“Negeri ini sudah menderita keterpurukan
akibat korupsi,
apa harus ditambah lagi dengan
generasi muda yang mentalnya bobrok?”
~ Andri Rizki Putra
Bawaannya
ingin berendam di Laut Mati saja sekarang, karena tidak tahu harus menggoreskan
kisah apa kali ini. Pertanyaan topik Writing
Challenge #10DaysKF dari
@KampusFiksi di hari keenam ini benar-benar susah untuk dijawab. Karena saya
merasa belum memiliki satu hal yang pantas dibanggakan, atau setidaknya yang
membuat saya sendiri merasa bangga. Apa, ya? Sulit sekali didefinisikan.
Boleh
alpa buat challenge hari ini nggak,
ya?? Hahaha… minta dijewer! J
J J
Okelah…
setelah menimbang dan memperkirakan, lalu memutuskan bahwa ada secelah kisah
yang sepertinya cukup menggambarkan jawaban untuk pertanyaan hari ini. Walaupun
jenis jawaban yang ingin disampaikan ini belum bisa dibilang jadi suatu hal
yang layak untuk dipamerkan atau dibangga-banggakan juga, sih. Tapi, tidak ada
salahnya kan jika saya ingin share kisah
satu ini. Kisah yang dulu sempat membuat saya sempat berada di ambang
kegamangan. Apakah sudah benar keputusan yang saya ambil? Tanpa sedikit membanggakan
kisah ini atau ber-ghibah akan kekurangan pihak manapun. Tidak. Semoga tidak.
Karena
saya hanya ingin berbagi apa yang sempat saya rasa kepada kalian.
Kisah ini terjadi lima tahun silam, saat saya masih berstatuskan guru sekolah menengah pertama swasta yang memiliki basic pondok pesantren. Sebenarnya, semua terasa baik-baik saja dan berjalan normal apa adanya selama saya mengajar di sekolah itu, hingga di tahun ketiga pergolakan batin itu terjadi. Ada beberapa kebijakan pihak pengelola pesantren yang mulai mengganggu saya. Tidak sesuai dengan nurani saya sebagai seorang pendidik, guru mapel biasa di sana. Terlebih lagi, jabatan sentris di sekolah itu mulai dari pembina, kepala sekolah, dan bendahara keuangannya diisi oleh mereka-mereka yang kebetulan masih kerabat pengelola pesantren. Kadang banyak keputusan sekolah yang tidak bisa dijalankan dengan bebas, karena harus bergantung pada keputusan dari pengelola pesantren. Bahkan sering kali aktivitas belajar menjadi terganggu karena ada beberapa kesibukan di luar kurikulum pendidikan yang harus diikuti oleh siswa-siswanya dan dilakukan di dalam jam belajar sekolah. Hingga beberapa guru sering kali mengeluh atas kebijakan-kebijakan sepihak tersebut.
Kisah ini terjadi lima tahun silam, saat saya masih berstatuskan guru sekolah menengah pertama swasta yang memiliki basic pondok pesantren. Sebenarnya, semua terasa baik-baik saja dan berjalan normal apa adanya selama saya mengajar di sekolah itu, hingga di tahun ketiga pergolakan batin itu terjadi. Ada beberapa kebijakan pihak pengelola pesantren yang mulai mengganggu saya. Tidak sesuai dengan nurani saya sebagai seorang pendidik, guru mapel biasa di sana. Terlebih lagi, jabatan sentris di sekolah itu mulai dari pembina, kepala sekolah, dan bendahara keuangannya diisi oleh mereka-mereka yang kebetulan masih kerabat pengelola pesantren. Kadang banyak keputusan sekolah yang tidak bisa dijalankan dengan bebas, karena harus bergantung pada keputusan dari pengelola pesantren. Bahkan sering kali aktivitas belajar menjadi terganggu karena ada beberapa kesibukan di luar kurikulum pendidikan yang harus diikuti oleh siswa-siswanya dan dilakukan di dalam jam belajar sekolah. Hingga beberapa guru sering kali mengeluh atas kebijakan-kebijakan sepihak tersebut.
Awalnya,
saya sendiri tidak ambil pusing dengan keadaan-keadaan itu. Hingga tiba di
malam itu, malam sebelum pelaksanaan hari terakhir Ujian Nasional (UN). Seperti
malam-malam menjelang pelaksanaan UN sebelumnya, di pondok pesantren itu selalu
ada semacam kegiatan belajar dan berdoa bersama. Pemateri didatangkan dari guru
luar sekolah yang dikenal telah terbiasa memberikan bimbingan dan pengarahan
agar siswa-siswa dari sekolah manapun siap bertempur menghadapi UN.
Kala
itu, UN tak ubahnya momok bagi tiap sekolahan. Dimana tingkat kelulusan siswa
menjadi tolak ukur berhasil atau tinggi-rendahnya kualitas sekolah.
Satu-satunya penilaian terkonkret tentang taraf keberhasilan pihak sekolah
dalam mendidik siswa-siswa setelah menempuh lamanya proses pendidikan, dalam kasu ini selama tiga tahun. Jadi, sering kali beragam cara dilakukan oleh pihak
sekolah untuk bisa meluluskan semua siswanya. Lulus 100 persen itu keren!
Slogan yang paling dominan didendangkan oleh sekolahku saat itu.
Karena
kebetulan saya mendapat amanah sebagai salah satu wali kelas IX, jadi tiap
malam saya diwajibkan berpatroli memantau jalannya aktivitas belajar bersama
tersebut. Seharusnya, sih begitu. Tapi baru di malam menjelang hari ketiga UN
itulah saya bisa memenuhi tugasnya. Sedikit cerita, karena memang saya memiliki
kesibukan yang tidak hanya sebagai guru saja. Jadi rasanya wajar jika saya
harus bisa membagi waktu untuk menyelesaikan satu per satu kesibukan yang saya
jalani saat itu. Tanpa ada berat sebelah.
Malam
itu, untuk pertama kalinya saya baru bisa mendengarkan celoteh anak-anak saya.
Dengan lancar mereka mengeluhkan kesulitan ini-itu, bercerita tentang si
pengawas nganu-itu, termasuk proses pengerjaan soal yang seperti begini-begitu.
Salah satunya, celoteh tentang lembar kunci jawaban yang bebas beterbang di
tiap ruang ujian. Kebocoran soal massal! Hah…, kabar burung yang satu itu
beneran nyata?
Sebenarnya
saya sudah mencurigai kabar itu jauh-jauh hari sebelumnya. Beberapa guru lain
yang kebetulan mendapat tugas sebagai pengawas UN sempat menceritakan ada oknum
guru dari sekolah ini yang sengaja menyebarkan kunci jawaban sebelum jam UN
dimulai. Bahkan mereka diminta untuk memuluskan usaha anak-anak saat aksi
kecurangan itu berlangsung di tiap ruang ujian. Padahal saya sangsi akan
kebenaran kabar ini sebelumnya. Karena seperti yang sempat saya ceritakan
sebelumnya, kalau sekolah ini basic-nya
pondok pesantren. Jadi, masa sih mereka melupakan nilai-nilai religi demi
mengejar keindahan duniawi semata?
Tapi
nyatanya, saya salah besar. Dengan mata kepala sendiri, di malam itu saya
menyaksikan kebenaran yang terlalu menyesakkan. Pemateri yang katanya terkenal
membakar semangat anak-anak agar tidak gentar berhadapan dengan soal-soal UN,
ternyata semua itu hanya kedok. Tidak ada kegiatan belajar bersama, tidak ada
pembahasan kisi-kisi soal secara kilat. Hanya sebatas prosesi pembagian kunci
jawaban.
Sedikit
penasaran, saya pun bertanya pada salah satu siswa yang duduk di dekat saya
kala itu. “Tiap hari bawa kertas kayak gitu, Dil?”
“Iya,
Bu.”
“Memang
bisa bukanya pas ujian?”
“Bisa
lah, Bu. Pelan-pelan. Kadang pengawasnya juga pura-pura nggak tau kalau kita
buka ini.”
“Masa,
sih?”
“Beneran,
Bu. Waktu kapan hari itu kan kunci jawabanku jatuh ke lantai. Karena takut
ngambilnya, jadi langsung kuinjak pake kaki terus jalan keluar sambil
nyeret-nyeret kaki. Gitu itu pengawasnya nggak ada yang penasaran, nanyain
kenapa.”
Aku
tersenyum miris. “Memang kamu yakin kalau kunci jawabannya udah bener?”
“Emm…,
nggak tau juga, sih, Bu. Tapi yang penting, katanya asal kita bawa ini pas
ujian, kita pasti bisa lulus.”
Saya
kecewa. Perasaan pun campur aduk. Antara marah, tapi tidak tahu kepada siapa.
Antara ingin mengadu, tapi juga tidak tahu mengadu ke mana. Kalau memang
pengawas UN saja masa bodo—seperti penuturan siswa tadi—bisa jadi tindakan
kotor ini tidak hanya terjadi di sekolahku saja. Karena tugas pengawas UN itu
bersifat silang. Artinya, guru-guru yang menjadi pengawas UN di sekolahku
berasal dari guru-guru sekolah lain. Bertukar posisi dengan guru-guru pengawas
dari sekolahku. Bisa jadi sebelumnya sudah ada perjanjian antar pengawas dari
kedua sekolah, untuk memuluskan kecurangan anak-anak mereka saat ujian tadi.
Sama-sama ada, tapi sama-sama membiarkan saja.
Saya
bingung. Dilema. Tidak tahu harus memutuskan bagaimana. Karena itu, saya
buru-buru pulang ke rumah. Ribuan tanda tanya berlarian dalam kepala, tanpa tahu
harus dimana mencari jawabannya. Kenapa bisa begini? Ada apa ini sebenarnya?
Ini dunia pendidikan, bukannya harus selektif dalam mendidik? Apa memang tidak
ada cara lain, selain menggadaikan nilai kejujuran seperti ini? Apa mereka tahu, Bapak Menteri Pendidikan dan Bapak Presiden yang terhormat?
Bagi
saya, UN seharusnya bisa dimanfaatkan bagi tiap-tiap pebelajar untuk ajang menguji
seberapa sakti jurus-jurus yang telah dipelajari. Standar pengukuran kemampuan
mereka masing-masing. Tanpa perlu bergantung pada siapa pun dan dengan bantuan
alat apapun. Semestinya mereka—para pebelajar yang notabene kelak akan menjadi
generasi penerus bangsa—bisa menjalani proses yang benar untuk mendapatkan
hasil yang benar juga. Kepuasan di atas jerih payah mereka sendiri. Bukan
kepuasan semu. Bukan hanya sekedar mengandalkan hasil, tapi proses nol. Hasil boleh plus, tapi proses jangan sampai minus.
Kalau
dari dunia pendidikan sekecil pelaksanaan UN saja masih terasa mahal untuk
mendapatkan nilai-nilai kejujuran, lalu di mana anak-anak bangsa ini bisa
mencari keteladanan? Apakah mengenalkan budaya mencontek itu tidak sama saja
dengan mengajarkan mereka menjadi calon-calon koruptor kelak? Tidak menutup
kemungkinan begitu, bukan?
Semenjak
malam itu, semenjak merasa sakit hati yang tak tahu di mana obatnya, saya
berjanji tidak akan kembali memasuki dunia pendidikan tingkat sekolah. Entah
itu sekolah dasar, sekolah menengah pertama atau atas. Tidak mau. Selama ada
sistem ujian nasional untuk penentuan kelulusannya, saya tidak ingin terlibat
kembali di dalamnya. Karena itulah, saat tugas-tugas administratif sebagai wali
kelas IX telah tuntas saya selesaikan, saya pun mengundurkan diri dari sekolah
itu. Dan juga, dari dunia pendidikan tingkat sekolah. Selama-lamanya.
Hal
yang tidak begitu membanggakan memang, tapi juga tidak mudah diputuskan. Karena
saat saya menyuarakan keputusan ini dengan deretan alasan yang saya kemukakan,
ada deretan nada sumbang juga yang mengikuti. Dianggap guru sok suci,
konservatif, tidak adaptif, tidak bisa mengikuti arus, pemikiran jadul, sampai
dinilai terlalu idealis.
“Mau
makan apa kamu jadi orang sok idealis gitu?” Pertanyaan apatis yang sebenarnya
membunuh keoptimisan sendiri si penanya.
Rasanya,
masih banyak cara untuk mendapatkan rizki dengan halal. Atau, masih banyak
jalan untuk menuntaskan keinginan dengan benar. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar