HARI
KE #3: MELEPASKANMU...
Aku suka hujan. Tanpa kutahu apa alasannya. Suka.
Begitu saja. Terasa damai saat tetes-tetes airnya mulai berjatuhan membasahi
telapak tanganku yang terbuka. Menyambutnya. Seperti saat sekarang ini.
Kurentangkan kedua tanganku sambil menengadahkan
kepala ke atas langit. Membiarkan ribuan anak hujan membanjiri tubuhku. Wajahku
basah, tetesan-tetesan hujan itu sukses mengkamuflase tetes air mataku. Mengijinkan mereka
meninggalkan jejak dingin yang menguar. Hingga terbuai rasa dingin gigil seketika. Tapi, aku tak
peduli.
Aroma hujan bagai candu. Setidaknya memang ini yang
kubutuhkan. Untuk detik ini. Untuk mengubur dalam kenangan demi kenangan yang
semakin hari terasa menyesakkan jika diingat.
Alex, manusia satu itu. Aku akan mengiklaskannya.
Sungguh. Tak peduli seberapa beratnya, tapi aku akan menerima keputusannya.
Semoga dia berbahagia dengan seseorang yang saat ini berada di hidupnya.
Seseorang yang menyala terang di hatinya. Seorang gadis yang dipilihnya. Sekalipun itu bukan aku.
“Riii... masuk!” Aku tergagap. Suara ibu. Teriakan
parau itu berhasil menghancurkan pengembaraan pikiranku. “Riri...!!” panggil
ibu lagi dengan lengkingan yang kian meninggi. Mungkin amarahnya memuncak karena
dilihatnya aku tak juga bergeming.
Kuturunkan kedua lenganku. Tanpa memberikan sahutan
apa-apa, berjalan menuju arah bergaungnya suara itu. “Ibuk mesti, deh,” rajukku
begitu tiba di hadapan ibu.
Wanita paruh baya yang masih menyisakan gurat-gurat
kecantikan di masa muda itu justru menatapku dengan pandangan yang siap melumat
habis tubuh ini.
“Kamu itu, kebiasaan buruk masih aja dipelihara. Udah
gede tapi kelakuan masih kayak anak kecil.” Tuh kan, bener. Siap-siap dilumat
habis, deh.
“Kan cuma ujan-ujanan. Cuma di depan rumah doang,
nggak keluar gerbang. Nggak bakalan ada yang tau juga, Buk,” belaku ringan.
“Cuma? Nanti kalo udah pilek, mau bilang cuma lagi
nggak?”
Aku meringis menanggapinya. “Kalau itu rejeki, Buk.
Rejeki dikado pilek ma anak-anak hujan.”
“Udah, nggak usah kebanyakan semosis. Buruan mandi
sekalian sana!” perintah ibu sambil berlalu menuju dapur. Meninggalkanku.
“Iya... ya,” jawabku bersungut-sungut, sambil mengekor
langkah ibu. Kalau sudah seperti ini, aku benar-benar tidak berani membantah. Apalagi kata
jargon ‘semosis’ ibu sudah keluar.
“Tutup pintunya, Ri!” Langkahku terhenti. Berbalik
menuju depan rumah, memenuhi perintah
itu.
Niat hati ingin segera menarik handle pintu lalu menekannya ke daun pintu lain hingga meninggalkan
suara ‘klik’. Tapi nyatanya, aku masih begini. Mematung menatap anak-anak hujan
yang kian deras berjatuhan. Membiarkan tubuh mereka terhempas permukaan
paving-paving halaman yang keras. Dengan kasar. Semacam ilustrasi bentuk ikhlas, siap dan rela untuk dihancurleburkan.
Iri dengan mereka. Ya, dengan anak-anak hujan itu. Iri
dengan rasa ikhlas mereka. Semoga kelak aku bisa menjadi sosok yang ikhlas.
Penuh penerimaan, tanpa rasa beban. Sebesar apapun atau sekecil sekalipun itu.
Dan Alex. Dia
akan menjadi sebuah kenangan. Hanya kenangan. Cukup disimpan rapi. Tanpa perlu
diulang kembali. Semoga ikhlas itu akan menyapa. Kelak akhirnya.
“Riiii....!” suara lengkingan ibu. Lagi-lagi
menghentikan lamunanku.
Cepat-cepat kutekan handle pintu dan memasukkan kunci slot tepat ke dalam lubangnya.
Bahaya. Kelamaan di sini bisa-bisa perang dunia ketiga pecah. Nggak ada yang
bisa menghentikan omelan ibu kalau tingkat kemarahannya sudah di level ketujuh.
“Iyaaa...” balasku dengan suara nyaring. Lega rasanya
berteriak kecil begini.
Dan, selamat tinggal kenangan.
* * *
I’m going to
place where love and feeling good don’t ever cost a pain.
Status baru BlackBerry Message yang kutulis begitu saja. Sebenarnya sih tidak. Aku
menulisnya dengan pengharapan penuh. Benar-benar berharap kota yang kudatangi
ini akan kembali menyembuhkan lukaku. Gratis, tanpa berbiaya dan pengorbanan
akan sudut hati lainnya.
Bojonegoro. Hanya kota kecil memang. Tapi bisa
dibilang dari sanalah segala kisah kehidupanku bermula. Dan mungkin akan
berakhir pula. Entahlah... hanya Dia yang tahu pasti ke mana langkah tertepat dari kaki ini untuk dilangkahkan,
kan? Dan hingga jawaban itu bersuara, ada baiknya kita tetap berusaha sebaik
mungkin.
Ibaratnya mengayuh sebuah sepeda. Jika kita tak ingin
terjatuh dari sepeda itu, sama artinya janganlah kita berhenti untuk
mengayuhnya, bukan?
Mungkin aku hanya butuh sedikit lebih cepat untuk mengayuh. Sampai bayangan
kenangan silam yang menyesakkan itu terasa kian menjauh dan tertinggal di
belakang sana. Tentang seseorang yang tak pantas dikenang.
Kalau boleh jujur, aku masih merasa berat untuk
melepasnya. Entah kenapa. Tapi, akal sehatku selalu berontak. Logika
mengajarkanku untuk menjadi sosok yang tahu diri. Bukan sosok perusak hubungan
orang lain. Sekalipun aku harus menjauh darinya. Ya, menjauhi sosok... Alex.
Ah, menyebut namanya seperti ini pun ternyata masih terasa nyeri. Dan aku
membenci bagian dari diriku yang satu ini.
Dari seseorang aku belajar bagaimana caranya menata
hati. Berperan sebagai wanita yang memiliki hati. Wanita tidak berhak untuk
memilih. Itu bukan haknya. Kaum adam lah yang berhak untuk memilih ke mana hati terpantas yang
menjadi tempat labuhannya kelak. Wanita hanya berhak menentukan untuk menerima
atau menolak. Dan aku... bagaimana aku bisa menggunakan hakku untuk menerima
atau menolak seorang Alex jika aku sendiri tidak pernah dipilih olehnya.
Bodoh. Benar-benar pemikiran bodoh yang kubenci, jika
aku masih dan masih saja merasa berat menerima keputusannya.
Perkenalanku dengan Alex bisa dibilang teramat
singkat. Sangat singkat. Sering kali aku merasa tak habis pikir. Kenapa dari
perkenalan sesingkat ini justru menjadi kenangan yang terasa paling melekat.
Tidak! Bukan ‘paling’. Bagaimanapun juga sudah kutegaskan, jangan mengingat
apalagi sampai mengharapkan kembali kehadirannya.
Sudah cukup, berontak
batinku. Kugelengkan
kepalaku seketika. Berharap dapat mengusir cepat bayang-bayang Alex.
Kukerjapkan mataku dua kali. Saat
bayangan bangunan gapura selamat datang Bojonegoro terasa kian membesar. Sebentar lagi nyampe, batinku
memperingatkan dengan tajam. Artinya, tidak boleh ada lagi lelap yang tersisa.
Saatnya kembali ke rutinitas harian yang menyibukkan. Kurasa ada bagusnya.
Semakin sibuk sama artinya semakin cepat aku bisa melupakan segala kejenuhan di
hati ini. Lebih cepat bisa melupakan…. dia. Tidak perlu disebut kembali
namanya, kan?
“Minal… minal... minal. Terakhir…
akhir!” teriakan kondektur bus menyadarkanku. Buru-buru kupasangkan tas ransel
di kedua bahuku. Lalu bergegas menuju pintu keluar yang sudah dipenuhi sesak
penumpang-penumpang lainnya. Sepertinya keadaan mereka tak jauh berbeda dengan
diriku. Sama-sama sudah tak sabar keluar dari bus ini.
Atau, sama-sama sudah tidak sabar
memulai kehidupan baru dengan tema baru pula? Aku mengulum senyum dalam, menyadari
pertanyaan-pertanyaan konyol dari dalam diriku sedari tadi.
Baiklah. Jika ingin berubah, silahkan
saja diubah. Aku sudah siap menghadapinya. Dengan hati yang baru, kurasa. Karena sesuatu yang sudah mati, biarlah mati. Dan, sesuatu yang telah pergi, ikhlaskan kepergiannya. Dimana waktu kelak akan berperan di dalamnya, menciptakan segudang jawaban... sekalipun saat ini masih dalam tanda tanya. Begitulah. [END* @andari_hersoe]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar