Sudah
lama sekali ingin nge-post tulisan ini. Tapi selalu terkendala waktu dan...
mood? Hah, selalu saja mencari kambing hitam dari suatu masalah yang sebenarnya
disebabkan karena diri sendiri. Yah, sebenernya karena kemalesan yang bersumber
dari sendiri aja. Sampai-sampai menyalahkan keadaan yang sebenarnya terjadi
secara natural... alami, tanpa bisa dicegah.
*Ups..
malah jadi ngomong panjang lebar nggak ada juntrungannya gini, ya. So, kembali
ke Laptop!!
Sebenarnya
apa yang akan kutulis di sini, sebuah kejadian nyata yang terjadi tanpa
disengaja. Sebuah kejadian yang sebenarnya jika diruntut, ada makna tersirat di
dalamnya. (*uaaahh... lebe abis!!)
Kisah
ini terjadi waktu kepulanganku yang terakhir kemarin ke rumah ortu. Waktu libur
Idul Adha. Yah, setelah hampir satu bulan-an nggak pulang ke rumah, tersedot
oleh rutinitas kerja yang terkadang melelahkan.. tapi memang harus dilaksanakan.
Karena, dunia kerja inilah duniaku. Dunia yang kupilih atas kemauanku sendiri.
Pilihan yang harus tetap pantas untuk dipertanggungjawabkan. Pilihan untuk masa
depan yang (mungkin) akan melambungkan impian dan citaku.. kelak. Pilihan yang
harus terus dibuktikan di hadapannya, Bapakku tercinta (ehmm..).
Saat
itu, tepat tanggal 12 Oktober, hari Sabtu. Sekitar jam 15.00 sore, baru deh si
kepala bus alias Pak Sopir bersedia mengeluarkan kendaraan besi persegi panjang
itu lepas landas dari terminal. Setelah pakai acara ngeteem segala pastinya.
Kebiasaan angkutan umum bangsa ini kan... selalu menanti penumpang penuh (duhh L). Kebetulan hari itu bertepatan
juga dengan perayaan Ultah Kota Bojonegoro yang mengadakan agenda karnaval
tahunan tingkat sekolah menengah dan umum. Kebayang kan gimana crowded-nya??
Sebenarnya jalur bus yang kunaiki tidak melalui jalur kota yang menjadi rute
karnaval itu. Tapi, tetep aja macet. Gimana nggak, secara warga Bojonegoro serempak pada keluar semua,
menuhin jalan dengan berbagai cara...
dari yang jalan kaki sampai yang naik kendaraan beroda. Full crowded!!
So, terpaksa-lah kita para penumpang bus yang malang ini harus sabar berbagi
jalan dengan pemakai-pemakai jalan lainnya. Pelan dan merambat.
Tapi,
memang seperti ini, sih. Setiap kali aku naik bus, pasti nggak bisa datang
sampai rumah tepat waktu sesuai perkiraan gitu. Pasti banyak molornya di jalan.
Bener-bener nggak bisa diprediksi kan. Yang biasanya naek bus dari Bojonegoro
ke Ngawi makan waktu dua jam, trus dari Ngawi ke rumah ortu (*teett.. sensor*)
butuh waktu satu jam... hari itu parah total kerugian waktunya, dah. Jam
lima-an baru nyampe Padangan, baru setengah perjalanan. Kondisi jalan yang
ramai karena menjelang liburan, trus banyak penumpang yang memang sama-sama
satu visi denganku... hasrat ingin #mudik, ditambah kondisi si bus yang
kayaknya agak nggak fit gimana gitu. Lelet banget rasanya. Mau tidur juga nggak
nyaman. Jadinya, buat ngilangin boring.. iseng-iseng jepret landscape sepanjang
jalan yang kulewati (bukan jalan kenangan lohh..!!). Nggak peduli amat sama pandangan beberapa
mata yang mungkin merasa aku kok *gitu banget ya.. Kaya’ orang yang nggak
pernah lihat jalan aja (what??). Secara, memang sering banget dikit-dikit
klik.. dikit-dikit cekrek, gitu. Nggak percaya? Nih liat aja hasil jepretanku.
Agak burem emang, soalnya posisinya kan bergerak. Maksudnya, aku yang bergerak
karena bus yang kunaiki bergerak juga. Wajar dah kalau kurang fokus.
*Bengawan Solo.. tenang dan menghanyutkan (help..help!!)*
*Bukit Tak Bernama (???)*
*Senja Malu-malu Menyapa (^.^)*
*Akhirnya... Noda Keemasan Mulai Bertahta, Lembayung*
*Ada yang Nggak Sopan Nampang ::Sedot WC:: (-_-)*
Begitu
sampai perempatan Padangan, bus ini nggak biasa-biasanya nggak ngeteem lama.
Terang aja, karena begitu bus berhenti... segerombolan penumpang pada berebut
buat naik. Lagi-lagi penuh dan sesak. (*Uaaahh.. help help! Napasku satu-satu)
Dan hal baiknya, setidaknya aku sudah dapat tempat duduk lah. Jadi, nggak perlu
ikut berdesak-desakkan seperti mereka yang baru datang. Tapi sebenarnya bukan
masalah penuh-sesak ini yang mau kubahas. Melainkan ada seseorang.. eeh, ralat,
dua orang yang berhasil menculik perhatianku. Memaksaku untuk menegakkan
telinga, mencuri dengar setiap kata yang keluar dari mulut keduanya. Dua orang
asing yang tak kukenal. Keduanya tepat berdiri di samping tempat dudukku.
Berhadap-hadapan dan berdiskusi dengan hebat.
Mereka
itu... yang satu, bapak guru dan yang satunya lagi, seorang gadis penyiar
radio. Dari percakapan mereka, aku menyimpulkan.. bapak guru itu kalau dia
tidak mengajar bahasa indonesia, ya mengajar kesenian. Karena masalah yang
mereka bahas seputar keduanya, tepatnya tentang karya sastra. Tapi bukan
tulisan yang menjadi topik utamanya, melainkan seni teater. Wah, aku paling
nggak tau blass sama dunia sastra satu ne. Lagian, awal mula aku tertarik buat
nguping cerita mereka bukan karena tertarik dengan pembahasan teaternya sih..
tapi karena mendengar nama si anu (*teeet.. sensor), seorang pimrednya koran keluaran
lokal Bojonegoro – yang nggak sengaja dulu pernah ngobrol nyastra sebentar plus
pake banget (*tapi berkesan, haha J).
Bapak
guru itu menceritakan lika-liku perjuangannya merintis dunia teater di
Bojonegoro. Mengenalkan kepada masyarakat awam yang notabene masih ‘nol putul’
pengetahuannya tentang dunia teater. Mencoba menumbuhkan minat berteater,
hingga pengkaderan anak-anak muda untuk lebih mencintai dunia teater. Langka
dan mahal adanya. Bapak guru itu selalu saja mendapat peran menjadi pendeklamasi
puisi. Membacakan karya-karya puisi yang ditulisnya, termasuk dengan gaya stensil
kuno yang mungkin hanya orang-orang terdahulu yang tau bagaimana menikmati tiap
detik proses penciptaannya. Dan, hampir tidak pernah tidak kutemui semangat
nasionalisme yang terbakar sempurna di tiap deretan kata-katanya. Semangat
mengkritik pemerintahan, semangat kekecewaan terhadap pemimpin, hingga semangat
membasmi “bangsa Indonesia yang berubah menjadi bangsat Indonesia”. Karena,
tema-tema kritik sosial seperti itulah yang kerap sekali ditampilkan dalam tiap
pertunjungan teater sang bapak guru bersama teman-temannya.
Sementara,
si gadis penyiar radio (yang mengaku mengenal dekat mas ‘anu’) menceritakan
kecintaannya terhadap dunia sastra melalui karya-karya tulisannya. Malahan si
gadis sering sekali mengirimkan karya tulisnya pada sebuah tabloid lokal
Bojonegoro AA (*cukup inisial.. demi keamanan bersama, kya..kyaaa) yang
kebetulan dirintis bersama mas ‘anu’ dkk. Si gadis penyiar radio yang suka
bercerita, suka mendengarkan cerita, dan suka menuliskan cerita. Termasuk
ketertarikannya dalam dunia teater, yang (sepertinya) baru saja dipelajari.
Karena, si gadis mengaku pernah menyaksikan beberapa pementasan teater di
Bojonegoro dimana kebetulan si bapak guru ikut serta sebagai lelakon di
pementasan itu pula.
Aku
memang tak bisa mendefinisikan secara pasti dan runtut apa-apa saja yang telah
dibicarakan oleh keduanya. Tapi, yang pasti, aku sempat merekam deretan
kata-kata si bapak guru yang kembali berhasil menyedot setengah kotak memoriku.
Kata-kata yang terendap di pikiranku dan tak ingin segera terlupakan begitu
saja.
Bapak
guru itu berkata, “Seni teater itu seni yang paling jujur sejujurnya orang. Di
teater, kita bisa meminta peran apa saja sesuai keinginan kita. Kita bisa minta
jalan cerita yang kita mau. Kita bisa menciptakan akhir yang kita impikan, atau
mau merubahnya tiba-tiba juga bisa. Tapi itu hanya di teater, panggung
sejujurnya panggung. Beda dengan kenyataan di sekitar kita yang sekarang sudah
berubah menjadi panggung sandiwara. Kita tidak bisa melakukan apa yang kita
inginkan, ada norma, ada peraturan yang mengatur. Saat kita melakukan kesalahan,
kita menjadi malu untuk jujur menunjukkannya di muka penonton dunia nyata. Terpaksa
kita menyembunyikannya, berbohong, memakai topeng orang baik... peran yang
memang diidam-idamkan penonton di dunia nyata. Tapi, begitu kita turun dari
panggung dunia nyata, kita berubah menjadi diri kita sendiri. Berubah menjadi sosok-sosok
munafik yang pintar menyembunyikan kesalahannya di atas segala perbuatan
manisnya. Karena itu, Bapak lebih mencintai panggung dunia teater.. daripada
panggung dunia nyata.”
Sementara
si gadis penyiar radio itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan semakin
intensif. Seakan membenarkan rangkaian kata-kata yang didengar dari si bapak
guru.
Sementara
aku... aku hanya mengulum senyum. Karena, memang seperti itu ‘kan keadaan
bangsa ini. Bangsa yang berubah menjadi bangsat negara. Dan, mayoritas selalu
menjangkiti mereka-mereka yang telah tergiur akan hegemoni kedudukan dan
jabatan. (*tiba-tiba... jadi kangen sama kamu, Soe L)
Sayang
sekali... pembicaraan keduanya terhenti. Karena, waktu bus melewati jalur
pegunungan kapur dengan jurang di kanan-kiri jalan, bersama deretan tikungan-tikungan
tajam, yang membuat laju bus menjadi berbelok kanan dan berbelok kiri.. si
gadis penyiar radio mendadak merasa mual. Mabuk darat. Kasihan sekali, melihat
si gadis itu berdiri dengan pogah. Berbekal kantong kresek hitam di tangannya, aku
tidak tega melihatnya. Sementara tempat duduk lainnya sudah penuh penumpang.
Kebetulan karena tempat gadis itu berdiri dekat dengan tempat dudukku, ya
sudah.. jadilah aku memilih untuk berdiri aja. Dan, memberikan tempat dudukku
pada gadis penyiar radio itu. Bukan karena sok mau dianggap baek hati lohh..
tapi, karena menjaga aja. Takut nggak sengaja kena tumpahan isi mabok-annya aja,
soalnya posisi jalan bus yang memang oleng ke kanan-kiri trus. Heheee... *Peace,
ya, mba penyiar J
Dan,
ternyata.. kisahku nggak cuma sampai di mereka saja. Tidak sampai di
pembicaraan si bapak guru dan si gadis penyiar radio saja. Karena, setelah
beberapa detik berlalu, setelah tuntas melewati jalanan yang oleng-oleng itu...
tiba-tiba si bus merajuk. Berhenti di tengah jalan. Mogok. Iya, nggak mau
jalan. Bah, klop sudaaaah...!! Mana perut keroncongan belum kemasukan makanan apa-apa
dari pagi, kelopak mata kaya’ ditempeli beban satu ton yang bawaannya bikin
merem-melek, kaki yang mulai kerasa linu cenat-cenut, ketambahan angin malem yang
bikin nggak kalah brrrr. Perfecto!!
Terpaksa
nunggu lamaaaa banget. Nunggu busnya dibenerin. Eeeh.. malah ternyata busnya
nggak bisa dibenerin. Mesinnya jebol, gegara kebanyakan beban. Salah sendiri,
sapa suruh bawa penumpang satu kota diangkut sekaligus tadi?! :-p
Dan
terpaksa, nunggu lebih lamaaaa lagi. Nunggu bus carteran yang mau ngangkut
penumpang-penumpang terlantar ini datang. Pas lagi nunggu diambang kesabaran,
tiba-tiba HP-ku meraung-raung. Maksa banget minta diangkat. Ternyata, dari si
Mbak Ngawi yang sudah kena sindrom kebakaran jenggot akut. Cemas karena aku-nya
nggak dateng-dateng. Heheee... emang sengaja nggak ngasih kabar kalau macet.
Karena nanti, pasti jadinya kepikiran.
Alhasil,
dapet semprotan bertubi-tubi (*ampuuun, resiko jadi anak kecil ndiri ya gini L). Dimarahin karena pulang
kemaleman, dimarahin juga karena nggak cerita klo busnya mogok. Karena si Mbak
Ngawi dah nggak sabaran banget.. jadi deh si Mas Ngawi ikut-ikutan berperan.
Dia nyusulin aku sampai ke tempat TKP permogokan bus itu terjadi. Idih, repot
banget.
Terus,
giliran bus carterannya dateng.. si Mas Ngawi belum dateng-dateng. Giliran
semua penumpang pada naek bus, cuma aku doang yang masih manyun di pinggir
jalan. Menanti jemputan tak kunjung datang... malang nian. Nggak mungkin juga
kan kalau aku ikutan naek bus carteran itu. Semacam nggak menghargai perjuangan
si Mas Ngawi yang sudah ribet-ribet super duper gitu. Jadi, cuma tetap menanti
solusi terbaiknya.
Halah..
bener-bener jadwal mudik yang memabokkan. L L L
Dan,
sekaligus mengesankan. J
J J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar