HARI KE #7: TULISAN YANG MEMBUAT KUAT, BISAKAH?
“Nobody can hurt me without my permission.”
~ Mahatma Gandhi
~ Mahatma Gandhi
Kata-kata Mahatma Gandhi di atas itu sebenarnya terlalu congkak,
sih. Tapi, mau bagaimana lagi? Topik Writing
Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari ketujuh ini seolah-olah mendorongku
untuk mengeluh pada keadaan dulu, setelah itu baru aku bisa merumuskan apa-apa yang membuat keluhan itu pun akhirnya
terdorong untuk menghilang. Harus bisa menentukan apa-apa yang seharusnya bisa
membuatku menjadi kuat. Apa-apa yang harus tergores dengan tepat waktu di hari
ini. Hingga akhirnya, apa-apa itu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah aku
bisa menjadi lebih kuat dengan menyampaikannya melalui barisan kalimat-kalimat
berikut ini?
Karenanya, sebelum keraguan mulai tumbuh mengakar, aku merasa
perlu untuk menyampaikan kalimat congkak itu. Dengan dalih—yang lebih masuk
akal—bukan menyombongkan, melainkan berpura-pura optimis.
Dan, sedikit renungan yang mungkin akan membuatku tersadar. Lalu,
buru-buru memupuk kekuatan. Mencari cara untuk bisa menghidupkan hidup.
Hey,
kamu… Gadis Pembeli Harapan.
Masihkah
sudi menyimpan harapan lamamu? Tentang barisan impian yang hingga kini belum
tuntas kau dapatkan. Tentang pembuktian eksistensimu sebagai ‘anak’ yang belum
juga dipandang utuh oleh sosok Bapak yang kau sayang. Tentang kehidupan yang
sengaja menghadirkan berbagai batu tapal ujiannya. Dengan cara yang
berbeda-beda. Demi melahirkan keikhlasan, demi ketegaran, demi perjuangan, dan
demi menjaga keranjang cinta yang harus terus ada.
Kita
memang tak akan pernah tahu bagaimana konsep rencana masa depan yang sedang
dipersiapkan oleh Dia. Ketidakpastian yang sering kali membuat kita harus
menanam biji harapan satu per satu. Berusaha meyakini bahwa apa yang kita pinta
layak untuk dijadikan nyata. Atau, memaksa suara-suara tersembunyi dari dalam
hati untuk bebas mengudara dalam alunan doa di tiap pengujung pertemuan
denganNya. Sayangnya, sering kali pula kita menjadi terlena untuk giat memuluskan
harapan demi harapan itu. Terlupa akan posisi kita sebagai manusia, sebagai
hambaNya yang sama sekali tak punya kuasa apa-apa di atas segala realitas
kehidupan.
Hidup
ini terkadang aneh. Penuh teka-teki. Sementara kebenarannya hampir selalu abstrak
untuk bisa diraba.
Suatu
waktu kita dihadapkan pada keadaan untuk bebas memupuk subur harapan. Tapi, di
waktu yang lain kita justru dipaksa untuk rela melepaskannya. Membiarkan
bulir-bulir harapan itu jatuh berserakan, sambil meyakinkan pada diri sendiri…
apakah tangan kerdil ini sanggup untuk mengumpulkan kembali tiap bulirnya? Sepertinya,
hidup itu memang harus seperti ini. Memaksa kita untuk siap menghadapi segala kemungkinan.
Mungkin
untuk bernapas atau mati.
Mungkin
untuk sehat atau sakit.
Mungkin
untuk kaya atau miskin.
Mungkin
untuk berhasil atau gagal.
Mungkin
untuk menang atau kalah.
Mungkin
untuk jatuh cinta atau patah hati.
Mungkin
untuk tegar atau terpuruk.
Dan,
segala kemungkinan lain yang harus kita terima dengan cepat tanpa bisa menolak.
Mungkin,
kita memang harus lebih realistis menerima segala keputusan takdirNya. Walaupun
sering kali kita dengar bahwa Dia tidak akan mengubah nasib hamba-hambaNya yang
tidak mau berusaha. Tapi tetap saja, pada akhirnya hanya takdirNya yang
berkuasa sebagai penentu utama. Sebesar apapun kita berusaha, jika Dia tidak
berkata “iya”… maka semua akan menjadi sia-sia. Karenanya, sekali lagi, apakah kaum
manusia seperti kita bisa mengubah kenyataan? Tidak peduli bagaimana
jawabannya, semestinya keadaan ini bukan berarti menuntut kita harus berhenti
berusaha.
Tapi
di atas itu semua, ada satu hal yang perlu kita ingat.
Adalah
seburuk-buruk apapun ketentuan takdir yang diberikan olehNya, selalu ada makna
rahasia yang tersembunyi di baliknya. Hikmah dan (mungkin) kisah indah baru
yang bisa jadi sudah disiapkan oleh Dia di akhir segala penerimaan pasrah kita.
Kita hanya perlu mengingatnya. Bukan justru mengedepankan keluhan, lalu
bergerilya meminta sumbangan rasa kasihan dari orang lain. Akh… memalukan. Kenapa
kalian harus bangga memamerkan segala kekurangan yang kalian punya? Kenapa harus
mengadu kepada sesama hambaNya? Kenapa tidak mengadu langsung kepada Dia, asal dari
mana segala kekurangan dan ketetapan itu berawal?
Kadang,
keadaan ini yang membuat kita bangga menjadi hambaNya terlalu hebat meminta saat
serdadu masalah mulai berdatangan. Tidak malu memohon ini-itu. Menghujat kenapa
begini-kenapa begitu. Bukan justru mencari bagaimana tindakan terbaik untuk
mengatasi segalanya. Bukankah kita hamba ciptaanNya yang paling sempurna,
satu-satunya makhluk Dia yang berakal. Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha
untuk bisa menggunakan akalnya dengan benar?
Sebuah
mitos terkenal pernah bersuara, bahwa “sebagian besar orang hanya menggunakan
sepuluh persen kapasitas otak mereka selama hidupnya”. Terlepas dari benar atau
salah mitos itu, ada suatu penilaian yang sekiranya perlu kita yakini. Dia
bukan tanpa alasan memberikan bekal otak lengkap dengan segala manfaatnya. Ada
begitu banyak hal yang tampak mustahil untuk didapatkan atau dilakukan oleh
manusia pada umumnya, tapi ternyata tetap ada begitu banyak manusia yang bisa mewujudkannya.
Sepertinya kita memang perlu sedikit percaya jika bekal otak yang kita punya
sangatlah luas dan dalam, layaknya lautan samudra. Dan, kita pun diberikan
pilihan untuk bersedia memanfaatkannya secara keseluruhan atau tidak. Atau,
justru cukup berpuas diri begitu saja.
Teruslah
berupaya walau mungkin nanti hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita
upayakan. Teruslah berprasangka baik kepada Dia. Karena Dia, satu-satunya Zat
Maha Kekal yang tak akan pernah tertidur menyaksikan gerak-gerik peran kita
dalam tiap babak sandiwara ciptaanNya.
Percayalah
kata-kata klise… semua akan indah pada waktunya. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar