"Kalau kita suka dengan seseorang,
maka bukan berarti itu jadi alasan untuk semuanya.
Termasuk percaya mati2an, ikut saja apapun.
Berbahaya sekali kalau hanya karena kata “sayang”,
kita jadi menutup mata atas hal2 merusak
dan hal2 lain yang jauh lebih penting dibanding rasa sayang itu.
Karena kabar buruknya,
bahkan kita tidak tahu apakah sayang itu benar2 sayang
atau karena kita tidak bisa mengendalikan perasaan.
"Gunakan akal sehat, pakai rambu2 agama,
dengarkan nasehat keluarga atau teman baik,
itu akan menuntun kita."
"Gunakan akal sehat, pakai rambu2 agama,
dengarkan nasehat keluarga atau teman baik,
itu akan menuntun kita."
Tere Liye (26/11/2013)
Aku suka sekali dengan kata-kata postingan Bang Tere di atas
itu. Semacam mengingatkan kita, untuk tetap menjaga prasangka dalam berbagai
keadaan. Entah itu prasangka baik, maupun prasangka buruk. Terlebih lagi,
berbagai prasangka yang sering kali terekam dalam komunitas dunia sosmed (baca:
Sosial Media.Red).
Di era sekarang ini, namanya penggunaan sosmed bukan termasuk
barang tersier yang diagung-agungkan kemewahannya lagi. Sosmed dibarat anak
yang setiap detik tidak pernah kekurangan perhatian dari induknya. Selalu
dijaga. Dijaga dari apa? Tentu saja dari banyaknya ‘jempol’ dan komentar.
Karena, semakin ramai beranda kita, sama saja semakin banyak penggemar kita.
Ini jika sosmed yang digunakan adalah Facebook. Tapi, inti penggunaan dari
sosmed lainnya tetaplah sama. Sama-sama meramaikan pergaulan dalam dunia maya
dengan berkomunikasi lancar walau tanpa suara dan rupa.
Sosmed bisa menjadi pemenuhan kebutuhan yang menguntungkan.
Kita bisa mengenal berbagai macam orang, dengan berbagai profesi yang berbeda,
dengan berbagai lokasi yang berbeda, dengan berbagai rupa yang berbeda, dalam
berbagai bahasa, bervariasi kesukaan, dan sebagainya. Yang jelas, dari sosmed
kita bisa memanfaatkannya untuk menambah teman seluas mungkin, tanpa ada
pembatasan. Jadi, wajar saja... dari sekian ribu akun pertemanan seseorang, di
dalamnya ada mereka yang benar-benar mengenal kehidupan keseharian kita dan
mereka yang sesungguhnya sama sekali belum mengenal kita, bahkan belum bertemu
sekalipun.
Rumus dalam ilmu pertemanan, keindahan itu selalu terasa di
awal. Saat satu sama lain belum mengerti posisi maupun keadaan masing-masing.
Saling memperkenalkan diri masing-masing, saling memberi kata pujian maupun penguatan,
saling bertukar pengalaman, hingga tumbuh perasaan merasa dihargai karena ada
sesorang di belahan bumi sana yang sudi mendengar segala kisah kita. Entah itu
kisah yang terkesan senang maupun duka. Karena, saat kita menemukan tempat
ternyaman untuk berbagi, saat itu kata “simpathy” mulai berdiri tegak. Dan,
jika dipelihara dengan subur, bukan tidak mungkin rasa yang hanya berbentuk
simpati belaka menjadi berkembang dalam taraf yang lebih dan lebih. Ngerti kan,
apa yang kumaksud?
Mungkin, salah satu dari kalian ada yang pernah mengalami
ini. Tidak, bukan salah satu. Tapi, salah banyak. Karena, aku seringkali
menemukan fenomena seperti ini dalam dunia maya. Dari dulu yang tidak tahu,
tidak kenal, tidak pernah bertemu, tiba-tiba langsung menjadi dekat hingga
berani menggunakan status ‘new relationship’ tertentu dalam akunnya.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan keadaan ini. Semua orang berhak untuk
mengembangkan hatinya. Mencari tempat peristirahatan ternyaman untuk hatinya.
Tapi, nanti dulu... tetap harus melihat konteks dimana saat itu terjadi.
Benar-benar di hati yang tepat atau tidak. Adakah dampak kemungkinan akan
melukai hati lainnya? Atau mengganggu keberadaan hati lainnya? Karena
bagaimanapun juga, jika sesuatu yang baik itu bisa memberikan dampak buruk bagi
seseorang, maka perlu adanya sikap antisipasi dari kemungkinan kedatangan
dampak itu.
Aku yakin, kalian pernah mendengar kisah miris tentang
anak-anak dibawah umur yang belum bisa dikatakan dewasa, menjadi korban
kekerasan, pelecehan seksual, dan tindak kriminal lainnya, hanya karena
pergaulannya dalam jejaring sosial. Mengenal seseorang, menjadi dekat, hingga
saling bertukar nomor, berkomunikasi jarak jauh melalui pesan singkat ataupun
telepon, sampai suatu masa dimana keduanya berjanji untuk ‘copy darat’. Bertemu
langsung. Pertemuan yang terpuaskan akhirnya, setelah sekian lama sempat
tertahan dalam dinginnya dinding sekat ruang yang membatasi keduanya.
Hati itu lembut dan berkontur lentur. Karenanya hati selalu
berubah-ubah. Terkadang mengembang besar saat suka, atau mengempis kecil saat
berduka. Hati itu diibaratkan sebuah spons, yang penuh rongga udara di
dalamnya. Terlalu mudah terpengaruh, dan mudah pula berubah seketika. Sama
seperti spons. Misalkan, kita masukkan sekawanan spons ke dalam suatu tabung...
sekalipun tabung itu penuh, tetap kita masukkan juga. Kita jejalkan spons di
dalamnya hingga benar-benar tak ada ruang lagi dalam tabung itu untuk
spons-spons lain, walaupun posisi sekawan spons yang telah berhasil masuk ke
dalam tabung itu penuh paksaan. Dalam berbagai posisi. Tidak lagi mengembang,
tapi mengempis. Lalu, kita tutup tabung itu dengan rapat. Pasti tetap bisa
tertutup rapat, asalkan tutup tabung yang digunakan benar-benar sesuai.
Sama halnya dengan hati kita. Setiap hari kita berusaha
menjejalkan rasa penasaran, rasa ingin bertemu, rasa simpati, rasa tertarik,
rasa rindu, rasa marah, atau rasa-rasa lainnya ke dalam tabung hati kita.
Hingga saat kopdar (baca: kopi darat.Red) tiba, saat dimana tutup tabung hati
kita yang semula tertutup rapat akan dibuka dengan bebas, saat itulah
spons-spons berbagai rasa–yang semula
dijejalkan paksa–menjadi berhamburan. Berbagai rasa yang telah cukup lama
dipendam akan keluar dan berjatuhan begitu saja. Terjun bebas dari tabung hati.
Dan, jika tidak hati-hati melindungi hati, maka kejadian-kejadian miris yang
tidak diinginkan bisa saja terjadi. Tanpa ada kontrol yang berarti.
Kalian masih ingat dengan salah satu kasus dari sekian kasus
dampak dari adanya jejaring sosial. Kisah tentang seorang siswi SMP dari
Surabaya sana yang dikabarkan menghilang dari rumah (tidak perlu lah menyebut
nama). Kabar dari status maupun aktivitas terakhir sang siswi tersebut
menunjukkan jika dia pergi untuk bertemu dengan seorang pria kenalan dari
facebook. Hingga, sang siswi itu pun dibawa lari oleh teman dunia mayanya.
Entah kemana, dan entah hal apa saja yang telah mereka lakukan. Sesuatu yang
amat miris, terlebih lagi bagi keluarga sang siswi. Bagiku, tidak ada yang
lebih menyakitkan di dunia ini saat kita menyadari bahwa orang terdekat kita
justru tidak merasa nyaman untuk menceritakan segala hal tentang dirinya.
Melainkan, justru mencari tempat tumpahan dari segala rasa pada sosok lain yang
letaknya sangat jauh, atau hubungannya pun jauh. Orang asing. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana hancurnya perasaan sang ibu. (Jadi inget wanita
tercantik di dunia yang sekarang ada di rumah sana, hiks L)
Atau kisah tentang seorang istri yang menjadi korban
keganasan suami, hingga tewas mengenaskan di tangan suaminya sendiri (kalau
nggak salah, kejadiannya ada di daerah Madura sana seh). Emosi sesaat sang
suami yang berakibat fatal, dimotori karena kecemburuan sang suami terhadap
istrinya sendiri. Istri itu ketahuan memiliki PIL alias sephia yang dikenal
melalui jejaring sosial, berlanjut kopdar, hingga terjadi hal-hal yang
sebenarnya tak pantas untuk terjadi. Kalau sudah begini, siapa yang patut
disalahkan. Sang suami kah, yang sudah gelap mata? Sang istri kah, yang sudah
menyia-nyiakan kepercayaan suaminya? Atau, sang PIL kah, yang berani mengganggu
ketentraman hidup keluarga lain? Atau justru, jejaring sosial itu sendiri? Yang
menjadi penyebab awal segalanya.
Tulisan ini dibuat bukan sengaja ingin berghibah ria, atau
memamerkan aib orang lain. Sama sekali bukan itu niatnya. Tulisan ini dibuat
semata-mata untuk menyadarkan kita semua akan eksistensi dari keberadaan dunia
maya (khususnya jejaring sosial) yang sebenarnya. Manfaat dari dunia maya yang
sebenarnya bisa kita petik, lebih dari sekedar alat menambah kenalan saja.
Jejaring sosial dibuat salah satunya untuk bertemu dengan
komunitas-komunitas yang sesuai dengan minat kita masing-masing. Misalkan, jika
kalian suka membaca, bisa bergabung dengan komunitas kutu buku. Jika kalian
suka menulis, bisa bergabung dengan komunitas sastra dan penulis. Jika kalian
suka berpetualang, bisa bergabung dengan komunitas pecinta alam. Dan masih
banyak komunitas lainnya yang bertebaran di berbagai jejaring sosial. Dari
komunitas itu kita saling bertukar pendapat, pemikiran, sharing, dan saling
menginspirasi. Dari situ, kita bisa belajar banyak hal-hal baru yang memang
ingin kita ketahui. Sesuatu yang mungkin tidak bisa kita peroleh dalam dunia
nyata. Kenapa? Karena dunia maya tak pernah terlelap. 24 jam non stop selalu
terbuka, bagi siapa saja yang ingin mengetuknya.
Jadi, tidak ada salahnya jika kita memiliki banyak kenalan
baru dari berbagai jejaring sosial. Hanya saja, tetap diperlukan kehati-hatian
di dalamnya. Karena kita tak tahu seperti apa kehidupan asli dari berbagai
teman yang tergabung dalam jejaring-jejaring sosial itu. Benarkah mereka ada?
Benarkah kedudukan mereka nyata? Dan, pertanyaan benarkah-benarkah lain yang
perlu dipertanyakan. Demi kehati-hatian. Dan, demi menjaga diri sendiri dari
segala hal yang mengarah pada kebathilan.
Seringkali aku menemukan pada status-status jejaring sosial,
kata-kata mesra bertebaran saat sepasang sejoli di dunia maya mulai terbuai
dengan aroma kasmaran. Saling memuji satu sama lain, saling bertukar kata
sayang, dengan panggilan yang terkadang agak (*maaf) memuakkan. Tapi, di lain
waktu, saat sepasang sejoli itu terlibat dalam perdebatan, cekcok... maka
berbagai olokan dan caci-maki ganti mulai bertebaran di beranda keduanya.
Saling mengumpat, menjelek-jelekkan satu sama lain, bahkan melakukan aksi
blokir yang paling diharamkan.
Padahal, seharusnya segala keadaan di atas tak perlu terjadi,
kalau saja mereka mengerti bahwa pertemanan dalam dunia maya sekalipun tetap
ada etika yang perlu dijaga. Sosial media bukan tempat untuk menambah musuh.
Sosial media bukan tempat untuk menggadaikan kesetiaan. Sosial media bukan
tempat untuk meminta belas kasihan. Sosial media bukan satu-satunya media
pertemanan yang layak dijadikan candu. Hingga rasanya, sedetik saja tak
membuka, tangan ini terasa gatal ingin terus dan selalu membukanya. Sampai
terlupa akan kehidupan nyata di sekitar kita, kehidupan yang paling dekat
bersentuhan dengan kita.
Jadi, hati-hatilah menempatkan hati dalam pergaulan di dunia
maya. Gunakan seperlunya, secukupnya. Tidak berlebihan. Jangan sampai merugikan
siapapun, termasuk orang-orang di sekitar kita, yang lebih membutuhkan
perhatian kita. Orang-orang yang pernah menjadikan kita ada di dunia nyata. Apalagi jika sosok-sosok di dunia nyata itu benar-benar menghilang dari kita, hanya karena keasyikan kita dalam dunia maya. Jangan
lupakan mereka. Bukan dunia maya yang tak bisa disentuh keberadaannya.
Seperti kata-kata postingan Bang Tere Liye yang satu ini (28/11/2013):
"Boleh jadi kita telah kehilangan sesuatu,
jauh2 hari sebelum sesuatu itu benar2 pergi, menghilang dari kehidupan kita.
Dan boleh jadi,
kitalah yang menyebabkan hilangnya sesuatu itu,
karena tidak peduli, tidak merasa penting."