HARI
KE #3: LIMA PENCAPAIAN YANG DIHARAPKAN DI TAHUN 2017
“If
you fail, if you success…,
at
least you live what you believe .”
~Morra
Quatro
Masih
tentang Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari ini memaksaku untuk kembali
menampar keras muka yang sudah penuh bopeng-bopeng kegamangan. Karena satu
pertanyaan di hari ini membutuhkan lima jenis konsekuensi untuk mengupayakannya
ada dan nyata di antara deretan bulan-bulan dalam angka tahun 2017.
Sebenarnya
aku tidak berani memprediksikan prosentase keberhasilan dalam mewujudkan kelima
impian ini. Karena tetap ada kehendakNya yang berlaku. Tapi aku hanya ingin
menjaga kepercayaanku. Percaya jika kita berani berharap, maka harapan itu yang
(mungkin) akan menjadi penuntun langkah kita. At least you live what you believe.
Dan,
lima hal yang ingin kucapai di tahun ini….
#1: Buah Cinta Pertama
Usia
pernikahanku bersama suami tercinta hampir menginjak angka dua, tepat di bulan
Mei mendatang. Sayangnya, hingga kini kami belum dipercaya oleh Allah azza wa jalla untuk menimang buah cinta
kami. Belum dipercaya untuk menjaga titipanNya, insan istimewa yang kelak harus
kami didik dan besarkan bersama. Buah cinta pertama yang akan meneruskan garis
keturunan keluarga kami kelak.
Beribu
upaya sudah kami lakukan, berkonsultasi pada dokter ahli obgyn hingga mengkonsumsi apa ini-apa itu atau melakukan saran
ini-saran itu, semata-mata demi mewujudkan pinta kami untuk mendapatkan ‘momongan’.
Tapi, mungkin jika Dia belum berkenan, usaha sebesar apapun terasa akan
percuma. Masih harus bersabar dan tetap berikhtiar padaNya.
Semoga,
di tahun ini menjadi tahun pertemuanku dengan buah cinta pertama kami.
#2: Studi Program Doktoral
“Pendidikan
akan lebih efektif bila setelah selesai sekolah, setiap murid mengetahui betapa
banyak yang mereka tidak ketahui, dan mempunyai hasrat untuk mengetahuinya” (William Haley’s quotes).
Aku
setuju setengah hidup dengan pendapat di atas. Karena sampai saat ini, rasanya badge seorang murid itu tidak bisa
kulepaskan begitu saja. Seperti merasa… semakin banyak aku belajar, semakin aku
tahu banyak hal yang tidak kuketahui. Merasa semakin bodoh. Bahkan terkadang
ada perasaan tidak yakin atas setiap hal maupun materi-materi yang telah
kusampaikan pada penghuni kelas-kelas belajarku. Benarkah begini? Masihkah ada
kekurangan di bagian itu? Haruskah dibenarkan lagi? Dan, ribuan
pertanyaan-pertanyaan lain yang masih menyangsikan ketepatan penyampaian
materiku.
Karena
itu, aku butuh kembali menjadi pebelajar yang bisa menjaga konsistensi waktu
belajarnya. Butuh suntikan pengetahuan untuk melengkapi rasa keingintahuan ini.
Sekaligus, menunjukkan tanggung jawab atas profesi pendidik yang tengah
kujalani hingga kini. Dan, melalui rencana studi Program Doktoral aku berharap
dapat melengkapi hasrat pemenuh kebutuhanku yang satu ini.
Sepertinya
kalian tahu, aura hitam dalam potret pendidikan bangsa ini sudah bukan rahasia
lagi. Banyak alasan yang menjadi kambing hitam penyebab kemuramannya. Kondisi
sekolah yang tidak representative,
guru yang tidak kompeten, kurikulum yang kurang tepat, biaya sekolah yang
melangit, sampai mengerucut pada satu inti masalah: tentang pengalokasian dana
pendidikan yang cenderung minim.
Coba
kita intip secara jeli. Jika masalah uang yang menjadi penyebab utama, lihatlah
bagaimana Amerika yang berusaha menaikkan anggaran pendidikan per anak hingga
73% pada tahun 2005. Nyatanya, di tahun yang sama tercatat hanya ada sedikit
perbaikan dalam kemampuan matematis anak, sedangkan kemampuan membaca anak usia
dini tetap sama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Atau, kita bisa berkaca pada
situasi di Indonesia saat ini dimana Pemerintah mulai gencar meluncurkan Kartu
Indonesia Pintar (KIP) sebagai penanda untuk menjamin seluruh anak usia sekolah
dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan manfaat pendidikan secara prima.
Sudah bisa dipastikan alokasi APBN untuk dana pendidikan dengan adanya KIP
tidaklah sedikit, jika dibandingkan dengan belasan tahun silam. Tapi, apakah
keadaan ini sudah bisa menjamin kualitas pendidikan bangsa? Lalu, bagaimana
dengan ribuan wacana praktik kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional? Masih
pantaskah dunia pendidikan kita dianggap berkualitas?
Sebenarnya
masih ada negara-negara yang berhasil memperbaiki kualitas pendidikannya walau
tidak dengan cara ‘uang’ tadi. Sebut saja mereka itu negara Singapura,
Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan yang selalu berada di peringkat teratas
berdasarkan studi OECD’s Programme for
International Student Assessment (PISA).
Misalnya
di Singapura, Pemerintah justru mengeluarkan anggaran untuk pendidikan dasar
yang cenderung lebih sedikit dibandingkan negara-negara maju lainnya. Di
Finlandia, lagi-lagi bukan uang yang menjadi tonggak keberhasilan
pendidikannya. Negeri ini menerapkan waktu belajar anak yang tidak lebih
panjang. Sebelum anak berumur tujuh tahun, dia tidak harus buru-buru mulai
masuk sekolah. Pada masa dua tahun pertama—ibarat kelas 1 dan 2 sekolah dasar
di Indonesia, anak-anak hanya diwajibkan menghabiskan empat sampai lima jam
sehari di sekolah.
Lalu,
apa dong cara yang paling tepat untuk menunjang kualitas pendidikan?
Kita
bisa berkaca pada Negara Jepang untuk menjawabnya. Kualitas pendidikan di
Jepang memang sudah tidak diragukan lagi. Hasilnya pun jelas, banyak
sumber-sumber daya manusia berkualitas yang berhasil dicetak dari rangkaian
panjang proses pendidikannya. Jepang pun hampir sama seperti Indonesia, sering
kali bergonta-ganti kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum ini yang
menimbulkan dampak pada perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi
pendidik di Jepang. Karenanya, Jepang kerap menekankan pada loyalitas dan
tingkat kedisiplinan para pengajar agar mampu tertular pada anak-anak didiknya.
Atau,
kita juga bisa mengintip pada proses pendidikan di Korea Selatan. Di negara ini,
untuk menjadi guru sekolah dasar lebih sulit dibandingkan menjadi guru sekolah
menengah. Sepertinya, kebalikan dengan keadaan di Indonesia, ya? Guru sekolah dasar
di Korea Selatan haruslah lulusan dari universitas pilihan dengan nilai yang
tinggi. Sedangkan untuk menjadi guru sekolah menengah, cukup lulusan dari
diploma saja sudah bisa dipastikan akan diterima. Karenanya, di Korea Selatan
kalian akan lebih mudah menemukan banyaknya guru sekolah menengah dan statusnya
pun lebih rendah dibanding guru sekolah dasar. Lebih tinggi ‘prestise’nya
menjadi guru sekolah dasar.
Lain
pula halnya dengan Singapura dan Finlandia. Kedua Negara ini selalu menyeleksi
tiap kandidat guru dengan sangat ketat dan membatasi jumlah guru sesuai dengan
kebutuhan. Mereka hanya menerima guru jika posisi yang dibutuhkan itu
benar-benar tersedia. Setelah diterima, kandidat guru itu pun akan tercatat
bekerja pada Departemen Pendidikan dan mendapatkan jaminan atas posisinya. Ada
penghargaan yang kuat atas profesi guru di sana.
Dari
obrolan panjang-lebar di atas, benang merah apa yang bisa kita tarik? Belum
ada? Masa, sih?
Adalah
mutu pendidikan suatu bangsa sangat ditentukan oleh mutu calon-calon
pendidiknya. Sebuah negara jika ingin maju dunia pendidikannya, kurasa perlu mengadakan
pemilihan calon yang tepat untuk dididik menjadi guru yang kompeten. Karenanya,
tidak menuntup kemungkinan bahwa guru-guru perlu dilatih menjadi instruktur yang
matang dan perlu terus mengembangkan kompetensi pengetahuannya.
Jadi,sah-sah
saja kan jika aku berharap dapat terus meningkatkan laju pendidikan pribadi
dengan harapan dapat memenuhi tingkat kompetensi yang harus kujaga sebagai
seorang pendidik. Karena, aku sadar…. aku bukan hambaNya yang sempurna. Hanya
berharap bisa sedikit bermanfaat, khususnya melalui program doktoral di tahun
ini.
#3: Eksistensi Karya
Tulisan
Membaca
dan menulis. Dua hal ini terlalu amat disayangkan jika harus kuhilangkan dalam
dunia keseharian yang kujalani. Karena dua hal inilah aku bisa menemukan
kecintaanku. Pemuas dari segala ketakutan, kegalauan, dan kekurangan yang tak
pernah berhenti menghantui. Dua hal ini pula yang membuatku bisa mencicipi
nikmatnya lembaran uang. Dua hal ini yang mendorong aku percaya dapat
membungkam pinta-pinta panjang seorang manusia yang tak ada putusnya. Dua hal
yang bisa membuatku lebih hidup.
Karenanya,
aku berharap di tahun ini masih selalu diberikan kebebasan untuk menikmati dua
hal ini, Khususnya, di dunia kepenulisan. Semoga di tahun ini, aku bisa semakin
dipercaya untuk menjaga eksistensi karya-karya tulis yang kubuat. Dalam bentuk
apapun. Dalam genre apapun. Dan, untuk pembaca dari golongan manapun.
#4: Rumah Baca
“Aku
tidak suka baca, sukanya nonton tivi.”
“Aku
suka baca…, tapi bacain status fesbuknya orang.”
“Aku
nggak suka baca karena nggak kuat beli buku.”
And,
many many more reason.
Alasan.
Iya, setiap orang memang selalu hebat membuat alibi supaya mereka tidak perlu
disalahkan. Mencari pembenaran dari tiap tindakan yang dijalankan. Pembenaran
jika ada pertanyaan: “Kamu suka baca nggak? Kenapa kamu nggak suka baca?”
Kondisi
minat baca bangsa Indonesia memang masih sangat memprihatinkan. Dari hasil
studi Most Littered Nation in the World yang
dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia
dinyatakan masih menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti tingkat
minat membacanya. Bayangkan, Indonesia ada di ranking kedua dari bawah! Padahal
jika dilihat dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, Indonesia
berada di atas peringkat negara-negara Eropa. Miris sekali. Kenapa bisa begini?
Padahal kalian tahu kan, apa itu manfaat buku sebagai jendela dunia (katanya)?
Ternyata,
semakin menjamurnya fasilitas perpustakaan, rumah baca, atau taman baca itu
saja tidak cukup untuk mampu mendorong terciptanya peningkatan minat baca
secara signifikan. Perlu ada pengenalan kepada anak-anak sedini mungkin akan
pentingnya membaca. Membaca sudah saatnya bukan sekedar kegemaran segelintir
orang saja, tapi lebih pada pemuas kebutuhan. Membaca perlu dijadikan sebagai
kebiasaan, yang lambat laut bisa berubah menjadi budaya. Budaya suka membaca—dalam
hal ini bukan sekedar membaca status fesbuk, twitter, atau medsos lainnya, ya.
Sepertinya,
jabaran di atas tak lebih dari teori klise. Dan, terlalu jauh dicapai. Tapi,
bukan berarti tidak boleh mencoba, kan? Karena itu, aku berharap di tahun ini
bisa mulai merintis berdirinya rumah baca pribadi, gratis dan tanpa embel-embel
apapun. Berharap bisa semakin banyak orang yang suka membaca, semakin banyak
orang yang terbiasa membaca, dan semakin menjamurnya budaya suka membaca. Akh…impian.
Kadang memang terlalu indah hingga memabukkan.
#5: Sembuh dari Sakit
Dari
keempat deretan harapan di atas… bisa dibilang, point harapan kelima ini yang
terpenting. Kenapa? Yah, simple!
Karena harapan ke-1, 2, 3, dan 4 tidak akan pernah terwujud jika aku tidak
mampu mewujudkan harapan ke-5 ini. Sembuh. Dan, sehat.
Sejak
bulan Agustus tahun 2016, aku resmi didiagnosis sebagai penyandang Rheumatoid Arthritis (RA). Sakit langka
yang kuyakin tidak semua orang telah mengenalnya dengan akrab. RA memang
langka, tidak semua orang bisa mengidapnya. Kalah tenar dengan cancer, leukemia, atau AIDS sekalipun…
walau bisa dibilang hampir setara efek negatifnya, bahayanya bagi tubuh. (Eh,
memang ada penyakit yang tidak berbahaya??)
Sakit
ini jelas sekali berdampak negatif bagiku. Bisa dibilang produktivitasku
menurun drastis semenjak RA datang menyerang. Mudah kelelahan, tidak bisa
memaksimalkan fungsi tangan dan kaki, tidak bisa terlalu lama di bawah sinar
matahari, bahkan sakit ini memaksaku untuk menghentikan semua rutinitas harian
di tempat kerja. Istirahat total. Walau saat aku menuliskan kisah ini keadaanku
sudah jauh lebih baik, tapi bukan berarti aku telah terlepas dari belenggu RA. Dia
tipikal sakit yang setia sekali pada para pengidapnya. Kondisi yang
mengharuskanku untuk menikmati butir-butir obat seumur hidup. Kondisi yang
mengharuskanku berhati-hati menjaga pola makan, menjaga aktivitas agar tak
berlebih, dan terus terang membuatku tak sebebas dulu lagi.
Karenanya,
aku sangat sangat berharap semoga Dia yang menciptakan sakit ini juga sudi
menjagaku dari sakitNya. Selalu. Semoga sakit yang diberikan bisa membuatku
menjadi hamba yang lebih tahu diri, yang lebih terbiasa bersyukur daripada
mengeluh. Hingga sehat itu akhirnya benar-benar akan mengudara. Aamiin.
Seperti berharap dapat terus menatap kilau indah mentari, sekalipun mungkin akan membutakan. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar