HARI
KE #5: ANDAI PERTEMUAN ITU ADA
“Memikirkan kembali soal-soal kecil dalam hidup adalah sesuatu hal yang
membuat kita menjadi manusia kembali. Karena saya yakin harus ada balance
antara tantangan-tantangan intelektualisme dan kemesraan-kemesraan emosional.”
– Soe Hok Gie’s quotes.
Dear Soe Hok Gie... jika pertemuan kita itu akan ada, saya ingin menyampaikan pemikiran ini padamu. Kelak. (*sekalipun 'kelak' itu tak mungkin ada.. karena kau sudah tenang dalam pelukan akhiratNya)
Ada sebentuk impian untuk kembali menjadi mahasiswa jika kesempatan itu datang. Kesempatan untuk menghadapai tantangan-tantangan
intelektualisme, seperti yang diucapkan Gie (mungkin).
Saya kira menjadi mahasiswa bukan sekedar berbangga karena
bisa memasuki lingkungan kampus baru, semegah apapun itu, se-prestise
bagaimanapun itu, atau sejauh manapun dari tanah asal kita. Ada tanggung jawab
idealisme yang harus dibangun dan terus dikembangkan. Entah dari proses-proses
belajar yang harus dilalui, entah dari bentuk keteladanan seorang dosen. Atau,
entah dari diskusi-diskusi panjang tentang teori tak terbantahkan, retorika
kehidupan, dan budaya politik negeri.
Menjadi seorang mahasiswa bukan berarti tidak berhak galau.
Saya rasa galau itu manusiawi. Kaum manusia dari berbagai spesies manapun
berhak mencicipi kegalauan. Karena dari galau kita bisa belajar cara untuk
menjadi dewasa. Menjadi pribadi yang lebih matang memilah apa yang benar dan
mana yang salah. Terkadang kita membutuhkan kegalauan untuk bisa menciptakan
suatu hal yang besar. Bukankah Aristoteles akhirnya bisa menemukan teori
metafisika-nya dilatarbelakangi oleh perasaan galau? Kegalauan itu menjadi salah saat kita justru
menjadi gamang, bingung di tengah-tengah konsep benar-salah yang harus diambil.
Terlebih lagi, galau akan menjadi masalah saat kita tidak berkemauan untuk
segera keluar dari sudut kegamangan itu. Perlu ada manajemen galau secara tepat
supaya kegalauan yang kita rasakan menjadi sesuatu pemikiran yang menuju ke
arah produktif.
Menjadi seorang mahasiswa tidak harus berubah menjadi sosok
radikal. Mahasiswa tidak harus melulu turun ke jalan, mengurusi hal remeh-temeh
tentang kehidupan, mulai dari mengkritisi potret kemiskinan sampai kasus
pencitraan petinggi-petinggi pemerintahan. Memang benar tidak harus menjadi
radikal, tapi bukan berarti tidak boleh menjadi kritis. Mahasiswa berhak
bersuara….dengan cara yang sehat, melalui batas kewajaran yang normal, dan
memanfaatkan media yang pintar. Banyak cara untuk bersuara, begitu juga halnya,
banyak media yang bisa digunakan untuk mengudarakan suara-suara itu. Terlebih
lagi di jaman saat ini dimana ribuan media sosial mulai menjamur keberadaannya
dan mudah diakses oleh siapapun. Tergantung kita saja, bisakah menggunakannya
secara cerdas?
Menjadi seorang mahasiswa harus mau peduli. Sudah jelas. Kalau
tidak ada pemuda yang peduli, lalu bagaimana nasib bangsa ini? Katanya….pemuda
harapan bangsa? Atau semua itu hanya omong-kosong belaka? Seperti halnya,
kubangan-kubangan memori puluhan tahun silam, tentang sederet kenangan
kepedulian mahasiswa yang berani berada di garda terdepan perombakan total
nasib negeri ini. Ribuan kali sejarah pun telah mencatatnya.
Tahun 1943, saat mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berontak
terhadap Jepang karena tidak mau digunduli kepalanya di area yang saat ini
mungkin masih menjadi gedung Fakultas Kedokteran UI. Dalam hal ini, bukan
sekedar soal ‘digunduli’ semata. Melainkan, bentuk perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan Jepang. Perlawanan sekelompok mahasiswa saat itu memang
akhirnya kalah, tapi saya yakin semangat mereka akan terus menyala.
Tahun 1966, saat Hok Gie dan kawan-kawannya melakukan aksi
demonstrasi besar-besaran. Bentuk pencerminan dari pertentangan politik dan
kristalisasi dari kekuatan-kekuatan politik di Indonesia—begitu Gie
menyebutnya. Aksi yang ditandai dengan long
march Salemba-Rawamangun, Bundaran HI, dan jalan-jalan lainnya. Senen,
Gunung Sahari, Lapangan Banteng, Pasar Baru, Sawah Besar, Harmoni, dan belasan
jalan lainnya…atau mungkin puluhan. Sejarah memang mencatat, betapa chaos-nya pemerintahan Indonesia kala
itu.
Tapi sejarah juga tak akan pernah melupakan betapa dasyatnya gelombang
demonstran para mahasiswa, menyuarakan tiga tuntutannya (Tritura), memblokade
jalan, memboikot bus, hingga mendatangi gedung-gedung pemerintahan. Terlebih
lagi, sejarah pun tak mampu menutupi dampak besar yang terlahir setelahnya.
“Tetapi kenangan-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal
daripada perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi Indonesia
dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan
dan kejujuran. (Jakarta, 25 Januari 1966 – Soe
Hok Gie’s quotes)”
Tahun 1998, tragedi berdarah 12 Mei - 17 Desember 1998,
dimulai dari Trisakti hingga ke Semanggi. Saat Indonesia mengalami pukulan
terberat krisis ekonomi yang menerpa parah kawasan Asia Timur. Peningkatan
inflasi dan angka pengangguran, ditambah lagi aksi kotor koruptor kian
meraja-rela yang lagi-lagi menumbuhkan chaos
di negeri ini. Dan, lagi-lagi suara mahasiswa dipaksa mengudara di jalanan,
sekalipun mereka harus mempertaruhkan nyawa dan keselamatannya. Insiden
memilukan, ketika mahasiswa Indonesia berusaha memperjuangkan aspirasi rakyat
tapi justru pukulan dan tindakan kekerasan yang harus mereka terima. Karena
aksi mereka dianggap menimbulkan kekacauan. Sebut saja, Hafidin Royan, Hendriawan
Sie, Elang Mulia Lesmana, dan Heri Hertanto merupakan secuil nama dari deretan daftar
panjang korban kekerasan dalam insiden itu. Lalu, setelah korban mahasiswa
berjatuhan, apakah semangat perjuangan mereka melemah. Tidak? Justru menumbuhkan
semakin maraknya demonstrasi dari berbagai kampus yang turun ke jalan hingga
akhirnya Orde Soeharto pun runtuh. Dan, sekali lagi, mahasiswa Indonesia
menunjukkan kepedulian pada rakyat, pada nasib negerinya.
Kau tahu Gie, kenapa saya sangat ingin bertemu denganmu belakangan ini? Karena saya merasa teramat sayang sekali, potret mahasiswa masa kini sudah sedikit
bergeser. Jarang sekali terdengar gaung mereka di jalanan. Fenomena ini
mengingatkan saya akan penuturan seorang kenalan yang kebetulan dia berprofesi
sebagai dosen dan kebetulan juga dia mantan aktivitis semasa kuliahnya dulu.
Sosok liberal yang ramah dan terbuka. Katanya, “Mahasiswa jaman sekarang sudah
terlalu disibukkan dengan tumpukan tugas kuliah dan mengejar sistem kredit
semester dengan pembatasan masa study. Ditambah budaya feodal yang belum bisa
dihapuskan dalam ruang-ruang perkuliahan, dimana dosen adalah dewa dan selalu
benar. Jika memberontak, keputusan penilaian yang bersuara.”
Apakah benar
begitu? Saya sendiri belum dapat memastikannya…..karena—sekali lagi—saya belum kembali menjadi mahasiswa yang kembali merasakan rutinitas harian kampus. Tapi, jika keadaan yang diutarakan sang dosen itu benar,
berarti hebat sekali pemikiran pemerintah masa sekarang. Menciptakan pengalihan
perhatian yang sempurna. Jika mahasiswa terlalu sibuk dengan urusan intern kampusnya, mana mungkin sempat
memikirkan masalah ekstern lainnya.
Kau pernah
menerangkan, kan, Gie... tujuan kau sebenarnya menjadi ‘arsitek’ aksi bulan Januari 1966,
bahwa: “Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah
dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan
bangsanya.” Tak ada yang salah dengan pendapat itu, bukan? Bukan sesuatu hal muluk-muluk yang terasa sulit
untuk diwujudkan juga, kurasa. Jadi, tidak ada salahnya juga kan jika
mahasiswa-mahasiswa Indonesia sedikit menunjukkan kepeduliannya pada hal
remeh-temeh negaranya. Tidak ada salahnya mahasiswa melakukan aksi damai,
demonstrasi, dan protes di jalanan. Walau intensitas demonstrasi tidak selalu
berbanding lurus dengan kemudahan menapak karir di masa depannya.
Akh…mengenaskan, ya?
Bagi saya pribadi... menjadi bagian
dalam aksi-aksi kepedulian seperti kasus demonstrasi yang dimotori para mahasiswa di atas tadi bukanlah sesuatu yang perlu disalahkan. Entah itu dalam aksi kemanusiaan,
maupun aksi demonstrasi. Selama aksi itu masih mengatasnamakan kepentingan
bersama dan tanpa ditunggangi oleh kebutuhan partai politik manapun, tanpa menononjolkan perbedaan agama yang meruncing perdebatan... sah-sah saja saya rasa. Bukan seperti aksi damai bela 'apalah' yang belakangan ini terjadi. Aksi mengatasnamakan nilai religius namun terkadang membuat saya miris sebagai seorang manusia yang 'kebetulan' beragama Islam.
Saya selalu bermimpi negeri ini bisa menjadi besar pada
suatu saat kelak. Karena Indonesia memang harus belajar menjadi negara
yang dewasa. Terhindar dari berbagai
kemunafikan dan terjauhkan dari degenerasi krisis moral, khususnya
mereka-mereka yang masih berjibaku dalam dunia pemerintahan. Sebuah mimpi yang
mungkin membutuhkan proses jatuh-bangun untuk mewujudkannya.
Banyak perlawanan yang harus ditegakkan,
perlu barisan strategi perjuangan yang diupayakan, dan butuh ribuan doa yang
harus diudarakan. Jika ternyata hanya kegagalan yang ada, bukan berarti mimpi
itu harus cepat-cepat dimatikan. Perlu intropeksi, menyusun rencana kembali,
dan berjatuh-bangun lagi. Jalani prosesnya, nikmati sakitnya, suatu saat
kegigihan itu pasti membuahkan hati. Dan, sudah saatnya negeri ini belajar tata krama berdemonstrasi (sekalipun terkesan anarkhi) dari seorang Soe Hok Gie.
Semoga selalu ada keajaiban bagi mereka yang berupaya
mewujudkan mimpi-mimpi indahnya. Apapun dan siapapun itu. Termasuk kamu,
Indonesiaku.
"Selamat bermimpi panjang, Gie. Mimpikan ketenangan untuk bangsa ini, ya."
IMPIAN SESEORANG YANG MASIH MENCINTAI
INDONESIA
Saya
mimpi tentang sebuah dunia,
Di
mana ulama – buruh dan pemuda,
Bangkit
dan berkata – Stop semua kemunafikan,
Stop
semua pembunuhan atas nama apa pun.
Dan
para politisi di PBB,
Sibuk
mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras,
Buat
anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan
lupa akan diplomasi.
Tak ada
lagi rasa benci pada siapa pun,
Agama
apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan
hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
Tuhan
– Saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang
tak pernah akan datang.
(Salem,
Selasa 29 Oktober 1968 – Soe Hok Gie’s notes)