Senin, 25 November 2013

Curhatan Seorang Guru dari Sekolah Seberang Bengawan Solo



Tanggal 25 Desember ini bertepatan dengan perayaan Hari Guru Nasional. Hari yang sengaja diadakan sebagai penghormatan kepada kaum guru, pendidik, maupun pengajar dari berbagai jenjang, jenis, dan nama penyebutan yang berbeda.
Mungkin, aku termasuk di dalamnya... Guru Jadi-jadian J. Yah, karena kadang aku berubah menjadi guru, kadang jadi staf admin, kadang jadi tukang tagih-tagih, kadang juga jadi tukang sapu. Tapi, semua itu benar-benar terasa nikmat kalau kita mempunyai cara untuk menikmatinya, bukan? Dan, aku menikmatinya. Sangat! J

Aku mencintai dunia pendidikan, walau selama ini aku tak semata-mata menjadi pengajarnya saja. Bagiku, melalui dunia pendidikan yang kurintis ini, semangat anak-anak muda penggerak Indonesia dapat kian meningkat. Karena, mereka, anak-anak didikku punya segudang tugas yang harus dijalankan untuk membangun negara ini, untuk memberikan sesuatu yang lebih buat bangsa ini. Termasuk, anak-anak didik di sekolah maupun berbagai lembaga pendidikan lainnya.
Aku seringkali menceritakan pada mereka tentang perubahan Indonesia, dari jaman dulu (semenjak era Soekarno) hingga jaman sekarang. Hal-hal yang membuat bangsa ini terasa cheos di berbagai sisi. Kerusakan yang semestinya tak perlu untuk terjadi, jika kecintaan terhadap bangsa ini pun telah lama tertanam dalam diri.

Dua hari dalam sepekan, aku mengajar di sekolah baru yang berbasis pondok pesantren di seberang aliran Bengawan Solo yang melintasi Kabupaten Bojonegoro ini. Sekolah ini bukan sekolah ‘wah’. Dan, sangat jauh jika dibandingkan dengan Pondok Putra Gontor di Ponorogo maupun Pondok Putri Gontor di Mantingan, Ngawi sana. Terlebih lagi jika melihat perbedaan infrastruktur yang ada.
Sekolahku ini berdiri dengan dana swadaya dan sumbangan dari donatur yang peduli akan perkembangan dunia pendidikan. Bisa dikatakan, kami membangun sekolah ini dengan asal comot sana comot sini. Kadang kala, ada sumbangan yang melimpah. Tapi, kadang kala juga tidak ada sumbangan apa-apa. Benar-benar perjuangan. Termasuk honor guru mengajar pun masih dalam kategori ‘perjuangan’. Rasanya, lebih baik menggunakan istilah itu.

Sebenarnya, awal mula aku menerima tawaran mengajar di sana, itu karena aku ingin merasakan aura dunia pendidikan yang sesungguhnya. Merasakan menjadi seseorang yang setiap hari dipanggil ‘bu guru’ oleh raut wajah lucu dan polos itu. Hanya sesederhana itu saja. Tapi ternyata, dunia pendidikan Indonesia sudah sedemikian buram. Banyak kerusakan di sana sini yang harus ditambal-sulam, dan hasrat sesederhana itu saja tidak perlu.
Aku tahu, guru pun manusia normal. Sama seperti makhluk lainnya, memiliki keinginan untuk terus meningkatkan taraf hidupnya. Kemapan materiil dengan memanfaatkan deretan fasilitas keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah saat ini. Mulai dari pengadaan tunjangan fungsional guru per bulan hingga pengajuan dana sertifikasi, semua itu sengaja diberikan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup guru. Sebenarnya, aku tidak masalah jika sebagian besar guru berusah untuk mengejar berbagai fasilitas istimewa itu. Boleh-boleh saja. Karena, itu hak mereka. Tapi, akan menjadi masalah jika mereka menuntut hak itu, dan tanpa diimbangi dengan pemenuhan kewajiban yang seimbang. Jarang masuk mengajar, tugas terbengkalai, dan anak-anak pun menjadi terlantar. Itu yang salah!! L

Yah, semoga... ke depannya nanti, guru-guru di sekolah ini bisa lebih mengerti, untuk apa mereka ada di sana. Bukan untuk menambah daftar ke-chaos-an bangsa ini. Bukan untuk menambah daftar waktu yang mubazir terbuang tanpa dimanfaatkan oleh hal-hal yang berguna. Dan, semoga semangat perjuangan mereka dapat lebih terjaga.



Hari Sabtu kemarin, aku baru saja memberikan semacam burning effect di kelas VIII. Kelas yang bagi sebagian guru seringkali membuat mereka bergeleng-geleng kepala. Bukan karena heran bangga, tapi sebaliknya. Yah, anak kelas VIII memang sedikit atraktif. Aktifnya tingkat dewa. Mayoritas virus ini hampir menjakiti anak satu kelas, hanya segelintir orang saja yang kebal dari virus itu.
Aku sendiri, dulu sempat menitikkan air mata di hadapan mereka. Karena, aku tak tahu harus marah dengan jalan seperti apa untuk menyadarkan kelakukan mereka yang kurang pantas. Tapi, toh, semenjak kejadian itu, mereka menjadi sedikit lebih sungkan saat aku mengajar. Yah, hanya sedikit. Tapi ramainya, tetap. Wajar sajalah... karena mereka anak-anak. Setidaknya setiap aku memberikan pengarahan atau bahan yang perlu dicatat, mereka bersedia melakukannya. Tidak seperti dulu yang selalu memberontak.

Sekolahku ini memang bukan sekolah elit, dan baru berumur jagung. Jumlah murid dalam satu kelas pun tidak banyak. Hanya berkisah 10-15 orang saja. Sekolah baru yang belum memiliki nama dan masih memupuk kepercayaan dari masyarakat awan atas kredibilitas kerjanya. Karenanya, jika aku memaksakan kuliatas input anak-anak yang sama dengan sekolah negeri atau sekolah swasta favorit di luaran sana, jelas saja tidak mungkin. Salah. Setiap anak itu datang dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sosok-sosok unik yang perlu dikembangkan tanpa melupakan konsep keunikan yang mereka punya, tidak peduli unik secara positif maupun negatif. Termasuk anak kelas VIII yang memiliki sindrome keunikan khas itu. Unik, karena bisa memutuskan urat kesabaran guru-guru. Membuat guru-guru harus mengelus dada setiap mengatasinya, dan ribuan pemakluman atas segala sikap yang mereka lakukan. Yah, karena seperti itu yang aku upayakan untuk bisa menghadapi mereka. Setidaknya, mengajar dengan tanpa beban. Just it!

Aku tahu, anak-anak di kelas VIII punya segudang impian. Impian besar yang nantinya pasti bisa mengubah bagsa ini. Impian besar yang akan dimulai oleh masing-masing pribadi mereka sendiri. Impian besar yang akan terwujud jika mereka sadar sepenuhnya peran dasar mereka bagi bangsa ini.
Mungkin, saat ini mereka belum bernilai apa-apa bagi bangsa. Tapi, lihatlah 10 tahun ke depan. Bagaimana perubahan yang telah tercipta dari tangan-tangan mereka yang tak lagi mungil. Bukankah sebiji intan yang berkulitas membutuhkan penempaan selama betahun-tahun? Bukankah sebatang oak besar bisa tumbuh kuat dalam waktu berpuluh-puluh tahun? Dan, seperti itulah mereka kelak.

Aku seringkali menularkan kekuatan dari bermimipi. Mimpi kecil yang akan menjadi nyata jika kita tetap berani memimpikannya. Berani bermimipi kembali saat kegagalan menghampiri. Berani membangun mimpi itu kembali saat penolakan terjadi. Berani melalui dengan hal-hal yang tidak mengenakkan untuk menciptakan mimpi itu dalam dunia realitas. Karena, mimpi selamanya akan menjadi mimpi jika tidak diimbangi dengan usaha yang berarti. Sama halnya seperti aku dan impian-impianku.
Dan, salah satu impianku adalah mewujudkan impian mereka. Mengingatkan mereka untuk terus bermimpi, bahkan di saat mereka telah terjaga. Diantaranya, memimpikan perubahan besar pada bangsa ini. Kebaikan dalam pengelolaan SDM dan SDA, kualitas produksi barang-barang yang tetap terjaga, menjaga kekayaan alam dari penggerogotan mesin-mesin asing. Yang setiap hari seakan semakin liar dan membabibuta. Kita harus peduli, dan anak-anakku haru peduli itu. Harus tahu itu. Karena dimulai detik ini, mereka tahu bahwa tugas mereka lebih dari sekedar datang, duduk, dan mendengarkan penjelasan guru. Lebih dari itu. Dan, semoga mereka siap menghadapi segala perubahan di depan sana. Hingga masa depan bangsa ini telah terjaga dalam gengamannya.

Hanya ini yang bisa kupercayakan untuk bekal mereka. Ilmu dan semangat perjuang. Karena bangsa ini tetap pantas untuk dicintai.
“Anak-anakku... kalian mendapat salam dari Indonesia. Berjuanglah!!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar