Selasa, 24 Januari 2017

TENTANG MENGHIDUPKAN HIDUP

HARI KE #7: TULISAN YANG MEMBUAT KUAT, BISAKAH?



 “Nobody can hurt me without my permission.”
~ Mahatma Gandhi

Kata-kata Mahatma Gandhi di atas itu sebenarnya terlalu congkak, sih. Tapi, mau bagaimana lagi? Topik Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari ketujuh ini seolah-olah mendorongku untuk mengeluh pada keadaan dulu, setelah itu baru aku bisa merumuskan  apa-apa yang membuat keluhan itu pun akhirnya terdorong untuk menghilang. Harus bisa menentukan apa-apa yang seharusnya bisa membuatku menjadi kuat. Apa-apa yang harus tergores dengan tepat waktu di hari ini. Hingga akhirnya, apa-apa itu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah aku bisa menjadi lebih kuat dengan menyampaikannya melalui barisan kalimat-kalimat berikut ini?
Karenanya, sebelum keraguan mulai tumbuh mengakar, aku merasa perlu untuk menyampaikan kalimat congkak itu. Dengan dalih—yang lebih masuk akal—bukan menyombongkan, melainkan berpura-pura optimis.
Dan, sedikit renungan yang mungkin akan membuatku tersadar. Lalu, buru-buru memupuk kekuatan. Mencari cara untuk bisa menghidupkan hidup.



Hey, kamu… Gadis Pembeli Harapan.
Masihkah sudi menyimpan harapan lamamu? Tentang barisan impian yang hingga kini belum tuntas kau dapatkan. Tentang pembuktian eksistensimu sebagai ‘anak’ yang belum juga dipandang utuh oleh sosok Bapak yang kau sayang. Tentang kehidupan yang sengaja menghadirkan berbagai batu tapal ujiannya. Dengan cara yang berbeda-beda. Demi melahirkan keikhlasan, demi ketegaran, demi perjuangan, dan demi menjaga keranjang cinta yang harus terus ada.
Kita memang tak akan pernah tahu bagaimana konsep rencana masa depan yang sedang dipersiapkan oleh Dia. Ketidakpastian yang sering kali membuat kita harus menanam biji harapan satu per satu. Berusaha meyakini bahwa apa yang kita pinta layak untuk dijadikan nyata. Atau, memaksa suara-suara tersembunyi dari dalam hati untuk bebas mengudara dalam alunan doa di tiap pengujung pertemuan denganNya. Sayangnya, sering kali pula kita menjadi terlena untuk giat memuluskan harapan demi harapan itu. Terlupa akan posisi kita sebagai manusia, sebagai hambaNya yang sama sekali tak punya kuasa apa-apa di atas segala realitas kehidupan.
Hidup ini terkadang aneh. Penuh teka-teki. Sementara kebenarannya hampir selalu abstrak untuk bisa diraba.
Suatu waktu kita dihadapkan pada keadaan untuk bebas memupuk subur harapan. Tapi, di waktu yang lain kita justru dipaksa untuk rela melepaskannya. Membiarkan bulir-bulir harapan itu jatuh berserakan, sambil meyakinkan pada diri sendiri… apakah tangan kerdil ini sanggup untuk mengumpulkan kembali tiap bulirnya? Sepertinya, hidup itu memang harus seperti ini. Memaksa kita untuk siap menghadapi segala kemungkinan.
Mungkin untuk bernapas atau mati.
Mungkin untuk sehat atau sakit.
Mungkin untuk kaya atau miskin.
Mungkin untuk berhasil atau gagal.
Mungkin untuk menang atau kalah.
Mungkin untuk jatuh cinta atau patah hati.
Mungkin untuk tegar atau terpuruk.
Dan, segala kemungkinan lain yang harus kita terima dengan cepat tanpa bisa menolak.
Mungkin, kita memang harus lebih realistis menerima segala keputusan takdirNya. Walaupun sering kali kita dengar bahwa Dia tidak akan mengubah nasib hamba-hambaNya yang tidak mau berusaha. Tapi tetap saja, pada akhirnya hanya takdirNya yang berkuasa sebagai penentu utama. Sebesar apapun kita berusaha, jika Dia tidak berkata “iya”… maka semua akan menjadi sia-sia. Karenanya, sekali lagi, apakah kaum manusia seperti kita bisa mengubah kenyataan? Tidak peduli bagaimana jawabannya, semestinya keadaan ini bukan berarti menuntut kita harus berhenti berusaha.
Tapi di atas itu semua, ada satu hal yang perlu kita ingat.
Adalah seburuk-buruk apapun ketentuan takdir yang diberikan olehNya, selalu ada makna rahasia yang tersembunyi di baliknya. Hikmah dan (mungkin) kisah indah baru yang bisa jadi sudah disiapkan oleh Dia di akhir segala penerimaan pasrah kita. Kita hanya perlu mengingatnya. Bukan justru mengedepankan keluhan, lalu bergerilya meminta sumbangan rasa kasihan dari orang lain. Akh… memalukan. Kenapa kalian harus bangga memamerkan segala kekurangan yang kalian punya? Kenapa harus mengadu kepada sesama hambaNya? Kenapa tidak mengadu langsung kepada Dia, asal dari mana segala kekurangan dan ketetapan itu berawal?
Kadang, keadaan ini yang membuat kita bangga menjadi hambaNya terlalu hebat meminta saat serdadu masalah mulai berdatangan. Tidak malu memohon ini-itu. Menghujat kenapa begini-kenapa begitu. Bukan justru mencari bagaimana tindakan terbaik untuk mengatasi segalanya. Bukankah kita hamba ciptaanNya yang paling sempurna, satu-satunya makhluk Dia yang berakal. Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha untuk bisa menggunakan akalnya dengan benar?
Sebuah mitos terkenal pernah bersuara, bahwa “sebagian besar orang hanya menggunakan sepuluh persen kapasitas otak mereka selama hidupnya”. Terlepas dari benar atau salah mitos itu, ada suatu penilaian yang sekiranya perlu kita yakini. Dia bukan tanpa alasan memberikan bekal otak lengkap dengan segala manfaatnya. Ada begitu banyak hal yang tampak mustahil untuk didapatkan atau dilakukan oleh manusia pada umumnya, tapi ternyata tetap ada begitu banyak manusia yang bisa mewujudkannya. Sepertinya kita memang perlu sedikit percaya jika bekal otak yang kita punya sangatlah luas dan dalam, layaknya lautan samudra. Dan, kita pun diberikan pilihan untuk bersedia memanfaatkannya secara keseluruhan atau tidak. Atau, justru cukup berpuas diri begitu saja.
Teruslah berupaya walau mungkin nanti hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita upayakan. Teruslah berprasangka baik kepada Dia. Karena Dia, satu-satunya Zat Maha Kekal yang tak akan pernah tertidur menyaksikan gerak-gerik peran kita dalam tiap babak sandiwara ciptaanNya.
Percayalah kata-kata klise… semua akan indah pada waktunya. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar