Tanggal 25
Desember ini bertepatan dengan perayaan Hari Guru Nasional. Hari yang sengaja
diadakan sebagai penghormatan kepada kaum guru, pendidik, maupun pengajar dari
berbagai jenjang, jenis, dan nama penyebutan yang berbeda.
Mungkin, aku
termasuk di dalamnya... Guru Jadi-jadian J. Yah, karena kadang aku berubah menjadi
guru, kadang jadi staf admin, kadang jadi tukang tagih-tagih, kadang juga jadi
tukang sapu. Tapi, semua itu benar-benar terasa nikmat kalau kita mempunyai
cara untuk menikmatinya, bukan? Dan, aku menikmatinya. Sangat! J
Aku mencintai
dunia pendidikan, walau selama ini aku tak semata-mata menjadi pengajarnya
saja. Bagiku, melalui dunia pendidikan yang kurintis ini, semangat anak-anak
muda penggerak Indonesia dapat kian meningkat. Karena, mereka, anak-anak
didikku punya segudang tugas yang harus dijalankan untuk membangun negara ini,
untuk memberikan sesuatu yang lebih buat bangsa ini. Termasuk, anak-anak didik
di sekolah maupun berbagai lembaga pendidikan lainnya.
Aku seringkali
menceritakan pada mereka tentang perubahan Indonesia, dari jaman dulu (semenjak
era Soekarno) hingga jaman sekarang. Hal-hal yang membuat bangsa ini terasa cheos di berbagai sisi. Kerusakan yang
semestinya tak perlu untuk terjadi, jika kecintaan terhadap bangsa ini pun
telah lama tertanam dalam diri.
Dua hari dalam
sepekan, aku mengajar di sekolah baru yang berbasis pondok pesantren di
seberang aliran Bengawan Solo yang melintasi Kabupaten Bojonegoro ini. Sekolah
ini bukan sekolah ‘wah’. Dan, sangat jauh jika dibandingkan dengan Pondok Putra
Gontor di Ponorogo maupun Pondok Putri Gontor di Mantingan, Ngawi sana.
Terlebih lagi jika melihat perbedaan infrastruktur yang ada.
Sekolahku ini
berdiri dengan dana swadaya dan sumbangan dari donatur yang peduli akan
perkembangan dunia pendidikan. Bisa dikatakan, kami membangun sekolah ini
dengan asal comot sana comot sini. Kadang kala, ada sumbangan yang melimpah.
Tapi, kadang kala juga tidak ada sumbangan apa-apa. Benar-benar perjuangan. Termasuk
honor guru mengajar pun masih dalam kategori ‘perjuangan’. Rasanya, lebih baik
menggunakan istilah itu.
Sebenarnya, awal
mula aku menerima tawaran mengajar di sana, itu karena aku ingin merasakan aura
dunia pendidikan yang sesungguhnya. Merasakan menjadi seseorang yang setiap
hari dipanggil ‘bu guru’ oleh raut wajah lucu dan polos itu. Hanya sesederhana
itu saja. Tapi ternyata, dunia pendidikan Indonesia sudah sedemikian buram.
Banyak kerusakan di sana sini yang harus ditambal-sulam, dan hasrat sesederhana
itu saja tidak perlu.
Aku tahu, guru
pun manusia normal. Sama seperti makhluk lainnya, memiliki keinginan untuk
terus meningkatkan taraf hidupnya. Kemapan materiil dengan memanfaatkan deretan
fasilitas keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah saat ini. Mulai dari
pengadaan tunjangan fungsional guru per bulan hingga pengajuan dana
sertifikasi, semua itu sengaja diberikan pemerintah untuk meningkatkan taraf
hidup guru. Sebenarnya, aku tidak masalah jika sebagian besar guru berusah
untuk mengejar berbagai fasilitas istimewa itu. Boleh-boleh saja. Karena, itu
hak mereka. Tapi, akan menjadi masalah jika mereka menuntut hak itu, dan tanpa
diimbangi dengan pemenuhan kewajiban yang seimbang. Jarang masuk mengajar,
tugas terbengkalai, dan anak-anak pun menjadi terlantar. Itu yang salah!! L
Yah, semoga...
ke depannya nanti, guru-guru di sekolah ini bisa lebih mengerti, untuk apa mereka
ada di sana. Bukan untuk menambah daftar ke-chaos-an
bangsa ini. Bukan untuk menambah daftar waktu yang mubazir terbuang tanpa
dimanfaatkan oleh hal-hal yang berguna. Dan, semoga semangat perjuangan mereka
dapat lebih terjaga.
Hari Sabtu
kemarin, aku baru saja memberikan semacam burning
effect di kelas VIII. Kelas yang bagi sebagian guru seringkali membuat
mereka bergeleng-geleng kepala. Bukan karena heran bangga, tapi sebaliknya.
Yah, anak kelas VIII memang sedikit atraktif. Aktifnya tingkat dewa. Mayoritas virus
ini hampir menjakiti anak satu kelas, hanya segelintir orang saja yang kebal
dari virus itu.
Aku sendiri, dulu
sempat menitikkan air mata di hadapan mereka. Karena, aku tak tahu harus marah dengan
jalan seperti apa untuk menyadarkan kelakukan mereka yang kurang pantas. Tapi,
toh, semenjak kejadian itu, mereka menjadi sedikit lebih sungkan saat aku
mengajar. Yah, hanya sedikit. Tapi ramainya, tetap. Wajar sajalah... karena
mereka anak-anak. Setidaknya setiap aku memberikan pengarahan atau bahan yang
perlu dicatat, mereka bersedia melakukannya. Tidak seperti dulu yang selalu
memberontak.
Sekolahku ini
memang bukan sekolah elit, dan baru berumur jagung. Jumlah murid dalam satu
kelas pun tidak banyak. Hanya berkisah 10-15 orang saja. Sekolah baru yang
belum memiliki nama dan masih memupuk kepercayaan dari masyarakat awan atas
kredibilitas kerjanya. Karenanya, jika aku memaksakan kuliatas input anak-anak
yang sama dengan sekolah negeri atau sekolah swasta favorit di luaran sana,
jelas saja tidak mungkin. Salah. Setiap anak itu datang dengan kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Sosok-sosok unik yang perlu dikembangkan tanpa
melupakan konsep keunikan yang mereka punya, tidak peduli unik secara positif
maupun negatif. Termasuk anak kelas VIII yang memiliki sindrome keunikan khas
itu. Unik, karena bisa memutuskan urat kesabaran guru-guru. Membuat guru-guru
harus mengelus dada setiap mengatasinya, dan ribuan pemakluman atas segala
sikap yang mereka lakukan. Yah, karena seperti itu yang aku upayakan untuk bisa
menghadapi mereka. Setidaknya, mengajar dengan tanpa beban. Just it!
Aku tahu,
anak-anak di kelas VIII punya segudang impian. Impian besar yang nantinya pasti
bisa mengubah bagsa ini. Impian besar yang akan dimulai oleh masing-masing
pribadi mereka sendiri. Impian besar yang akan terwujud jika mereka sadar
sepenuhnya peran dasar mereka bagi bangsa ini.
Mungkin, saat
ini mereka belum bernilai apa-apa bagi bangsa. Tapi, lihatlah 10 tahun ke
depan. Bagaimana perubahan yang telah tercipta dari tangan-tangan mereka yang tak
lagi mungil. Bukankah sebiji intan yang berkulitas membutuhkan penempaan selama
betahun-tahun? Bukankah sebatang oak besar bisa tumbuh kuat dalam waktu
berpuluh-puluh tahun? Dan, seperti itulah mereka kelak.
Aku seringkali
menularkan kekuatan dari bermimipi. Mimpi kecil yang akan menjadi nyata jika
kita tetap berani memimpikannya. Berani bermimipi kembali saat kegagalan
menghampiri. Berani membangun mimpi itu kembali saat penolakan terjadi. Berani
melalui dengan hal-hal yang tidak mengenakkan untuk menciptakan mimpi itu dalam
dunia realitas. Karena, mimpi selamanya akan menjadi mimpi jika tidak diimbangi
dengan usaha yang berarti. Sama halnya seperti aku dan impian-impianku.
Dan, salah satu
impianku adalah mewujudkan impian mereka. Mengingatkan mereka untuk terus
bermimpi, bahkan di saat mereka telah terjaga. Diantaranya, memimpikan
perubahan besar pada bangsa ini. Kebaikan dalam pengelolaan SDM dan SDA,
kualitas produksi barang-barang yang tetap terjaga, menjaga kekayaan alam dari
penggerogotan mesin-mesin asing. Yang setiap hari seakan semakin liar dan membabibuta.
Kita harus peduli, dan anak-anakku haru peduli itu. Harus tahu itu. Karena
dimulai detik ini, mereka tahu bahwa tugas mereka lebih dari sekedar datang,
duduk, dan mendengarkan penjelasan guru. Lebih dari itu. Dan, semoga mereka
siap menghadapi segala perubahan di depan sana. Hingga masa depan bangsa ini
telah terjaga dalam gengamannya.
Hanya ini yang
bisa kupercayakan untuk bekal mereka. Ilmu dan semangat perjuang. Karena bangsa
ini tetap pantas untuk dicintai.
“Anak-anakku...
kalian mendapat salam dari Indonesia. Berjuanglah!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar