HARI
KE #4: AIB MASA LALU
Dear Masa-Lalu-Yang-Tak-Perlu-Diingat…Ada sesuatu yang memaksa saya untuk kembali menyeret kisah usangmu ke duniaku saat ini. Padahal sebenarnya saya malas membangunkan kembali kenangan tentangmu, semacam… siapa yang ingin keburukannya diketahui oleh orang lain. Siapa yang ingin kemaluannya dibuka oleh orang lain. Ups, astagfirullah! #PikiranApaIni!! Puasa, euy!! Tapi sekali lagi, terpaksa. Yah, karena kebetulan tema #7daysKF kali ini tentang cerita memalukan di masa lampau. Kalau dalam istilahnya Upin-Ipin cs disebut dengan “tak patut” (*sambil geleng-geleng kepala).Okelah… tidak perlu berlama-lama kurasa. Karena rasa lama itu juga tak perlu oke. #halah
So, happy reading!
Matahari
membara. Panas. Kilaunya terasa tertumpah. Sepertinya, ulah matahari itu
menjadi alasan siswa-siswa kelas VIII-F malas beranjak dari ruangan kelas
padahal jam istirahat pun masih panjang. Mereka lebih memilih bersemedi manis
di meja masing-masing dengan menatap gusar buku yang tergolek lemah. Pasrah,
membiarkan tubuhnya ditelanjangi oleh mata-mata yang rakus akan rasa ingin tahu
itu.
Eh,
tunggu dulu! Buku? Berarti mereka lagi belajar, ya? Atau, jangan-jangan sedang
mempersiapkan diri untuk ujian, kah? Sepertinya begitu.
Jadi,
semua ini bukan salah matahari yang memaksa mereka tetap ada di dalam kelas,
kan?
“Nu,
kamu udah belajar?” tanya Ek sambil menoleh sekilas pada Nu. Teman sebangku,
sehati, dan seiramanya.
Remaja
berkacamata–yang disebut Nu, dalam seragam biru-putih itu menggelengkan kepala
dengan mantap.
“Terus,
kenapa sekarang nggak buka-buka buku gitu?”
“Males,
ah. Cuma pelajaran Tata Boga doang. Lagian, emang pasti nanti jadi ulangan
harian?” sahut Nu balik bertanya. Acuh. Seolah menurut Nu, tidak belajar sebelum
ujian bukanlah sebuah dosa besar yang harus diributkan.
“Jadi
lah. Bu Sri kan sudah bilang minggu kemarin.”
Percuma.
Teguran Ek itu hanya dianggap angin lalu bagi Nu. Karena di matanya, apalah
arti sebuah pelajaran muatan lokal seperti Tata Boga itu. Hanya pelajaran yang
sibuk mengajari cara memasak yang baik dan benar. Seperti pelajaran menjadi
seorang ibu rumah tangga yang harus ahli dalam urusan perdapuran.
Tak bermutu,
berontak batin Nu. Dia pun ogah-ogahan membuka buku diktat Tata Boga. Hanya
membolak-balik halamannya, karena bingung harus mulai membaca dari mana. Bagian
mana yang penting untuk dipelajari, dia pun tak tahu.
Karenanya,
di menit berikut saat Ibu Sri yang selalu tampil casual dengan tatanan sanggul manis itu mulai memasuki ruang kelas,
Nu sama sekali merasa tak menyesal belum membaca sedikit pun materi yang akan
diujikan. Bondo nekat. Menurut Nu,
itu saja sudah cukup. Lagi pula… seberapa tinggi, sih, tingkat kesulitan Tata
Boga? Pasti tak bisa disamakan dengan sulitnya mengerjakan persamaan aljabar
matematika.
Tapi
nyatanya, semua anggapan sinis Nu termuntahkan. Dari kesepuluh soal ulangan
yang diberikan, tak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawab Nu. Lembar
jawabannya pun masih kosong. Bersih. Perawan, belum ternoda.
Nu
tidak bisa membayangkan, betapa malu dirinya jika mendapatkan nilai merah untuk
mulok selevel Tata Boga. Materi yang terkesan dianaktirikan dari jajaran mata
pelajaran lainnya dalam raport kelas. Pemikiran apatis itu mendorong Nu untuk
menggerakkan tangannya perlahan-lahan, meraba nakal beberapa tumpukan buku di
dalam laci mejanya. Entah setan generasi dari mana yang berhasil merayu Nu
untuk menarik buku diktat Tata Boga hingga ke bibir laci. Mendorong Nu untuk
membuka lembar demi lembarnya dengan hati-hati.
Kamu
nyontek, ya, Nu?
Sudah tau, nanya,
batin Nu cuek. Nu tidak peduli dengan beberapa pasang mata teman-temannya yang
mulai merasa risih akan tindakan itu. Bagi Nu, mendapatkan hasil maksimal itu
harus. Sekalipun perlu ditempuh dengan proses yang tidak layak dilakukan.
Hitung-hitung demi
menyenangkan hati orang tua, dengan suguhan nilai-nilai bagus di raport, kan.
Bela batin Nu lagi.
Pembelaan
congkak yang akhirnya terbungkam dengan suara, “BRUKK!!”
Buku
diktat itu jatuh ke lantai dan menimbulkan suara gaduh yang menarik beribu-ribu
pasang mata ke arah Nu. Dia panik. Malu. Bingung, tidak tahu harus melakukan
apa. Haruskah dia pura-pura cuek lalu menyelamatkan buku itu dari bawah? Atau,
sebaiknya dia meminta maaf saja, karena sudah tertangkap basah bersalah?
Nu
ragu. Tapi dengan cepat diambilnya buku Tata Boga itu, lalu serampangan
memasukkannya ke dalam laci meja. Tanpa suara, tanpa ungkapan penyesalan yang
terlontar. Sudah kepalang, malu ya sudah malu saja. Dan, Nu lebih merasa malu
lagi saat melihat ekspresi Bu Sri yang hanya menoleh sejuruh ke arasnya, lalu
menggelengkan kepalanya dengan tatapan mata yang seolah-olah bersuara, “Heran!
Bertambah lagi quota anak bodoh di dunia ini yang lebih percaya pada lembaran
kertas tak bernyawa, daripada percaya pada kapasitas otaknya sendiri yang jauh
lebih bernyawa dan luas tak terhingga”.
Setelah
jam ujian berakhir, Bu Sri meminta Nu keluar kelas dan mengekor langkah Bu Sri.
Dan,
tetiba di lorong sekolah, Bu Sri menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam
ke mata Nu, dia bersuara, “Mencotek itu memang tak salah, Nu… selama tidak
ketahuan.”
Nu
hanya menekuk kepalanya dalam-dalam. Tak berani menatap sepasang mata yang tiap
sudut kantung kelopaknya itu mulai dipenuhi dengan gurat keriput. Sepasang mata
yang sedari tadi menatapnya tajam.
Bu
Sri melanjutkan, “Tapi seseorang yang berhasil mencotek tanpa diketahui, sama
saja dengan belajar menjadi koruptor hebat di masa depan. Belajarlah untuk
lebih percaya dengan kemampuanmu sendiri!”
Kali
ini Nu memberanikan diri mengangkat dagunya, mencari amarah dari tatapan Bu
Sri. Namun, tak ada. Hanya tatapan kekhawatiran seorang ibu pada anaknya. Nu malu.
Tidak ada perasaan lain yang lebih pantas menggambarkan betapa besar kadar
penyesalan Nu saat itu. Rasa menyesal yang perlahan menyesap hangat janji dalam
dirinya sendiri, bahwa dia berjanji… sejak hari itu, detik itu, saat itu juga,
dia tidak akan melakukan hal bodoh itu untuk kedua kalinya. [#7daysKF - @KampusFiksi - @basabasi_store]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar