Minggu, 22 Januari 2017

MIKA – IL MARE – LIFE IS BEAUTIFUL

HARI KE #5: THIRD MEMORABLE MOVIE



“Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup ini.
Kadang hidup memang aneh. Seseorang yang meninggal
ternyata malah bisa membuat orang yang
ditinggalkannya jadi lebih
hidup.”
~Indi from MIKA Movie

Ada artikel lama yang rasanya memiliki ilustrasi cukup pas untuk menggambarkan topik Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari kelima ini. Tipikal pertanyaan yang pastinya bisa menumbuhkan jawaban beragam, tergantung selera, tergantung rasa, dan tergantung prefer individu. Tentang tontonan film yang dominan terasa berkesan. Tiap orang pasti punya deretan koleksi judul film berkesan yang berbeda-beda. Tapi, kurang-lebih secara keseluruhan tiap judul film tersebut tentu telah diakui mampu mempengaruhi garis kehidupan si penontonnya masing-masing. Walaupun tanpa disadari secara langsung.
Artikel lama yang dimaksud di atas berjudul “American Military Tactics: How to Do Better” dari Majalah The Economist edisi tanggal 17 – 23 Desember 2005. Di artikel itu tertulis kalau Negara Amrik lagi gencar-gencarnya membuat tempat pelatihan khusus untuk simulasi pertempuran. Tempat yang nantinya digunakan untuk melatih tentaranya, lengkap dengan desa-desa dan kota buatan.
Supaya simulasinya kelihatan lebih realistis, disiapkan juga ratusan pemain pelengkap yang punya peran beda-beda. Pemain pelengkap itu juga dituntut untuk ikut beraksi dalam setiap kegiatan simulasi, berikut lengkap dengan meggunakan nama palsu, sejarah dan karakter. Mulai dari pemain yang berkarakter jadi dokter, guru, jurnalis, pasukan perdamaian, dan lain-lain.
Demi suksesnya proses simulasi di tempat itu, pihak militer sengaja merekrut dua perusahaan film Hollywood untuk ikut menciptakan efek tambahan yang bisa mendramatisir latihan mereka. Efek tembakan dan ledakan dibuat senyata mungkin. Perusahaan Hollywood itu pun diminta untuk bisa melatih akting para pemain pendukung yang terlibat.
Super sekali! Seperti peran dunia yang mulai terbalik. Kalau di masa silam, Hollywood yang gila-gilaan merekrut tenaga atau mantan militer sebagai informan dalam penggarapan film perang supaya bisa mendekati keadaan nyata dan masuk logika, tapi sekarang justru kebalikannya. Justru pihak militer yang mulai mempekerjakan Hollywood.
Melihat fenomena ini, masih mengelak kalau tontonan sesederhana film yang pernah kita lihat saja bisa mempengaruhi kehidupan kita kelak? Kemungkinan bisa juga mengubah cara kita berpikir ataupun bertindak, kan? Karenanya, kadang kita memang perlu lebih selektif untuk memilah mana yang pantas ditonton dan mana yang tidak. Kurang-lebih begitulah, Kawan.
So, tiga judul film yang paling berkesan bagi saya pribadi……

#1: MIKA
Sering kali tolak ukur keindahan hidup itu dinilai dari tingkat kebahagiaan kita. Seberapa bahagia kita dalam menerima setiap ketentuan dariNya. Baik itu sakit, maupun sehat. Hal yang kadang membuat kita menjadi terlalu sibuk untuk bersyukur saat diberi nikmat sehat, dan menjadi begitu terpuruk lalu merasa makhluk paling sial sedunia saat mendapat nikmat sakit.
Dua hal berlawan yang kemudian mempertemukan Mika (Vino G. Bastian) dan Indi (Velove Vexia). Kisah film ini berawal dari seorang gadis belia yang semula ceria bernama Indi mulai mengalami perubahan total dalam kehidupannya setelah dia divonis oleh dokter mengidap penyakit skoliosis pada waktu duduk di bangku SMP. Karena kondisi kesehatannya yang semakin menurun, Indi diharuskan memakai besi penyangga tubuh oleh dokter selama 23 jam dalam sehari.
Beberapa hari kemudian, Indi diajak berlibur oleh orang tuanya sebelum masuk ke SMA. Saat liburan itulah pertama kalinya Indi bertemu dengan Mika melalui sebuah pertemuan yang tak terduga. Mika tipikal cowok yang cuek, berani, urakan dan bertato yang selalu memandang kehidupan dengan santai dan full positive thinking. Dari perkenalan pertama itu Mika mulai menulari semangat positifnya dengan kata penyemangat yang pertama darinya untuk Indi, "Siapa bilang kamu cacat? Kamu itu nggak cacat lagi. Kamu beda. Kamu spesial."
Ada pelajaran berharga dari film ini. Mika ternyata pengidap HIV-AIDS. Positif. Tapi, dia tidak malu mengakuinya. Bahkan di pertemuan pertamanya dengan Indi, Mika mengatakan kondisi kesehatannya dengan jujur. Bukan demi mendapatkan simpati atau meminta belas kasihan. Tapi karena dia merasa tidak perlu berpura-pura. Sakit apapun itu bukanlah aib yang harus ditutupi. Tidak ada orang yang minta untuk diberi sakit. “Karena selalu ada yang pertama dalam segala hal.” Persis seperti kata Mika saat Indi sedikit syok mendengar pengakuan akan kondisi sakitnya.
Mereka berdua akhirnya menjadi sahabat dekat. Hubungan persahabatan yang perlahan-lahan membuat Indi kembali menjadi gadis ceria dan berani melawan penyakit yang menggerogotinya. Sayangnya, takdir berkata lain. Kondisi kesehatan Mika kian memburuk hingga akhirnya dia meninggal dunia, tepat di sebelah Indi.  Setelah kepergian Mika, Indi sadar bahwa Mika lah yang justru membuatnya semakin hidup dan termotivasi untuk melawan penyakitnya. Bahkan setelah Indi masuk kuliah, dia tetap merasa seolah Mika selalu ada di sampingnya. Hingga akhirnya dokter menyatakan bahwa Indi telah sembuh dan kini dia berhasil menjadi designer yang cukup terkenal.
Kenapa film ini berkesan? Selain karena film ini based on true story, tapi karena kisah ini mengena banget dengan kondisiku. Tentang seorang pesakitan yang berusaha mengais semangat untuk bertahan, untuk bernapas, untuk tetap tersenyum, dan untuk tetap berjuang dari segala rasa sakit yang tidak mengenakkan. Sakit itu memang tidak enak. Tapi, bukan berarti sakit harus dijadikan kambing hitam dari segala hal yang kadang membuat kualitas hidup kita menjadi terasa berkurang. Dan, film ini menumbuhkan harapanku untuk bisa sedikit saja kembali merasa ‘normal’. Sekaligus meyakini bahwa hari-hari dimana kata ‘sembuh’ itu akan kembali mengudara. Semoga saja. Setiap orang berhak berharap, bukan?

#2: IL MARE
Kalian pernah menonton film The Lake House yang dibintangi Sandra Bullock dan Keanu Reeves? Kalau iya, berarti sedikit-banyak kalian sudah tahu isi kisah dari film Il Mare. The Lake House (2006) merupakan film adaptasi dari Il Mare (2000) dalam versi barat. Tapi saya di sini hanya membahas film versi Koreanya saja, Il Mare. Pertama kali menonton film ini, saya selalu merasa iri. Iri dengan kehebatan imajinasi dari penulis kisah ini.
Film ini menjadi begitu berkesan karena mampu menyuguhkan cerita romance ala Korea yang unik dengan sedikit bumbu fantasy, hingga kenikmatan dari racikan keduanya terasa benar-benar mengena. Kisah tentang penantian. Tentang kesetiaan. Tentang pengorbanan. Tentang kepercayaan. Tentang takdir. Tentang menegakkan cinta yang diyakini tanpa harus selalu mengedepankan logika. Karena terkadang sesuatu yang berasal dari hati lebih mudah dimengerti daripada segala yang berasal dari pikiran.

Il Mare merupakan nama dari sebuah rumah indah yang terletak di pinggir pantai. Rumah itu dinamakan Il Mare yang berarti laut (dalam bahasa Itali). Kisah ini berawal saat Eun Joo (Jun Ji-hyun) akan meninggalkan rumah Il Mare beberapa hari sebelum pergantian tahun baru milenium 1999-2000. Sebelum pergi, Eun Joo meninggalkan sebuah pesan dalam kartu natal yang dimasukkan ke dalam kota surat Il Mare.
Isi pesan itu memberitahukan kalau dia sudah tidak tinggal di Il Mare lagi. Dia pindah ke sebuah apartemen dan Eun Joo juga meninggalkan alamat barunya di surat itu. Surat tersebut ditujukan untuk penghuni baru di Il Mare karena Eun Joo sedang menunggu kiriman surat dari seseorang, dan dia minta tolong kepada penghuni baru Il Mare jika surat itu datang agar bisa dikirimkan ke alamat baru Eun Joo.

Han Sung-hyun (Lee Jung-jae), seorang mahasiswa arsitektur yang baru datang pindah ke Il Mare. Dia menemukan kartu natal milik Eun-joo di kotak surat rumahnya. Awalnya Sung-hyun hanya menganggap surat itu sebagai lelucon, walau sedikit bingung saat membacanya. Menurut Sung-hyun, dialah penghuni pertama Il Mare dan rumah itu baru saja dibangun oleh bibinya. Lalu siapa Eun-joo? Rasa penasaran itu yang membuat hubungan mereka berlanjut, walaupun hanya bisa berkomunikasi lewat surat-menyurat.  
Lambat-laun keduanya pun sadar bahwa mereka hidup di dua waktu yang berbeda. Sung-hyun hidup ditahun 1998 dan Eun-joo hidup di tahun 2000. Mereka percaya bahwa mesin waktu yang membuat mereka bisa berkomunikasi adalah kotak surat Il Mare.
Setelah sekian lama berkomunikasi hanya melalui lembaran surat, Eun Joo akhirnya mengajak Sung Hyun ketemuan pada tanggal 11 Maret 2000. Bagi Eun Joo, dia hanya membutuhkan waktu seminggu lagi menuju tanggal tersebut. Sementara Sung Hyun masih harus menunggu dua tahun lagi sampai di tanggal yang ditentukan. Eun Joo pun mengirimkan foto pantai tempat mereka akan bertemu, lokasi yang  sangat ingin ditinggali Eun Joo suatu saat nanti. Sayangnya, saat tiba di waktu pertemuan yang ditentukan justru Sung Hyun tidak ada. Kenapa dia tidak datang? Jawabannya bisa dicari sendiri.
Akh… kalian akan lebih tercengang jika menonton sendiri ending manis yang penuh kejutan dari film ini. Karenanya, jika film ini diputar berulang kali, saya tidak akan pernah bosan menontonnya kembali. Alur yang manis. Ending yang meletupkan emosi dan tidak mudah ditebak. Hingga akhirnya, sukses menguras air mata. Jadi, dicoba saja jika tidak percaya!

#3: LIFE IS BEAUTIFUL (La Vita è Bella)

Adalah tontonan lainnya yang tak kalah sukses menguras air mata. Menonton film ini ibarat kita sedang membaca buku karangan Tere Liye yang berjudul Ayahku (Bukan) Pembohong. Suguhan film keluarga yang menceritakan kisah epik seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya di tengah camp tawanan Nazi. Film dari Itali ini tak segan-segan mengajak penontonnya untuk terbiasa berprasangka baik dan positive thinking terhadap apapun dalam hidup agar segalanya dapat dijalani dengan sebaik mungkin, seringan mungkin, tanpa beban, dan meminimalkan keluhan. Pesan yang sesuai dengan tagline: An Unforgettable fable that proves love, family, and imagination conquer all. Deretan obat ampuh untuk bertahan di atas segala kesusahan.
Satu hal lagi, film ini membuat kerinduan saya akan sosok Bapak. Figur yang ketika jauh begitu saya butuhkan, namun saat dekat sulit sekali mencari kenyamanan. Bapak yang akan selalu saya hormati, sekalipun kenangan-kenangan buruk di masa lampau akan proses didikan yang Beliau tanamkan terkadang masih menyisakan getir. Bapak saya bukanlah orang militer, tapi didikan Beliau hampir tak bisa jauh dari gaya militer. Rentan kekerasan. Tindakan menuju kasar. Bapak saya bukan sosok yang terbiasa mengungkapkan kekhawatiran dan kepeduliannya dengan cara halus, tapi lebih seperti omelan panjang yang membuat panas telinga. Tapi justru, buah dari didikan Beliau membuat saya bisa melangkah jauh seperti sekarang ini. Meminimalkan keluhan, memasang tarif mahal untuk air mata, dan begitu menghargai ketepatan waktu. Ajaran Bapak yang membuat kami terbiasa disiplin dan lebih mawas diri karena takut hal yang salah akan kami lakukan. Karena kami terbiasa menerima amarah jika salah dan menerima diam jika benar.  
Lalu, apa hubungannya dengan film Life is Beautiful?
Jelas ada. Film ini membuat kerinduan saya akan sosok Bapak yang ideal mengapung kembali ke permukaan. Akh…sebenarnya saya tidak ingin membanding-bandingkan. Juga tidak ingin dicap menjadi anak yang tak tahu diuntung, anak yang tak pandai berterima kasih. Saya hanya ingin berusaha menerima apa yang saya terima, apa yang saya miliki, dan apa yang saya punya. Tapi, saya tidak ingin munafik di sini…. karena dari film ini saya mendapatkan figur keteladanan seorang Ayah yang sesungguhnya. Andaikan tiap Ayah mau sedikit saja belajar dari tokoh Guido dalam film ini. Tidak perlu banyak. Hanya sedikit saja sudah cukup.
Sedikit cerita, film ini berkisah tentang Guido (Roberto Benigni) dan Dora (Nicoletta Braschi) bersama seorang anak lelakinya yang bernama Joshua (Giorgio Cantarini). Mereka hidup dengan tenang dan bahagia, meskipun kemana-mana mereka hanya mengendarai sepeda butut. Guido yang seorang Yahudi, selalu mengajarkan kebaikan dan berprasangka baik pada Joshua. Dia tidak pernah memarahinya, justru sering kali memberikan lelucon maupun cerita imajinasi. Namun, kebahagiaan mereka memudar ketika tentara Nazi datang membawa Guido dan Joshua ke camp konsentrasi. Dora yang awalnya tidak tahu mereka dibawa, segera menyusul ke stasiun kemudian memaksakan diri untuk ikut bersama rombongan.  
Suatu hari, tiba-tiba pasukan Jerman melakukan pembunuhan massal di camp konsentrasi tersebut. Guido pun berpikir harus menyelamatkan anak dan istrinya. Maka mereka berdua melarikan diri dari kamar untuk mencari tempat persembunyian. Guido menyembunyikan sang anak di dalam sebuah kotak kecil sambil berkata: "Nak, hari ini adalah puncak permainan. Kita harus menang. Kamu harus bersembunyi di dalam kotak ini dan jangan sampai terlihat oleh siapa pun karena semua orang akan mencarimu, kamu harus mendapatkan hadiah tank." Setelah Guido memasukkan sang anak ke dalam kotak tersebut, dia lalu mencari Dora untuk menyelamatkannya pula.
Sementara itu proses eksekusi atau pembantaian sedang berlangsung dengan keji. Pembunuhan massal dilakukan dengan cara memasukkan para tawanan ke kamar gas dan kemudian membakar mayatnya.

Namun malang, Guido tertangkap oleh tentara Nazi. Hal yang paling membuat miris, saat Guido berjalan sambil digelandang oleh seorang tentara Nazi dengan moncong senapan yang saat itu mengarah tepat di belakang kepalanya. Ketika Guido melewati kotak kecil tempat Joshua bersembunyi dan tersadar jika dia sedang diawasi anaknya, Guido pun bertingkah tak layaknya tahanan. Dengan senyum yang terkembang, dia berjalan tegap layaknya tentara yang sedang berparade sambil memberi hormat.
Salut banget. Adegan ini yang bikin hatiku kembang-kempis. Bisa-bisanya bersikap sesantai itu, padahal maut siap menjemput. Ayah yang selalu membesarkan hati anaknya. Four tumbs pokoknya!
Karenanya, pantas kan jika film ini termasuk dalam daftar film yang berkesan dan patut diperhitungkan? Terlebih lagi, sosok Guido yang cenderung ‘antik’. Dia tidak hanya pandai membuat lelucon, tapi juga orang yang sangat romantis, ayah yang baik, dan selalu berpandangan positif dalam setiap hal. Dia juga mengajarkan pada Joshua untuk selalu berprasangka baik pada siapapun dan dalam berbagai hal apapun. Wajar jika sosok Guido yang digambarkan pada film ini tidak pernah dalam keadaan susah, sedih, ataupun marah. Pribadi yang terlalu positif sepertinya.

Kira-kira, adakah manusia yang benar-benar tidak memiliki sisi negatif seperti Guido? Di belahan bumi mana mereka berada? Jika ada, saya pun ingin ikut tertular di antara mereka. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar