Kamis, 19 Januari 2017

THREE MUST-HYSTERIA

HARI KE #2: TIGA HAL YANG MEMBUAT HISTERIS


“It always seems impossible until it is done.”
~Alm. Nelson Mandela

Rasanya banyak hal di dunia ini yang mampu membuat siapapun histeris. Aku, kamu, dan dia. Kita bisa berteriak histeris bersama, walaupun hal yang membuat kita histeris berbeda. Tapi, konsep yang melatarbelakangi pastilah sama. Sama-sama merasa terkejut, tumbuh perasaan tidak percaya… kenapa bisa terjadi, hingga bersyukur menjadi pilihan akhir yang terbaik untuk dilakukan.
Bukan begitu rasanya kita histeris?
Dan, tiga hal yang pastinya sukses membuatku histeris itu…. there are, Three Must-Hysteria.

Hal #1: Mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan kembali


Kalau ada kata-kata klise yang mengudara, bahwa “pendidikan itu penting!”, rasanya tidak ada yang salah. Pendidikan itu investasi yang paling tidak beresiko. Semakin banyak uang yang dikeluarkan, sama sekali tidak mempengaruhi tingkat risk yang dapat dibebankan. Justru tingkat return yang akan diterima semakin besar. Tapi, investasi pendidikan ini baru akan benar-benar terasa jika kita memang bisa memanfaatkan dengan baik dan mengelolanya melalui proses yang benar.
Masih ingat kasus-kasus kebocoran soal yang disengaja selama praktik pelaksanaan Ujian Nasional hampir di seluruh kota-kota di Indonesia dulu? Itulah salah satu bentuk pengelolaan proses pendidikan yang sangat-sangat tidak tepat. Proses pembelajaran yang panjang, baik selama tiga tahun atau bahkan enam tahun, menjadi rusak hanya dalam tempo kurang dari sepekan. Ujian kelulusan yang seharusnya bisa menjadi barometer kualitas pendidikan yang sudah dienyam oleh tiap-tiap insan pebelajar justru menjadi barometer kesuksesan praktik kecurangan. Sekolah tak ubahnya mesin pencetak generasi yang suka membeo kebohongan, bahkan parahnya mendidik mereka menjadi calon-calon koruptor kelak.
Pendidikan juga bukan ajang adu gengsi yang harus berlomba-lomba mencapai strata tertinggi, atau mengoleksi deretan gelar di awal dan akhir nama. Makna pendidikan terlalu sakral dibandingkan selembar ijazah. Tapi memang untuk meraih pendidikan bahkan hingga ke jenjang yang lebih tinggi, memerlukan biaya. Tidak hanya untuk pendidikan formal seperti sekolah pada umumnya, tapi juga pendidikan nonformal seperti PKBM maupun homeschooling. Keadaan ini diperkuat berdasarkan rekaman data Statistik Pendidikan tahun 2009, terdapat beberapa alasan anak putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan. Alasan utama adalah ketiadaan biaya (56,43%), disusul alasan bekerja (9,78%), menikah (2,97%), jarak sekolah yang jauh (2,72%), cacat (2,78%), dan beberapa alasan lainnya.
Aku selalu memimpikan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi kembali lagi, permasalahan utamanya karena ketersediaan biaya. Lalu, apa benar jika ‘orang miskin dilarang sekolah’? Akh…, miris jika harus menyetujui konsep itu. Walaupun terkadang cenderung benar, tapi bukan serta-merta selalu benar kurasa. Terlebih lagi pemerintah saat ini mulai peduli pada barisan anak-anak kurang mampu yang masih memiliki minat besar untuk bersekolah. Dari dana bantuan atau berbagai pilihan beasiswa yang disajikan. Hanya saja pengorbanan untuk mendapatkan beasiswa itu cukup berat. Ada siklus persaingan yang harus dilalui sesama peminta beasiswa. Siklus yang membuat mereka harus pasrah jika seleksi hukum alam beasiswa mengharuskannya gugur sebagai kandidat penerima.
Hingga saat ini aku masih berusaha mengejar beasiswa itu. Berharap kelak akan dapat kembali menikmati hari-hari sibuk dengan crawded-nya tumpukan tugas dan deretan jadwal perkuliahan padat. Berharap nasib akan berpihak padaku. Berharap usahaku tidak akan pernah mati, sekalipun gagal akhirnya, setidaknya aku sudah mengupayakannya. Berharap segala kemungkinan akan datang, termasuk kemungkinan terbaik yang kelak dapat kunikmati.
Karenanya, aku akan berteriak histeris atau melompat kegirangan, lalu bersyukur tanpa ampun, jika kelak aku mendapatkan kesempatan untuk menerima beasiswa program doctoral dari kampus negeri ternama yang kuimpi-impikan hingga saat ini.

Hal #2: Terbangun di puncak Bukit Sikunir Dieng
Aku suka gunung, walau belum pernah sekalipun memiliki kenangan mendaki gunung. Aku belum pernah berada di ujung puncaknya.
Gunung itu seperti impian yang terlalu tinggi didaki, memerlukan ribuan perencanaan, membutuhkan segepok amunisi perjuangan, dan kadang tak jarang membuat kita terperosok jatuh dari sana. Dari dulu aku selalu bermimpi bisa menaiki puncak gunung, sekalipun hanya semenit…. rasanya tidak apa-apa. Dan, satu lokasi pendakian yang sangat ingin kudatangi itu menuju Puncak Bukit Sikunir.
Puncak Bukit Sikunir berada di desa Sembungan, Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah. Selain bisa menikmati sunrise Sikunir, kita bisa melihat 8 puncak gunung lain dengan jelas dari atas Puncak Bukit Sikunir. Bayangkan, kita terbangun di pagi buta diantara arak-arakan awan putih yang bergulung layaknya ombak angkasa, menatap langit dengan kilau Venus yang masih setia menemani Bulan, sambil menanti lahirnya Sang Mentari.
Dan, saat Mentari menggeliat manja, saat itu mata kita akan dimanjakan dengan delapan punuk gunung yang tampak malu-malu tersembul di balik arakan putih ombak angkasa. SubhanaAllah…, puji syukur pada Allah atas segala keindahan ciptaanNya. Jika sudah begini, siapa yang tahan untuk tidak berteriak histeris sambil meneriakkan, “ALHAMDULILLAH!!”

Hal #3: Berlarian di antara tetes-tetes anak hujan


Aku menyukai hujan. Akh…tidak, aku terlalu mencintai hujan. Lebih tepat begitu.
Bagiku, hujan selalu hebat dalam hal mengkamuflasekan kesedihan. Aroma basah saat menyentuh padatnya tanah, benar-benar menyegarkan. Nyanyian tetes-tetes hujan saat berjatuhan di atas rumah, benar-benar menenangkan. Dan jika kau ingin menangis dengan puas, berlarilah di tengah-tengah hujan. Kau tak perlu repot menyembunyikan air matamu. Karena saat kau menangis di tengah hujan, saat itu hujan dengan cepat akan menutupinya.
Atau, jika kau merasa penat maupun tertekan, berlarilah ke tengah-tengah hujan. Karena kau bisa berteriak histeris sepuas-puasnya diantara barisan tetes anak hujan. Teriakan paraumu akan teredam dengan gaduhnya nyanyian hujan. Jadi, jangan malu bersuara keras jika hujan berjatuhan.

Karenanya, aku selalu merindukan hujan saat tenggorokan ini mulai terasa gatal untuk bersuara lantang. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar