Rabu, 31 Agustus 2016

One Memory: Me and RA - Chapter 1

Bagaimana rasanya kesakitan kita berasal dari suatu kesenangan yang teramat sayang dibuang? Entahlah. Kalian tidak akan pernah benar-benar tahu jawabannya jika kalian tidak merasakannya langsung.

Dulu…aku suka membaca atau mendengar kisah tentang perjuangan hamba-hamba pesakitan yang kemudian berusaha bertahan di atas segala keterbatasan karena anugerah ‘sakit’ yang dideritanya. Seperti kisah One Liter of Tears, The Fault in Our Stars, A Walk to Remember, Surat Kecil untuk Tuhan, dan Waktu Aku sama Mika…. Kisah yang berhasil mencuci otak dengan segudang decak kagum akan kehebatan dan ketegaran sosok mereka--yang zero to hero. Tapi itu dulu. Masa lampau, suatu masa dimana segalanya terasa berbeda…antara aku dan tokoh-tokoh cerita itu. Saat sehat masih berdiri dengan congkaknya.

Seperti salah satu adegan A Walk to Remember di bawah ini...


Tulisan ini kubuat bukan untuk meminta sumbangan belas kasihan kalian. Bukan menunjukkan betapa aku termehek-mehek dengan kondisi yang kualami saat ini. Sama sekali TIDAK.

Aku hanya berbagi. Bersuara dari lubang terdalam di jiwaku. Berharap ada secuil kelegaan setelahnya.

Semuanya berawal dari sebulan yang lalu, saat aku mendengar pertama kali istilah asing yang kini justru teramat dekat di diriku. Rheumatoid Arthritis (RA), penyakit yang sebulan lalu didiagnosis sudah nyaman berada dalam tubuhku. Kalian mengenalnya? Atau justru ini kali pertama mendengar namanya?

RA datang bukan disebabkan oleh bakteri, pathogen, atau virus apapun. RA datang disebabkan dari dalam tubuh penderitanya sendiri. Sakit yang lebih disebabkan karena autoimun, sistem kekebalan tubuh yang terlalu ‘bodoh’ menyelesaikan tugasnya. Kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh justru berbalik arah menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Dan, untuk kasus RA ini sistem kekebalan tubuh sangat suka sekali menyerang sel-sel sehat yang ada di daerah persendian, mulai dari leher, tangan, pinggang, hingga ujung kaki. RA semacam penyakit rematik yang mengakibatkan peradangan sendi-sendi secara simetris.

Aku tidak tahu, adakah pasien dengan kasus RA yang berujung pada kematian. Tapi yang aku tahu, tidak sedikit pasien RA mengalami kerusakan pada fungsi tulang-tulangnya--bahkan yang terparah bisa menyebabkan kelumpuhan. Bisa kalian cek sendiri bagaimana kesuksesan RA dalam membengkokkan tulang tangan dan kaki para penderitanya secara perlahan-lahan, sekalipun si penderita sudah melakukan pengobatan secara terus-menerus. Mengkonsumsi obat tanpa henti.

Sebuah kekhawatiran yang (jujur) aku mulai takut membayangkannya.

Sejak awal tahun 2016 aku sering mengalami sakit yang aneh dan berubah-ubah. Mulai dari demam, lalu alergi kulit. Gatal-gatal di sekujur tubuhku yang kemudian hilang dengan sendirinya. Cepat lelah, tapi susah tidur. Hingga klimaksnya di bulan Februari, aku mulai merasakan nyeri pada jari-jari dan pergelangan tanganku. Awalnya hanya tangan kanan saja yang terasa nyeri, tapi lambat laun tangan kiri pun mulai merasakan sakit yang sama. Bahkan jari-jariku sering membengkak. Untuk mengetik pada laptop atau sekedar menulis manual saja terasa sakitnya.

Semula kukira hanya pegal-pegal biasa, terlalu banyak mengetik, atau kelelahan karena tugas-tugas kantor saja. Karena itu aku mengandalkan jasa tukang pijat. Berbagai ‘title’ tukang pijat pun sudah kucicipi, mulai dari pijat biasa, pijat tulang, hingga pijat syaraf. Rata semuanya kucoba. Tapi tak ada yang berhasil meredakan rasa nyeri ini. Menu selanjutnya, mencicipi jasa dokter syaraf. Ada dokter yang mendiagnosis aku terkena virus--yang hingga sekarang aku belum mendapat penjelasan virus apa, ada yang mendiagnosis karena gigitan nyamuk cikungunya, bahkan ada dokter syaraf yang tidak berhasil mendiagnosis sakitku.

Sebenarnya ada obat racikan dari salah satu dokter syaraf--yang mendiagnosis aku terkena virus--berhasil memberikan efek positif. Demam dan gatal-gatal berkurang, nyeri sendi pun berkurang. Tapi efeknya tidak berlangsung lama, jika obat-obatan itu habis maka sakitku pun kambuh lagi. Cukup lama aku bergantung pada obat-obat racikannya, namun setiap kali berkonsultasi aku tidak mendapatkan jawaban secara pasti akan kondisi sakitku selain karena virus yang disebutkannya.

Jenuh. Bosan. Lelah dengan kondisi yang sama. Apalagi nyeri yang kurasa semula hanya pada tangan, mulai memarah. Lutut hingga pergelangan kaki juga mulai terasa nyeri yang sama. Terasa seperti membawa berton-ton beban tiap turun-naik tangga, atau sekedar untuk berjalan biasa. Mungkin, perhatian dan pengertian dari Sang Suami lah yang membuatku terpaksa kuat menerima rasa sakit ini. Sosok yang selalu siap mengapus kering air mataku. Sosok yang tak pernah bosan mendengar keluhanku. Sosok yang selalu dan selalu mengulangi mantra “sabar” di akhir setiap pengakuanku. Rasa sakit yang harus kunikmati setiap hari, berbulan-bulan… tanpa kutahu secara pasti sakit apa sebenarnya ini.
Iya, cukup lama. Hingga di bulan Agustus 2016 kondisi kesehatanku benar-benar memburuk. Kesibukan meraja-rela, jam lembur meliar, minim tidur, mengejar deadline tugas yang hampir keteteran. Stres dan lelah luar biasa.

Gimana nggak…semingguan aku selalu pulang malam, terkena dinginnya angin malam. Sekitar jam 11.00 pm baru nyampe rumah dan masih ada lagi lemburan tugas kantor yang harus diselesaikan. Besok paginya harus kembali lagi ke rutinitas harian di kantor. Akibatnya, kondisiku benar-benar drop, capek pikiran – capek badan… semua menumpuk jadi satu. Untuk sekedar berdiri pun sulit, bahkan pandanganku sempat mengabur dan gelap seketika. Tangan dan kaki terasa kaku. Ngilu. Harus berobat kemanapun aku bingung. Sangsi, akankah ada dokter yang mampu menjelaskan secara pasti kondisi sakit yang kuderita? Siapa? Kemana harus bertanya? Jujur, aku putus asa akan kondisiku. Dan di tengah keputusasaan itu, jawabanNya bersuara.

Atas rekomendasi keluarga aku berobat pada dokter spesialis syaraf,  dr. WINANGKU, Sp.S. Kebetulan lokasi praktek beliau hanya di wilayah Madiun. Pulang kampung dengan segepok keyakinan kalau aku segera sembuh. Karena kebetulan ibuku juga pernah mengalami gejala sakit yang sama denganku, nyeri di tangannya. Tapi setelah berobat dan mendapat suntikan dari dr. Winangku, sakit-sakit nyeri ibu hilang. Kejang otot namanya. Aku jadi bertanya-tanya… ‘Kenapa dokter syaraf yang kutemui tidak memberikan tindakan suntik yang sama?’

Sayang, keyakinanku menguap. Harapan untuk segera sembuh hanya mimpi pengantar tidur.

Diagnosis untukku berbeda, bukan kejang otot. Tapi RA yang tak bisa disembuhkan dengan sebatang jarum suntik saja. Ada beberapa obat yang harus kukonsumsi untuk meredakan serangan RA. Aku pun disarankan untuk segera berobat ke dokter ahli rheumatology yang kemungkinan besar hanya ada di kota-kota besar, seperti Solo dan Surabaya. Dr. Winangku bahkan menawarkan jika aku butuh dirujuk ke salah satu dokter ahli rheumatology di Solo, beliau bersedia memberikan rujukannya. Namun saat itu, aku menolak. Mungkin… karena masih (sedikit) shock, aku hanya merasa bersyukur begitu saja. Setidaknya aku sudah mendapatkan obat dan jawaban pasti atas kondisi yang kuderita selama berbulan-bulan.

Sebenarnya aku beruntung, dapat segera terdiagnosis sebagai pasien RA. Dibanding kasus-kasus di luar sana, beberapa penderita RA yang baru mengetahui sakitnya setelah kondisinya semakin parah. Setidaknya, masih ada harapan untuk sembuh… sekalipun harus mengkonsumsi obat seumur hidupku.

Tidak apa-apa. Benar tak apa-apa. (sambil menghela napas--berat)

Mungkin… hanya beralinea-alinea kisah ini dulu yang bisa kuceritakan pada kalian. Setidaknya ‘senut-senut’ nyeri yang tetap terasa setiap kali aku menekan tuts-tuts keyboard laptop ini dapat sedikit teralihkan. Semoga saat kisah baru kusampaikan ke hadapan kalian lagi, kondisiku sudah jauh membaik.


Semoga…