Rabu, 18 Januari 2017

SOMEONE LIKE A BAD BOY

HARI KE #1: TIPE KEKASIH DAMBAAN


Keith: “Kita tidak bisa menilai buku dari sampulnya.”
Watts: “Ya, tapi dari sampul kita bisa menilai berapa harganya.”
~Some Kind of Wonderful

Aku tidak pernah menganggap serius setiap kali dulu ada yang melontarkan pertanyaan semacam, “Seperti apa, sih, tipe kekasih idaman, dambaan, dan yang kamu inginkan?”. Pertanyaan klise yang kadang tidak begitu penting dijawab. Karena kurasa, jika sudah menyangkut urusan hati, jawaban terkonyol seperti apapun tetap harus dihargai. Jadi, tidak perlu terlalu serius dipikirkan atau sampai menunggu kelahiran Satria Piningit—yang penuh misteri, untuk sekedar menemukan jawabannya. Lagi pula, bukankah suatu konsep yang berasal dari hati itu cenderung lebih jujur dari kata yang terucap di mulut? Kata mereka kebanyakan begitu, sih.
Kebanyakan orang bilang—yang mungkin sudah terlalu sering kita dengar, kalau cinta kadang sukses membuat pikiran menjadi tidak realistis. Ketidakrealistisan yang biasanya bersumber dari rasa suka, kemudian meningkat menjadi idola, dan selanjutnya bermetamorfosis menjadi sosok yang terlalu sayang untuk dilupakan. Dan untuk kesekian kali, karenanya aku merasa tak perlu malu untuk menyuarakan ketidakrealistisanku itu.
Tipe kekasih idealku itu someone like a bad boy. Agak badung, urakan, punya track record as troublemaker, dan ribuan badge negatif yang melekat pada dirinya.
Jika ada yang bertanya, “Kenapa? Nggak ilfil sama mereka?”
“Nggak!” dengan tegas akan kujawab begitu.
Kenapa? Karena rasanya kita harus berlaku adil seperti yang dikatakan Keith di atas, don’t judge a book by the cover. Pernah berpikir tidak, mereka-mereka yang dicap sebagai troublemaker itu sebenarnya tidak begitu puas dengan labeling yang diberikan. Kalau dipikir dengan rasional, memang ada anak yang mau dicap nakal, bodoh, gila, atau dinilai sebelah mata? Rasa-rasanya tidak. Ada alasan yang menjadikan mereka terpaksa bersikap seperti itu. Terpaksa harus menjalaninya demi tujuan tersembunyi lain.
Bisa dibilang, mereka kaum bad boy pernah merasakan jatuh-bangunnya kehidupan. Ada kegetiran yang sempat mereka kecam hingga mendorong mereka untuk menjadi kuat dan menuntut perhatian lebih dari luar. Keadaan yang memaksa mereka terbangun seorang diri. Berusaha mandiri menemukan jati dirinya yang hilang. Mereka kerap memupuk kenyamanan dari distraction lain yang sengaja dihadirkan. Walau terkadang pengalihan perhatian itu dilakukan dengan cara yang tak selalu benar. Dalam bagian ini, aku setuju dengan pendapat Watts di atas. Ada harga mahal yang harus dibayar kaum bad boy akan pelajaran hidup yang sengaja dihadirkan dalam kisah mereka.
Tapi, bukan berarti mantan pencuri tidak berhak insaf, kan. Atau mantan playboy tidak berhak mendapatkan cinta. Tiap something-something yang bernyawa berhak untuk mempunyai harapan menjadi lebih baik.
Ada seorang bad boy yang pernah hadir di hidupku. Sebut saja dia, Bee. Seperti halnya lebah yang tidak betah berdiam di satu tempat, dia selalu bergerak cepat dari satu hati ke hati lainnya hingga gerak kepak sayapnya pun tampak tak kasat mata.
Sosok Bee kukenal saat masa-masa kuliah dulu. Awalnya aku tidak begitu terlalu memperhatikan Bee sebelumnya. Sebelum mengenal dia, lebih tepatnya begitu. Perkenalan dengannya pun terasa tidak disengaja, atau justru sengaja sudah digariskan olehNya.
Jarang sekali menemukan Bee berjalan sendirian di lorong-lorong kampus. Bee memang tak pernah lepas dari ketiga sosok temannya, Melky, Rojak, dan Banyu. Geng bad bod yang paling terkenal seantero kampus. Soal wajah, tidak usah ditanya. Faktor penampilan fisik itu menjadi modal utama yang membuat mereka layak menjadi generasi penerus Don Juan. Maka, wajar saja sekalipun terkenal badung setengah mati, tapi tetap ada deretan cewek-cewek yang siap mengantri. Terlalu banyak cewek bodoh yang siap hatinya tersakiti. Sayangnya, aku tidak berminat untuk masuk menjadi salah satu di antara sekian cewek bodoh itu. Janji keangkuhan yang sempat kulontarkan jauh-jauh sebelum mengidolakan Bee.
Aku mulai mengagumi Bee sejak aku menyadari bahwa ternyata dialah sosok yang kukagumi selama ini. Aneh, ya? Yah, karena sebelumnya aku mengenal Bee hanya dari suara. Gelombang suara itu kutemukan dari sambungan kabel-kabel tipis pesawat radio.
Aku suka sekali mendengarkan radio, yang jaman dulu pendengar stasiun radio masih menjamur dari berbagai kalangan—karena mendownload file playlist musik digital belum semudah sekarang . Ada acara favoritku setiap pagi hari di sebuah stasiun radio lokal. Acara itu mengharuskan pendengar setianya untuk beragumen atau sekedar sharing sejenak dulu sesuai topik yang ditentukan, sebelum mereka me-request sebuah lagu. Topik itu pun berubah-ubah setiap harinya.
Dan, Bee hampir tidak pernah absen di acara itu. Dia tidak menggunakan nama samaran saat mengenalkan diri sebagai pendengar setianya. Bahkan, dia tak segan-segan menyebutkan beberapa kali nama kampusku dalam sesi perkenalannya. Tapi aku masih terlalu bego untuk menyadari jika Bee yang kuidolakan ini adalah Bee yang kukenal, sosok yang sempat kubenci.
Bee tak pernah ragu menceritakan keadaannya, menjawab setiap pertanyaan mulai dari simple-topic sampai heavy-topic yang diajukan oleh penyiarnya. Dari acara itu, aku tahu jika Bee adalah korban dari broken home. Ayahnya gila kerja sementara mamanya memiliki pria idaman lain, keadaan itulah yang kerap sukses menciptakan suasana hiruk-pikuk di rumahnya. Bee tidak tahu kenapa dia harus melanjutkan studi di jurusan yang dipilihnya saat itu, tidak mengerti batasan pergaulan yang seharusnya tak perlu dijamah. Hingga tak sadar, barisan kegalauan itu yang memupuk subur label playboy pada dirinya. Mencoba berlari di antara berbagai macam hati, tanpa tahu kapan rutinitas pelarian itu akan berhenti.
Dari acara itu, banyak pendengar-pendengar lainnya yang berempati pada Bee. Banyak yang menyampaikan saran dan masukan, berharap Bee dapat berubah, berharap Bee dapat terhibur. Tak terkecuali aku. Tapi sayang, hanya di dalam hati. Karena aku tak pernah benar-benar berani menyuarakannya.
Aku tidak pernah mengira jika pemilik suara yang kukagumi itu seorang Bee, hingga datangnya kejadian sial yang menuntunku padanya. Hari itu aku kehilangan handphone, satu-satunya alat komunikasi yang bisa kumanfaatkan untuk bertukar kabar dengan kedua orang tuaku. Maklum, saat itu aku masih anak kost-kostan yang kadang dipaksa menelan pil pahit kerinduan untuk pulang demi alasan pengiritan. Karenanya, kehilangan handphone bagiku sebuah musibah besar, sekalipun fasilitas benda berharga yang kumiliki itu sebatas jusmelon…, just message and telephone.  
“Diinget-inget dulu, deh. Terakhir kamu taroh di mana HP-nya?” tanya Lena, sahabatku kala itu. Pertanyaan—lebih mirip perintah—itu membuatku terpaksa menghentikan gerakan tanganku yang sedari tadi mengobok-obok isi tas. Terakhir kuingat handphone itu memang masih sempat kugunakan sebelum masuk ke toilet kampus.
Apa mungkin ketinggalan di sana?
Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri dan bermaksud berlari ke toilet. Tapi mendadak langkahku terhenti saat handphone Lena berdering, lalu dia mengisyaratkan padaku untuk tenang di tempat. Detik berikutnya, Lena mengangsurkan handphone-nya padaku.
“Kenapa?” tanyaku setengah berbisik. Lagi-lagi dengan bahasa isyarat Lena menyuruhku untuk berbicara dengan lawan bicaranya tadi. “Hmm…, ada apa, ya?”
“Kamu yang punya HP ini?” sahut suara seberang. Suara yang entah kenapa rasanya begitu tak asing di telingaku.
“Eh, kenapa?”
“Nomor ini, nomor yang kupake telepon, bener nomormu, kan?”
Buru-buru kulihat layar handphone Lena. Dan, memang benar itu deretan angka nomor teleponku.
“Kamu nemu HP-ku di mana?” berondongku kemudian, tanpa menjawab pertanyaannya.
Suara di seberang pun tidak menjawab. Dia hanya menyebutkan lokasi di mana aku harus segera menemuinya. Akh…, suara itu. Benar-benar aku merasa mengenalnya.
Buru-buru aku dan Lena menuju tempat yang dimaksud. Tapi langkahku terhenti, mencoba meyakinkan diri sendiri saat melihat sosok yang tadi sempat meneleponku. Benarkah dia Bee? Benarkah dia pemilik suara berat yang kukagumi itu? Karena sepanjang jalan tadi, sepertinya aku mulai menemukan jawaban atas ingatan asal suara itu.
Kali ini Bee seorang diri di sana, tidak ada tiga ekor manusia yang membayanginya. Dia pun refleks tersenyum begitu menyadari kehadiranku dan Lena.
Oke, dia lumayan ramah. Penilaian pertamaku. Masih memasang benteng pertahanan yang sama. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin dianggap sama seperti wanita lainnya yang selalu mengelu-elukan keberadaannya.
“Hai,” sapanya.
Hanya satu kata, tapi sukses membuatku melongo. Meruntuhkan pertahananku. Persis seperti suara yang kuingat…, terlalu seksi untuk dilupakan.
“Cari HP ini, ya?” tanya Bee sambil mengacungkan handphone jadulku.
Aku mengangguk padanya. Dia pun mengulurkan benda itu ke arahku, Dengan bodohnya, aku hanya menerimanya. Begitu saja. Tanpa ada senyuman, apalagi ucapan terima kasih—Lena yang mengambil peran ini. Lalu, aku pun kabur dari hadapannya.
Aku seperti merasa tidak ikhlas, malu, dan ingin melakukan aksi protes besar-besaran. Kenapa harus spesies Bee ini yang menjadi pemilik suara itu? Kenapa harus bad boy satu ini yang ternyata kukagumi selama ini?
Sebenarnya, saat itu aku hanya berani sebatas mengagumi Bee dari kejauhan. Gengsi untuk berbuat ekstrim seperti mengenalkan diri secara langsung, mengobrol layaknya orang normal, lalu bebas melakukan berbagai aksi pedekate. Akh… tidak. Aku bukan orang senekat itu. Karena ada harga diri sebagai seorang perempuan yang harus kujaga.

Hanya berani mengidolakannya dari kejauhan. Cukup mendengarkan suara beratnya dari balik lubang-lubang kecil horn radio. Seraya berharap, kelak aku akan menemukan idola bad boy terbaik yang memang akan dianugerahkan olehNya dalam kisah hidupku. Seperti spesies bad boy yang kini menjadi pendamping setiaku, dialah suamiku tercinta. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar