Senin, 23 September 2013

Reborn: Catatan Sampah... Permisi!!


Selamat Datang! Selamat menikmati kumpulan kata-kata yang akan kubuang pada halaman ini. Kata yang bagi sebagian orang terkesan sangat tak berarti apa-apa. Mungkin begitu pula bagiku. Tapi, mungkin tidak seperti itu juga bagiku.
Entahlah, aku tak tahu pasti ungkapan apa yang terpantas untuk dilontarkan sebagai awal pertemuan ini. Pertemuan dengan tumpukan sampah di sini. (HA HA HA...)
Tapi, semua ini kugoreskan hanya demi menjemput segaris kelegaan. Saat dimana kegagalan kerap sekali menghampiriku. Atau, saat dimana ada secuil kebanggaan yang sudi menyapaku. Atau, saat dimana sekeranjang semangat yang semula terletup sempurna dipaksa harus hangus tak bersisa.
Karena... hanya dengan menggoreskan kata demi kata, aku bisa kembali menemukan bagaimana kaki ini harus kembali melangkah. Bagaimana semangat ini pantas untuk tetap tersulut. Bagaimana hati ini kembali dibesarkan bersama asa yang kembali terkembang.
Karenanya, inilah tempat tumpahan segala kisahku. Segalanya hanya mampu dirangkum dalam deretan kata-kata sederhana. Tapi tetap bermakna, bagiku.
Sebagai awal perkenalan... aku ingin menyuguhkan suatu karya lama. Karya mentah yang telah berulang kali ditolak mentah pula. Walau tersaji dengan berbagai versi berbeda. (T_T)
Dan, anehnya... aku tetap menyukai karya ini. Bagiku, karya ini selalu mengingatkanku akan keberdaan sosok-sosok penting yang pernah datang sekejap dalam hidupku. Hingga, mereka yang kuciptakan dalam karya ini pun benar-benar menghilang. Tak berbekas. Hanya melalui karya ini, aku bisa mengenang mereka. Tapi, apakah aku bisa dikenang pula oleh mereka?
Hanya sebuah tanya, sementara jawaban itu terasa sukar untuk teraba.^^


**LANGIT TAK PERNAH BERDUSTA**

Tidak ada bekal huruf hidup dan mati yang tersimpan rapi dalam sakuku, demi merangkainya menjadi kata cinta. Sama sekali tak ada.
Karena bagiku, segalanya tak akan berarti. Tepat di saat ini, saat dimana segaris bayangan itu kembali datang. Menuntun alam pikiranku pada sebentuk kenangan, ketika pekat malam kian merambat di puncak Gunung Lawu.
“Impian itu seperti bintang, Mas. Lahir dari hal tertinggi yang terkadang tak mampu diraih,” ucapku perlahan seraya menengadahkan kepala. Sementara Mas Langit di sampingku kian asyik bermain dengan teropong kecilnya.
“Tapi kalau akhirnya impian itu tak mampu kuraih, setidaknya aku masih bisa merasakan kilau cahayanya... seperti saat ini.”
“Kenapa?”
“Apa?” aku balik bertanya, tak tahu ke arah mana pertanyaan itu.
“Impian itu, kenapa hanya harus seperti bintang? Kenapa tidak seperti gunung ini? Tinggi dan menantang untuk ditaklukkan.”
Entahlah. Mungkin karena bintang selalu ada di atas sana,” balasku, tetap menatap ke angkasa pekat. “Tempat tertinggi dan sulit diraih.”
“Terkecuali aku…” ucap Mas Langit menggantung. Dia menghentikan aktivitas meneropongnya dan berbalik menatapku. “Aku juga bisa jadi bintangmu. Walau tidak tinggi, sekaligus mudah diraih.”
Mulutku menganga, terkejut tepatnya. Tak biasanya kakak kelasku yang satu ini sudi berbicara dengan gaya sok romantis, seperti saat sekarang.
“Mas Langit… salah minum obat ya?”
Dia terdiam. Rahangnya tampak mengeras. Mungkin tersinggung dengan pertanyaanku.
Satu detik. Dua detik.
Namun, tiga detik kemudian tawanya pecah. Dan kubiarkan malam kala itu terlewati ditemani dengan alunan nada sumbang dalam derai tawanya.
Aku tidak tahu, apakah itu sebentuk kenangan buruk atau baik bagiku. Karena walaupun kenangan itu tak mampu kulupakan, tapi setiap kali mengingatnya seperti ada sudut hatiku yang tersayat perih.
Sebuah suara seketika menghentikan pengembaraan alam pikiranku.
“Ga, awas..! Tangkap!”
BRUKK!! Percuma suara peringatan itu berkumandang. Karena ransel jumbo itu telah berhasil membuat wajahku memanas. Panas terkena hantamannya, panas emosi dengan ketidaksopanan pelakunya.
“Opik, nggak sopan!” teriakku.
“Salah sendiri, tadi sudah dikasih peringatan nggak didengar,” balas Opik cuek. “Makanya pagi-pagi jangan bengong.”  
Mulutku mengerucut mendengarnya. Makhluk satu ini memang paling antik di sekolah, selalu bangga dengan tindakannya yang terkesan arogan, cuek dan seenaknya sendiri. Sayangnya, hanya aku satu-satunya orang terbodoh yang bersedia menerima kesialan abadi dengan menjadi teman satu bangkunya.
Ini buku tugasmu. Terima kasih ya, tukas Opik.
“Sekali-kali Opik itu harus ikut belajar bareng sama aku. Jadi nggak perlu repot salin tugas seperti ini.”
“Kedengarannya ini seperti permintaan kencan?”
Keningku kian berkerut mendengar jawaban itu. Selalu tak pernah serius.
“Eh, besok minggu jadi ikut nggak?” tanya Opik kemudian.
“Rutenya ke mana?”
“Gunung Gede, Pangrango. Kata anak-anak sih gitu.”
“Bolehlah,” jawabku singkat. Beginilah kami, memiliki kesamaan yang menyatukan. Sama-sama tergabung dalam komunitas pecinta alam pelajar, sama-sama mengagumi keangkuhan gunung. Kesamaan yang mengingatku akan sosok Mas Langit, seseorang yang kuanggap lebih dari sekedar kakak. Dan aku tidak suka mengakuinya.
Dimana Mas Langit, hingga kini aku tak tahu. Dia menghilang begitu saja. Kabar terakhir yang kudengar, dia melanjutkan kuliah ke luar kota. Entahlah, aku pun merasa tak perlu untuk tahu. Karena bagiku, segalanya berhak untuk berubah. Tepatnya, semenjak ada nama lain yang berhasil menyeret separuh lebih atmosfer tempatku dan Mas Langit bernafas. Dialah Rena, kekasih barunya.
“Bengong lagi!” tebak Opik. “Mikir apa sih? Langit jenggotan itu?”
Mataku melotot, protes mendengar sebutan itu. “Sok tau!”
Opik hanya tersenyum. Dia mengacungkan dua jari, telunjuk dan tengah, peace. Aku tersenyum juga akhirnya. Mungkin segalanya akan baik-baik saja, dengan kebersamaan ini maka segala ketakutan di masa mendatang akan mampu terlewati. Masa muda yang penuh perjuangan.
* * *
Aku yakin, segala sesuatu pasti akan terjatuh pada tempat semestinya. Menuju tempat terlayak yang memang sengaja tercipta. Seperti matahari, jatuh tenggelam jika senja tiba. Seperti buah, jatuh dari tangkainya jika telah masak. Juga seperti hatiku yang benar-benar jatuh hati dengan segala aura kebekuan di Gunung Gede ini.
“Kakimu kenapa?” tanya Opik sambil menunjuk ke arah kaki kiriku. Mungkin dia menyadari langkahku menjadi sedikit timpang.
“Terkilir waktu cari air tadi,” sahutku pelan. “Sudah diobati kok.”
“Tidak sakit?”
“Ya... masih sakit, sedikit.”
Opik tidak berkomentar. Dia berdiri sejenak, melepas tas ransel ukuran jumbo yang semula sudah bertengger manis pada punggungnya. Lalu duduk berjongkok, memunggungiku.
“Apa?” tanyaku tak mengerti.
Opik menoleh dan menepuk punggungnya sendiri. “Ayo naik, biar kugendong! Kamu pasti kesusahan kalau jalan ke atas sana dengan kaki seperti itu,” terangnya sambil menggerakkan kepalanya sedikit ke arah puncak gunung saat mengucapkan kata ‘atas sana’.
“Aku masih kuat, Pik. Asal sering dipakai jalan-jalan, nanti juga sakitnya hilang sendiri.”
“Kamu kira naik gunung sama dengan jalan-jalan di mall!” balas Opik dengan nada meninggi. “Medannya beda. Di sini lebih berat.”
“Ya... aku tahu. Tapi nanti aku jalannya pelan-pelan saja kok.”
“Ayo, cepatlah! Nanti kita ketinggalan rombongan!”
Aku masih ragu, “Nggak ah! Malu dilihat orang, nggak enak.”
“Biarin. Peduli amat!” kata Opik. Marah dan memaksa.
“Pokoknya malu!” balasku sambil berkacak pinggang. Tak kalah marah.
Perdebatan itu sukses menarik perhatian beribu pasang mata, menatap kami dengan tatapan curiga dan penuh tanda tanya. Tapi, aku tak peduli. Hingga sebuah suara menghentikan ketidakpedulianku.
“Mega.”
Aku menoleh ke arah suara itu. Dan, sesuatu yang tak kupercayai terjadi.
“Rena,” ucapku, berbalas memanggil sosok itu.
“Kamu... kamu ikut mendaki juga? Wah, kebetulan sekali.” Aku masih membisu, tak tahu harus berekspresi seperti apa. “Apa kabar?” tanyanya lagi.
“Baik,” jawabku singkat. “Maaf, kita duluan ya. Sudah ketinggalan rombongan.”
Aku pun menyeret tangan Opik. Berlalu begitu saja, tanpa menunggu jawaban persetujuan dari keduanya.
“Siapa, Ga?” tanya Opik curiga.
“Bukan siapa-siapa.”
“Tapi ngomong-ngomong, jalanmu seksi juga ya.”
Aku mendelik, galak. Karena aku tahu, itu bukan kata pujian. Aku hanya ingin menjauhi Rena, atau segala hal yang berbau Mas Langit. Sesakit apapun kakiku, lebih baik kulawan. Daripada melawan kecamuk tak jelas di hati ini.
Mas Langit, apa dia ada di sini juga? Bersama Rena?
* * *
Malam itu, seperti mengalami dejavu pada sebentuk kenangan dua tahun silam. Saat dimana Mas Langit masih sudi duduk di sampingku.  Menatap langit yang tampak ramah dari puncak gunung, dekat dan seakan tersentuh.
Tapi kali ini, Rena yang menggantikan posisi itu.
“Ada salam dari Langit,” katanya, membuka percakapan.
“Dia nggak ikut?” tanyaku lirih. Helaan nafas panjang pun terdengar di sampingku
“Aku ingin tahu, kenapa Mega selalu menghindar dari Langit? Dia benar-benar frustasi tidak bisa menemukanmu,” tanya Rena dengan nada serius.
Aku menekuk lutut kian dalam. Kulayangkan pandangan ke atas, tak berani menatap ke arah suara itu.
“Bintang-bintang itu, mereka berdiri berjauhan. Tapi tidak terkesan seperti sedang bermusuhan bukan?” ucapku balik bertanya.
“Tapi kau tidak hanya sekedar berdiri jauh, melainkan berlari meninggalkannya. Semua ini... apa ada hubungannya denganku?”
Deg! Bagaimana mungkin dia bisa membaca pikiranku.
“Kalau diam, berarti benar,” tambahnya lagi. “Mega, tidak perlu malu dengan rasa itu. Tidak ada yang salah. Semua orang berhak untuk mencintai. Tapi maaf, Langit tidak bisa menerimanya.”
“Aku tahu,” ucapku pasrah. “Karena itu, aku tahu diri untuk tidak mengganggu kalian.”
“Bukan begitu, Ga. Kamu salah. Langit tidak bisa menerimamu karena keadaannya,” Rena menghela nafas lagi. “Dia sudah meninggal.”
“Maksudnya... Mas Langit?”
“Iya, satu tahun yang lalu. Thalasemia mayor.”
Sunyi sejenak. Kata-kata itu membangkitkan ingatan yang membuatku merinding.
“Dia tak pernah membiarkan siapa pun untuk tahu penyakit itu. Tidak ingin orang lain tahu terlalu dalam tentang keadaannya, termasuk perasaannya. Karena dia, tidak mencintaiku. Tidak pernah. Bahkan di saat-saat terakhirnya, bukan namaku yang disebut. Selalu Mega, dan hanya Mega.”
Air mataku sudah menggenang. Aku menangis, dan aku tak suka menangis. Tapi tidak untuk kali ini.
“Maafkan aku,” perlahan hanya suara itu yang keluar dari bibir basahku. Entah kutujukan untuk siapa.
Rena menarik tubuhku. Merengkuh ke dalam pelukannya, kemudian berdesis lembut, “Setiap orang pernah berbuat kesalahan. Karenanya, setiap orang berhak untuk dimaafkan. Termasuk Langit... dia orang baik.”
Air mataku berontak, mulai berjatuhan. Jatuh deras, sederas-derasnya.
“Relakan dia, Ga. Biarkan dia tenang di atas sana, di langit untuk sesungguhnya Langit berada.” Aku pun mengangguk pelan.
Kenangan itu, akan kubiarkan dia berdiri di satu tempat. Sebagai penguatan yang tak perlu dilupakan. Tapi tak perlu pula diingat-ingat. Karena, ternyata Langit tak pernah berdusta. Selalu ada dengan ribuan kilau cahayanya.



Mungkin suatu saat nanti
Kau temukan bahagia meski tak bersamaku
Bila nanti kau tak kembali...
Kenanglah aku sepanjang hidupmu!
                                  (NAFF – Kenanglah Aku)
               
                                                                              
By. Andari Hersoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar