Rabu, 25 Januari 2017

OUT OF THE BOX

HARI KE #8: 5 OPINI = 5 (BUKAN) FAKTA


“Two things define you.
Your patience when you have nothing
and your attitude when you have everything.”
~ Unknown

Kata-kata yang tergores di sini berasa seperti mempersiapkan materi konferensi pers. Semacam meyakinkan orang lain bahwa anggapan mereka salah, opini mereka tentang diriku sama sekali bukanlah fakta. Sebuah pengakuan bahwa hanya aku yang paling mengerti tentang konsep-konsep yang telah lama berlaku dalam diriku. Bukan untuk melebih-lebihkan atau menutupi segala kekurangan. Karena memang begitu peraturan yang berlaku dalam #Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari kedelapan ini.
Terkadang kita perlu melakukan penilaian terhadap diri sendiri saat mulai tumbuh rasa insecure, karena menganggap apa yang sempat kita lakukan ternyata tidak cukup baik di mata orang lain. Bisa jadi orang lain sudah terlanjur memiliki penilaiannya sendiri terhadap kepribadian kita, dan secara tidak langsung penilaian itulah yang mempengaruhi baik-buruk atas segala hal yang sedang, akan, atau telah dilakukan. Beberapa opini tertentu sering kali membuat kita kecewa, jika ternyata saat kita telah bekerja mati-matian untuk berusaha menunjukkan eksistensi diri, tetapi akhirnya tidak begitu dihargai.
Kalau sudah begitu, ada saatnya kita harus mulai berpikir out of the box. Memandang hal tertentu dengan tidak harus memaksa sama seperti penilaian orang lain. Tidak perlu berpura-pura memenuhi standar kepuasan orang lain. Lebih kreatif dan bebas bersuara.
Karenanya, stop mendengar pendapat membeo di luar sana. Cukup yakinkan diri sendiri, tidak selamanya opini publik berhak menjadi juara. Dan terlepas dari segala penilaian yang pernah terdengar, sekiranya inilah kelima hal nyata tentang diriku yang pantas untuk diluruskan.
#1: Tegar = Cengeng
Hampir semua orang selalu salah menilaiku. Mereka seringkali menganggap aku kuat, tegar, dan tidak suka mengeluh. Iya benar. Tapi semua itu hanya kulit luarnya saja. Nyatanya, aku suka sering menangis secara sembunyi-sembunyi. Hanya ada aku sendiri, tidak perlu ada yang tahu.
Aku suka menangis, bahkan sangat gampang untuk sekedar menitikkan air mata. Membaca novel maupun menonton drakor saja sudah bisa membuat mataku memanas. Tapi terlalu malu untuk menunjukkannya. Menyadari betapa jeleknya potret wajah yang akan kusuguhkan saat mata ini basah, lubang hidung penuh liur kental, dan pipi merah bak bekas tamparan. Saat terlalu sedih atau bahagia, aku bisa menangis di antara keduanya. Kadang air mata tidak selalu menunjukkan kesedihan, kan? Dari air mata kita bisa mendapatkan kelegaan, walau justru tidak juga bisa menyelesaikan apa-apa. Hanya demi memupuk kekuatan.
Aku ingat seseorang pernah berkata, jika “Jangan pernah menunjukkan kelemahanmu di hadapan orang lain, termasuk air matamu”. Kurang-lebih kalimat itulah yang menjadi alarm pengingatku. Seberapa besar rasa sukaku pada air mata, aku akan berusaha menjaganya agar tidak ada yang tahu betapa jelek ekspresiku saat menangis. Bahaya!
#2: Tahan Banting = Pesakitan
Aku tidak suka menceritakan bagian ini. Jika kujelaskan, seperti ingin menyalahkan takdir. Padahal tidak ada satu pun makhluk di bumi ini yang sudi mengalami sakit. Apalagi parah. Walau diberi imbalan uang satu karung pun rasanya tidak akan pernah ada yang mau, kan. Jadi, bisa dibilang menjadi seorang pesakitan itu sebuah fakta yang tidak mengenakkan.
Dulu… dulu sekali, aku termasuk tipe orang yang jarang sekali sakit. Paling parah hanya demam atau influenza biasa. Berkunjung ke rumah sakit bukanlah hobiku. Biarpun tidak menjaga pola makan teratur atau tidur kurang dari delapan jam setiap hari, entah kenapa aku selalu baik-baik saja. Hingga mantan ibu kost-ku dulu sempat berpendapat, “Tahan banting banget, ya. Nggak makan, nggak tidur, tapi tetep sehat bugar.”
Kebanggaan masa lalu. Karena nyatanya, keadaan sudah berubah 360 derajat. Semenjak aku didiagnosa mengidap salah satu sakit langka yang belum bisa dipastikan dapat mencicipi kesehatan secara nyata. Tapi tetap saja, aku tak sudi menunjukkan tentang sakit ini di hadapan orang kebanyakan. Berusaha berlaku secara normal, menjalani rutinitas semampu yang kubisa. Bukan sekedar ingin dianggap ‘tahan banting’ lagi. Hanya saja, rasanya terlalu jijik melihat tatapan belas kasihan dari mereka.
#3: Dewasa = Childish Manja
Profesiku yang bergelut dalam dunia pendidikan secara otomatis menuntutku untuk bersikap dewasa dan matang. Iya, tapi hanya di lingkungan luar saja. Jika telah masuk ke dalam kehidupan pribadiku, saat aku beralih peran sebagai anak terakhir di keluarga atau sebagai seorang istri, rasanya aku tak perlu lagi menggunakan topeng itu. Cukup menjadi diriku yang lama, yang kekanak-kanankan… total childish. Apalagi jika sudah di hadapan suami tercinta, kebiasaan sikap manja itupun berlaku. Tidak apa-apa kan manja untuk meminta perhatian lebih dari sosok yang paling kita sayangi? Ngeles!!
#4: Best Planner = Best Worrier
Aku terbiasa untuk mempersiapkan segala sesuatu jauh-jauh hari, baik itu pekerjaan rutin maupun baru. Hampir selalu berusaha mempertimbangkan hal dengan matang sebelum deadline, menyusun rencana harus begini-begitu, menyiapkan kepentingan ini-itu. Aku sering menggunakan buku memo atau catatan kecil untuk mengingat tanggung jawab dan tugas yang memang harus dijalankan. Karena itulah, banyak yang menilaiku sebagai best planner yang penuh pertimbangan.
Tapi lagi-lagi, mereka salah. Aku hanya orang yang terlalu dipenuhi rasa was-was. Terlalu banyak kekhawatiran yang memenuhi rongga pikiranku sehingga memaksaku harus berhati-hati agar segala sumber katakutan itu tidak menjadi nyata. Karena itulah aku merasa perlu untuk menyusun rencana sedetail mungkin untuk meminimalisir chaos yang kemungkinan bisa datang jika tidak diantisipasi sebelumnya.
#5: Pendiam = Cerewet
Saat kalian baru mengenalku, kalian pasti dengan sukses akan menilaiku sebagai sosok yang pendiam dan tertutup. Tapi semua itu hanya pandangan awalnya saja. Karena, saat kalian sudah mengenalku lebih dekat… lebih lama, kalian akan sadar jika penilaian awal tadi benar-benar keliru. Aku hampir tidak akan kehabisan bahan pembicaraan jika sudah terlalu akrab dengan sosok lain. Selalu menceritakan apa yang kurasa, meminta pendapat apa yang harus kuputuskan, hingga hal-hal sepele yang hanya membahas masalah selera. Akh… kalian pasti akan menjadi bosan mendengar ocehanku jika sudah begini.
* * *
Dan, inilah catatan sebuah kisah yang kurang lebih mengilustrasikan opini orang lain tidak sesuai dengan hal nyata yang kumiliki…



“Jalani hidup ini dengan ikhlas, maka segalanya akan terasa ringan.”
Aku mengerjapkan mata. Sekali lagi. Mencoba meresapi deretan kata itu. Bukan kata baru, kutahu begitu. Tapi entah kenapa, setiap kata itu terlontar dari mulut seorang Elang, rasanya seperti menemukan sumber penyemangat baru untukku.
Elang memiliki hati selembut embusan angin. Dan aku merasa beruntung telah mengenalnya. Sangat. Bahkan hingga kini, di saat dia menghilang.
Kadang miris menyadari, aku yang dianggap dewasa dan mandiri. Ternyata tidak bisa lepas untuk tak bergantung pada dunia tempat Elang berpijak.
“Lang, maaf!” suaraku lirih. Tak peduli jika suaraku akan teredam oleh kebisingan lounge bandara yang penuh sesak ini.
“Terlambat lagi,” sahut Elang ketus. Dia marah. Aku tahu itu, dan rasanya pantas jika aku diperlakukan begitu. 
“Baru dapat ijin keluar sore tadi soalnya, ditambah kejebak macet di jalan pula,” belaku. “Namanya juga Surabaya, paling susah kalau mau tepat waktu jam-jam segini.”
“Itu.. tu, yang buat bangsa kita nggak maju-maju. Selalu mencari kambing hitam penyebab dari kesalahannya sendiri. Padahal, sebenarnya bisa diatasi.”
Aku menghela napas, sebal. Mulai, deh. Aku yang terkenal bawel ini bisa menjadi pendiam seketika jika sudah dipaksa menerima siraman rohani dari dia.
“Elang sudah check-in?” tanyaku, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Menurutmu? Apa aku setega itu, terbang ke Sydney begitu saja? Sebelum melihat mata belok ini penuh dengan genangan air mata,” goda Elang, sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di pipiku.
“Idih, siapa juga yang mau nangis,” balasku sambil membuang muka sekenanya. Mencoba memasang pertahanan yang sama. Karena kurasakan pipiku mulai memanas. “Kalau mau pergi, ya, pergi saja sana!”
Elang terkekeh mendengar ucapanku. “Bener? Nggak takut kangen tiba-tiba, nih?”
“Nggak akan!” 
Bohong… bohong! sahut batinku tidak sopan.
Nyatanya di detik berikutnya, rasanya seisi perutku diaduk-aduk tak beraturan. Dengung pengumuman itu penyebabnya. Panggilan mengingatkan untuk penumpang yang belum melakukan check-in. Aku tahu, kamu salah satunya, Lang.
Aku baru sadar, ternyata sebuah perpisahan masih terasa berat untuk kuterima. Tapi, aku menghormatimu. Bagaimanapun juga, Aussie adalah impianmu. Mendapat gelar Magister dari sana adalah mimpi besarmu sejak dulu. Dan, kamu tak pernah salah dengan mempercayai mimpi itu.
Elang menunduk. Meraih tas ranselnya dari lantai, hingga terpasang sempurna di kedua bahunya. Lalu berkata, “Jangan menangis, Nay. Aku tahu, kamu bisa jauh lebih kuat dari yang aku bayangkan,” pinta Elang yang terasa aneh di benakku.
“Kenapa?”
“Karena, kamu wanitaku,” balasnya tegas. “Satu-satunya orang paling dewasa yang pernah kukenal. Kamu selalu bisa bagaimana harus bersikap dengan logika, bukan dengan mengedepankan emosi.”
Aku mengangguk cepat. Berusaha menghalau bulir-bulir air mata yang mulai terasa menggenang. Tidak ingin dicap cengeng di hadapannya, walaupun aslinya memang begitu.
“Ingat ya, harus belajar ikhlas. Apapun yang terjadi di depan sana, kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada. Jangan ada ragu!”
Lagi-lagi aku mengangguk. Hanya ini yang bisa kulakukan.
Elang merengkuh tubuhku pelan. Tidak ada kata-kata lagi. Hanya tetabuhan genderang di hati saja yang kurasa kian meliar. Begitu menyakitkan sebuah perpisahan. Padahal, saat kita dekat, kita tak pernah bisa menghargai betapa berharganya sebuah pertemuan.  
“Bagaimana kabarmu, Lang?” Sepertinya kata tanya ini hanya mampu kuterbangkan di antara lipatan angin yang tetap angkuh membisu. Karena, pesawat itu benar-benar telah membawa Elang menjauh dariku. Selamanya.
Tapi, tak sepantasnya aku bersedih. Karena masa depan masih milikku, bersama aroma semangat darinya. Aku  akan tetap mencoba untuk mengikhlaskannya. Membiarkan Elang tenggelam dalam pelukan akhirat, semenjak pesawat maut itu merenggut paksa kontrak hidupnya di dunia penuh kemunafikan ini.

[END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar