souce: wallhere.com
Tak mau
berhenti. Aku benar-benar tak bisa mengabaikannya. Selayaknya anak kecil yang
menemukan permainan baru. Menarik. Menantang. Dan ingin terulang, tanpa
keraguan.
Srekk..
srekk!!
"Hei,
lihat orang itu!"
"Hei...
kau gila, ya?"
Suara
bernada-nada protes itu masih saja berdengung di telingaku. Tapi, tak ada yang
perlu kuperdulikan. Biarkan saja, toh mereka tidak akan pernah mengerti.
Karena, inilah kehendakku.
Srekk..
srekk!!
Masih
dengan gerakan yang sama. Perlahan tapi pasti, kugoreskan mata belati pada tiap
sudut jendela kayu yang catnya mulai mengelupas. Aku hanya ingin membuat jendela
ini sedikit berlubang. Menciptakan secuil celah di badannya, membiarkan kilau
cahaya Mentari yang menyapa ruang pengap ini. Entah sudah pagi keberapa ruangan
ini masih bertahan dalam kepengapan. Suram. Tanpa cahaya. Terhalang oleh
jendela kayu yang tak berkaca.
Aku
tahu pekerjaan ini akan memakan waktu lama. Dan, akan ada banyak orang di lantai
bawah sana yang mulai menyadari keberadaanku. Karenanya, wajar suara bernada
protes serupa semakin mengudara. Tapi ini perlu, sungguh.
Lihatlah!
Jauh di sudut ruangan sana, ribuan wajah anak balita mulai memucat. Mereka
butuh kilau Mentari, sumber vitamin untuk tumbuh dan membesar. Para pekerja pun
mulai mengeluh. Mereka rindu sinar Mentari, berperang dengan terik dan
menikmati peluh yang jatuh satu per satu. Begitulah kiranya penghargaan dari
sebuah kerja keras. Dan, lihatlah... semakin dalam basah yang tergenang tanpa
ada harapan bantuan untuk cepat mengering. Basah yang bisa berubah menjadi
banjir sewaktu-waktu.
Karena
itu, aku ada di sini. Sepagian tadi. Berdiri di atas tangga penyangga, menghadap
jendela teratas yang menempel erat di langit-langit ruangan. Menyentuh lalu
melubanginya. Sampai detik ini.
Kuintip
sedikit celah di tepi sudut jendela yang telah lahir tercipta. Kupicingkan mata
kananku, agar fokus bayangan itu dapat tertangkap. Ya, ada segurat senyum di
luar sana. Senyum Mentari yang menyapa hangat. Aku tidak salah lihat, kan? Dia
benar-benar tersenyum, Mentari itu, kepadaku.
“Buatlah
lubang yang lebih besar, Kawan!” Tiba-tiba Mentari itu pun bersuara. “Kalau
hanya sekecil itu lubangmu, sinar tubuhku tidak bisa menyebar ke tiap sudut
ruangan,” tambahnya lagi.
“Tapi...
bisa kau lihat, orang-orang di bawah sana. Mereka membuat gerakku tak bebas,”
sahutku.
“Mereka
tidak menahanmu, mereka hanya meneriakimu. Kau tetap bisa bebas bergerak!”
“Tapi,
waktuku tak banyak. Kakiku rasanya hampir keram berdiri di tangga ini.
Bagaimana?” tanyaku gusar.
Kulihat
Mentari itu justru tersenyum. Bukan senyum, tapi tertawa sinis. Mengejekku.
“Beginilah.
Banyak orang berimpian besar. Tapi tidak banyak orang yang mau benar-benar
memperjuangkan impiannya itu menjadi benar-benar besar.”
Aku
tergugu. Kata-kata yang membuatku membisu.
“Terserah
kau, Kawan! Tapi... jika memang kau ingin menjadi orang besar, kau juga harus
berani melawan hambatan besar. Berani belajar mengatasi masalah besar. Bukan
terdiam, menyerah, dan merasa cukup begitu saja,” tambah Mentari lagi.
“Apa
aku bisa?” tanyaku mencari dukungan. Seolah tak yakin dengan apa yang kupunya.
Tapi
Mentari tak menjawab. Dia hanya memamerkan kembali senyuman sinisnya.
“Apa
aku bisa?” tanyaku kesal, mengulang kata tanya yang sama.
Mentari
itu balik bertanya, “Masih ingat kisah seekor sapi yang iri pada burung
layang-layang?”
“Kisah
apa itu?”
“Dengarkan
ini! Biar lagu ‘Donna-donna’ ini yang akan berbagi kisahnya padamu,” sahut
Mentari, menumbuhkan rasa ingin tahuku.
***
On a
weagon bound the market
There’s
a calf with a mournful eye
High
above him there’s a swallow
Winging
swiftly through the sky
How the
winds are laughing
They
laugh with all they might
Laugh
and laugh the whole day through
And
half the summers night
Donna
Donna Donna Donna
Donna
Donna Donna Don
Donna
Donna Donna Donna
Donna
Donna Donna Don
“Stop
complaining!” Said the farmer
Who
told you a calf to be?
Why
don’t you have wings to fly with
Like
the swallow so proud and free?
Calves
are easily bound and slaughtered
Never
knowing the reason why
But
whoever treasures freedom
Like
the swallow has learned to fly
***
“Jadi?”
tanyaku menggantung. Tetap tak tahu kemana arah pembicaraan ini. Apa kaitannya
dengan lagu itu?
“Jadi, stop
complaining! Berhentilah mengeluh. Jika kau ingin seperti burung
layang-layang yang bebas, kenapa harus suka menjadi seekor sapi. Kenapa tidak
kau cari sayap itu?”
“Aku?
Aku sendiri yang harus mencari?” sahutku balik bertanya.
“Iya.
Karena kau yang punya mimpi itu. Karena... siapapun yang menginginkan
kebebasan, seperti burung layang-layang, mereka harus mau belajar terbang!”
Sudut bibirku
menarik garis lengkung. Kata-kata itu, ternyata tidak menyudutkanku. Tetapi
justru menguatkanku.
‘Who
told you a calf to be?’ ...
‘Siapa
yang menentukan kamu 'tuk jadi anak sapi?’
Kupikir,
tidak ada yang menentukan kita ini siapa, kita akan menjadi apa. Hidup bukan
sebuah ketentuan. Melainkan hidup ini sebuah pencarian, perubahan, menuju ke
arah yang jauh lebih baik tentunya.
Walau
kenyataan hidup tak selamanya terasa berpihak pada setiap pinta yang kita
gariskan, tapi bukan berarti usaha untuk mencapai impian itu terhenti begitu
saja.
Karena,
hidup ini bukan cuma sekedar menjalani apa yang ditentukan. Hidup ini juga
butuh keputusan, butuh pilihan, dan mau jadi orang yang seperti apakah kita
kelak?
“Baiklah..
akan kubuat lubang yang lebih besar lagi, amat besar lagi. Supaya kilau tubuhmu
benar-benar menerangi ruangan ini, Mentari,” janjiku akhirnya, dengan mantap
dan penuh kepercayaan.
Mentari
hanya tersenyum. Tapi kali ini, tidak ada nada ejekan yang terasa dari garis
senyumnya. Senyum penyemangat untuk pagi hari penuh semangat ini. Terima
kasih!!
***
“Calves
are easily bound and slaughtered. Never knowing the reason why.
But
whoever treasures freedom. Like the swallow has learned to fly. (Quotes:
SoeHokGie)"
Kita
tidak boleh menerima nasib buruk. Kemudian, menganggapnya sebagai jalan hidup
yang telah ditentukan bagi kita. Pasrah, bahkan menerimanya sebagai sebuah
kutukan. Dan, masa depan kita tetap pantas berdiri.
Karena...
kalau kita ingin hidup bebas, kita harus belajar terbang.
Bukan
begitu, Kawan?
Selamat
berjuang membuka jendela hidup kalian, Kawan… pembatas menuju masa depan!
#OneWeekOnePost(OWOP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar