Sabtu, 21 Januari 2017

FROM DEMOCRATIC TO DEMO-HEART

HARI KE #4: PERTEMUAN PERTAMA


“Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven,
sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off
dan delapan menit sebelum landing….
In a way, it’s kinda the same with meeting people.
Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk,
lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum,
tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita
apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.”
~Critical Eleven - Ika Natassa

Berani bertaruh, pertanyaan Writing Challenge #10DaysKF dari @KampusFiksi di hari keempat ini pasti bisa buat siapa pun yang mau menjawabnya jadi terserang virus galau dulu—walaupun tanpa perlu menyebut merk sosok yang diceritakan nantinya. Karena pastinya akan mengulik kembali kisah masa lampau yang (sempat) berhasil atau justru gagal. Hayo, siapa yang setuju?
#DearMantan… akh, tidak. Sosok ‘dia’ yang ingin kuceritakan di sini bukan seseorang yang pernah bernyawa terang dalam status pasangan kekasihku, kok. Hanya kenalan, layaknya teman biasa. Tapi, jujur dia istimewa. Hingga, kadang kenangan pertemuan dengannya terlalu sayang untuk dilupakan.
Ada ungkapan menye-menye yang rasanya hampir basi untuk diulang, yang bunyinya: “Kenapa harus ada air mata saat perpisahan, jika hanya ada senyum saat pertemuan”. Kenapa? Yah, karena kurang-lebih sama dengan konsep Critical Eleven di atas. Penilaian kita terhadap seseorang yang baru dikenal atau baru ditemui itu memang prosentase terbesarnya cenderung dipengaruhi oleh first impression. Kita dipaksa untuk mengkritisi mulai dari penampilan, gaya berbicara, topik obrolan, cara dia memproduksi senyum, bahkan sampai mendetail cara dia makan. Kadang semua itu perlu dinilai, untuk meyakinkan diri sendiri apakah lawan yang baru kita kenal ini layak untuk semakin dikenal.   
Di awal pertemuanku dengan dia, peraturan itu pun berlaku.
Dia salah satu aktivis aktif kampus. Dia sangat terkenal di mata mahasiswa yang hobi cuap-cuap, jago protes, dan sering turun ke jalanan, Bukan rahasia umum jika dia kerap dianggap sebagai arsitek dari setiap aksi mahasiswa, entah di dalam, entah di luar kampus. Kalau kalian sempat melihat dia lagi asyik mengobrol dengan kumpulan mahasiswa lain di suatu warung kopi, kemudian beberapa menit saat dia melangkah keluar dari warung itu tiba-tiba ada aksi demonstrasi di sana, bisa jadi dia penyebab utamanya. Bisa jadi dia berhasil memprovokasi mahasiswa lainnya untuk tertular bercuap-cuap juga.
Saat itu aku masih berstatuskan mahasiswa tahun pertama. Bisa dibilang sangat dini berkenalan dengan dunia idealisme kampus. Masih dalam taraf coba-coba bergaya sok sibuk dalam dunia keorganisasian kampus. Sekedar seru-seruan. Sekaligus mengisi waktu kosong di sela rutinitas jadwal perkuliahan. Tapi, semua pandangan ini termuntahkan semenjak aku mengenal sosok dia.



Hari itu, di antara kilau teriknya mentari, dia muncul. Dalam balutan navy-coat—penunjuk identitas kampus tempat dia belajar, dengan bagian lengannya yang digulung asal sampai ke siku,. Gaya sedikit pemberontak yang kusuka. Sedari tadi, dia asyik sekali menyapa gerombolan massa di hadapannya. Dia berdiri di atas mobil pick-up dengan bak terbuka sambil memekik-liar lewat megaphone loud speaker yang digenggamnya. Berorasi panjang tentang retorika demokrasi yang semuanya terasa masih sangat awam bagiku. Dia kemilau. Persis seperti yang kuingat.
Dia bukan tipikal cowok metroseksual yang umumnya cenderung terlihat ‘cantik’. Tapi, bohong kalau aku bilang dia tidak menarik. Gayanya yang seperti lelaki sejati walau tanpa wewangian cologne justru terlihat memikat. Walau siang itu—kali pertama melihat dia, wajahnya mulai penuh oleh ribuan peluh yang mengalir basah, tapi sama sekali tidak mengurangi penilaianku terhadapnya. Dia begitu kharismatik. Cara dia berbicara dengan nada lantang, tekstur ketegasan yang terasa matang, seolah menghipnotis mataku untuk tak berhenti memandang wajahnya. Dan, tanpa sadar detik itu pun aku berani berjanji untuk tak pernah absen ikut dalam setiap aksi demonstrasi kampus jika akan ada dia di dalamnya. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu seseorang yang mulai terduduk manis di hatiku. Demi dia.
Inilah tiga menit penerbangan hatiku tentang dia setelah take-off.
Beberapa jam kemudian, setelah aksi demonstrasi tadi yang cukup menyita waktu dan tenagaku, ternyata aku masih juga dihadapkan pada kondisi yang kembali menguras tenaga. Harus terburu-buru berlari mengejar metromini dengan line jurusan menuju tempat kostku. Jurusan metromini yang terbilang cukup langka, apalagi jarang melintas di area itu. Jadi memang jogging siang seperti ini solusinya, kalau tidak ingin terlambat pulang.
Setelah berada di dalam metromini, aku baru sadar ada satu wajah yang kukenal di antara sesak penumpangnya. Wajah dia. Dia yang penuh kemilau. Saat mata kami beradu, aku mencoba tersenyum padanya. Tapi dia, bukannya membalas senyumku, justru membuang muka. Melempar pandangan ke arah luar jendela. Seharusnya navi-coat  yang kugunakan sudah cukup menjelaskan siapa aku. Mahasiswa satu almamater. Peserta demonstrasi. Atau, adik tingkat yang malang dan terlupakan.
Sepanjang jalan, aku mencoba mengira-ngira. Apa yang salah? Apa dia tidak bisa melihat senyumku? Apa dia tidak tahu kalau senyum itu kuarahkan padanya? Apa memang gini kelakuan aslinya… sombong, sok jual mahal? Pemikiran yang membuatku berpikir ulang atas penilaian yang kuberikan padanya di tiga menit pertemuan pertama tadi. Ternyata dia tak seindah yang kubayangkan.
Tapi, jika kisah ini berhenti di sini, jelas tidak mungkin kenangan tentang dia jadi begitu sulit untuk dilupakan.
Saat satu per satu penumpang metromini itu mulai turun keluar hingga tersisa hanya aku, dia, dan seorang kakek tua, saat itu dia mulai bersuara. Kata-kata pertama untukku.
“Kon anak maba, yo?”
“Iya, Mas.”
“Pantes, wajahe asing,” sahutnya masih dengan logat jawa timuran.
Spontan aku tersenyum. “Kayak alien baru turun ke bumi, ya.”
Dia tertawa pelan. “Agak mirip, sih,” lanjutnya.
Aku pun tertular, ikut terkekeh bersamanya.
“Enak enggak melu demo?”
“Capek,” jawabku singkat.
Lagi-lagi, dia terkekeh. “Tapi lebih capek lagi kalau ngelihat ada orang bikin salah, tapi kita nggak berani bilang dia salah. Capek hati.”
“Jadi, karena itu Mas suka demo? Enggak takut nanti kena karma, didemo balik kapan-kapan nanti?”
“Kadang… demokrasi itu membuka mulut, tapi tidak mengisinya.”
Aku menatapnya dengan bingung.
Aphorisms-nya Leonid S. Sukhorukov. Pernah denger enggak?”
Aku menggeleng. Lemas. Damn it. Tema obrolannya terlalu berat. Dan, otakku terlalu capek untuk berpikir.
Dia pun ber-ooh panjang. “Kadang demokrasi itu mendorong orang buat bebas bersuara, jadi gampang demo. Tapi enggak semua pendemo itu bener-bener menyuarakan kata hatinya sendiri. Kadang ada segelintir orang yang mereka rela ikutan demo karena ada kepentingan tertentu, Demi uang, demi jabatan mungkin…., kadang malah ada yang karena ikut-ikutan aja.”
Aku terdiam. Kalimat bagian terakhirnya tidak begitu kusuka. Seperti menuduh keadaanku. Demo sekedar ikut-ikutan semata.
“Bukannya aksi apapun itu butuh orang yang mau sekedar ikut-ikutan, ya? Aksi sosial sekalipun, kalau cuma ada volunteer-nya doang tanpa sukarelawan yang mau ikut-ikutan, mana bisa jalan coba?”
Dia mengerutkan kening. Tampak berpikir. Kesempatan ini pun kumanfaatkan untuk kembali membuka mulut.
“Walaupun cuma ikut-ikutan awalnya enggak masalah, loh. Biar mereka ngerasain sendiri seperti apa demonstrasi, sepenting apa ikutan demo. Baru kalau mereka udah ngeh, bisa jadi ke depannya mereka enggak sekedar jadi follower aja.”
Dia tampak sedikit terkejut mendengar jawabanku. Sampai akhirnya tersenyum, setengah dipaksakan.
“Belajar dari mana, sih, bisa dapet kata-kata kayak gitu?”
“Ya pastinya enggak dari serial Upin-Ipin,” jawabku asal yang sukses membuat dia tergelak. Surprise banget bisa lihat cara dia tertawa lepas seperti itu.
“Kayaknya kamu suka baca, ya?”
“Suka. Tapi, spesialis novel romance,” sahutku cuek. Sepertinya tidak perlu berpura-pura disama-samakan dengan kesukaannya. Dia suka dengan bacaan sosial-politik yang lebih berat, sepertinya. Aku pun mulai tidak peduli jika dia menganggapku lawan bicara yang payah. Dan, membosankan.
Dan untuk kedua kalinya dia ber-ooh panjang mendengar jawabanku.
Tuh kan. Dia mulai bosan.
“Enggak nyangka ada maba ajaib kayak kamu.”
Akh… kata-kata itu. Tiba-tiba membuat pipiku terasa memanas.
“Aku turun duluan, ya. Seru bisa kebetulan ngobrol sama kamu,” pamitnya, sebelum turun keluar mikrolet mendahuluiku.
Aku hanya membisu. Melepas kepergiaannya begitu saja. Saat kutatap punggungnya yang mulai berjalan menjauh, baru aku tersadar. Belum ada sahutan untuk salam pamitnya. Belum melontarkan tanggapan apa-apa. Bahkan, kami juga belum berkenalan. Hey, kamu. Enggak penasaran sama namaku?
Dan, bisa dibilang delapan menit sebelum landing dari penerbangan hatiku tentang dia telah berakhir. Pesawatnya memang berhasil mendarat dengan aman, tapi sepertinya ada bagiannya yang hilang. Mendorong hatiku gaduh berdemo ria.

Bagian yang hilang itulah yang membuatku masih menyisakan sedikit ruang akan kenangan tentang dia. Dan, kembali membayangkannya sekarang. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar