Kamis, 26 Januari 2017

DEAR WILLIAM HAKIM

HARI KE #9: SURAT UNTUK SESEORANG DALAM TAHANAN


“Everyone makes mistakes, but only a few could forgive.
Padahal ada banyak kesalahan yang hanya
perlu dimaafkan, bukan dihukum.
An eye for an eye will make us all blind.”
~ Forgiven – Morra Quatro

Ada yang pernah membaca buku FORGIVEN by Morra Quatro?
Saat pertama kali membaca tema #WritingChallenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari kesembilan—hari kedua sebelum penutup deretan even tantangan ini, saya membayangkan seraut wajah yang tak pernah lelah mempertahankan gurat-gurat ketegasan. Si genius yang radikal.
Dialah… William Hakim. Mantan penyusup di MIT, Massachusetts Institude of Technology. Mantan pemimpi yang akhirnya berhasil membangun pembangkit listrik tenaga nuklir—yang semula hanya memanen cibiran. Meski segalanya berupa kisah romance belaka, tapi terasa begitu nyata ada. Karena saya merindukan sosok generasi bangsa seperti dirinya.

Surat ini seolah-olah disampaikan oleh dr. Chiara Hakim, sosok istri yang tak dikehendaki. Kadang miris membayangkan nasib percintaan mereka. Dan, semoga saya tidak terlalu muluk-muluk bermimpi dapat menyampaikan sepucuk surat kepada Will yang namanya tak lekang terkikis zaman. 


Dear William Hakim....

Sebelumnya, maaf merepotkanmu dengan deretan kata pada perkamen lusuh ini. Walaupun aku sendiri tidak tahu, apakah kau mau tahu akan isi di dalamnya.

Cooling down, please! Let down your anger and your hatred to me. Sebesar apapun rasa itu, janganlah tergesa-gesa 'tuk membuang surat ini ke dalam tong sampah. Setidaknya ijinkan aku menyuarakan nada-nada pembelaan yang telah lama bergemuruh di hatiku.

Will, suamiku .....
Sampai kapan pun aku masih menganggapmu begitu.
Terima kasih engkau pernah hadir dalam hidupku. Mengetuk pelan pintu hatiku. Yah, teramat pelan melodi ketukan itu. Hingga aku sendiri pun tak tahu, apakah kau benar-benar berniat untuk mengetuknya. Atau tindakanmu itu hanya buah dari keputusasaanmu belaka. Karena akhirnya, kisah cintamu terkalahkan oleh takdir seorang pesakitan.

Maaf, bukan aku senang akan keadaan 'sakit'-mu. Tapi aku sungguh-sungguh bersyukur karena dari hal itulah engkau menyerah  pada keadaan nasib, dan menyerahkan waktumu dengan berada sekejap dalam hidupku. Sekali lagi, aku bersyukur bukan berarti senang di atas penderitaanmu. Dan juga bukan berarti aku egois. Semata-mata karena aku teramat sangat menginginkanmu utuh. Jadi, apakah salah jika aku pun berhak mencintai seseorang? Apakah aku egois jika ingin hak cintaku itu dapat terpenuhi jua?

Tahukah kau, Will? Hal pertama yang membuatku menyukaimu, bukan karena kau menyerupai Nicolas. Melainkan, justru karena kau tampak berbeda darinya. Tak ada sinar keangkuhan dari matamu, walaupun kau mampu memiliki sesuatu potensi yang dapat dibanggakan. Sorot matamu yang lembut, dengan aroma kehangatan yang tak pernah terkikis dari tubuhmu, membuatku terasa tenang dan nyaman berada di dekatmu, Will. Namun, di sisi lain... selalu ada keganasan emosi yang kerap meletup kuat dalam jiwamu. Seakan ingin mengatakan pada dunia bahwa "ada seorang William Hakim di bumi ini".
Karena itulah, seorang Karla tak pernah mampu menghilangkan peranmu sebagai seorang motivator sejati dalam hidupnya. Seseorang yang selalu ada dan mendukung langkahnya. Seseorang yang sangat membutuhkan nafasmu untuk mengisi setiap ruang udara yang akan dihirupnya.

Aku tahu, kau pernah bercerita. Bagaimana Karla rela mencarimu. Mendatangi rumahmu, menunggu, bahkan rela melompati pagar rumahmu, hanya untuk memastikan dimanakah keberadaanmu saat itu. Lebih tepatnya, karena dia merasa kehilangan sosok motivatornya. Sosok seorang yang dianggap paling tangguh, justru saat itu menghilang karena titik kelemahannya kian mencuat ke permukaan. Lemah tak berdaya atas derita sakit yang dirasa.

Jujur, hingga saat ini masih terasa perih jika bibir ini dipaksa untuk mengucapkan barisan huruf K-A-R-L-A. Terlebih lagi, setelah aku mulai menyadari. Hanya ada dia dalam hatimu. Hanya ada namanya dalam kotak memorimu, mewarnai di setiap bunga tidurmu.

Kenapa Will? Kenapa kau tak pernah menganggap kehadiranku berarti bagimu?
Karenanya, jangan salahkan diriku jika pertanyaan kekecewaan itu menarik nama Greg Sullivan dalam kisah kita.

Hidup ini ibarat sebuah sistem, Will. Dimana di dalamnya ada aku, kau, dan Karla. Walau kelihatan hubungan di antara kita semua sangat berantakan, tapi sebenarnya sangat teratur sesuai dengan hukum alam. Masing-masing dari kita memiliki peran yang berbeda-beda.
Aku yang ingin engkau cintai, aku yang ingin mendapatkan hatimu, tapi sebesar apapun usahaku tetap tak mampu mengalahkan posisi Karla.
Kau yang ingin merelakan cintamu, demi kebahagiaannya walaupun memberi kesakitan padamu, tapi sebesar apapun usahamu tetap tak mampu melupakannya.
Sementara Karla (walaupun aku tak terlalu mengenalnya secara mendalam), dia tetap berusaha menantimu dengan segenap pengharapan bahwa kau akan kembali. Tapi dia sendiri pun tidak yakin, apakah penantiannya akan berbuahkan keindahan. Dia hanya yakin bahwa cinta terbesarnya hanya untukmu, Will.

Tetapi sistem ini tetap dapat diberhentikan. Jika salah satu dari kita semua berkehendak untuk mematahkannya. Karena itu, aku meminta Sullivan untuk menarikku keluar dari lingkaran sistem ini. Agar hanya tersisa elemen kau dan Karla di dalamnya. Agar kalian berdua pun sadar untuk menarik kembali benang penghubung yang sempat terputus, demi jalinan sistem kisah cinta di antara kalian sendiri.
Sayangnya, keputusanku ini terlalu lamban. Karena sudah teramat banyak hati yang terluka di dalamnya. Dan mungkin keberadaan Sullivan pun justru melukai hatimu. Dalam hal ini, aku minta maaf, Will.

William Hakim, suamiku .....
Dengan datangnya surat ini, semoga engkau mendapatkan ketenangan hakiki sebelum akhirnya jiwamu berada dalam pelukan akhirat di sana.
Dan ingatlah suamiku, sampai kapan pun aku akan terus menganggapmu begitu. You're my husband!


Your Wife,


dr. Chiara Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar