HARI KE #9: SURAT UNTUK SESEORANG
DALAM TAHANAN
“Everyone makes mistakes, but only a few could forgive.
Padahal ada banyak kesalahan yang hanya
perlu dimaafkan, bukan dihukum.
An eye for an eye will make us all blind.”
~ Forgiven – Morra Quatro
Ada
yang pernah membaca buku FORGIVEN by Morra Quatro?
Saat
pertama kali membaca tema #WritingChallenge
#10DaysKF dari @KampusFiksi di hari
kesembilan—hari kedua sebelum penutup deretan even tantangan ini, saya
membayangkan seraut wajah yang tak pernah lelah mempertahankan gurat-gurat ketegasan.
Si genius yang radikal.
Dialah…
William Hakim. Mantan penyusup di MIT, Massachusetts
Institude of Technology. Mantan pemimpi yang akhirnya berhasil membangun
pembangkit listrik tenaga nuklir—yang semula hanya memanen cibiran. Meski
segalanya berupa kisah romance belaka,
tapi terasa begitu nyata ada. Karena saya merindukan sosok generasi bangsa
seperti dirinya.
Surat
ini seolah-olah disampaikan oleh dr. Chiara Hakim, sosok istri yang tak
dikehendaki. Kadang miris membayangkan nasib percintaan mereka. Dan, semoga
saya tidak terlalu muluk-muluk bermimpi dapat menyampaikan sepucuk surat kepada
Will yang namanya tak lekang terkikis zaman.
Dear
William Hakim....
Sebelumnya,
maaf merepotkanmu dengan deretan kata pada perkamen lusuh ini. Walaupun aku
sendiri tidak tahu, apakah kau mau tahu akan isi di dalamnya.
Cooling down, please!
Let down your anger and your hatred to me. Sebesar
apapun rasa itu, janganlah tergesa-gesa 'tuk membuang surat ini ke dalam tong
sampah. Setidaknya ijinkan aku menyuarakan nada-nada pembelaan yang telah lama bergemuruh
di hatiku.
Will,
suamiku .....
Sampai
kapan pun aku masih menganggapmu begitu.
Terima
kasih engkau pernah hadir dalam hidupku. Mengetuk pelan pintu hatiku. Yah,
teramat pelan melodi ketukan itu. Hingga aku sendiri pun tak tahu, apakah kau
benar-benar berniat untuk mengetuknya. Atau tindakanmu itu hanya buah dari
keputusasaanmu belaka. Karena akhirnya, kisah cintamu terkalahkan oleh takdir
seorang pesakitan.
Maaf,
bukan aku senang akan keadaan 'sakit'-mu. Tapi aku sungguh-sungguh bersyukur
karena dari hal itulah engkau menyerah pada keadaan nasib, dan
menyerahkan waktumu dengan berada sekejap dalam hidupku. Sekali lagi, aku
bersyukur bukan berarti senang di atas penderitaanmu. Dan juga bukan berarti
aku egois. Semata-mata karena aku teramat sangat menginginkanmu utuh. Jadi,
apakah salah jika aku pun berhak mencintai seseorang? Apakah aku egois jika
ingin hak cintaku itu dapat terpenuhi jua?
Tahukah
kau, Will? Hal pertama yang membuatku menyukaimu, bukan karena kau menyerupai
Nicolas. Melainkan, justru karena kau tampak berbeda darinya. Tak ada sinar
keangkuhan dari matamu, walaupun kau mampu memiliki sesuatu potensi yang dapat
dibanggakan. Sorot matamu yang lembut, dengan aroma kehangatan yang tak pernah
terkikis dari tubuhmu, membuatku terasa tenang dan nyaman berada di dekatmu,
Will. Namun, di sisi lain... selalu ada keganasan emosi yang kerap meletup kuat
dalam jiwamu. Seakan ingin mengatakan pada dunia bahwa "ada seorang
William Hakim di bumi ini".
Karena
itulah, seorang Karla tak pernah mampu menghilangkan peranmu sebagai seorang
motivator sejati dalam hidupnya. Seseorang yang selalu ada dan mendukung
langkahnya. Seseorang yang sangat membutuhkan nafasmu untuk mengisi setiap
ruang udara yang akan dihirupnya.
Aku
tahu, kau pernah bercerita. Bagaimana Karla rela mencarimu. Mendatangi rumahmu,
menunggu, bahkan rela melompati pagar rumahmu, hanya untuk memastikan dimanakah
keberadaanmu saat itu. Lebih tepatnya, karena dia merasa kehilangan sosok
motivatornya. Sosok seorang yang dianggap paling tangguh, justru saat itu
menghilang karena titik kelemahannya kian mencuat ke permukaan. Lemah tak
berdaya atas derita sakit yang dirasa.
Jujur,
hingga saat ini masih terasa perih jika bibir ini dipaksa untuk mengucapkan
barisan huruf K-A-R-L-A. Terlebih lagi, setelah aku mulai menyadari. Hanya ada
dia dalam hatimu. Hanya ada namanya dalam kotak memorimu, mewarnai di setiap
bunga tidurmu.
Kenapa
Will? Kenapa kau tak pernah menganggap kehadiranku berarti bagimu?
Karenanya,
jangan salahkan diriku jika pertanyaan kekecewaan itu menarik nama Greg
Sullivan dalam kisah kita.
Hidup
ini ibarat sebuah sistem, Will. Dimana di dalamnya ada aku, kau, dan Karla.
Walau kelihatan hubungan di antara kita semua sangat berantakan, tapi
sebenarnya sangat teratur sesuai dengan hukum alam. Masing-masing dari kita
memiliki peran yang berbeda-beda.
Aku
yang ingin engkau cintai, aku yang ingin mendapatkan hatimu, tapi sebesar
apapun usahaku tetap tak mampu mengalahkan posisi Karla.
Kau
yang ingin merelakan cintamu, demi kebahagiaannya walaupun memberi kesakitan
padamu, tapi sebesar apapun usahamu tetap tak mampu melupakannya.
Sementara
Karla (walaupun aku tak terlalu mengenalnya secara mendalam), dia tetap
berusaha menantimu dengan segenap pengharapan bahwa kau akan kembali. Tapi dia
sendiri pun tidak yakin, apakah penantiannya akan berbuahkan keindahan. Dia
hanya yakin bahwa cinta terbesarnya hanya untukmu, Will.
Tetapi
sistem ini tetap dapat diberhentikan. Jika salah satu dari kita semua
berkehendak untuk mematahkannya. Karena itu, aku meminta Sullivan untuk
menarikku keluar dari lingkaran sistem ini. Agar hanya tersisa elemen kau dan
Karla di dalamnya. Agar kalian berdua pun sadar untuk menarik kembali benang
penghubung yang sempat terputus, demi jalinan sistem kisah cinta di antara
kalian sendiri.
Sayangnya,
keputusanku ini terlalu lamban. Karena sudah teramat banyak hati yang terluka
di dalamnya. Dan mungkin keberadaan Sullivan pun justru melukai hatimu. Dalam
hal ini, aku minta maaf, Will.
William
Hakim, suamiku .....
Dengan
datangnya surat ini, semoga engkau mendapatkan ketenangan hakiki sebelum
akhirnya jiwamu berada dalam pelukan akhirat di sana.
Dan
ingatlah suamiku, sampai kapan pun aku akan terus menganggapmu begitu. You're my husband!
Your
Wife,
dr.
Chiara Hakim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar