HARI
KE #1: TIPE KEKASIH DAMBAAN
Keith:
“Kita tidak bisa menilai buku dari sampulnya.”
Watts:
“Ya, tapi dari sampul kita bisa menilai berapa harganya.”
~Some
Kind of Wonderful
Aku tidak pernah menganggap serius setiap kali dulu ada yang melontarkan pertanyaan semacam, “Seperti apa, sih, tipe kekasih idaman, dambaan, dan yang kamu inginkan?”. Pertanyaan klise yang kadang tidak begitu penting dijawab. Karena kurasa, jika sudah menyangkut urusan hati, jawaban terkonyol seperti apapun tetap harus dihargai. Jadi, tidak perlu terlalu serius dipikirkan atau sampai menunggu kelahiran Satria Piningit—yang penuh misteri, untuk sekedar menemukan jawabannya. Lagi pula, bukankah suatu konsep yang berasal dari hati itu cenderung lebih jujur dari kata yang terucap di mulut? Kata mereka kebanyakan begitu, sih.
Kebanyakan
orang bilang—yang mungkin sudah terlalu sering kita dengar, kalau cinta kadang
sukses membuat pikiran menjadi tidak realistis. Ketidakrealistisan yang
biasanya bersumber dari rasa suka, kemudian meningkat menjadi idola, dan
selanjutnya bermetamorfosis menjadi sosok yang terlalu sayang untuk dilupakan. Dan
untuk kesekian kali, karenanya aku merasa tak perlu malu untuk menyuarakan
ketidakrealistisanku itu.
Tipe
kekasih idealku itu someone like a bad
boy. Agak badung, urakan, punya track
record as troublemaker, dan ribuan badge
negatif yang melekat pada dirinya.
Jika
ada yang bertanya, “Kenapa? Nggak ilfil sama mereka?”
“Nggak!”
dengan tegas akan kujawab begitu.
Kenapa?
Karena rasanya kita harus berlaku adil seperti yang dikatakan Keith di atas, don’t judge a book by the cover. Pernah
berpikir tidak, mereka-mereka yang dicap sebagai troublemaker itu sebenarnya tidak begitu puas dengan labeling yang
diberikan. Kalau dipikir dengan rasional, memang ada anak yang mau dicap nakal,
bodoh, gila, atau dinilai sebelah mata? Rasa-rasanya tidak. Ada alasan yang
menjadikan mereka terpaksa bersikap seperti itu. Terpaksa harus menjalaninya
demi tujuan tersembunyi lain.
Bisa
dibilang, mereka kaum bad boy pernah
merasakan jatuh-bangunnya kehidupan. Ada kegetiran yang sempat mereka kecam
hingga mendorong mereka untuk menjadi kuat dan menuntut perhatian lebih dari
luar. Keadaan yang memaksa mereka terbangun seorang diri. Berusaha mandiri menemukan
jati dirinya yang hilang. Mereka kerap memupuk kenyamanan dari distraction lain yang sengaja
dihadirkan. Walau terkadang pengalihan perhatian itu dilakukan dengan cara yang
tak selalu benar. Dalam bagian ini, aku setuju dengan pendapat Watts di atas.
Ada harga mahal yang harus dibayar kaum bad
boy akan pelajaran hidup yang sengaja dihadirkan dalam kisah mereka.
Tapi,
bukan berarti mantan pencuri tidak berhak insaf, kan. Atau mantan playboy tidak
berhak mendapatkan cinta. Tiap something-something
yang bernyawa berhak untuk mempunyai harapan menjadi lebih baik.
Ada
seorang bad boy yang pernah hadir di
hidupku. Sebut saja dia, Bee. Seperti halnya lebah yang tidak betah berdiam di
satu tempat, dia selalu bergerak cepat dari satu hati ke hati lainnya hingga
gerak kepak sayapnya pun tampak tak kasat mata.
Sosok
Bee kukenal saat masa-masa kuliah dulu. Awalnya aku tidak begitu terlalu
memperhatikan Bee sebelumnya. Sebelum mengenal dia, lebih tepatnya begitu. Perkenalan
dengannya pun terasa tidak disengaja, atau justru sengaja sudah digariskan
olehNya.
Jarang
sekali menemukan Bee berjalan sendirian di lorong-lorong kampus. Bee memang tak
pernah lepas dari ketiga sosok temannya, Melky, Rojak, dan Banyu. Geng bad bod yang paling terkenal seantero
kampus. Soal wajah, tidak usah ditanya. Faktor penampilan fisik itu menjadi modal
utama yang membuat mereka layak menjadi generasi penerus Don Juan. Maka, wajar
saja sekalipun terkenal badung setengah mati, tapi tetap ada deretan cewek-cewek
yang siap mengantri. Terlalu banyak cewek bodoh yang siap hatinya tersakiti. Sayangnya,
aku tidak berminat untuk masuk menjadi salah satu di antara sekian cewek bodoh
itu. Janji keangkuhan yang sempat kulontarkan jauh-jauh sebelum mengidolakan Bee.
Aku
mulai mengagumi Bee sejak aku menyadari bahwa ternyata dialah sosok yang
kukagumi selama ini. Aneh, ya? Yah, karena sebelumnya aku mengenal Bee hanya dari
suara. Gelombang suara itu kutemukan dari sambungan kabel-kabel tipis pesawat
radio.
Aku
suka sekali mendengarkan radio, yang jaman dulu pendengar stasiun radio masih menjamur
dari berbagai kalangan—karena mendownload file
playlist musik digital belum semudah sekarang . Ada acara favoritku setiap
pagi hari di sebuah stasiun radio lokal. Acara itu mengharuskan pendengar
setianya untuk beragumen atau sekedar sharing
sejenak dulu sesuai topik yang ditentukan, sebelum mereka me-request sebuah lagu. Topik itu pun
berubah-ubah setiap harinya.
Dan,
Bee hampir tidak pernah absen di acara itu. Dia tidak menggunakan nama samaran
saat mengenalkan diri sebagai pendengar setianya. Bahkan, dia tak segan-segan
menyebutkan beberapa kali nama kampusku dalam sesi perkenalannya. Tapi aku
masih terlalu bego untuk menyadari jika Bee yang kuidolakan ini adalah Bee yang
kukenal, sosok yang sempat kubenci.
Bee
tak pernah ragu menceritakan keadaannya, menjawab setiap pertanyaan mulai dari simple-topic sampai heavy-topic yang
diajukan oleh penyiarnya. Dari acara
itu, aku tahu jika Bee adalah korban dari broken
home. Ayahnya gila kerja sementara mamanya memiliki pria idaman lain, keadaan
itulah yang kerap sukses menciptakan suasana hiruk-pikuk di rumahnya. Bee tidak tahu kenapa dia harus
melanjutkan studi di jurusan yang dipilihnya saat itu, tidak mengerti batasan
pergaulan yang seharusnya tak perlu dijamah. Hingga tak sadar, barisan
kegalauan itu yang memupuk subur label playboy pada dirinya. Mencoba berlari di
antara berbagai macam hati, tanpa tahu kapan rutinitas pelarian itu akan
berhenti.
Dari
acara itu, banyak pendengar-pendengar lainnya yang berempati pada Bee. Banyak
yang menyampaikan saran dan masukan, berharap Bee dapat berubah, berharap Bee
dapat terhibur. Tak terkecuali aku. Tapi sayang, hanya di dalam hati. Karena aku
tak pernah benar-benar berani menyuarakannya.
Aku
tidak pernah mengira jika pemilik suara yang kukagumi itu seorang Bee, hingga datangnya
kejadian sial yang menuntunku padanya. Hari itu aku kehilangan handphone, satu-satunya alat komunikasi
yang bisa kumanfaatkan untuk bertukar kabar dengan kedua orang tuaku. Maklum,
saat itu aku masih anak kost-kostan yang kadang dipaksa menelan pil pahit kerinduan
untuk pulang demi alasan pengiritan. Karenanya, kehilangan handphone bagiku sebuah musibah besar, sekalipun fasilitas benda
berharga yang kumiliki itu sebatas jusmelon…, just message and telephone.
“Diinget-inget
dulu, deh. Terakhir kamu taroh di mana HP-nya?” tanya Lena, sahabatku kala itu.
Pertanyaan—lebih mirip perintah—itu membuatku terpaksa menghentikan gerakan
tanganku yang sedari tadi mengobok-obok isi tas. Terakhir kuingat handphone itu memang masih sempat kugunakan
sebelum masuk ke toilet kampus.
Apa
mungkin ketinggalan di sana?
Tanpa
pikir panjang, aku langsung berdiri dan bermaksud berlari ke toilet. Tapi
mendadak langkahku terhenti saat handphone
Lena berdering, lalu dia mengisyaratkan padaku untuk tenang di tempat. Detik
berikutnya, Lena mengangsurkan handphone-nya
padaku.
“Kenapa?”
tanyaku setengah berbisik. Lagi-lagi dengan bahasa isyarat Lena menyuruhku
untuk berbicara dengan lawan bicaranya tadi. “Hmm…, ada apa, ya?”
“Kamu
yang punya HP ini?” sahut suara seberang. Suara yang entah kenapa rasanya
begitu tak asing di telingaku.
“Eh,
kenapa?”
“Nomor
ini, nomor yang kupake telepon, bener nomormu, kan?”
Buru-buru
kulihat layar handphone Lena. Dan, memang
benar itu deretan angka nomor teleponku.
“Kamu
nemu HP-ku di mana?” berondongku kemudian, tanpa menjawab pertanyaannya.
Suara
di seberang pun tidak menjawab. Dia hanya menyebutkan lokasi di mana aku harus
segera menemuinya. Akh…, suara itu. Benar-benar aku merasa mengenalnya.
Buru-buru
aku dan Lena menuju tempat yang dimaksud. Tapi langkahku terhenti, mencoba meyakinkan
diri sendiri saat melihat sosok yang tadi sempat meneleponku. Benarkah dia Bee?
Benarkah dia pemilik suara berat yang kukagumi itu? Karena sepanjang jalan
tadi, sepertinya aku mulai menemukan jawaban atas ingatan asal suara itu.
Kali
ini Bee seorang diri di sana, tidak ada tiga ekor manusia yang membayanginya. Dia
pun refleks tersenyum begitu menyadari kehadiranku dan Lena.
Oke,
dia lumayan ramah. Penilaian pertamaku. Masih memasang
benteng pertahanan yang sama. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin dianggap sama
seperti wanita lainnya yang selalu mengelu-elukan keberadaannya.
“Hai,”
sapanya.
Hanya
satu kata, tapi sukses membuatku melongo. Meruntuhkan pertahananku. Persis
seperti suara yang kuingat…, terlalu seksi untuk dilupakan.
“Cari
HP ini, ya?” tanya Bee sambil mengacungkan handphone
jadulku.
Aku
mengangguk padanya. Dia pun mengulurkan benda
itu ke arahku, Dengan bodohnya, aku hanya menerimanya. Begitu saja. Tanpa ada
senyuman, apalagi ucapan terima kasih—Lena yang mengambil peran ini. Lalu, aku
pun kabur dari hadapannya.
Aku
seperti merasa tidak ikhlas, malu, dan ingin melakukan aksi protes
besar-besaran. Kenapa harus spesies Bee ini yang menjadi pemilik suara itu?
Kenapa harus bad boy satu ini yang ternyata
kukagumi selama ini?
Sebenarnya,
saat itu aku hanya berani sebatas mengagumi Bee dari kejauhan. Gengsi untuk
berbuat ekstrim seperti mengenalkan diri secara langsung, mengobrol layaknya
orang normal, lalu bebas melakukan berbagai aksi pedekate. Akh… tidak. Aku
bukan orang senekat itu. Karena ada harga diri sebagai seorang perempuan yang
harus kujaga.
Hanya
berani mengidolakannya dari kejauhan. Cukup mendengarkan suara beratnya dari
balik lubang-lubang kecil horn radio.
Seraya berharap, kelak aku akan menemukan idola bad boy terbaik yang memang akan dianugerahkan olehNya dalam kisah
hidupku. Seperti spesies bad boy yang
kini menjadi pendamping setiaku, dialah suamiku tercinta. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar