Bagaimana rasanya kesakitan kita berasal dari suatu
kesenangan yang teramat sayang dibuang? Entahlah. Kalian tidak akan pernah
benar-benar tahu jawabannya jika kalian tidak merasakannya langsung.
Dulu…aku suka membaca atau mendengar kisah tentang
perjuangan hamba-hamba pesakitan yang kemudian berusaha bertahan di atas segala
keterbatasan karena anugerah ‘sakit’ yang dideritanya. Seperti kisah One Liter of Tears, The Fault in Our Stars, A
Walk to Remember, Surat Kecil untuk Tuhan, dan Waktu Aku sama Mika…. Kisah
yang berhasil mencuci otak dengan segudang decak kagum akan kehebatan dan
ketegaran sosok mereka--yang
zero to hero. Tapi itu dulu. Masa
lampau, suatu masa dimana segalanya terasa berbeda…antara aku dan tokoh-tokoh
cerita itu. Saat sehat masih berdiri dengan congkaknya.
Seperti salah satu adegan A Walk to Remember di bawah ini...
Tulisan ini kubuat bukan untuk meminta sumbangan belas
kasihan kalian. Bukan menunjukkan betapa aku termehek-mehek dengan kondisi yang
kualami saat ini. Sama sekali TIDAK.
Aku hanya berbagi. Bersuara dari lubang terdalam di jiwaku.
Berharap ada secuil kelegaan setelahnya.
Semuanya berawal dari sebulan yang lalu, saat aku mendengar
pertama kali istilah asing yang kini justru teramat dekat di diriku. Rheumatoid
Arthritis (RA), penyakit yang sebulan lalu didiagnosis sudah nyaman berada
dalam tubuhku. Kalian mengenalnya? Atau justru ini kali pertama mendengar
namanya?
RA datang bukan disebabkan oleh bakteri, pathogen, atau
virus apapun. RA datang disebabkan dari dalam tubuh penderitanya sendiri. Sakit
yang lebih disebabkan karena autoimun, sistem kekebalan tubuh yang terlalu
‘bodoh’ menyelesaikan tugasnya. Kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi
tubuh justru berbalik arah menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Dan, untuk
kasus RA ini sistem kekebalan tubuh sangat suka sekali menyerang sel-sel sehat
yang ada di daerah persendian, mulai dari leher, tangan, pinggang, hingga ujung
kaki. RA semacam penyakit rematik yang mengakibatkan peradangan sendi-sendi
secara simetris.
Aku tidak tahu, adakah pasien dengan kasus RA yang berujung
pada kematian. Tapi yang aku tahu, tidak sedikit pasien RA mengalami kerusakan
pada fungsi tulang-tulangnya--bahkan
yang terparah bisa menyebabkan kelumpuhan. Bisa kalian cek sendiri bagaimana
kesuksesan RA dalam membengkokkan tulang tangan dan kaki para penderitanya
secara perlahan-lahan, sekalipun si penderita sudah melakukan pengobatan secara
terus-menerus. Mengkonsumsi obat tanpa henti.
Sebuah kekhawatiran yang (jujur) aku mulai takut
membayangkannya.
Sejak awal tahun 2016 aku sering mengalami sakit yang aneh
dan berubah-ubah. Mulai dari demam, lalu alergi kulit. Gatal-gatal di sekujur
tubuhku yang kemudian hilang dengan sendirinya. Cepat lelah, tapi susah tidur.
Hingga klimaksnya di bulan Februari, aku mulai merasakan nyeri pada jari-jari
dan pergelangan tanganku. Awalnya hanya tangan kanan saja yang terasa nyeri,
tapi lambat laun tangan kiri pun mulai merasakan sakit yang sama. Bahkan
jari-jariku sering membengkak. Untuk mengetik pada laptop atau sekedar menulis manual
saja terasa sakitnya.
Semula kukira hanya pegal-pegal biasa, terlalu banyak
mengetik, atau kelelahan karena tugas-tugas kantor saja. Karena itu aku
mengandalkan jasa tukang pijat. Berbagai ‘title’
tukang pijat pun sudah kucicipi, mulai dari pijat biasa, pijat tulang, hingga
pijat syaraf. Rata semuanya kucoba. Tapi tak ada yang berhasil meredakan rasa
nyeri ini. Menu selanjutnya, mencicipi jasa dokter syaraf. Ada dokter yang
mendiagnosis aku terkena virus--yang
hingga sekarang aku belum mendapat penjelasan virus apa, ada yang mendiagnosis
karena gigitan nyamuk cikungunya, bahkan ada dokter syaraf yang tidak berhasil
mendiagnosis sakitku.
Sebenarnya ada obat racikan dari salah satu dokter syaraf--yang mendiagnosis aku
terkena virus--berhasil
memberikan efek positif. Demam dan gatal-gatal berkurang, nyeri sendi pun
berkurang. Tapi efeknya tidak berlangsung lama, jika obat-obatan itu habis maka
sakitku pun kambuh lagi. Cukup lama aku bergantung pada obat-obat racikannya,
namun setiap kali berkonsultasi aku tidak mendapatkan jawaban secara pasti akan
kondisi sakitku selain karena virus yang disebutkannya.
Jenuh. Bosan. Lelah dengan kondisi yang sama. Apalagi nyeri
yang kurasa semula hanya pada tangan, mulai memarah. Lutut hingga pergelangan
kaki juga mulai terasa nyeri yang sama. Terasa seperti membawa berton-ton beban
tiap turun-naik tangga, atau sekedar untuk berjalan biasa. Mungkin, perhatian
dan pengertian dari Sang Suami lah yang membuatku terpaksa kuat menerima rasa
sakit ini. Sosok yang selalu siap mengapus kering air mataku. Sosok yang tak
pernah bosan mendengar keluhanku. Sosok yang selalu dan selalu mengulangi
mantra “sabar” di akhir setiap pengakuanku. Rasa sakit yang harus kunikmati
setiap hari, berbulan-bulan… tanpa kutahu secara pasti sakit apa sebenarnya
ini.
Iya, cukup lama. Hingga di bulan Agustus 2016 kondisi
kesehatanku benar-benar memburuk. Kesibukan meraja-rela, jam lembur meliar,
minim tidur, mengejar deadline tugas
yang hampir keteteran. Stres dan lelah luar biasa.
Gimana nggak…semingguan aku selalu pulang malam, terkena
dinginnya angin malam. Sekitar jam 11.00 pm baru nyampe rumah dan masih ada lagi
lemburan tugas kantor yang harus diselesaikan. Besok paginya harus kembali lagi
ke rutinitas harian di kantor. Akibatnya, kondisiku benar-benar drop, capek
pikiran – capek badan… semua menumpuk jadi satu. Untuk sekedar berdiri pun
sulit, bahkan pandanganku sempat mengabur dan gelap seketika. Tangan dan kaki
terasa kaku. Ngilu. Harus berobat kemanapun aku bingung. Sangsi, akankah ada
dokter yang mampu menjelaskan secara pasti kondisi sakit yang kuderita? Siapa?
Kemana harus bertanya? Jujur, aku putus asa akan kondisiku. Dan di tengah
keputusasaan itu, jawabanNya bersuara.
Atas rekomendasi keluarga aku berobat pada dokter spesialis
syaraf, dr. WINANGKU, Sp.S. Kebetulan
lokasi praktek beliau hanya di wilayah Madiun. Pulang kampung dengan segepok
keyakinan kalau aku segera sembuh. Karena kebetulan ibuku juga pernah mengalami
gejala sakit yang sama denganku, nyeri di tangannya. Tapi setelah berobat dan
mendapat suntikan dari dr. Winangku, sakit-sakit nyeri ibu hilang. Kejang otot
namanya. Aku jadi bertanya-tanya… ‘Kenapa dokter syaraf yang kutemui tidak
memberikan tindakan suntik yang sama?’
Sayang, keyakinanku menguap. Harapan untuk segera sembuh
hanya mimpi pengantar tidur.
Diagnosis untukku berbeda, bukan kejang otot. Tapi RA yang
tak bisa disembuhkan dengan sebatang jarum suntik saja. Ada beberapa obat yang
harus kukonsumsi untuk meredakan serangan RA. Aku pun disarankan untuk segera berobat
ke dokter ahli rheumatology yang kemungkinan besar hanya ada di kota-kota
besar, seperti Solo dan Surabaya. Dr. Winangku bahkan menawarkan jika aku butuh
dirujuk ke salah satu dokter ahli rheumatology di Solo, beliau bersedia memberikan
rujukannya. Namun saat itu, aku menolak. Mungkin… karena masih (sedikit) shock,
aku hanya merasa bersyukur begitu saja. Setidaknya aku sudah mendapatkan obat
dan jawaban pasti atas kondisi yang kuderita selama berbulan-bulan.
Sebenarnya aku beruntung, dapat segera terdiagnosis sebagai
pasien RA. Dibanding kasus-kasus di luar sana, beberapa penderita RA yang baru
mengetahui sakitnya setelah kondisinya semakin parah. Setidaknya, masih ada
harapan untuk sembuh… sekalipun harus mengkonsumsi obat seumur hidupku.
Tidak apa-apa. Benar tak apa-apa. (sambil menghela napas--berat)
Mungkin… hanya beralinea-alinea kisah ini dulu yang bisa
kuceritakan pada kalian. Setidaknya ‘senut-senut’ nyeri yang tetap terasa
setiap kali aku menekan tuts-tuts keyboard laptop ini dapat sedikit teralihkan.
Semoga saat kisah baru kusampaikan ke hadapan kalian lagi, kondisiku sudah jauh
membaik.
Semoga…