Senin, 22 Oktober 2018

KETIKA ALIBI TAK LAGI BERARTI


Tiara terbangun paksa dari mimpinya. Napasnya tersengal, satu-satu. Mimpi apa itu tadi? gumamnya tanpa henti.
Mimpi ini sudah berulang kali terjadi. Semenjak... semenjak apa ya? Tiara mencoba mengingat-ingat kali pertama mimpi itu datang. Tiba-tiba matanya melirik tajam ke arah ponsel hitam yang masih membatu di pinggiran kasurnya.
Apa semenjak ada ponsel itu? tanya batinnya penasaran.
***
“Hoamm.” Tiara menguap, kesekian kalinya. Mimpi aneh semalam benar-benar menguras jam tidurnya. Padahal hari ini awal dimulainya kelas untuk tahun ajaran baru. Tapi, rasa kantuk ini membuat matanya tak bisa terbuka sempurna.
Semua ini karena ponsel baru sialan itu. Sehabis mimpi buruk semalam. Tiara benar-benar tidak bisa memejamkan matanya kembali. Bahkan kini, suara Ibu Else yang menjelaskan skema Teori Evolusi Darwin di depan kelas serasa dongeng pengantar tidur. Berulang kali kepala Tiara hampir terjatuh, kemudian dipaksa tegak kembali. Terjaga lagi. Hingga suara bel istirahat yang meraung-raung menjadi penyelamatnya.
“Kamu kenapa? Aneh gitu?” Sebuah suara memaksa Tiara menegakkan tubuhnya yang hampir roboh di atas meja.
“Aneh apanya?” sahut Tiara ogah-ogahan, balas bertanya.
“Kamu habis ngapain, sih?”
“Apaan, sih? Aku ini nggak ngapa-ngapain. Cuma ngantuk,” balas Tiara galak, merasa kenyamanannya terusik.
“Bukan begitu maksudku. Ada sesuatu sama kamu.”
“Sesuatu apa? Sok tau.”
Alto mengela napas berat. Memang cewek itu makhluk paling ribet, susah dihadapi, batinnya.
“Aku mau jelasin sesuatu. Tapi... kamu janji, jangan kaget ya!”
Tiara mengernyitkan dahinya. Permintaan yang aneh. Tapi, toh dia mengangguk juga. Sedikit penasaran, bela batinnya.
“Kamu diikuti bangsa Astral sekarang,” ucap Alto tegas.
“Astral? Merek onderdil motor?” tanya Tiara. Cuek.
Pletak!! Alto menjitak pelan kepala cewek di hadapannya itu. “Beda tahu. Astral itu bangsa... Halah, paling juga kamu nggak percaya.”
“Bangsa apa?” tanya Tiara penasaran. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak.
“Begini saja... terserah sih kamu mau percaya atau nggak. Tapi, ada sosok makhluk gelap yang besar, tinggi, mukanya rata. Dan, makhluk ini... ada di sampingmu sekarang!” ucap Alto, sambil memberi penakan intonasi saat mengucapkan kata ‘di sampingmu’.
Tiara membisu. Melotot. Terkejut mendengarnya.
“Makanya, tadi aku tanya... kamu habis ngapain?”
“Kamu... kok, bisa... ngeliatnya?” terbata-bata Tiara menyelesaikan kalimat tanyanya. Ketakutan. Bahkan sekedar melirik ke kanan-kiri pun tak berani.
“Bawaan dari lahir kali. Sudah biasa,” sahut Alto santai.
“Terus, aku harus gimana, Al?”
“Kamu percaya?”
“Kayaknya makhluk yang kamu maksud itu sama dengan makhluk yang sering datang ke mimpi aku,” terang Tiara, lemas.
“Ooh.. jadi dia menyerangmu lewat mimpi. Pantas, cuma ngikutin doang.”
Refleks Tiara mengangguk-anggukan kepalanya. Padahal hatinya makin keruh dengan tanda tanya.
“Kira-kira, kenapa dia mengikutimu, ya?” tanya Alto penasaran.
“Kenapa nggak kamu sendiri aja yang tanya? Kan kamu bisa liat dia juga.”
“Nggak bisa. Soalnya, kamu yang punya perantara itu.”
“Perantara apa?”
“Sesuatu. Aku sendiri juga nggak tahu apa itu. Yang jelas, sesuatu itu yang menghubungkanmu dengan dia,” jawab Alto. Dia pun tampak berpikir keras.  
“Mungkin aku tahu, Al. Sesuatu itu... mungkin berasal dari sini.” Perlahan Tiara mengangsurkan ponsel hitam hasil temuannya minggu lalu itu.
Alto tak membalas. Dia terdiam, hanya mengamati ponsel itu sejenak, lalu bertanya, “Kenapa kamu ngerasa sesuatu itu berasal dari ponsel ini?”
“Seinget aku, semenjak punya ponsel ini aku selalu mimpi buruk melulu.”
“Alibi kamu sesederhana itu tapi kenapa pemikiranmu jauh nyambungnya, ya?”
“Eh, maksud kamu?” Tiara balik bertanya.
“Iya, kamu tahu, sadar, punya alasan kuat kalau ponsel ini sumber perubahan kamu. Tapi kenapa kamu justru acuh, nggak bertindak apa-apa.”
“Ya, karena aku punya alasan.”
“Alasan?”
“Iya, alasan. Alibi lain yang membuat aku jadi sayang buat melepas ponsel ini.”
“Kenapa?”
“Karena aku butuh, Al. Jujur, sayang banget. Aku butuh ponsel supaya bisa mudah berkomunikasi dengan teman-temannya. Masa iya di saat dunia sekelilingku dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk meraba-raba layar ponselnya, tapi aku… cuma bisa meraba udara kosong.”
Alto menghela napas mendengarkan penjelasan sahabat baiknya. Sekaligu sosok wanita yang diam-diam dikagumi.
“Terus, kalau ponsel itu dikembalikan... jadinya gimana? Aku harus berkomunikasi pakai apa? Karena aku butuh, makanya aku bertahan, Al.”
Lagi-lagi Alto tetap membisu, tidak menganggapi penjelasan Tiara. Dia pun kemudian meraih ponsel di hadapannya dengan sangat hati-hati. Namun, saat tangan itu bersentuhan, tubuh Alto gemetar. Berguncangan hebat. Layaknya bertemu sumber energi listrik bertegangan tinggi. Telapak tangannya terasa terbakar, panas. Seperti ada titik api yang mengalir melalui celah nadi dan darahnya.
Pekik Tiara tertahan. Wajah cowok berseragam abu-abu di hadapannya kini tampak memucat biru. Ada apa? Kenapa? Kata tanya itu bergantian menghampiri benaknya.
Kletak!! Ponsel itu pun terjatuh di atas meja. Telepas dari genggaman Alto. Gumpalan darah segar tampak mengalir keluar dari lubang hidungnya.
“Al, kamu mimisan.” Buru-buru Tiara mencari tissue dari dalam tas dan mengusapkannya di atas bibir Alto. Menahan laju darah kental itu.“Kenapa?”
“Kamu harus mengembalikan ponsel itu kalau mau selamat. Di mana kamu menemukannya?”
“Aku... Eh, kamu kok bisa tau kalau aku nemu ponsel ini? Perasaan aku belum cerita apa-apa.”
“Di mana kamu menemukannya?” tanya Alto mengulangi pertanyaannya.
“Di jalan, mau ke taman belakang sekolah kita.”
“Nanti siang sepulang sekolah kita kembalikan ponsel itu ke tempat semula. Harus segera dikembalikan!” putus Alto, tanpa menunggu persetujuan Tiara.
“Tapi Al….”
“Nggak bisa, Ra. Aku nggak mau mendengar alibi apapun darimu. Must it! Kecuali kalau kamu mau nyawamu terancam someday,” tegas Alto.
“Sebenarnya ada apa, sih, dengan ponsel ini, Al?”
“Kamu yakin mau mendengarkan alasannya? Nggak takut?”
“Ya takut, sih. Tapi kan penasaran, Al,” bela Tiara sambil memasang senyum termanisnya.
“Ra, nggak semua masalah di dunia ini bisa disampaikan dengan bebas ke permukaan umum. Begitu juga, nggak semua tindakan dilakukan harus karena ada alasan. Seperti halnya, aku menyayangimu selama ini. Tanpa alasan, tanpa alibi, tanpa karena.”
Mata Tiara terbelalak. Kenapa topik pembicaraannya jadi berubah?
Alto menyentuh jemari Tiara, tiba-tiba. Lalu menangkupkannya di balik kedua telapak tangan. “Aku sayang sama kamu, Ra. Karena itu, aku nggak mau kamu sampai kenapa-kenapa. Atau… kalau kamu memaksa penasaran, biar nanti malam penghuni asli ponsel ini menjelaskan alibinya langsung ke kamu. Siap-siap saja, kurang lebih penampakannya sama dengan sosok yang sering datang berkunjung ke mimpimu.”
“Alto nakutin, iiih….” Reflek Tiara melepaskan genggaman tangan Alto.
“Jujur ini, Ra. Sudah, deh, tahu alasan dari makhluk itu pun nggak akan menyelesaikan masalahmu. Dia akan tetep mengikutimu selama  ponsel ini ada sama kamu, Ra."
 Tiara hanya terdiam. Mencoba mencerna penjelasan Alto. “Ra, lain kali... hati-hati sama barang yang ketemu di jalan. Kalau itu bukan punya kamu, jangan diambil, ya. Bahaya,” tambah Alto lagi. "Cukup ambil hatiku saja. Selalu siap untukmu, kok." Kali ini ada senyum yang menghiasi wajahnya. "Nanti kuantar mengembalikan ponsel ini, ya. Sekalian, kutunggu jawabanmu dari pengakuanku tadi."
Suara bel masuk telah bergema. Memaksa mereka untuk menghentikan perbincangan itu. Tiara pun hanya menjawab permintaan Alto dengan anggukan pelan. Pasrah. Entah anggukan untuk permintaan yang mana. Dia tak peduli. Karena alibi kini sudah tak berarti lagi. [END_#OWOP]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar