Jumat, 20 Januari 2017

B.E.L.I.E.V.E

HARI KE #3: LIMA PENCAPAIAN YANG DIHARAPKAN DI TAHUN 2017


“If you fail, if you success…,
at least you live what you believe .”
~Morra Quatro

Masih tentang Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari ini memaksaku untuk kembali menampar keras muka yang sudah penuh bopeng-bopeng kegamangan. Karena satu pertanyaan di hari ini membutuhkan lima jenis konsekuensi untuk mengupayakannya ada dan nyata di antara deretan bulan-bulan dalam angka tahun 2017.
Sebenarnya aku tidak berani memprediksikan prosentase keberhasilan dalam mewujudkan kelima impian ini. Karena tetap ada kehendakNya yang berlaku. Tapi aku hanya ingin menjaga kepercayaanku. Percaya jika kita berani berharap, maka harapan itu yang (mungkin) akan menjadi penuntun langkah kita. At least you live what you believe.
Dan, lima hal yang ingin kucapai di tahun ini….
#1: Buah Cinta Pertama
Usia pernikahanku bersama suami tercinta hampir menginjak angka dua, tepat di bulan Mei mendatang. Sayangnya, hingga kini kami belum dipercaya oleh Allah azza wa jalla untuk menimang buah cinta kami. Belum dipercaya untuk menjaga titipanNya, insan istimewa yang kelak harus kami didik dan besarkan bersama. Buah cinta pertama yang akan meneruskan garis keturunan keluarga kami kelak.
Beribu upaya sudah kami lakukan, berkonsultasi pada dokter ahli obgyn hingga mengkonsumsi apa ini-apa itu atau melakukan saran ini-saran itu, semata-mata demi mewujudkan pinta kami untuk mendapatkan ‘momongan’. Tapi, mungkin jika Dia belum berkenan, usaha sebesar apapun terasa akan percuma. Masih harus bersabar dan tetap berikhtiar padaNya.
Semoga, di tahun ini menjadi tahun pertemuanku dengan buah cinta pertama kami.
#2: Studi Program Doktoral
“Pendidikan akan lebih efektif bila setelah selesai sekolah, setiap murid mengetahui betapa banyak yang mereka tidak ketahui, dan mempunyai hasrat untuk mengetahuinya” (William Haley’s quotes).
Aku setuju setengah hidup dengan pendapat di atas. Karena sampai saat ini, rasanya badge seorang murid itu tidak bisa kulepaskan begitu saja. Seperti merasa… semakin banyak aku belajar, semakin aku tahu banyak hal yang tidak kuketahui. Merasa semakin bodoh. Bahkan terkadang ada perasaan tidak yakin atas setiap hal maupun materi-materi yang telah kusampaikan pada penghuni kelas-kelas belajarku. Benarkah begini? Masihkah ada kekurangan di bagian itu? Haruskah dibenarkan lagi? Dan, ribuan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih menyangsikan ketepatan penyampaian materiku.  
Karena itu, aku butuh kembali menjadi pebelajar yang bisa menjaga konsistensi waktu belajarnya. Butuh suntikan pengetahuan untuk melengkapi rasa keingintahuan ini. Sekaligus, menunjukkan tanggung jawab atas profesi pendidik yang tengah kujalani hingga kini. Dan, melalui rencana studi Program Doktoral aku berharap dapat melengkapi hasrat pemenuh kebutuhanku yang satu ini.
Sepertinya kalian tahu, aura hitam dalam potret pendidikan bangsa ini sudah bukan rahasia lagi. Banyak alasan yang menjadi kambing hitam penyebab kemuramannya. Kondisi sekolah yang tidak representative, guru yang tidak kompeten, kurikulum yang kurang tepat, biaya sekolah yang melangit, sampai mengerucut pada satu inti masalah: tentang pengalokasian dana pendidikan yang cenderung minim.
Coba kita intip secara jeli. Jika masalah uang yang menjadi penyebab utama, lihatlah bagaimana Amerika yang berusaha menaikkan anggaran pendidikan per anak hingga 73% pada tahun 2005. Nyatanya, di tahun yang sama tercatat hanya ada sedikit perbaikan dalam kemampuan matematis anak, sedangkan kemampuan membaca anak usia dini tetap sama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Atau, kita bisa berkaca pada situasi di Indonesia saat ini dimana Pemerintah mulai gencar meluncurkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebagai penanda untuk menjamin seluruh anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan manfaat pendidikan secara prima. Sudah bisa dipastikan alokasi APBN untuk dana pendidikan dengan adanya KIP tidaklah sedikit, jika dibandingkan dengan belasan tahun silam. Tapi, apakah keadaan ini sudah bisa menjamin kualitas pendidikan bangsa? Lalu, bagaimana dengan ribuan wacana praktik kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional? Masih pantaskah dunia pendidikan kita dianggap berkualitas?
Sebenarnya masih ada negara-negara yang berhasil memperbaiki kualitas pendidikannya walau tidak dengan cara ‘uang’ tadi. Sebut saja mereka itu negara Singapura, Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan yang selalu berada di peringkat teratas berdasarkan studi OECD’s Programme for International Student Assessment (PISA).
Misalnya di Singapura, Pemerintah justru mengeluarkan anggaran untuk pendidikan dasar yang cenderung lebih sedikit dibandingkan negara-negara maju lainnya. Di Finlandia, lagi-lagi bukan uang yang menjadi tonggak keberhasilan pendidikannya. Negeri ini menerapkan waktu belajar anak yang tidak lebih panjang. Sebelum anak berumur tujuh tahun, dia tidak harus buru-buru mulai masuk sekolah. Pada masa dua tahun pertama—ibarat kelas 1 dan 2 sekolah dasar di Indonesia, anak-anak hanya diwajibkan menghabiskan empat sampai lima jam sehari di sekolah.
Lalu, apa dong cara yang paling tepat untuk menunjang kualitas pendidikan?
Kita bisa berkaca pada Negara Jepang untuk menjawabnya. Kualitas pendidikan di Jepang memang sudah tidak diragukan lagi. Hasilnya pun jelas, banyak sumber-sumber daya manusia berkualitas yang berhasil dicetak dari rangkaian panjang proses pendidikannya. Jepang pun hampir sama seperti Indonesia, sering kali bergonta-ganti kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum ini yang menimbulkan dampak pada perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang. Karenanya, Jepang kerap menekankan pada loyalitas dan tingkat kedisiplinan para pengajar agar mampu tertular pada anak-anak didiknya.
Atau, kita juga bisa mengintip pada proses pendidikan di Korea Selatan. Di negara ini, untuk menjadi guru sekolah dasar lebih sulit dibandingkan menjadi guru sekolah menengah. Sepertinya, kebalikan dengan keadaan di Indonesia, ya? Guru sekolah dasar di Korea Selatan haruslah lulusan dari universitas pilihan dengan nilai yang tinggi. Sedangkan untuk menjadi guru sekolah menengah, cukup lulusan dari diploma saja sudah bisa dipastikan akan diterima. Karenanya, di Korea Selatan kalian akan lebih mudah menemukan banyaknya guru sekolah menengah dan statusnya pun lebih rendah dibanding guru sekolah dasar. Lebih tinggi ‘prestise’nya menjadi guru sekolah dasar.
Lain pula halnya dengan Singapura dan Finlandia. Kedua Negara ini selalu menyeleksi tiap kandidat guru dengan sangat ketat dan membatasi jumlah guru sesuai dengan kebutuhan. Mereka hanya menerima guru jika posisi yang dibutuhkan itu benar-benar tersedia. Setelah diterima, kandidat guru itu pun akan tercatat bekerja pada Departemen Pendidikan dan mendapatkan jaminan atas posisinya. Ada penghargaan yang kuat atas profesi guru di sana.
Dari obrolan panjang-lebar di atas, benang merah apa yang bisa kita tarik? Belum ada? Masa, sih?
Adalah mutu pendidikan suatu bangsa sangat ditentukan oleh mutu calon-calon pendidiknya. Sebuah negara jika ingin maju dunia pendidikannya, kurasa perlu mengadakan pemilihan calon yang tepat untuk dididik menjadi guru yang kompeten. Karenanya, tidak menuntup kemungkinan bahwa guru-guru perlu dilatih menjadi instruktur yang matang dan perlu terus mengembangkan kompetensi pengetahuannya.
Jadi,sah-sah saja kan jika aku berharap dapat terus meningkatkan laju pendidikan pribadi dengan harapan dapat memenuhi tingkat kompetensi yang harus kujaga sebagai seorang pendidik. Karena, aku sadar…. aku bukan hambaNya yang sempurna. Hanya berharap bisa sedikit bermanfaat, khususnya melalui program doktoral di tahun ini.
#3: Eksistensi Karya Tulisan
Membaca dan menulis. Dua hal ini terlalu amat disayangkan jika harus kuhilangkan dalam dunia keseharian yang kujalani. Karena dua hal inilah aku bisa menemukan kecintaanku. Pemuas dari segala ketakutan, kegalauan, dan kekurangan yang tak pernah berhenti menghantui. Dua hal ini pula yang membuatku bisa mencicipi nikmatnya lembaran uang. Dua hal ini yang mendorong aku percaya dapat membungkam pinta-pinta panjang seorang manusia yang tak ada putusnya. Dua hal yang bisa membuatku lebih hidup.
Karenanya, aku berharap di tahun ini masih selalu diberikan kebebasan untuk menikmati dua hal ini, Khususnya, di dunia kepenulisan. Semoga di tahun ini, aku bisa semakin dipercaya untuk menjaga eksistensi karya-karya tulis yang kubuat. Dalam bentuk apapun. Dalam genre apapun. Dan, untuk pembaca dari golongan manapun.
#4: Rumah Baca
“Aku tidak suka baca, sukanya nonton tivi.”
“Aku suka baca…, tapi bacain status fesbuknya orang.”
“Aku nggak suka baca karena nggak kuat beli buku.”
And, many many more reason.
Alasan. Iya, setiap orang memang selalu hebat membuat alibi supaya mereka tidak perlu disalahkan. Mencari pembenaran dari tiap tindakan yang dijalankan. Pembenaran jika ada pertanyaan: “Kamu suka baca nggak? Kenapa kamu nggak suka baca?”
Kondisi minat baca bangsa Indonesia memang masih sangat memprihatinkan. Dari hasil studi Most Littered Nation in the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan masih menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti tingkat minat membacanya. Bayangkan, Indonesia ada di ranking kedua dari bawah! Padahal jika dilihat dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, Indonesia berada di atas peringkat negara-negara Eropa. Miris sekali. Kenapa bisa begini? Padahal kalian tahu kan, apa itu manfaat buku sebagai jendela dunia (katanya)?
Ternyata, semakin menjamurnya fasilitas perpustakaan, rumah baca, atau taman baca itu saja tidak cukup untuk mampu mendorong terciptanya peningkatan minat baca secara signifikan. Perlu ada pengenalan kepada anak-anak sedini mungkin akan pentingnya membaca. Membaca sudah saatnya bukan sekedar kegemaran segelintir orang saja, tapi lebih pada pemuas kebutuhan. Membaca perlu dijadikan sebagai kebiasaan, yang lambat laut bisa berubah menjadi budaya. Budaya suka membaca—dalam hal ini bukan sekedar membaca status fesbuk, twitter, atau medsos lainnya, ya.
Sepertinya, jabaran di atas tak lebih dari teori klise. Dan, terlalu jauh dicapai. Tapi, bukan berarti tidak boleh mencoba, kan? Karena itu, aku berharap di tahun ini bisa mulai merintis berdirinya rumah baca pribadi, gratis dan tanpa embel-embel apapun. Berharap bisa semakin banyak orang yang suka membaca, semakin banyak orang yang terbiasa membaca, dan semakin menjamurnya budaya suka membaca. Akh…impian. Kadang memang terlalu indah hingga memabukkan.
#5: Sembuh dari Sakit
Dari keempat deretan harapan di atas… bisa dibilang, point harapan kelima ini yang terpenting. Kenapa? Yah, simple! Karena harapan ke-1, 2, 3, dan 4 tidak akan pernah terwujud jika aku tidak mampu mewujudkan harapan ke-5 ini. Sembuh. Dan, sehat.
Sejak bulan Agustus tahun 2016, aku resmi didiagnosis sebagai penyandang Rheumatoid Arthritis (RA). Sakit langka yang kuyakin tidak semua orang telah mengenalnya dengan akrab. RA memang langka, tidak semua orang bisa mengidapnya. Kalah tenar dengan cancer, leukemia, atau AIDS sekalipun… walau bisa dibilang hampir setara efek negatifnya, bahayanya bagi tubuh. (Eh, memang ada penyakit yang tidak berbahaya??)
Sakit ini jelas sekali berdampak negatif bagiku. Bisa dibilang produktivitasku menurun drastis semenjak RA datang menyerang. Mudah kelelahan, tidak bisa memaksimalkan fungsi tangan dan kaki, tidak bisa terlalu lama di bawah sinar matahari, bahkan sakit ini memaksaku untuk menghentikan semua rutinitas harian di tempat kerja. Istirahat total. Walau saat aku menuliskan kisah ini keadaanku sudah jauh lebih baik, tapi bukan berarti aku telah terlepas dari belenggu RA. Dia tipikal sakit yang setia sekali pada para pengidapnya. Kondisi yang mengharuskanku untuk menikmati butir-butir obat seumur hidup. Kondisi yang mengharuskanku berhati-hati menjaga pola makan, menjaga aktivitas agar tak berlebih, dan terus terang membuatku tak sebebas dulu lagi.

Karenanya, aku sangat sangat berharap semoga Dia yang menciptakan sakit ini juga sudi menjagaku dari sakitNya. Selalu. Semoga sakit yang diberikan bisa membuatku menjadi hamba yang lebih tahu diri, yang lebih terbiasa bersyukur daripada mengeluh. Hingga sehat itu akhirnya benar-benar akan mengudara. Aamiin.
Seperti berharap dapat terus menatap kilau indah mentari, sekalipun mungkin akan membutakan. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar