Hai..hai..Walau nggak yakin ada yang nungguin part dua dari cerpen ini, tapi dengan segenap kepercayaan diri yang kupunya tetep aja di-app bagian kedua dari sekuel kisah galoonnya pasangan yang lagi LDR-an gitu lah. Daripada nyampah di laptop, mending dibagi. Siapa tahu ada yang merasa senasib-seperjuangan ama kisah ini. Dan, jreng-jreng.... beginilah 'gado-gado' kisahnya. ^^Happy reading!!^^
Tale Story of Love
Pernahkah kamu mengalami ingin melakukan sesuatu, tapi
kamu tidak boleh untuk melakukannya? Atau, ingin menunjukkan sesuatu, tapi
tetap tak boleh untuk menunjukkannya. Pernah?
Aku pernah, seperti saat ini yang kurasakan.
30 Agustus. Deretan penanda waktu
yang menarik paksa pada bongkahan kisah masa lalu. Benar-benar hanya masa lalu.
Dan, jujur… aku bosan menyuarakannya. Dia―yang tak perlu diingat―semestinya sedang
menyanyikan lagu selamat panjang umur di hari ini. Tepat di hari jadinya. Dan
mungkin, bersama seseorang spesial di sampingnya. No matter what. Toh, hatiku sudah mulai belajar tahu diri untuk
menempatkan rasa tertepat mungkin di tempat yang tepat.
Maybe,
we meet people for a reason. Either
they’re a blessing or a lesson. Mengajarkan
segala macam pelajaran. Tentang ketegaran, tentang penguat hati, tentang
kesedihan dan tentang nikmatnya syukur di balik sakit yang datang. Karenanya,
berulang kali kutegaskan pada hatiku. Dilarang untuk membenci. Siapa pun itu,
dan dengan dalih alasan apapun.
“Pengalaman
itu guru terbaik,” ucapan Mbak Gina kala itu, tiba-tiba kembali terngiang di
telingaku. “Bukan gitu, Dek?” tanya suara seberang, memastikan.
Aku
mengangguk. Lalu bersuara―setelah
menyadari tak mungkin Mbak Gina melihat anggukanku, “Iya, Mbak…,” sahutku
pasrah. Sembari menarik napas di ujung ucapan itu. Kudekatkan kembali horn
handphone. “Mbak Gina, pernah patah hati?”
Terdengar
tawa ringan di seberang. “Setiap orang pasti pernah, Dek. Mengalami apa itu
kesenangan, dan apa itu kesedihan. Termasuk patah hati di antaranya.”
Jeda
sesaat. Aku membisu, menanti kelanjutan kisahnya.
“Pernah
denger kata-kata gini, Dek? Kadang, waktulah yang bisa memberikan semua jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang nggak bisa kita urai di realita ini. Waktu
selalu menyiapkan obat untuk kita. Tinggal kitanya aja, mau menerimanya sebagai
obat atau nggak. Atau
malah membiarkan rasa luka itu tetap ada, tetap
terbuka.”
Bijak
sekali. Entah kenapa, dari dulu aku selalu menemukan ketenangan setiap
menceritakan segala masalahku ke Mbak Gina. Sekalipun dia bukan saudara
kandungku. Sekalipun dia berada di pulau seberang, Kalimantan sana. Tapi,
mendengarkan suara lembutnya saja sudah terasa damai di hati. Seakan memiliki jawaban akan setiap
pertanyaan hatiku. Dialah mentoring agama sekaligus motivator hidup terbaik di mataku.
Mungkin
benar. Waktu hampir selalu memiliki jawaban akan segala kesedihan, ketakutan
dan ketidakmungkinan yang justru mendorong seseorang untuk memilih berdiri mati
di satu titik. Tak berani melangkahkan kaki maju ke depan, atau sebaliknya.
Mundur begitu saja.
Tapi
lihatlah! Saat kita memilih untuk memberanikan diri melakukan secuil saja
perubahan, justru waktulah
yang menguatkan. Memupuk kenyamanan. Tanpa kita sadari.
Aku tahu,
saat ini aku harus mengulang deretan kata-kata Mbak Gina. Sekali lagi. Demi
detik-detik yang harus terlewati.
“Selamat
ulang tahun…. Alex. Semoga berbahagia selalu,” desisku pelan. Kutengadahkan kepala, menatap sulur-sulur
awan putih yang semakin padat bergumul. Menyingkap ketenangan nuansa birunya
langit. Sungguh, menenangkan sekali.
Sekarang,
rasanya aku sudah memiliki cukup alasan untuk melepaskannya. Dengan tanpa
beban.
Life must goes on, right? And, I will
try to live what I believe. To keep trying hide the pain.
* * *
‘Klunting..!’
Pemberitahuan pesan BBM masuk. Seperti biasa. 4n93L 41!2 W4VE.8-X.
“Lagi
opo?” tanya Harris. Yah, aku
sudah terbiasa menyebut namanya. Tanpa kecanggungan. Tanpa keraguan.
Aku percaya kalau dia nyata. Bukan
diada-ada.
Mungkin
sudah hukum alam. Dia yang pergi berganti dengan dia yang datang.
“Lagi
bales BBM,” jawabku asal.
“BBM-an
sama siapa?”
“Sama orang Malang.”
“(0.0),” balasnya
singkat.
“Namanya Harris, kenal
nggak? Kalo kenal, minta tolong bilangin, ya. Nggak boleh nakal, nggak
boleh ganggu orang.”
“Siapa yang nakal?
Ooh... jadi selama ini merasa terganggu ya sama aku.”
”Kadang. Tapi, banyak
nggak-nya, seh. Malah seneng =’),”
godaku. Ada sebaris senyum saat menuliskan kata-kata itu. Senyum pembenaran, kurasa.
“Jadi, sekarang sudah
berubah, nich. Masih ada harapan, dong.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya... sebenernya
kamu menganggap aku apa, sih? Kamu sayang nggak ma aku?”
Eh? Aku menggaruk rambut
yang tak terasa gatal. Refleks. Bingung harus menjawab bagaimana.
“Emangnya kenapa?”
tanyaku. Mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Yah, aku pengen tau.
Perasaan kamu gimana?”
Aku sendiri juga nggak tahu, sahut
batinku gamang. Kadang ada senang, kadang sebal. Kadang penasaran dengan sosok
Harris, tapi kadang juga tak mau peduli. Rasaku masih abstrak. Belum utuh
berwujud, kurasa. Tapi, jujur.... jauh di lubuk hatiku ada suara lirih yang
menyenandungkan rasa suka setiap kali pesan-pesan singkat darinya meluncur
manis di ponselku. Sungguh. Tanpa kutahu, alasan
pastinya apa.
“Sebelumnya…
aku memang males ngenal cowok. Kadang cowok itu suka datang dan pergi sesuka
hati. Padahal ini hati, bukan warung kopi.”
“Hahaha….,”
balasmu singkat. Ada emotion big-laugh di akhir kata balasan itu.
“Kadang cowok
itu bisa berubah tiba-tiba jadi jaelangkung juga. Datang nggak diundang, pulang
nggak dianter. Tapi, mungkin kamu nggak seperti itu.” Aku mengulum senyum saat menuliskan deretan kata ini. Seperti
tersadar ada suatu pengharapan baru yang ingin kusampaikan.
Sejak kapan sih, aku belajar jadi sok
romantis gini? tanya batinku konyol.
“Aku suka ma kamu... tapi baru
sebagai teman. Belum berani untuk lebih. Masih ada sakit yang sama.
Nggak pengen buru-buru, takut nanti kamu cuma jadi pelarianku aja. Nggak pengen
bikin kamu kecewa. Aku yakin kamu orang baik, karena itu… kamu berhak dapet
yang terbaek. Semoga….,” balasku lagi. Panjang
kali lebar. Kali ini tegas, tanpa senyuman. Karena kurasa, inilah jawaban tertepat
yang pantas untuk kusuarakan.
“Aamiin.
Terimakasih. Semoga yang terbaik itu adalah kamu.”
Senyumku
terkulum. Lagi. “ =’)) “ balasku singkat dengan
simbol emotion smile.
“Makasih,
ya, Honey…,”
“Sama-sama,
Bee… tawon. Honey = madu, cocoknya sama tawon, kan…” sahutku asal.
“Hihihi… ‘Xx’ Bee&Honey ‘Xy’.
Gitu, ya?”
“Iyaaa… Ih, jadi gemes sama Bee. Jadi
pengen narik-narik jenggotnya.” Damn it! Pemikiran macem apa ini. Koyol! maki hati kecilku.
Dan dia di
seberang sana hanya menjawab, “Ha ha ha….”
Kujatuhkan
handphone di samping tubuhku, begitu saja. Menelungkupkan tubuhku, lalu
menyembunyikan wajah di bawah tumpukan bantal-bantal. Aduh, rasanya urat malu
ini mulai memutuskan diri berkali-kali.
Menyadari kekonyolan bahasaku tadi. Apalagi membayangkan dia di sana sedang
tertawa lebar. Malu. Bodoh… bodoh!
* * *
Mataku
melirik arloji dengan gelisah. Pukul 19:27. Sudah lebih dari sekedar petang
kurasa. Entah untuk petang yang keberapa kali. Dan, pesan BBM dari Bee belum
juga meriuh di ponselku. Dia berubah. Akhir-akhir ini begitulah yang kurasa.
Bukan
tanpa alasan aku menuduhnya. Jarang absen dan tidak seintens dulu.
“Cowok
memang gitu. Semangatnya cuma di awal, waktu PDKT aja semuanya dimanis-manisin,”
terang Lisha saat aku sharing tentang Bee tadi siang, waktu jam
istirahat di kantor. “Sok perhatian, ngejer-ngejer, kayak pengen tahu banget
semua hal tentang kita. Tapi ya gitu, manis cuma di awal. Kalo udah dapet, udah
bosen, ditinggal seenaknya… macem Bee kamu, tuh,” tambahnya lagi, tidak
ketinggalan cibiran di ujung pernyataannya.
Hati
memang tempat ternyaman untuk terus dan terus disakitinya, yah. Mungkin.
Tapi kali
ini… aku sungguh tidak tahu bagaimana harus bertahan di atas segala perasaan
yang tengah berkecamuk tak karuan. Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak
mungkin melakukan tindakan frontal layaknya pasangan yang berselisih umumnya. Datang
melabrak, mencaci-maki, meluapkan segala amarah di hadapannya. Tidak mungkin.
Karena,
dia terlalu abstrak untuk ditemukan.
Dan, jarak
kian menambah perihnya. Berpihak padanya.
Aku
terlalu bodoh untuk menyadari. Menerima perasaan dari orang yang belum pernah
kutemui. Belum kutahu secara pasti rupa dan keberadaannya. Hanya foto, hanya
suara, hanya kata-kata pesan, hanya begitu…. lalu luluh dan bersedia
menggadaikan hati dengan begitu mudahnya.
Kebodohan
yang terlambat disadari.
Penyesalan
yang selalu berada di belakang.
Aku hanya
berharap. Satu hal. Buatlah segalanya menjadi jelas. Hanya itu. Sekalipun
kejelasan yang datang nantinya hanya menyisakan luka.
Tidak
apa-apa. Benar tidak mengapa. Setidaknya aku masih memiliki deretan waktu yang
akan selalu mampu meredamnya.
A row
of time always have the antidote of all kinds of wounds.
Dan sekali
lagi, berhati-hatilah. Karena hati memang tempat ternyaman untuk terus dan
terus disakiti. [END**]
I'm at a
payphone trying to call home
All of my
change I spent on you
Where have
the times gone? Baby, it's all wrong
Where are the
plans we made for two?
Yeah, I, I
know it's hard to remember
The people we
used to be...
It's even
harder to picture,
That you're
not here next to me.
You say it's
too late to make it,
But is it too
late to try?
And in our
time that you wasted
All of our
bridges burned down
I've wasted
my nights,
You turned
out the lights
Now I'm
paralyzed.
Still stuck
in that time
When we
called it love
But even the
sun sets in paradise
I'm at a
payphone trying to call home
All of my
change I spent on you
Where have
the times gone? Baby, it's all wrong
Where are the
plans we made for two?
If
"Happy Ever After" did exist,
I would still
be holding you like this
[Explicit:]
All those fairy tales are full of shit
[Clean:] All
those fairy tales are full of it.
[Explicit:]
One more fucking love song, I'll be sick.
[Clean:] One
more stupid love song, I'll be sick
Oh, you
turned your back on tomorrow
'Cause you
forgot yesterday.
I gave you my
love to borrow,
But you just
gave it away.
You can't
expect me to be fine,
I don't
expect you to care
I know I've
said it before
But all of
our bridges burned down.
**BACKSOUND:
PAYPHONE (Maaron 5 feat. Wiz Khalifa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar