Minggu, 12 Oktober 2014

Dear Distance (Part 2)

Hai..hai..Walau nggak yakin ada yang nungguin part dua dari cerpen ini, tapi dengan segenap kepercayaan diri yang kupunya tetep aja di-app bagian kedua dari sekuel kisah galoonnya pasangan yang lagi LDR-an gitu lah. Daripada nyampah di laptop, mending dibagi. Siapa tahu ada yang merasa senasib-seperjuangan ama kisah ini. Dan, jreng-jreng.... beginilah 'gado-gado' kisahnya. ^^Happy reading!!^^


#DearDistance (Part. 2)
Tale Story of Love

Pernahkah kamu mengalami ingin melakukan sesuatu, tapi kamu tidak boleh untuk melakukannya? Atau, ingin menunjukkan sesuatu, tapi tetap tak boleh untuk menunjukkannya. Pernah?
Aku pernah, seperti saat ini yang kurasakan.
30 Agustus. Deretan penanda waktu yang menarik paksa pada bongkahan kisah masa lalu. Benar-benar hanya masa lalu. Dan, jujur… aku bosan menyuarakannya. Diayang tak perlu diingatsemestinya sedang menyanyikan lagu selamat panjang umur di hari ini. Tepat di hari jadinya. Dan mungkin, bersama seseorang spesial di sampingnya. No matter what. Toh, hatiku sudah mulai belajar tahu diri untuk menempatkan rasa tertepat mungkin di tempat yang tepat.
Maybe, we meet people for a reason. Either they’re a blessing or a lesson. Mengajarkan segala macam pelajaran. Tentang ketegaran, tentang penguat hati, tentang kesedihan dan tentang nikmatnya syukur di balik sakit yang datang. Karenanya, berulang kali kutegaskan pada hatiku. Dilarang untuk membenci. Siapa pun itu, dan dengan dalih alasan apapun.
“Pengalaman itu guru terbaik,” ucapan Mbak Gina kala itu, tiba-tiba kembali terngiang di telingaku. “Bukan gitu, Dek?” tanya suara seberang, memastikan.
Aku mengangguk. Lalu bersuarasetelah menyadari tak mungkin Mbak Gina melihat anggukanku, “Iya, Mbak…,” sahutku pasrah. Sembari menarik napas di ujung ucapan itu. Kudekatkan kembali horn handphone. “Mbak Gina, pernah patah hati?”
Terdengar tawa ringan di seberang. “Setiap orang pasti pernah, Dek. Mengalami apa itu kesenangan, dan apa itu kesedihan. Termasuk patah hati di antaranya.”
Jeda sesaat. Aku membisu, menanti kelanjutan kisahnya.
“Pernah denger kata-kata gini, Dek? Kadang, waktulah yang bisa memberikan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang nggak bisa kita urai di realita ini. Waktu selalu menyiapkan obat untuk kita. Tinggal kitanya aja, mau menerimanya sebagai obat atau nggak. Atau malah membiarkan rasa luka itu tetap ada, tetap terbuka.”
Bijak sekali. Entah kenapa, dari dulu aku selalu menemukan ketenangan setiap menceritakan segala masalahku ke Mbak Gina. Sekalipun dia bukan saudara kandungku. Sekalipun dia berada di pulau seberang, Kalimantan sana. Tapi, mendengarkan suara lembutnya saja sudah terasa damai di hati. Seakan memiliki jawaban akan setiap pertanyaan hatiku. Dialah mentoring agama sekaligus motivator hidup terbaik di mataku.
Mungkin benar. Waktu hampir selalu memiliki jawaban akan segala kesedihan, ketakutan dan ketidakmungkinan yang justru mendorong seseorang untuk memilih berdiri mati di satu titik. Tak berani melangkahkan kaki maju ke depan, atau sebaliknya. Mundur begitu saja.
Tapi lihatlah! Saat kita memilih untuk memberanikan diri melakukan secuil saja perubahan, justru waktulah yang menguatkan. Memupuk kenyamanan. Tanpa kita sadari.
Aku tahu, saat ini aku harus mengulang deretan kata-kata Mbak Gina. Sekali lagi. Demi detik-detik yang harus terlewati.
“Selamat ulang tahun…. Alex. Semoga berbahagia selalu,” desisku pelan.  Kutengadahkan kepala, menatap sulur-sulur awan putih yang semakin padat bergumul. Menyingkap ketenangan nuansa birunya langit. Sungguh, menenangkan sekali.
Sekarang, rasanya aku sudah memiliki cukup alasan untuk melepaskannya. Dengan tanpa beban.
Life must goes on, right? And, I will try to live what I believe. To keep trying hide the pain.
* * *
Klunting..!’ Pemberitahuan pesan BBM masuk. Seperti biasa. 4n93L 41!2 W4VE.8-X.
Lagi opo? tanya Harris. Yah, aku sudah terbiasa menyebut namanya. Tanpa kecanggungan. Tanpa keraguan.
Aku percaya kalau dia nyata. Bukan diada-ada.
Mungkin sudah hukum alam. Dia yang pergi berganti dengan dia yang datang.
Lagi bales BBM,” jawabku asal.
BBM-an sama siapa?”
Sama orang Malang.
(0.0),” balasnya singkat.
Namanya Harris, kenal nggak? Kalo kenal, minta tolong bilangin, ya. Nggak boleh nakal, nggak boleh ganggu orang.
Siapa yang nakal? Ooh... jadi selama ini merasa terganggu ya sama aku.
Kadang. Tapi, banyak nggak-nya, seh. Malah seneng  =’),” godaku. Ada sebaris senyum saat menuliskan kata-kata itu. Senyum pembenaran, kurasa.
Jadi, sekarang sudah berubah, nich. Masih ada harapan, dong.”
Maksudnya?
Maksudnya... sebenernya kamu menganggap aku apa, sih? Kamu sayang nggak ma aku?
Eh? Aku menggaruk rambut yang tak terasa gatal. Refleks. Bingung harus menjawab bagaimana.
Emangnya kenapa?” tanyaku. Mencoba mengalihkan perhatiannya.
Yah, aku pengen tau. Perasaan kamu gimana?
Aku sendiri juga nggak tahu, sahut batinku gamang. Kadang ada senang, kadang sebal. Kadang penasaran dengan sosok Harris, tapi kadang juga tak mau peduli. Rasaku masih abstrak. Belum utuh berwujud, kurasa. Tapi, jujur.... jauh di lubuk hatiku ada suara lirih yang menyenandungkan rasa suka setiap kali pesan-pesan singkat darinya meluncur manis di ponselku. Sungguh. Tanpa kutahu, alasan pastinya apa.
Sebelumnya… aku memang males ngenal cowok. Kadang cowok itu suka datang dan pergi sesuka hati. Padahal ini hati, bukan warung kopi.
Hahaha….,” balasmu singkat. Ada emotion big-laugh di akhir kata balasan itu.
Kadang cowok itu bisa berubah tiba-tiba jadi jaelangkung juga. Datang nggak diundang, pulang nggak dianter. Tapi, mungkin kamu nggak seperti itu.” Aku mengulum senyum saat menuliskan deretan kata ini. Seperti tersadar ada suatu pengharapan baru yang ingin kusampaikan.
Sejak kapan sih, aku belajar jadi sok romantis gini? tanya batinku konyol.
Aku suka ma kamu... tapi baru sebagai teman. Belum berani untuk lebih. Masih ada sakit yang sama. Nggak pengen buru-buru, takut nanti kamu cuma jadi pelarianku aja. Nggak pengen bikin kamu kecewa. Aku yakin kamu orang baik, karena itu… kamu berhak dapet yang terbaek. Semoga….,” balasku lagi. Panjang kali lebar. Kali ini tegas, tanpa senyuman. Karena kurasa, inilah jawaban tertepat yang pantas untuk kusuarakan.
Aamiin. Terimakasih. Semoga yang terbaik itu adalah kamu.”
Senyumku terkulum. Lagi. “ =’)) “ balasku singkat dengan simbol emotion smile.
Makasih, ya, Honey…,”
Sama-sama, Bee… tawon. Honey = madu, cocoknya sama tawon, kan…” sahutku asal.
“Hihihi… ‘Xx’ Bee&Honey ‘Xy’. Gitu, ya?”
“Iyaaa… Ih, jadi gemes sama Bee. Jadi pengen narik-narik jenggotnya.” Damn it! Pemikiran macem apa ini. Koyol! maki hati kecilku.
Dan dia di seberang sana hanya menjawab, “Ha ha ha….”
Kujatuhkan handphone di samping tubuhku, begitu saja. Menelungkupkan tubuhku, lalu menyembunyikan wajah di bawah tumpukan bantal-bantal. Aduh, rasanya urat malu ini mulai  memutuskan diri berkali-kali. Menyadari kekonyolan bahasaku tadi. Apalagi membayangkan dia di sana sedang tertawa lebar. Malu. Bodoh… bodoh!
* * *
Mataku melirik arloji dengan gelisah. Pukul 19:27. Sudah lebih dari sekedar petang kurasa. Entah untuk petang yang keberapa kali. Dan, pesan BBM dari Bee belum juga meriuh di ponselku. Dia berubah. Akhir-akhir ini begitulah yang kurasa.
Bukan tanpa alasan aku menuduhnya. Jarang absen dan tidak seintens dulu.
“Cowok memang gitu. Semangatnya cuma di awal, waktu PDKT aja semuanya dimanis-manisin,” terang Lisha saat aku sharing tentang Bee tadi siang, waktu jam istirahat di kantor. “Sok perhatian, ngejer-ngejer, kayak pengen tahu banget semua hal tentang kita. Tapi ya gitu, manis cuma di awal. Kalo udah dapet, udah bosen, ditinggal seenaknya… macem Bee kamu, tuh,” tambahnya lagi, tidak ketinggalan cibiran di ujung pernyataannya.
Hati memang tempat ternyaman untuk terus dan terus disakitinya, yah. Mungkin.
Tapi kali ini… aku sungguh tidak tahu bagaimana harus bertahan di atas segala perasaan yang tengah berkecamuk tak karuan. Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak mungkin melakukan tindakan frontal layaknya pasangan yang berselisih umumnya. Datang melabrak, mencaci-maki, meluapkan segala amarah di hadapannya. Tidak mungkin.
Karena, dia terlalu abstrak untuk ditemukan.
Dan, jarak kian menambah perihnya. Berpihak padanya.
Aku terlalu bodoh untuk menyadari. Menerima perasaan dari orang yang belum pernah kutemui. Belum kutahu secara pasti rupa dan keberadaannya. Hanya foto, hanya suara, hanya kata-kata pesan, hanya begitu…. lalu luluh dan bersedia menggadaikan hati dengan begitu mudahnya.
Kebodohan yang terlambat disadari.
Penyesalan yang selalu berada di belakang.
Aku hanya berharap. Satu hal. Buatlah segalanya menjadi jelas. Hanya itu. Sekalipun kejelasan yang datang nantinya hanya menyisakan luka.
Tidak apa-apa. Benar tidak mengapa. Setidaknya aku masih memiliki deretan waktu yang akan selalu mampu meredamnya.
A row of time always have the antidote of all kinds of wounds.
Dan sekali lagi, berhati-hatilah. Karena hati memang tempat ternyaman untuk terus dan terus disakiti. [END**]

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone? Baby, it's all wrong
Where are the plans we made for two?

Yeah, I, I know it's hard to remember
The people we used to be...
It's even harder to picture,
That you're not here next to me.

You say it's too late to make it,
But is it too late to try?
And in our time that you wasted
All of our bridges burned down

I've wasted my nights,
You turned out the lights
Now I'm paralyzed.
Still stuck in that time
When we called it love
But even the sun sets in paradise

I'm at a payphone trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone? Baby, it's all wrong
Where are the plans we made for two?

If "Happy Ever After" did exist,
I would still be holding you like this
[Explicit:] All those fairy tales are full of shit
[Clean:] All those fairy tales are full of it.
[Explicit:] One more fucking love song, I'll be sick.
[Clean:] One more stupid love song, I'll be sick

Oh, you turned your back on tomorrow
'Cause you forgot yesterday.
I gave you my love to borrow,
But you just gave it away.

You can't expect me to be fine,
I don't expect you to care
I know I've said it before
But all of our bridges burned down.


**BACKSOUND: PAYPHONE (Maaron 5 feat. Wiz Khalifa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar