Jumat, 27 September 2013

You Can Bring Your Dream, If You Want!



I m p i a n.
Setiap orang yang bernafas semestinya pantas memiliki impian. Mimpi sebagai sosok lain yang ingin diciptakan. Atau, mimpi mencapai posisi tertentu yang ingin dirasakan. Atau bahkan, mimpi menggapai materiil tertentu yang ingin digenggam.
Mimpi itu ibarat Yin dan Yang. Selalu ada sisi gelap dan terang. Ibarat dua mata uang, dimana kegagalan pun tak pernah jengah untuk selalu mengikutinya. Dan aku... terlalu sering menghadapi keduanya secara bersamaan. Saat dimana aku akan berusaha untuk menegakkan mimpi yang kucipta dalam balutan kata-kata penyemangat, namun di saat bersamaan pula aku dipaksa untuk lebih tegar menyadari bahwa “kenyataan tak selamanya indah”.

D r e a m.
Walau kerap kali merasakan sakitnya saat tertimpa reruntuhan dari sebuah tembok impian, tapi rasanya tetap tak pantas untuk berlama-lama terdiam dan berduka. Impian itu ada karena kita berani memimpikannya. Impian itu dapat terlahir jika kita pun berani memperjuangkannya. Dan, sudah sepantasnya impian itulah yang akan menjadi muara tujuan untuk semakin mantap setiap kali akan melangkahkan kaki kerdil ini.
Jadi, sesering apapun kalian merasakan kegagalan demi kegalalan... maka sesering itulah kalian harus mengupayakan untuk kembali tegar. Memaksa untuk lebih bersabar. Walaupun berat, hanya itu jalan bagi kita. Demi menggapai pencapaian akhir yang selalu kita damba-dambakan, Teman.
Kenapa? Karena kita semua tetap pantas untuk menjaga mimpi itu menjadi nyata. Akhirnya, kelak..

Tak ada yang tak pantas untuk tetap bermimipi! Sekecil apapun makhluk itu di dunia, dia tetap pantas untuk menyumbang nada-nada impiannya.
Lihatlah, bagaimana para semut bisa berhasil menemukan sebutir gula setiap harinya!
Pelajarilah, bagaimana semangat burung-burung pipit yang tak pernah bosan melawan teriak penolakan bapak petani di sawahnya!
Rasakan semua kegagalan sebagai buah kenikmatan. Karena, tak semua orang bisa benar-benar menikmati bulir kegagalannya.
Jika tangis itu pecah, biarkanlah jatuh. Jika hati ini tertusuk, terimalah rasa sakitnya. Jika napas ini terdesak, rasakan sesaknya. Tak apa-apa. Biarkan saja, jika semua itu perlu.
Tapi, jangan berlama-lama larut dalam kesedihanmu, Teman! Segera bangkit..!!
Mari bersama-sama kita terbitkan nada perjuangan baru. Bukan semata-mata demi kita. Melainkan, demi mereka...
Demi orang-orang yang kita sayangi. Juga, demi negeri tercinta ini.

Dan inilah, secarik percakapan sederhana yang seharusnya bisa memotivasi kita semua... termasuk aku *angkat jari telunjuk <(^^)/”

_oOo_


Malam itu, Yaya Yuiki seperti kehilangan sekantung bekal penyemangatnya. Seharusnya, Yaya senang saat dia terpilih menjadi pemeran utama di pertunjukan balet ‘The Swan Lake’ akhir pekan ini. Tapi, justru tidak. Dia merasa dirinya tak pantas. Tak pantas menjadi pengganti Maika Himekawa. Hime yang kuat, tangguh, lincah, dan meletakkan harapan tingginya dengan bergabung pada klub balet internasional ini. Sangat berbeda dengan keadaan Yaya, penari pemula yang hanya bermodal coba-coba belaka.

Yaya tahu, selama ini Hime telah berlatih mati-matian. Demi menjemput impiannya menjadi pemeran utama itu. Tapi, cidera menghalanginya. Cedera yang tak diinginkan dan tak terhindari. Dan, Yaya semakin merasa tak pantas untuk menggantikannya. Seolah telah merebut impian sehebat itu dari hadapan Hime. Dengan begitu saja. Tanpa usaha.

“Ternyata... impian itu mudah hancur dan sulit diraih, desis Yaya, lirih. Langkahnya diseret paksa menaiki anak-anak tangga, menuju atap gedung tempatnya berlatih balet. Sempoyongan. Benar-benar tak bersemangat. Tapi, dia berharap di atas sana semangatnya dapat kembali. Seperti biasa.

Mungkin... aku bisa melihat langit berbintang itu lagi.

Yaya menghentikan langkahnya. Mendadak, saat dia melihat sosok bayangan lain ada di atas balkon itu. Pria tanpa nama. Berwajah mirip dengan Tadase, teman semasa kecil Yaya.

“Kamu ada di sini juga?” tanya pria itu. Sekedar memastikan saja pastinya. Yaya hanya menggangguk pelan. Bahkan untuk tersenyum pun Yaya lupa.

Dan, pria itu menyadari perubahan yang ada. Dia pun bersuara, “Kamu kenapa?”

“Kamu sendiri, kenapa ada di sini?” tanya balik Yaya, mencoba mengalihkan pertanyaan pria di hadapannya itu.

“Tempat ini misterius,” ucap pria itu. Dia menengadahkan kepala, menatap ke angkasa. Sekawanan bintang masih bercanda mesra di atas sana, saling memamerkan kilau cahaya tubuhnya. “Kalau lagi bingung soal akhir novel, aku pasti ke sini. Menatap bintang dari sini. Dengan begitu, aku bisa dapat ide bagus.”

“Novel? Rupanya kamu seorang penulis, ya?”

“Penulis pemula yang masih belum laris. Masih telur penulis,” sahut pria itu, sambil tersenyum hangat. “Aku punya impian, suatu saat nanti bisa jadi penulis terkenal.”

“Eh, memangnya orang dewasa masih punya impian?” tanya Yaya heran.

“Tentu saja.”

Impian.. ternyata impian itu selalu ada di mana-mana. Dan, semakin miris hati Yaya menyadarinya.

“Nah.. sekarang kamu sedang bingung soal apa?” tanya pria itu. Mengulangi nada tanya yang sama.


Yaya menghela napas pelan. “Ada orang dewasa yang bilang... hanya sedikit orang yang bisa meraih impiannya. Menggelikan, kan? Impian nggak bisa diraih oleh orang yang nggak punya segalanya dan sempurna... Jadi, mungkin nggak ada artinya kalau kita ingin ‘jadi sesuatu’ dan kita telah berusaha keras untuk itu.”

Pria itu menggangkat jari telunjuknya, seolah ingin menunjukkan sesuatu. “Biar kuberi tahu rahasia membuat cerita,” sahut pria itu, masih dengan senyum hangatnya. “Cinderella, putri salju, dan putri tidur... pada awalnya mereka bertiga berjumlah lengkap. Di awal cerita, pemeran utamanya pasti memiliki kekurangan. Cerita ‘hidup berbahagia bersama pangeran’ ada di halaman terakhir, kan?”



Pria itu terdiam sejenak. Membiarkan Yaya meresapi kata-katanya. “Kalau dari awal Sang Putri punya segalanya, maka nggak akan ada cerita. Anak yang memiliki kekurangan, siapa pun dia, pasti bisa jadi tokoh utama cerita,” ucap pria itu. Dia pun berdiri, dan kembali bersuara, “Jemput impianmu! Sesempurna apapun yang kau inginkan.”

Yaya membisu. Kata-kata pria itu seperti telah berhasil melahirkan lubang baru di hatinya. Bukan untuk menyakitinya, tapi untuk melahirkan kelegaan. Dan juga, pertanyaan demi meyakinkan hatinya.

Tokoh utama cerita... apa aku juga bisa?







#Source: From Nakayosi Magz – Untitle Comic


_oOo_

Jadi, temukan jawaban itu dalam hati kalian masing-masing, Teman! Karena kita pantas berdiri tegak bersama impian kita. *Ganbatte kudasai^^


By. Andari Hersoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar