Rabu, 14 Juni 2017

SESUATU YANG BERNAMA ‘JERA’

HARI KE #4: AIB MASA LALU

Dear Masa-Lalu-Yang-Tak-Perlu-Diingat…Ada sesuatu yang memaksa saya untuk kembali menyeret kisah usangmu ke duniaku saat ini. Padahal sebenarnya saya malas membangunkan kembali kenangan tentangmu, semacam… siapa yang ingin keburukannya diketahui oleh orang lain. Siapa yang ingin kemaluannya dibuka oleh orang lain. Ups, astagfirullah! #PikiranApaIni!! Puasa, euy!! Tapi sekali lagi, terpaksa. Yah, karena kebetulan tema #7daysKF kali ini tentang cerita memalukan di masa lampau. Kalau dalam istilahnya Upin-Ipin cs disebut dengan “tak patut” (*sambil geleng-geleng kepala).Okelah… tidak perlu berlama-lama kurasa. Karena rasa lama itu juga tak perlu oke. #halah

So, happy reading!


Matahari membara. Panas. Kilaunya terasa tertumpah. Sepertinya, ulah matahari itu menjadi alasan siswa-siswa kelas VIII-F malas beranjak dari ruangan kelas padahal jam istirahat pun masih panjang. Mereka lebih memilih bersemedi manis di meja masing-masing dengan menatap gusar buku yang tergolek lemah. Pasrah, membiarkan tubuhnya ditelanjangi oleh mata-mata yang rakus akan rasa ingin tahu itu.

Eh, tunggu dulu! Buku? Berarti mereka lagi belajar, ya? Atau, jangan-jangan sedang mempersiapkan diri untuk ujian, kah? Sepertinya begitu.

Jadi, semua ini bukan salah matahari yang memaksa mereka tetap ada di dalam kelas, kan?

“Nu, kamu udah belajar?” tanya Ek sambil menoleh sekilas pada Nu. Teman sebangku, sehati, dan seiramanya.

Remaja berkacamata–yang disebut Nu, dalam seragam biru-putih itu menggelengkan kepala dengan mantap.

“Terus, kenapa sekarang nggak buka-buka buku gitu?”

“Males, ah. Cuma pelajaran Tata Boga doang. Lagian, emang pasti nanti jadi ulangan harian?” sahut Nu balik bertanya. Acuh. Seolah menurut Nu, tidak belajar sebelum ujian bukanlah sebuah dosa besar yang harus diributkan.

“Jadi lah. Bu Sri kan sudah bilang minggu kemarin.”

Percuma. Teguran Ek itu hanya dianggap angin lalu bagi Nu. Karena di matanya, apalah arti sebuah pelajaran muatan lokal seperti Tata Boga itu. Hanya pelajaran yang sibuk mengajari cara memasak yang baik dan benar. Seperti pelajaran menjadi seorang ibu rumah tangga yang harus ahli dalam urusan perdapuran.

Tak bermutu, berontak batin Nu. Dia pun ogah-ogahan membuka buku diktat Tata Boga. Hanya membolak-balik halamannya, karena bingung harus mulai membaca dari mana. Bagian mana yang penting untuk dipelajari, dia pun tak tahu.  
Karenanya, di menit berikut saat Ibu Sri yang selalu tampil casual dengan tatanan sanggul manis itu mulai memasuki ruang kelas, Nu sama sekali merasa tak menyesal belum membaca sedikit pun materi yang akan diujikan. Bondo nekat. Menurut Nu, itu saja sudah cukup. Lagi pula… seberapa tinggi, sih, tingkat kesulitan Tata Boga? Pasti tak bisa disamakan dengan sulitnya mengerjakan persamaan aljabar matematika.

Tapi nyatanya, semua anggapan sinis Nu termuntahkan. Dari kesepuluh soal ulangan yang diberikan, tak ada satupun pertanyaan yang mampu dijawab Nu. Lembar jawabannya pun masih kosong. Bersih. Perawan, belum ternoda.

Nu tidak bisa membayangkan, betapa malu dirinya jika mendapatkan nilai merah untuk mulok selevel Tata Boga. Materi yang terkesan dianaktirikan dari jajaran mata pelajaran lainnya dalam raport kelas. Pemikiran apatis itu mendorong Nu untuk menggerakkan tangannya perlahan-lahan, meraba nakal beberapa tumpukan buku di dalam laci mejanya. Entah setan generasi dari mana yang berhasil merayu Nu untuk menarik buku diktat Tata Boga hingga ke bibir laci. Mendorong Nu untuk membuka lembar demi lembarnya dengan hati-hati.

Kamu nyontek, ya, Nu?

Sudah tau, nanya, batin Nu cuek. Nu tidak peduli dengan beberapa pasang mata teman-temannya yang mulai merasa risih akan tindakan itu. Bagi Nu, mendapatkan hasil maksimal itu harus. Sekalipun perlu ditempuh dengan proses yang tidak layak dilakukan.

Hitung-hitung demi menyenangkan hati orang tua, dengan suguhan nilai-nilai bagus di raport, kan. Bela batin Nu lagi.

Pembelaan congkak yang akhirnya terbungkam dengan suara, “BRUKK!!”

Buku diktat itu jatuh ke lantai dan menimbulkan suara gaduh yang menarik beribu-ribu pasang mata ke arah Nu. Dia panik. Malu. Bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Haruskah dia pura-pura cuek lalu menyelamatkan buku itu dari bawah? Atau, sebaiknya dia meminta maaf saja, karena sudah tertangkap basah bersalah?

Nu ragu. Tapi dengan cepat diambilnya buku Tata Boga itu, lalu serampangan memasukkannya ke dalam laci meja. Tanpa suara, tanpa ungkapan penyesalan yang terlontar. Sudah kepalang, malu ya sudah malu saja. Dan, Nu lebih merasa malu lagi saat melihat ekspresi Bu Sri yang hanya menoleh sejuruh ke arasnya, lalu menggelengkan kepalanya dengan tatapan mata yang seolah-olah bersuara, “Heran! Bertambah lagi quota anak bodoh di dunia ini yang lebih percaya pada lembaran kertas tak bernyawa, daripada percaya pada kapasitas otaknya sendiri yang jauh lebih bernyawa dan luas tak terhingga”.

Setelah jam ujian berakhir, Bu Sri meminta Nu keluar kelas dan mengekor langkah Bu Sri.

Dan, tetiba di lorong sekolah, Bu Sri menghentikan langkahnya. Sambil menatap tajam ke mata Nu, dia bersuara, “Mencotek itu memang tak salah, Nu… selama tidak ketahuan.”

Nu hanya menekuk kepalanya dalam-dalam. Tak berani menatap sepasang mata yang tiap sudut kantung kelopaknya itu mulai dipenuhi dengan gurat keriput. Sepasang mata yang sedari tadi menatapnya tajam.

Bu Sri melanjutkan, “Tapi seseorang yang berhasil mencotek tanpa diketahui, sama saja dengan belajar menjadi koruptor hebat di masa depan. Belajarlah untuk lebih percaya dengan kemampuanmu sendiri!”

Kali ini Nu memberanikan diri mengangkat dagunya, mencari amarah dari tatapan Bu Sri. Namun, tak ada. Hanya tatapan kekhawatiran seorang ibu pada anaknya. Nu malu. Tidak ada perasaan lain yang lebih pantas menggambarkan betapa besar kadar penyesalan Nu saat itu. Rasa menyesal yang perlahan menyesap hangat janji dalam dirinya sendiri, bahwa dia berjanji… sejak hari itu, detik itu, saat itu juga, dia tidak akan melakukan hal bodoh itu untuk kedua kalinya. [#7daysKF - @KampusFiksi - @basabasi_store]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar