Senin, 23 Januari 2017

HASIL PLUS PROSES (JANGAN) MINUS

HARI KE #6: KEBANGGAAN YANG BELUM TERASA MEMBANGGAKAN


“Negeri ini sudah menderita keterpurukan
akibat korupsi,
apa harus ditambah lagi dengan
generasi muda yang mentalnya bobrok?”
~ Andri Rizki Putra

Bawaannya ingin berendam di Laut Mati saja sekarang, karena tidak tahu harus menggoreskan kisah apa kali ini. Pertanyaan topik Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari keenam ini benar-benar susah untuk dijawab. Karena saya merasa belum memiliki satu hal yang pantas dibanggakan, atau setidaknya yang membuat saya sendiri merasa bangga. Apa, ya? Sulit sekali didefinisikan.
Boleh alpa buat challenge hari ini nggak, ya?? Hahaha… minta dijewer! J J J
Okelah… setelah menimbang dan memperkirakan, lalu memutuskan bahwa ada secelah kisah yang sepertinya cukup menggambarkan jawaban untuk pertanyaan hari ini. Walaupun jenis jawaban yang ingin disampaikan ini belum bisa dibilang jadi suatu hal yang layak untuk dipamerkan atau dibangga-banggakan juga, sih. Tapi, tidak ada salahnya kan jika saya ingin share kisah satu ini. Kisah yang dulu sempat membuat saya sempat berada di ambang kegamangan. Apakah sudah benar keputusan yang saya ambil? Tanpa sedikit membanggakan kisah ini atau ber-ghibah akan kekurangan pihak manapun. Tidak. Semoga tidak.
Karena saya hanya ingin berbagi apa yang sempat saya rasa kepada kalian.

Kisah ini terjadi lima tahun silam, saat saya masih berstatuskan guru sekolah menengah pertama swasta yang memiliki basic pondok pesantren. Sebenarnya, semua terasa baik-baik saja dan berjalan normal apa adanya selama saya mengajar di sekolah itu, hingga di tahun ketiga pergolakan batin itu terjadi. Ada beberapa kebijakan pihak pengelola pesantren yang mulai mengganggu saya. Tidak sesuai dengan nurani saya sebagai seorang pendidik, guru mapel biasa di sana. Terlebih lagi, jabatan sentris di sekolah itu mulai dari pembina, kepala sekolah, dan bendahara keuangannya diisi oleh mereka-mereka yang kebetulan masih kerabat pengelola pesantren. Kadang banyak keputusan sekolah yang tidak bisa dijalankan dengan bebas, karena harus bergantung pada keputusan dari pengelola pesantren. Bahkan sering kali aktivitas belajar menjadi terganggu karena ada beberapa kesibukan di luar kurikulum pendidikan yang harus diikuti oleh siswa-siswanya dan dilakukan di dalam jam belajar sekolah. Hingga beberapa guru sering kali mengeluh atas kebijakan-kebijakan sepihak tersebut.
Awalnya, saya sendiri tidak ambil pusing dengan keadaan-keadaan itu. Hingga tiba di malam itu, malam sebelum pelaksanaan hari terakhir Ujian Nasional (UN). Seperti malam-malam menjelang pelaksanaan UN sebelumnya, di pondok pesantren itu selalu ada semacam kegiatan belajar dan berdoa bersama. Pemateri didatangkan dari guru luar sekolah yang dikenal telah terbiasa memberikan bimbingan dan pengarahan agar siswa-siswa dari sekolah manapun siap bertempur menghadapi UN.
Kala itu, UN tak ubahnya momok bagi tiap sekolahan. Dimana tingkat kelulusan siswa menjadi tolak ukur berhasil atau tinggi-rendahnya kualitas sekolah. Satu-satunya penilaian terkonkret tentang taraf keberhasilan pihak sekolah dalam mendidik siswa-siswa setelah menempuh lamanya proses pendidikan, dalam kasu ini selama tiga tahun. Jadi, sering kali beragam cara dilakukan oleh pihak sekolah untuk bisa meluluskan semua siswanya. Lulus 100 persen itu keren! Slogan yang paling dominan didendangkan oleh sekolahku saat itu.
Karena kebetulan saya mendapat amanah sebagai salah satu wali kelas IX, jadi tiap malam saya diwajibkan berpatroli memantau jalannya aktivitas belajar bersama tersebut. Seharusnya, sih begitu. Tapi baru di malam menjelang hari ketiga UN itulah saya bisa memenuhi tugasnya. Sedikit cerita, karena memang saya memiliki kesibukan yang tidak hanya sebagai guru saja. Jadi rasanya wajar jika saya harus bisa membagi waktu untuk menyelesaikan satu per satu kesibukan yang saya jalani saat itu. Tanpa ada berat sebelah.
Malam itu, untuk pertama kalinya saya baru bisa mendengarkan celoteh anak-anak saya. Dengan lancar mereka mengeluhkan kesulitan ini-itu, bercerita tentang si pengawas nganu-itu, termasuk proses pengerjaan soal yang seperti begini-begitu. Salah satunya, celoteh tentang lembar kunci jawaban yang bebas beterbang di tiap ruang ujian. Kebocoran soal massal! Hah…, kabar burung yang satu itu beneran nyata?
Sebenarnya saya sudah mencurigai kabar itu jauh-jauh hari sebelumnya. Beberapa guru lain yang kebetulan mendapat tugas sebagai pengawas UN sempat menceritakan ada oknum guru dari sekolah ini yang sengaja menyebarkan kunci jawaban sebelum jam UN dimulai. Bahkan mereka diminta untuk memuluskan usaha anak-anak saat aksi kecurangan itu berlangsung di tiap ruang ujian. Padahal saya sangsi akan kebenaran kabar ini sebelumnya. Karena seperti yang sempat saya ceritakan sebelumnya, kalau sekolah ini basic-nya pondok pesantren. Jadi, masa sih mereka melupakan nilai-nilai religi demi mengejar keindahan duniawi semata?
Tapi nyatanya, saya salah besar. Dengan mata kepala sendiri, di malam itu saya menyaksikan kebenaran yang terlalu menyesakkan. Pemateri yang katanya terkenal membakar semangat anak-anak agar tidak gentar berhadapan dengan soal-soal UN, ternyata semua itu hanya kedok. Tidak ada kegiatan belajar bersama, tidak ada pembahasan kisi-kisi soal secara kilat. Hanya sebatas prosesi pembagian kunci jawaban.
Sedikit penasaran, saya pun bertanya pada salah satu siswa yang duduk di dekat saya kala itu. “Tiap hari bawa kertas kayak gitu, Dil?”
“Iya, Bu.”
“Memang bisa bukanya pas ujian?”
“Bisa lah, Bu. Pelan-pelan. Kadang pengawasnya juga pura-pura nggak tau kalau kita buka ini.”
“Masa, sih?”
“Beneran, Bu. Waktu kapan hari itu kan kunci jawabanku jatuh ke lantai. Karena takut ngambilnya, jadi langsung kuinjak pake kaki terus jalan keluar sambil nyeret-nyeret kaki. Gitu itu pengawasnya nggak ada yang penasaran, nanyain kenapa.”
Aku tersenyum miris. “Memang kamu yakin kalau kunci jawabannya udah bener?”
“Emm…, nggak tau juga, sih, Bu. Tapi yang penting, katanya asal kita bawa ini pas ujian, kita pasti bisa lulus.”
Saya kecewa. Perasaan pun campur aduk. Antara marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Antara ingin mengadu, tapi juga tidak tahu mengadu ke mana. Kalau memang pengawas UN saja masa bodo—seperti penuturan siswa tadi—bisa jadi tindakan kotor ini tidak hanya terjadi di sekolahku saja. Karena tugas pengawas UN itu bersifat silang. Artinya, guru-guru yang menjadi pengawas UN di sekolahku berasal dari guru-guru sekolah lain. Bertukar posisi dengan guru-guru pengawas dari sekolahku. Bisa jadi sebelumnya sudah ada perjanjian antar pengawas dari kedua sekolah, untuk memuluskan kecurangan anak-anak mereka saat ujian tadi. Sama-sama ada, tapi sama-sama membiarkan saja.
Saya bingung. Dilema. Tidak tahu harus memutuskan bagaimana. Karena itu, saya buru-buru pulang ke rumah. Ribuan tanda tanya berlarian dalam kepala, tanpa tahu harus dimana mencari jawabannya. Kenapa bisa begini? Ada apa ini sebenarnya? Ini dunia pendidikan, bukannya harus selektif dalam mendidik? Apa memang tidak ada cara lain, selain menggadaikan nilai kejujuran seperti ini? Apa mereka tahu, Bapak Menteri Pendidikan dan Bapak Presiden yang terhormat?
Bagi saya, UN seharusnya bisa dimanfaatkan bagi tiap-tiap pebelajar untuk ajang menguji seberapa sakti jurus-jurus yang telah dipelajari. Standar pengukuran kemampuan mereka masing-masing. Tanpa perlu bergantung pada siapa pun dan dengan bantuan alat apapun. Semestinya mereka—para pebelajar yang notabene kelak akan menjadi generasi penerus bangsa—bisa menjalani proses yang benar untuk mendapatkan hasil yang benar juga. Kepuasan di atas jerih payah mereka sendiri. Bukan kepuasan semu. Bukan hanya sekedar mengandalkan hasil, tapi proses nol. Hasil boleh plus, tapi proses jangan sampai minus.
Kalau dari dunia pendidikan sekecil pelaksanaan UN saja masih terasa mahal untuk mendapatkan nilai-nilai kejujuran, lalu di mana anak-anak bangsa ini bisa mencari keteladanan? Apakah mengenalkan budaya mencontek itu tidak sama saja dengan mengajarkan mereka menjadi calon-calon koruptor kelak? Tidak menutup kemungkinan begitu, bukan?
Semenjak malam itu, semenjak merasa sakit hati yang tak tahu di mana obatnya, saya berjanji tidak akan kembali memasuki dunia pendidikan tingkat sekolah. Entah itu sekolah dasar, sekolah menengah pertama atau atas. Tidak mau. Selama ada sistem ujian nasional untuk penentuan kelulusannya, saya tidak ingin terlibat kembali di dalamnya. Karena itulah, saat tugas-tugas administratif sebagai wali kelas IX telah tuntas saya selesaikan, saya pun mengundurkan diri dari sekolah itu. Dan juga, dari dunia pendidikan tingkat sekolah. Selama-lamanya.
Hal yang tidak begitu membanggakan memang, tapi juga tidak mudah diputuskan. Karena saat saya menyuarakan keputusan ini dengan deretan alasan yang saya kemukakan, ada deretan nada sumbang juga yang mengikuti. Dianggap guru sok suci, konservatif, tidak adaptif, tidak bisa mengikuti arus, pemikiran jadul, sampai dinilai terlalu idealis.
“Mau makan apa kamu jadi orang sok idealis gitu?” Pertanyaan apatis yang sebenarnya membunuh keoptimisan sendiri si penanya.
Rasanya, masih banyak cara untuk mendapatkan rizki dengan halal. Atau, masih banyak jalan untuk menuntaskan keinginan dengan benar. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar