HARI KE #4: PERTEMUAN PERTAMA
“Dalam
dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven,
sebelas
menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off
dan
delapan menit sebelum landing….
In
a way, it’s kinda the same with meeting people.
Tiga
menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk,
lalu
ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum,
tindak
tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita
apakah
itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.”
~Critical
Eleven - Ika Natassa
Berani
bertaruh, pertanyaan Writing Challenge
#10DaysKF dari @KampusFiksi di hari
keempat ini pasti bisa buat siapa pun yang mau menjawabnya jadi terserang virus
galau dulu—walaupun tanpa perlu menyebut merk
sosok yang diceritakan nantinya. Karena pastinya akan mengulik kembali
kisah masa lampau yang (sempat) berhasil atau justru gagal. Hayo, siapa yang
setuju?
#DearMantan…
akh, tidak. Sosok ‘dia’ yang ingin kuceritakan di sini bukan seseorang yang
pernah bernyawa terang dalam status pasangan kekasihku, kok. Hanya kenalan,
layaknya teman biasa. Tapi, jujur dia istimewa. Hingga, kadang kenangan pertemuan
dengannya terlalu sayang untuk dilupakan.
Ada
ungkapan menye-menye yang rasanya hampir basi untuk diulang, yang bunyinya: “Kenapa
harus ada air mata saat perpisahan, jika hanya ada senyum saat pertemuan”.
Kenapa? Yah, karena kurang-lebih sama dengan konsep Critical Eleven di atas. Penilaian kita terhadap seseorang yang
baru dikenal atau baru ditemui itu memang prosentase terbesarnya cenderung
dipengaruhi oleh first impression.
Kita dipaksa untuk mengkritisi mulai dari penampilan, gaya berbicara, topik obrolan,
cara dia memproduksi senyum, bahkan sampai mendetail cara dia makan. Kadang
semua itu perlu dinilai, untuk meyakinkan diri sendiri apakah lawan yang baru
kita kenal ini layak untuk semakin dikenal.
Di
awal pertemuanku dengan dia, peraturan itu pun berlaku.
Dia
salah satu aktivis aktif kampus. Dia sangat terkenal di mata mahasiswa yang
hobi cuap-cuap, jago protes, dan sering turun ke jalanan, Bukan rahasia umum
jika dia kerap dianggap sebagai arsitek dari setiap aksi mahasiswa, entah di
dalam, entah di luar kampus. Kalau kalian sempat melihat dia lagi asyik
mengobrol dengan kumpulan mahasiswa lain di suatu warung kopi, kemudian beberapa
menit saat dia melangkah keluar dari warung itu tiba-tiba ada aksi demonstrasi
di sana, bisa jadi dia penyebab utamanya. Bisa jadi dia berhasil memprovokasi
mahasiswa lainnya untuk tertular bercuap-cuap juga.
Saat
itu aku masih berstatuskan mahasiswa tahun pertama. Bisa dibilang sangat dini
berkenalan dengan dunia idealisme kampus. Masih dalam taraf coba-coba bergaya sok
sibuk dalam dunia keorganisasian kampus. Sekedar seru-seruan. Sekaligus mengisi
waktu kosong di sela rutinitas jadwal perkuliahan. Tapi, semua pandangan ini
termuntahkan semenjak aku mengenal sosok dia.
Hari
itu, di antara kilau teriknya mentari, dia muncul. Dalam balutan navy-coat—penunjuk identitas kampus
tempat dia belajar, dengan bagian lengannya yang digulung asal sampai ke siku,.
Gaya sedikit pemberontak yang kusuka. Sedari tadi, dia asyik sekali menyapa gerombolan
massa di hadapannya. Dia berdiri di atas mobil pick-up dengan bak terbuka sambil memekik-liar lewat megaphone loud speaker yang
digenggamnya. Berorasi panjang tentang retorika demokrasi yang semuanya terasa
masih sangat awam bagiku. Dia kemilau. Persis seperti yang kuingat.
Dia
bukan tipikal cowok metroseksual yang umumnya cenderung terlihat ‘cantik’. Tapi,
bohong kalau aku bilang dia tidak menarik. Gayanya yang seperti lelaki sejati walau
tanpa wewangian cologne justru terlihat
memikat. Walau siang itu—kali pertama melihat dia, wajahnya mulai penuh oleh ribuan
peluh yang mengalir basah, tapi sama sekali tidak mengurangi penilaianku
terhadapnya. Dia begitu kharismatik. Cara dia berbicara dengan nada lantang,
tekstur ketegasan yang terasa matang, seolah menghipnotis mataku untuk tak
berhenti memandang wajahnya. Dan, tanpa sadar detik itu pun aku berani berjanji
untuk tak pernah absen ikut dalam setiap aksi demonstrasi kampus jika akan ada
dia di dalamnya. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu seseorang
yang mulai terduduk manis di hatiku. Demi dia.
Inilah
tiga menit penerbangan hatiku tentang dia setelah take-off.
Beberapa
jam kemudian, setelah aksi demonstrasi tadi yang cukup menyita waktu dan
tenagaku, ternyata aku masih juga dihadapkan pada kondisi yang kembali menguras
tenaga. Harus terburu-buru berlari mengejar metromini dengan line jurusan menuju tempat kostku. Jurusan
metromini yang terbilang cukup langka, apalagi jarang melintas di area itu.
Jadi memang jogging siang seperti ini solusinya, kalau tidak ingin terlambat
pulang.
Setelah
berada di dalam metromini, aku baru sadar ada satu wajah yang kukenal di antara
sesak penumpangnya. Wajah dia. Dia yang penuh kemilau. Saat mata kami beradu,
aku mencoba tersenyum padanya. Tapi dia, bukannya membalas senyumku, justru
membuang muka. Melempar pandangan ke arah luar jendela. Seharusnya navi-coat yang kugunakan sudah cukup menjelaskan siapa
aku. Mahasiswa satu almamater. Peserta demonstrasi. Atau, adik tingkat yang
malang dan terlupakan.
Sepanjang
jalan, aku mencoba mengira-ngira. Apa yang salah? Apa dia tidak bisa melihat
senyumku? Apa dia tidak tahu kalau senyum itu kuarahkan padanya? Apa memang
gini kelakuan aslinya… sombong, sok jual mahal? Pemikiran yang membuatku
berpikir ulang atas penilaian yang kuberikan padanya di tiga menit pertemuan pertama
tadi. Ternyata dia tak seindah yang kubayangkan.
Tapi,
jika kisah ini berhenti di sini, jelas tidak mungkin kenangan tentang dia jadi
begitu sulit untuk dilupakan.
Saat
satu per satu penumpang metromini itu mulai turun keluar hingga tersisa hanya
aku, dia, dan seorang kakek tua, saat itu dia mulai bersuara. Kata-kata pertama
untukku.
“Kon
anak maba, yo?”
“Iya,
Mas.”
“Pantes,
wajahe asing,” sahutnya masih dengan logat jawa timuran.
Spontan
aku tersenyum. “Kayak alien baru turun ke bumi, ya.”
Dia
tertawa pelan. “Agak mirip, sih,” lanjutnya.
Aku
pun tertular, ikut terkekeh bersamanya.
“Enak
enggak melu demo?”
“Capek,”
jawabku singkat.
Lagi-lagi,
dia terkekeh. “Tapi lebih capek lagi kalau ngelihat ada orang bikin salah, tapi
kita nggak berani bilang dia salah. Capek hati.”
“Jadi,
karena itu Mas suka demo? Enggak takut nanti kena karma, didemo balik kapan-kapan
nanti?”
“Kadang…
demokrasi itu membuka mulut, tapi tidak mengisinya.”
Aku
menatapnya dengan bingung.
“Aphorisms-nya Leonid S. Sukhorukov.
Pernah denger enggak?”
Aku
menggeleng. Lemas. Damn it. Tema
obrolannya terlalu berat. Dan, otakku terlalu capek untuk berpikir.
Dia
pun ber-ooh panjang. “Kadang demokrasi itu mendorong orang buat bebas bersuara,
jadi gampang demo. Tapi enggak semua pendemo itu bener-bener menyuarakan kata
hatinya sendiri. Kadang ada segelintir orang yang mereka rela ikutan demo
karena ada kepentingan tertentu, Demi uang, demi jabatan mungkin…., kadang malah
ada yang karena ikut-ikutan aja.”
Aku
terdiam. Kalimat bagian terakhirnya tidak begitu kusuka. Seperti menuduh
keadaanku. Demo sekedar ikut-ikutan semata.
“Bukannya
aksi apapun itu butuh orang yang mau sekedar ikut-ikutan, ya? Aksi sosial
sekalipun, kalau cuma ada volunteer-nya
doang tanpa sukarelawan yang mau ikut-ikutan, mana bisa jalan coba?”
Dia
mengerutkan kening. Tampak berpikir. Kesempatan ini pun kumanfaatkan untuk kembali
membuka mulut.
“Walaupun
cuma ikut-ikutan awalnya enggak masalah, loh. Biar mereka ngerasain sendiri
seperti apa demonstrasi, sepenting apa ikutan demo. Baru kalau mereka udah
ngeh, bisa jadi ke depannya mereka enggak sekedar jadi follower aja.”
Dia
tampak sedikit terkejut mendengar jawabanku. Sampai akhirnya tersenyum,
setengah dipaksakan.
“Belajar
dari mana, sih, bisa dapet kata-kata kayak gitu?”
“Ya
pastinya enggak dari serial Upin-Ipin,” jawabku asal yang sukses membuat dia
tergelak. Surprise banget bisa lihat
cara dia tertawa lepas seperti itu.
“Kayaknya
kamu suka baca, ya?”
“Suka.
Tapi, spesialis novel romance,”
sahutku cuek. Sepertinya tidak perlu berpura-pura disama-samakan dengan
kesukaannya. Dia suka dengan bacaan sosial-politik yang lebih berat,
sepertinya. Aku pun mulai tidak peduli jika dia menganggapku lawan bicara yang
payah. Dan, membosankan.
Dan
untuk kedua kalinya dia ber-ooh panjang mendengar jawabanku.
Tuh
kan. Dia mulai bosan.
“Enggak
nyangka ada maba ajaib kayak kamu.”
Akh…
kata-kata itu. Tiba-tiba membuat pipiku terasa memanas.
“Aku
turun duluan, ya. Seru bisa kebetulan ngobrol sama kamu,” pamitnya, sebelum
turun keluar mikrolet mendahuluiku.
Aku
hanya membisu. Melepas kepergiaannya begitu saja. Saat kutatap punggungnya yang
mulai berjalan menjauh, baru aku tersadar. Belum ada sahutan untuk salam
pamitnya. Belum melontarkan tanggapan apa-apa. Bahkan, kami juga belum
berkenalan. Hey, kamu. Enggak penasaran
sama namaku?
Dan,
bisa dibilang delapan menit sebelum landing
dari penerbangan hatiku tentang dia telah berakhir. Pesawatnya memang
berhasil mendarat dengan aman, tapi sepertinya ada bagiannya yang hilang. Mendorong
hatiku gaduh berdemo ria.
Bagian
yang hilang itulah yang membuatku masih menyisakan sedikit ruang akan kenangan
tentang dia. Dan, kembali membayangkannya sekarang. [END. #10DaysKF @KampusFiksi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar