Senin, 15 Oktober 2018

JENDELA: PEMBATAS MENUJU MASA DEPAN


 
souce: wallhere.com

Tak mau berhenti. Aku benar-benar tak bisa mengabaikannya. Selayaknya anak kecil yang menemukan permainan baru. Menarik. Menantang. Dan ingin terulang, tanpa keraguan. 
Srekk.. srekk!!
"Hei, lihat orang itu!"
"Hei... kau gila, ya?"
Suara bernada-nada protes itu masih saja berdengung di telingaku. Tapi, tak ada yang perlu kuperdulikan. Biarkan saja, toh mereka tidak akan pernah mengerti. Karena, inilah kehendakku.
Srekk.. srekk!!
Masih dengan gerakan yang sama. Perlahan tapi pasti, kugoreskan mata belati pada tiap sudut jendela kayu yang catnya mulai mengelupas. Aku hanya ingin membuat jendela ini sedikit berlubang. Menciptakan secuil celah di badannya, membiarkan kilau cahaya Mentari yang menyapa ruang pengap ini. Entah sudah pagi keberapa ruangan ini masih bertahan dalam kepengapan. Suram. Tanpa cahaya. Terhalang oleh jendela kayu yang tak berkaca. 
Aku tahu pekerjaan ini akan memakan waktu lama. Dan, akan ada banyak orang di lantai bawah sana yang mulai menyadari keberadaanku. Karenanya, wajar suara bernada protes serupa semakin mengudara. Tapi ini perlu, sungguh. 
Lihatlah! Jauh di sudut ruangan sana, ribuan wajah anak balita mulai memucat. Mereka butuh kilau Mentari, sumber vitamin untuk tumbuh dan membesar. Para pekerja pun mulai mengeluh. Mereka rindu sinar Mentari, berperang dengan terik dan menikmati peluh yang jatuh satu per satu. Begitulah kiranya penghargaan dari sebuah kerja keras. Dan, lihatlah... semakin dalam basah yang tergenang tanpa ada harapan bantuan untuk cepat mengering. Basah yang bisa berubah menjadi banjir sewaktu-waktu.
Karena itu, aku ada di sini. Sepagian tadi. Berdiri di atas tangga penyangga, menghadap jendela teratas yang menempel erat di langit-langit ruangan. Menyentuh lalu melubanginya. Sampai detik ini.
Kuintip sedikit celah di tepi sudut jendela yang telah lahir tercipta. Kupicingkan mata kananku, agar fokus bayangan itu dapat tertangkap. Ya, ada segurat senyum di luar sana. Senyum Mentari yang menyapa hangat. Aku tidak salah lihat, kan? Dia benar-benar tersenyum, Mentari itu, kepadaku.
“Buatlah lubang yang lebih besar, Kawan!” Tiba-tiba Mentari itu pun bersuara. “Kalau hanya sekecil itu lubangmu, sinar tubuhku tidak bisa menyebar ke tiap sudut ruangan,” tambahnya lagi.
“Tapi... bisa kau lihat, orang-orang di bawah sana. Mereka membuat gerakku tak bebas,” sahutku.
“Mereka tidak menahanmu, mereka hanya meneriakimu. Kau tetap bisa bebas bergerak!”
“Tapi, waktuku tak banyak. Kakiku rasanya hampir keram berdiri di tangga ini. Bagaimana?” tanyaku gusar.
Kulihat Mentari itu justru tersenyum. Bukan senyum, tapi tertawa sinis. Mengejekku.
“Beginilah. Banyak orang berimpian besar. Tapi tidak banyak orang yang mau benar-benar memperjuangkan impiannya itu menjadi benar-benar besar.”
Aku tergugu. Kata-kata yang membuatku membisu.
“Terserah kau, Kawan! Tapi... jika memang kau ingin menjadi orang besar, kau juga harus berani melawan hambatan besar. Berani belajar mengatasi masalah besar. Bukan terdiam, menyerah, dan merasa cukup begitu saja,” tambah Mentari lagi.
“Apa aku bisa?” tanyaku mencari dukungan. Seolah tak yakin dengan apa yang kupunya.
Tapi Mentari tak menjawab. Dia hanya memamerkan kembali senyuman sinisnya.
“Apa aku bisa?” tanyaku kesal, mengulang kata tanya yang sama.
Mentari itu balik bertanya, “Masih ingat kisah seekor sapi yang iri pada burung layang-layang?” 
“Kisah apa itu?”
“Dengarkan ini! Biar lagu ‘Donna-donna’ ini yang akan berbagi kisahnya padamu,” sahut Mentari, menumbuhkan rasa ingin tahuku.
***
On a weagon bound the market
There’s a calf with a mournful eye
High above him there’s a swallow
Winging swiftly through the sky

How the winds are laughing
They laugh with all they might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summers night

Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don
Donna Donna Donna Donna
Donna Donna Donna Don

“Stop complaining!” Said the farmer
Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free?

Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why
But whoever treasures freedom
Like the swallow has learned to fly
***
“Jadi?” tanyaku menggantung. Tetap tak tahu kemana arah pembicaraan ini. Apa kaitannya dengan lagu itu?
“Jadi, stop complaining! Berhentilah mengeluh. Jika kau ingin seperti burung layang-layang yang bebas, kenapa harus suka menjadi seekor sapi. Kenapa tidak kau cari sayap itu?”
“Aku? Aku sendiri yang harus mencari?” sahutku balik bertanya.
“Iya. Karena kau yang punya mimpi itu. Karena... siapapun yang menginginkan kebebasan, seperti burung layang-layang, mereka harus mau belajar terbang!”
Sudut bibirku menarik garis lengkung. Kata-kata itu, ternyata tidak menyudutkanku. Tetapi justru menguatkanku.
‘Who told you a calf to be?’ ...
‘Siapa yang menentukan kamu 'tuk jadi anak sapi?’
Kupikir, tidak ada yang menentukan kita ini siapa, kita akan menjadi apa. Hidup bukan sebuah ketentuan. Melainkan hidup ini sebuah pencarian, perubahan, menuju ke arah yang jauh lebih baik tentunya. 
Walau kenyataan hidup tak selamanya terasa berpihak pada setiap pinta yang kita gariskan, tapi bukan berarti usaha untuk mencapai impian itu terhenti begitu saja.
Karena, hidup ini bukan cuma sekedar menjalani apa yang ditentukan. Hidup ini juga butuh keputusan, butuh pilihan, dan mau jadi orang yang seperti apakah kita kelak?
“Baiklah.. akan kubuat lubang yang lebih besar lagi, amat besar lagi. Supaya kilau tubuhmu benar-benar menerangi ruangan ini, Mentari,” janjiku akhirnya, dengan mantap dan penuh kepercayaan.
Mentari hanya tersenyum. Tapi kali ini, tidak ada nada ejekan yang terasa dari garis senyumnya. Senyum penyemangat untuk pagi hari penuh semangat ini. Terima kasih!!
***
“Calves are easily bound and slaughtered. Never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom. Like the swallow has learned to fly. (Quotes: SoeHokGie)" 
Kita tidak boleh menerima nasib buruk. Kemudian, menganggapnya sebagai jalan hidup yang telah ditentukan bagi kita. Pasrah, bahkan menerimanya sebagai sebuah kutukan. Dan, masa depan kita tetap pantas berdiri.
Karena... kalau kita ingin hidup bebas, kita harus belajar terbang.
Bukan begitu, Kawan?
Selamat berjuang membuka jendela hidup kalian, Kawan… pembatas menuju masa depan!

#OneWeekOnePost(OWOP)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar