“It
always seems impossible until it is done.”
~Alm.
Nelson Mandela
Rasanya
banyak hal di dunia ini yang mampu membuat siapapun histeris. Aku, kamu, dan
dia. Kita bisa berteriak histeris bersama, walaupun hal yang membuat kita
histeris berbeda. Tapi, konsep yang melatarbelakangi pastilah sama. Sama-sama
merasa terkejut, tumbuh perasaan tidak percaya… kenapa bisa terjadi, hingga
bersyukur menjadi pilihan akhir yang terbaik untuk dilakukan.
Bukan
begitu rasanya kita histeris?
Dan,
tiga hal yang pastinya sukses membuatku histeris itu…. there are, Three
Must-Hysteria.
Hal #1: Mendapat beasiswa
melanjutkan pendidikan kembali
Kalau
ada kata-kata klise yang mengudara, bahwa “pendidikan itu penting!”, rasanya
tidak ada yang salah. Pendidikan itu investasi yang paling tidak beresiko. Semakin
banyak uang yang dikeluarkan, sama sekali tidak mempengaruhi tingkat risk yang dapat dibebankan. Justru
tingkat return yang akan diterima
semakin besar. Tapi, investasi pendidikan ini baru akan benar-benar terasa jika
kita memang bisa memanfaatkan dengan baik dan mengelolanya melalui proses yang
benar.
Masih
ingat kasus-kasus kebocoran soal yang disengaja selama praktik pelaksanaan
Ujian Nasional hampir di seluruh kota-kota di Indonesia dulu? Itulah salah satu
bentuk pengelolaan proses pendidikan yang sangat-sangat tidak tepat. Proses
pembelajaran yang panjang, baik selama tiga tahun atau bahkan enam tahun,
menjadi rusak hanya dalam tempo kurang dari sepekan. Ujian kelulusan yang seharusnya
bisa menjadi barometer kualitas pendidikan yang sudah dienyam oleh tiap-tiap
insan pebelajar justru menjadi barometer kesuksesan praktik kecurangan. Sekolah
tak ubahnya mesin pencetak generasi yang suka membeo kebohongan, bahkan
parahnya mendidik mereka menjadi calon-calon koruptor kelak.
Pendidikan
juga bukan ajang adu gengsi yang harus berlomba-lomba mencapai strata
tertinggi, atau mengoleksi deretan gelar di awal dan akhir nama. Makna pendidikan
terlalu sakral dibandingkan selembar ijazah. Tapi memang untuk meraih
pendidikan bahkan hingga ke jenjang yang lebih tinggi, memerlukan biaya. Tidak
hanya untuk pendidikan formal seperti sekolah pada umumnya, tapi juga
pendidikan nonformal seperti PKBM maupun homeschooling.
Keadaan ini diperkuat berdasarkan rekaman data Statistik Pendidikan tahun 2009,
terdapat beberapa alasan anak putus sekolah dan tidak melanjutkan pendidikan.
Alasan utama adalah ketiadaan biaya (56,43%), disusul alasan bekerja (9,78%),
menikah (2,97%), jarak sekolah yang jauh (2,72%), cacat (2,78%), dan beberapa
alasan lainnya.
Aku
selalu memimpikan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tapi kembali lagi, permasalahan utamanya karena ketersediaan biaya. Lalu, apa
benar jika ‘orang miskin dilarang sekolah’? Akh…, miris jika harus menyetujui
konsep itu. Walaupun terkadang cenderung benar, tapi bukan serta-merta selalu
benar kurasa. Terlebih lagi pemerintah saat ini mulai peduli pada barisan
anak-anak kurang mampu yang masih memiliki minat besar untuk bersekolah. Dari
dana bantuan atau berbagai pilihan beasiswa yang disajikan. Hanya saja
pengorbanan untuk mendapatkan beasiswa itu cukup berat. Ada siklus persaingan
yang harus dilalui sesama peminta beasiswa. Siklus yang membuat mereka harus pasrah
jika seleksi hukum alam beasiswa mengharuskannya gugur sebagai kandidat
penerima.
Hingga
saat ini aku masih berusaha mengejar beasiswa itu. Berharap kelak akan dapat
kembali menikmati hari-hari sibuk dengan crawded-nya
tumpukan tugas dan deretan jadwal perkuliahan padat. Berharap nasib akan
berpihak padaku. Berharap usahaku tidak akan pernah mati, sekalipun gagal
akhirnya, setidaknya aku sudah mengupayakannya. Berharap segala kemungkinan
akan datang, termasuk kemungkinan terbaik yang kelak dapat kunikmati.
Karenanya,
aku akan berteriak histeris atau melompat kegirangan, lalu bersyukur tanpa
ampun, jika kelak aku mendapatkan kesempatan untuk menerima beasiswa program doctoral
dari kampus negeri ternama yang kuimpi-impikan hingga saat ini.
Hal #2: Terbangun di puncak
Bukit Sikunir Dieng
Aku
suka gunung, walau belum pernah sekalipun memiliki kenangan mendaki gunung. Aku
belum pernah berada di ujung puncaknya.
Gunung
itu seperti impian yang terlalu tinggi didaki, memerlukan ribuan perencanaan,
membutuhkan segepok amunisi perjuangan, dan kadang tak jarang membuat kita
terperosok jatuh dari sana. Dari dulu aku selalu bermimpi bisa menaiki puncak
gunung, sekalipun hanya semenit…. rasanya tidak apa-apa. Dan, satu lokasi
pendakian yang sangat ingin kudatangi itu menuju Puncak Bukit Sikunir.
Puncak
Bukit Sikunir berada di desa Sembungan, Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo
Propinsi Jawa Tengah. Selain bisa menikmati sunrise
Sikunir, kita bisa melihat 8 puncak gunung lain dengan jelas dari atas
Puncak Bukit Sikunir. Bayangkan, kita terbangun di pagi buta diantara
arak-arakan awan putih yang bergulung layaknya ombak angkasa, menatap langit
dengan kilau Venus yang masih setia menemani Bulan, sambil menanti lahirnya
Sang Mentari.
Dan,
saat Mentari menggeliat manja, saat itu mata kita akan dimanjakan dengan
delapan punuk gunung yang tampak malu-malu tersembul di balik arakan putih
ombak angkasa. SubhanaAllah…, puji syukur pada Allah atas segala keindahan
ciptaanNya. Jika sudah begini, siapa yang tahan untuk tidak berteriak histeris
sambil meneriakkan, “ALHAMDULILLAH!!”
Hal #3: Berlarian di
antara tetes-tetes anak hujan
Aku
menyukai hujan. Akh…tidak, aku terlalu mencintai hujan. Lebih tepat begitu.
Bagiku,
hujan selalu hebat dalam hal mengkamuflasekan kesedihan. Aroma basah saat
menyentuh padatnya tanah, benar-benar menyegarkan. Nyanyian tetes-tetes hujan
saat berjatuhan di atas rumah, benar-benar menenangkan. Dan jika kau ingin
menangis dengan puas, berlarilah di tengah-tengah hujan. Kau tak perlu repot
menyembunyikan air matamu. Karena saat kau menangis di tengah hujan, saat itu hujan
dengan cepat akan menutupinya.
Atau,
jika kau merasa penat maupun tertekan, berlarilah ke tengah-tengah hujan.
Karena kau bisa berteriak histeris sepuas-puasnya diantara barisan tetes anak
hujan. Teriakan paraumu akan teredam dengan gaduhnya nyanyian hujan. Jadi,
jangan malu bersuara keras jika hujan berjatuhan.
Karenanya,
aku selalu merindukan hujan saat tenggorokan ini mulai terasa gatal untuk
bersuara lantang. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar