HARI KE #8: 5 OPINI = 5 (BUKAN) FAKTA
“Two things
define you.
Your patience
when you have nothing
and your attitude
when you have everything.”
~ Unknown
Kata-kata
yang tergores di sini berasa seperti mempersiapkan materi konferensi pers. Semacam
meyakinkan orang lain bahwa anggapan mereka salah, opini mereka tentang diriku
sama sekali bukanlah fakta. Sebuah pengakuan bahwa hanya aku yang paling
mengerti tentang konsep-konsep yang telah lama berlaku dalam diriku. Bukan
untuk melebih-lebihkan atau menutupi segala kekurangan. Karena memang begitu
peraturan yang berlaku dalam #Writing
Challenge #10DaysKF dari
@KampusFiksi di hari kedelapan ini.
Terkadang
kita perlu melakukan penilaian terhadap diri sendiri saat mulai tumbuh rasa insecure, karena menganggap apa yang
sempat kita lakukan ternyata tidak cukup baik di mata orang lain. Bisa jadi
orang lain sudah terlanjur memiliki penilaiannya sendiri terhadap kepribadian
kita, dan secara tidak langsung penilaian itulah yang mempengaruhi baik-buruk
atas segala hal yang sedang, akan, atau telah dilakukan. Beberapa opini
tertentu sering kali membuat kita kecewa, jika ternyata saat kita telah bekerja
mati-matian untuk berusaha menunjukkan eksistensi diri, tetapi akhirnya tidak
begitu dihargai.
Kalau
sudah begitu, ada saatnya kita harus mulai berpikir out of the box. Memandang hal tertentu dengan tidak harus memaksa
sama seperti penilaian orang lain. Tidak perlu berpura-pura memenuhi standar
kepuasan orang lain. Lebih kreatif dan bebas bersuara.
Karenanya,
stop mendengar pendapat membeo di luar sana. Cukup yakinkan diri sendiri, tidak
selamanya opini publik berhak menjadi juara. Dan terlepas dari segala penilaian
yang pernah terdengar, sekiranya inilah kelima hal nyata tentang diriku yang
pantas untuk diluruskan.
#1: Tegar = Cengeng
Hampir
semua orang selalu salah menilaiku. Mereka seringkali menganggap aku kuat,
tegar, dan tidak suka mengeluh. Iya benar. Tapi semua itu hanya kulit luarnya
saja. Nyatanya, aku suka sering menangis secara sembunyi-sembunyi. Hanya ada
aku sendiri, tidak perlu ada yang tahu.
Aku
suka menangis, bahkan sangat gampang untuk sekedar menitikkan air mata. Membaca
novel maupun menonton drakor saja sudah bisa membuat mataku memanas. Tapi terlalu
malu untuk menunjukkannya. Menyadari betapa jeleknya potret wajah yang akan
kusuguhkan saat mata ini basah, lubang hidung penuh liur kental, dan pipi merah
bak bekas tamparan. Saat terlalu sedih atau bahagia, aku bisa menangis di
antara keduanya. Kadang air mata tidak selalu menunjukkan kesedihan, kan? Dari
air mata kita bisa mendapatkan kelegaan, walau justru tidak juga bisa
menyelesaikan apa-apa. Hanya demi memupuk kekuatan.
Aku
ingat seseorang pernah berkata, jika “Jangan pernah menunjukkan kelemahanmu di
hadapan orang lain, termasuk air matamu”. Kurang-lebih kalimat itulah yang
menjadi alarm pengingatku. Seberapa
besar rasa sukaku pada air mata, aku akan berusaha menjaganya agar tidak ada
yang tahu betapa jelek ekspresiku saat menangis. Bahaya!
#2: Tahan Banting = Pesakitan
Aku
tidak suka menceritakan bagian ini. Jika kujelaskan, seperti ingin menyalahkan
takdir. Padahal tidak ada satu pun makhluk di bumi ini yang sudi mengalami
sakit. Apalagi parah. Walau diberi imbalan uang satu karung pun rasanya tidak
akan pernah ada yang mau, kan. Jadi, bisa dibilang menjadi seorang pesakitan
itu sebuah fakta yang tidak mengenakkan.
Dulu…
dulu sekali, aku termasuk tipe orang yang jarang sekali sakit. Paling parah
hanya demam atau influenza biasa. Berkunjung ke rumah sakit bukanlah hobiku.
Biarpun tidak menjaga pola makan teratur atau tidur kurang dari delapan jam
setiap hari, entah kenapa aku selalu baik-baik saja. Hingga mantan ibu kost-ku dulu sempat berpendapat, “Tahan
banting banget, ya. Nggak makan, nggak tidur, tapi tetep sehat bugar.”
Kebanggaan
masa lalu. Karena nyatanya, keadaan sudah berubah 360 derajat. Semenjak aku
didiagnosa mengidap salah satu sakit langka yang belum bisa dipastikan dapat
mencicipi kesehatan secara nyata. Tapi tetap saja, aku tak sudi menunjukkan
tentang sakit ini di hadapan orang kebanyakan. Berusaha berlaku secara normal,
menjalani rutinitas semampu yang kubisa. Bukan sekedar ingin dianggap ‘tahan
banting’ lagi. Hanya saja, rasanya terlalu jijik melihat tatapan belas kasihan
dari mereka.
#3: Dewasa = Childish Manja
Profesiku
yang bergelut dalam dunia pendidikan secara otomatis menuntutku untuk bersikap
dewasa dan matang. Iya, tapi hanya di lingkungan luar saja. Jika telah masuk ke
dalam kehidupan pribadiku, saat aku beralih peran sebagai anak terakhir di
keluarga atau sebagai seorang istri, rasanya aku tak perlu lagi menggunakan
topeng itu. Cukup menjadi diriku yang lama, yang kekanak-kanankan… total childish. Apalagi jika sudah di hadapan
suami tercinta, kebiasaan sikap manja itupun berlaku. Tidak apa-apa kan manja
untuk meminta perhatian lebih dari sosok yang paling kita sayangi? Ngeles!!
#4: Best
Planner = Best Worrier
Aku
terbiasa untuk mempersiapkan segala sesuatu jauh-jauh hari, baik itu pekerjaan
rutin maupun baru. Hampir selalu berusaha mempertimbangkan hal dengan matang
sebelum deadline, menyusun rencana
harus begini-begitu, menyiapkan kepentingan ini-itu. Aku sering menggunakan
buku memo atau catatan kecil untuk mengingat tanggung jawab dan tugas yang
memang harus dijalankan. Karena itulah, banyak yang menilaiku sebagai best planner yang penuh pertimbangan.
Tapi
lagi-lagi, mereka salah. Aku hanya orang yang terlalu dipenuhi rasa was-was.
Terlalu banyak kekhawatiran yang memenuhi rongga pikiranku sehingga memaksaku
harus berhati-hati agar segala sumber katakutan itu tidak menjadi nyata. Karena
itulah aku merasa perlu untuk menyusun rencana sedetail mungkin untuk
meminimalisir chaos yang kemungkinan
bisa datang jika tidak diantisipasi sebelumnya.
#5: Pendiam = Cerewet
Saat
kalian baru mengenalku, kalian pasti dengan sukses akan menilaiku sebagai sosok
yang pendiam dan tertutup. Tapi semua itu hanya pandangan awalnya saja. Karena,
saat kalian sudah mengenalku lebih dekat… lebih lama, kalian akan sadar jika
penilaian awal tadi benar-benar keliru. Aku hampir tidak akan kehabisan bahan
pembicaraan jika sudah terlalu akrab dengan sosok lain. Selalu menceritakan apa
yang kurasa, meminta pendapat apa yang harus kuputuskan, hingga hal-hal sepele
yang hanya membahas masalah selera. Akh… kalian pasti akan menjadi bosan
mendengar ocehanku jika sudah begini.
*
* *
Dan,
inilah catatan sebuah kisah yang kurang lebih mengilustrasikan opini orang lain
tidak sesuai dengan hal nyata yang kumiliki…
“Jalani hidup ini dengan
ikhlas, maka segalanya akan terasa ringan.”
Aku mengerjapkan mata. Sekali
lagi. Mencoba meresapi deretan kata itu. Bukan kata baru, kutahu begitu. Tapi
entah kenapa, setiap kata itu terlontar dari mulut seorang Elang, rasanya
seperti menemukan sumber penyemangat baru untukku.
Elang memiliki hati selembut
embusan angin. Dan aku merasa beruntung telah mengenalnya. Sangat. Bahkan hingga
kini, di saat dia menghilang.
Kadang miris menyadari, aku
yang dianggap dewasa dan mandiri. Ternyata tidak bisa lepas untuk tak
bergantung pada dunia tempat Elang berpijak.
“Lang, maaf!” suaraku lirih.
Tak peduli jika suaraku akan teredam oleh kebisingan lounge bandara yang penuh sesak ini.
“Terlambat lagi,” sahut Elang
ketus. Dia marah. Aku tahu itu, dan rasanya pantas jika aku diperlakukan begitu.
“Baru dapat ijin keluar sore
tadi soalnya, ditambah kejebak macet di jalan pula,” belaku. “Namanya juga Surabaya,
paling susah kalau mau tepat waktu jam-jam segini.”
“Itu.. tu, yang buat bangsa
kita nggak maju-maju. Selalu mencari kambing hitam penyebab dari kesalahannya
sendiri. Padahal, sebenarnya bisa diatasi.”
Aku menghela napas, sebal.
Mulai, deh. Aku yang terkenal bawel ini bisa menjadi pendiam seketika jika
sudah dipaksa menerima siraman rohani dari dia.
“Elang sudah check-in?” tanyaku, mencoba mengalihkan
topik pembicaraan.
“Menurutmu? Apa aku setega
itu, terbang ke Sydney begitu saja? Sebelum melihat mata belok ini penuh dengan
genangan air mata,” goda Elang, sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di
pipiku.
“Idih, siapa juga yang mau
nangis,” balasku sambil membuang muka sekenanya. Mencoba memasang pertahanan
yang sama. Karena kurasakan pipiku mulai memanas. “Kalau mau pergi, ya, pergi
saja sana!”
Elang terkekeh mendengar
ucapanku. “Bener? Nggak takut kangen tiba-tiba, nih?”
“Nggak akan!”
Bohong… bohong! sahut batinku tidak sopan.
Nyatanya di detik berikutnya,
rasanya seisi perutku diaduk-aduk tak beraturan. Dengung pengumuman itu
penyebabnya. Panggilan mengingatkan untuk penumpang yang belum melakukan check-in. Aku tahu, kamu salah satunya, Lang.
Aku baru sadar, ternyata sebuah
perpisahan masih terasa berat untuk kuterima. Tapi, aku menghormatimu. Bagaimanapun
juga, Aussie adalah impianmu. Mendapat gelar Magister dari sana adalah mimpi
besarmu sejak dulu. Dan, kamu tak pernah salah dengan mempercayai mimpi itu.
Elang menunduk. Meraih tas
ranselnya dari lantai, hingga terpasang sempurna di kedua bahunya. Lalu
berkata, “Jangan menangis, Nay. Aku tahu, kamu bisa jauh lebih kuat dari yang
aku bayangkan,” pinta Elang yang terasa aneh di benakku.
“Kenapa?”
“Karena, kamu wanitaku,”
balasnya tegas. “Satu-satunya orang paling dewasa yang pernah kukenal. Kamu
selalu bisa bagaimana harus bersikap dengan logika, bukan dengan mengedepankan
emosi.”
Aku mengangguk cepat.
Berusaha menghalau bulir-bulir air mata yang mulai terasa menggenang. Tidak
ingin dicap cengeng di hadapannya, walaupun aslinya memang begitu.
“Ingat ya, harus belajar
ikhlas. Apapun yang terjadi di depan sana, kamu harus bisa menerimanya dengan
lapang dada. Jangan ada ragu!”
Lagi-lagi aku mengangguk.
Hanya ini yang bisa kulakukan.
Elang merengkuh tubuhku
pelan. Tidak ada kata-kata lagi. Hanya tetabuhan genderang di hati saja yang
kurasa kian meliar. Begitu menyakitkan sebuah perpisahan. Padahal, saat kita
dekat, kita tak pernah bisa menghargai betapa berharganya sebuah pertemuan.
“Bagaimana kabarmu, Lang?”
Sepertinya kata tanya ini hanya mampu kuterbangkan di antara lipatan angin yang
tetap angkuh membisu. Karena, pesawat itu benar-benar telah membawa Elang
menjauh dariku. Selamanya.
Tapi, tak sepantasnya aku
bersedih. Karena masa depan masih milikku, bersama aroma semangat darinya. Aku akan tetap mencoba untuk mengikhlaskannya. Membiarkan
Elang tenggelam dalam pelukan akhirat, semenjak pesawat maut itu merenggut
paksa kontrak hidupnya di dunia penuh kemunafikan ini.
[END.
#10DaysKF @KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar