menahannya walaupun ia ingin. Ia hanya berharap sepenuh
hati, dengan begitu rasa sakit dan kepedihannya juga akan berkurang, walaupun
sedikit. Karena ia sungguh tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya terhadap
lubang besar yang menganga di dalam dadanya. Tempat hatinya dulu berada.
Hanya secuil kisah. Yah, di atas itu hanya penggalan kisah
Autum in Paris aja, tapi aura basah-basah banjir air matanya sudah kerasa.
Bener-bener kerasa feel sedihnya. Tapi, coba bandingkan dengan puisi karyaku di
bawah ini. Sama sekali nggak kerasa feel sedihnya. Sama sekali bukan karya yang
bisa dikatakan berkualitas. Karya yang sekedar dipaksa untuk jadi. Jadi, wajar
aja kalau karya satu ini sama sekali nggak masuk kriteria nomine karya yang
terpilih. Gatot.. gagal total. Hehe..
*SISA NYALA KERINDUAN*
Dear Tatsuya Fujisawa
(Fujitatsu)...
Aku tangguh
Aku kuat
Tapi tidak jika mengingatmu
Tentang sebaris kenangan
menyala padam dalam diam
Kau ibarat angin
Berhembus keras menampar wajah
Menguap tanpa tersisa
Hanya sisa desiran lembutnya terasa
Tanpa mampu teraba raga
Aku tahu
Kau ada, sempat ada
Berpendar dalam cinta yang salah
Kelap-kelip tak tahu arah
Tenggelam dalam kisah yang menggelapkan rasa
Berlabuh dalam hati yang meleburkan mimpi
Terlalu lama ‘ku terpenjara
Terlena nikmat aroma memorimu
Terbius reaktif karbon dari atmosfermu
Bermimipi
nyala terangmu ‘kan kembali
Hingga asaku
lagi-lagi terhempas
Tidak
mungkin... tidak mungkin
Berulang kali
sederet kata itu terkecap asam
di lidah dan
di hatiku jua
Aku benci
Aku marah
Aku jijik
Setiap
mengingatmu
Tentang
janji-janji kasat mata kita
dan sekeranjang
harapan yang terelakan padam
Lalu,
mengabur dalam ketukan palu takdirNya
Karena...
Aku tahu
Kau sempat ada
dan menjadi tiada
Hingga,
hanya nyala rindu yang tersisa
Paris, Autumn Season
From:
Your Beloved Sister
Tara Duppont
Tidak ada komentar:
Posting Komentar